Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tisha Lazuana
Abstrak :
Mengetahui potensi selulase dalam mendegradasi dinding kista Acanthamoeba sp.Sampel Acanthamoeba sp.didapatkan dari isolat koleksi Departemen Parasitologi FKUI yang mana 2 sampel berasal dari pasien dan 1 sampel dari lingkungan. Ketiga sampel dikultur dengan menggunakan media non-nutrien agar NNA dan diidentifikasi dengan PCR dan sekuensing. Kemudian dilakukan optimasi konsentrasi dan waktu inkubasi selulase dengan jumlah kista yang digunakan 5 x 103. Kandidat konsentrasi selulase yang digunakan adalah 50 U, 100 U, 150 U, 200 U, 250 U, dan 300 U dengan waktu inkubasi yang digunakan adalah 2 jam, 4 jam, 6 jam, 8 jam, dan 24 jam. Selanjutnya hasil perlakuan dengan konsentrasi dan waktu inkubasi yang paling optimal diamati dengan menggunakan SEM untuk melihat perubahan permukaan dinding kista. Kemudian dilakukan uji kistasidal untuk mengetahui efektifitas kistasidal larutan desinfektan, selulase dan campuran larutan desinfektan dan selulase dalam membunuh kista Acanthamoeba sp.dinilai berdasarkan nilai viabilitasnya.Konsentrasi selulase yang paling optimal dalam membunuh kista Acanthamoeba sp.adalah 300 U dengan waktu inkubasi 24 jam. Persentase viabilitas Acanthamoeba sp.yang diberi paparan larutan desinfektan saja selama 24 jam adalah 95 , selulase saja selama 24 jam 75 , dan campuran selulase dan larutan desinfektan selama 24 jam adalah 25 . Selulase mampu mendegradasi dinding kista Acanthamoeba sp.Konsentrasi selulase yang optimal dalam mendegradasi dinding kista Acanthamoeba sp.adalah 300 U dengan waktu inkubasi yang optimal 24 jam. Penambahan selulase ke larutan desinfektan berpotensi untuk meningkatkan efektivitas larutan desinfektan karena selulase mampu mendegradasi dinding kista sehingga memungkinkan larutan desinfektan untuk masuk dan membunuh kista Acanthamoeba sp.
The goal of this study is to know the potential of cellulase in degradation of cyst wall Acanthamoeba sp.Sample of Acanthamoeba sp. obtained from isolate collection of Department of Parasitology FKUI which 2 samples come from patient and 1 sample from environment. All three samples were cultured using non nutrient agar NNA media and identified by PCR and sequencing. The concentration of cellulase concentration used was 50 U, 100 U, 150 U, 200 U, 250 U, and 300 U with the incubation time used was 2 hours , 4 hours, 6 hours, 8 hours, and 24 hours. Furthermore, treatment results with the most optimum concentration and incubation time were observed by using SEM to see changes in the surface of the walls of the cyst. Then performed cysticidal test to determine the effectiveness cysticidal of disinfectant solution, cellulase, and combination of disinfectant solution and cellulase in killing Acanthamoeba sp. cyst assessed by their viability value. The most optimal cellulase concentration in killing Acanthamoeba sp.cysts. is 300 U with incubation time of 24 hours. Percentage of viability of Acanthamoeba sp.which was exposed to a disinfectant solution for 24 hours was 95 , cellulase alone for 24 hours 75 , and the combination of cellulase and disinfectant solution for 24 hours was 25 . Cellulase are capable of degrading Acanthamoeba sp.cyst wall. Optimal cellulase concentration in degrading Acanthamoeba sp. cyst wall is 300 U with an optimal incubation time is 24 hours. The addition of cellulase to the disinfectant solution has the potential to increase the effectiveness of the disinfectant solution because cellulase are capable of degrading the cyst wall allowing the disinfectant solution to enter and kill Acanthamoeba sp.cysts.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Miftahul Janna
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi waktu respon terapi vorikonazol topikal yang dikombinasikan dengan injeksi vorikonazol intrastromal, dan natamisin topikal pada keratitis Fusarium kelinci. Penelitian ini adalah penelitian uji klinis terandomisasi dengan dua kelompok terapi yaitu injeksi tunggal vorikonazol intrastroma dikombinasi dengan vorikonazol topikal dibandingkan dengan natamisin topikal terapi tunggal. Terapi berlangsung selama 21 hari dengan evaluasi klinis pada minggu pertama, kedua, ketiga serta pemeriksaan mikologi awal dan akhir terapi.Hasil penelitian menggambarkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara natamisin dan vorikonazol dalam waktu memperbaiki gambaran klinis ataupun pada hasil pemeriksaan mikologi. Peneliti menyarankan untuk penelitian lanjutan dengan menambahkan jumlah injeksi vorikonazol intrastroma.
ABSTRACT
This thesis aims to evaluate the response time topical and intrastromal injection of voriconazole versus topical natamycin Fusarium keratitis in rabbit. This study has two treatment groups, single intrastroma voriconazole injection combined with topical voriconazole compared with a single topical natamycin therapy. The therapy lasted for 21 days with clinical evaluation in the first, second, third week along with pre and post therapy mycological examination. There are no significant differences between natamycin and voriconazole in time to improve the clinical picture or on mycological examination. The authors suggest for follow up studies by adding the number of intrastromal voriconazole injection, keratitis Fusarium, voriconazole, natamycinintrastroma voriconazole injections
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Humaira Anindya
Abstrak :
Latar Belakang: Infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur dapat menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan infeksi bakteri dikarenakan kemampuan jamur untuk menembus kornea hingga ke bilik mata depan atau sklera. Antijamur tetes yang tersedia secara komersil hanya natamisin yang memiliki penetrasi rendah. Vorikonazol sebagai alternatif anti jamur dapat digunakan secara intrastromal untuk mempertahankan kadar pada kornea. Penggunaan injeksi intrastromal vorikonazol secara tunggal maupun serial banyak dilaporkan dalam bentuk laporan kasus dan terdapat variasi dalam hal dosis dan frekuensi serta teknik pemberian. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas pemberian kombinasi vorikonazol topikal 1% dan intrastromal 0.05% secara tunggal dan serial dibandingkan dengan natamisin topikal 5% sebagai terapi keratitis jamur yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp pada kelinci. Metodologi: Penelitian ini merupakan uji eksperimental tersamar dengan randomisasi terhadap kelompok hewan coba kelinci New Zealand White (NZW) dengan desain empat kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 kelinci. Kelompok pertama mendapat terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 1 kali pada hari 1. Kelompok ke-dua mendapatkan terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 2 kali pada hari 1 dan 7. Kelompok ke-tiga mendapatkan terapi kombinasi tetes vorikonazol 1% tiap jam dan injeksi intrastromal vorikonazol 0.05% yang diberikan 3 kali pada hari 1, 7 dan 14. Kelompok ke-empat mendapatkan monoterapi tetes natamisin 5% tiap jam. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan perbaikan secara klinis berdasarkan luas defek, luas infiltrat, kedalaman keratitis dan tinggi hipopion pada semua kelompok yang mendapatkan terapi injeksi vorikonazol maupun natamisin. Pada akhir terapi masih didapatkan hifa jamur positif secara kualitatif pada 1 kelinci yang mendapatkan injeksi intrastromal 1 kali dan 1 kelinci dengan terapi natamisin. Kesimpulan: Kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara serial menunjukan perbaikan klinis setara dengan natamisin topikal. Dalam hal daya eliminasi jamur kombinasi vorikonazol topikal dan injeksi vorikonazol intrastromal secara serial menunjukan hasil lebih baik dibandingkan terapi natamisin topikal dan injeksi tunggal.
Background: Fungal corneal infections can cause more damage than bacterial infections due to the fungus's ability to penetrate the cornea to the anterior chamber or sclera. Natamycin is the only commercially available antifungal drops which has low penetration. Voriconazole as an antifungal alternative can be used intrastromally to maintain corneal concentration. The use of single or serial intrastromal voriconazole injections is widely reported in the form of case reports and there are variations in terms of dosage and frequency and administration techniques. Objective: Comparing the effectiveness of topical voriconazole 1% combined with intrastromal 0.05% single and serial compared to 5% topical natamycin as fungal keratitis therapy caused by Fusarium sp in rabbits. Methods: This research is an experimental test by randomizing a group of New Zealand White (NZW) rabbit animals with a four-group design. Each group consists of 3 rabbits. The first group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of 0.05% voriconazole given once on day 1. The second group received combination therapy of voriconazole drops 1% per hour and intrastromal injection of voriconazole 0.05% given 2 times on day 1 and 7. The third group received combination therapy of voriconazole drops 1% every hour and intrastromal injection of 0.05% voriconazole given 3 times on days 1, 7 and 14. The fourth group received monotherapy with 5% natamycin drops hourly. Results: The results of this study showed clinical improvement based on corneal defect size, infiltrate size, keratitis depth and height of hypopyon in all groups receiving voriconazole and natamycin injection therapy. At the end of the therapy, fungal hyphae were found in 1 rabbit who received 1 times intrastromal injection and 1 rabbit with natamycin therapy. Conclusion: The combination of topical voriconazole and serial intrastromal injection shows clinical improvement equivalent to topical natamycin. In terms of the fungal elimination, topical voriconazole and serial intrastromal injection is superior than topical natamisin therapy and single injection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inneke Kusumawati Susanto
Abstrak :
ABSTRAK
Acanthamoeba keratitis (AK) merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan infeksi kornea dikarenakan terkontaminasinya lensa kontak dan air oleh organisme yang disebut Acanthamoeba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi transmisi Acanthamoeba sp dari larutan perawatan lensa kontak dan sumber air rumah tangga pengguna lensa kontak. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Mei 2019. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan terhadap 53 mahasiswa kedokteran di salah satu FK di Jakarta yang menggunakan lensa kontak dan air bekas rendamannya serta air yang digunakan di rumah. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK Universitas Indonesia menggunakan media kultur page-salt agar. Dari 53 sampel lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak didapatkan dua sampel kultur positif Acanthamoeba sp dan tiga sampel, positif free living amoeba (5.6%). Dari hasil kultur 53 sampel air kran rumah tangga didapatkan hasil 5 kultur positif Acanthamoeba sp (9.4%) dan 34 kultur positif free living amoeba (64.1%). Hanya satu sampel yang menunjukkan hasil positif dari lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak dan air kran rumah tangga dengan hasil subtipe yang sama yaitu T4. Adanya potensi transmisi Acanthamoeba sp yang diisolasi dari sumber air kran pengguna lensa kontak ke lensa kontak yang digunakan.
ABSTRACT
Acanthamoeba keratitis (AK) is one of the diseases that cause corneal infections due to contamination of contact lenses and water by an organism called Acanthamoeba. This study aims to determine the transmission potential of Acanthamoeba sp from contact lens treatment solutions and household water sources of contact lens users. The study was conducted in January-May 2019. An examination of Acanthamoeba was carried out on 53 medical students in one of the FK in Jakarta who used contact lenses and their used water and water used at home. Acanthamoeba examination was carried out in the Parasitology Laboratory of the University of Indonesia FK using page-salt agar culture media. From 53 contact lens samples and treatment solution of contact lens samples, there were two positive samples of Acanthamoeba sp and three samples positive free living ameba (5.6%). From the culture results of 53 household tap water samples, 5 positive cultures of Acanthamoeba sp (9.4%) and 34 positive cultures free living ameba (64.1%) were obtained. There is only one sample showed positif of from contact lenses and household tap water with the same subtype result T4. The presence of potential transmission of Acanthamoeba isolated from household tap water users to contact lens that has been use.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tabery, Helena M.
Abstrak :
This book presents the morphological features, dynamics, and sequelae of adenovirus and Thygeson's keratitides captured at high magnification in the living human cornea. It thereby fills the existing void between conventional photographs and slit-lamp observations. Case reports demonstrate the importance of patient history in differential diagnosis, illustrate the need for familiarity with early manifestations of adenovirus infections, and assist in the diagnosis of rare variants of TSPK. Furthermore, the detailed observations on the natural course of the diseases ensure that the book will serve not only as a diagnostic tool but also as a reference when evaluating the effects of potential new treatments.
Berlin: Springer, 2012
e20420681
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Rendra
Abstrak :
Kusta merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh hasil tahan asam Mycobacterium leprae. Sampai kini, penyakit kusta tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun sebenarnya eliminasi kusta di Indonesia sudah tercapai pada pertengahan tahan 2000. Kusta adalah penyakit dengan stigma sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kecacatan yang ditimbulkan, yaitu deformitas dan mutilasi, sehingga terjadi ketakutan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada kalangan medis. Ketakutan ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan kurang tersedianya informasi tepat dan akurat mengenai penyakit kusta. Kuman M. leprae menyerang sel Schwann pada serabut saraf, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan saraf, yang bila tidak tertangani dengan baik akan berakhir dengan kecacatan. Cacat mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik, sehingga pasien kusta menjadi bergantung pada orang lain dan tidak mampu hidup mandiri. Kecacatan seringkali terjadi akibat keterlambatan pengobatan dan tindakan pencegahan kecacatan yang kurang memadai. Untuk mencegah cacat diperlukan diagnosis tepat, penanganan secepatnya dan deteksi dini penyakit kusta. Cacat akibat kusta dapat mengenai ekstremitas (tangan dan kaki) dan mata, yang merupakan organ penting agar seseorang dapat berfungsi baik dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan cacat merupakan hal yang penting dilakukan karena keterlambatan akan menyebabkan kecacatan menjadi permanen. Komplikasi okular sering ditemukan pada kusta, yang dapat menyebabkan penurunan visus dan kebutaan. Prevalensi kebutaan pads pasien kusta 5 kali Iipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. Kerusakan mata pada penyakit kusta biasanya terjadi perlahan, seringkali tidak disadari oleh pasien dan jarang dikeluhkan. Keluhan baru disampaikan bila terjadi penurunan tajam penglihatan (visus). Pada saat ini umumnya kelainan sudah lanjut, sehingga penanganan menjadi lebih sulit. Kemungkinan fungsi mata puiih kembali menjadi normal juga berkurang. Dengan deteksi dini diharapkan kelainan mata dapat diketahui lebih cepat dan fungsi mata dapat dipulihkan secara maksimal. Salah satu kelainan mata yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan adalah gangguan sensibilitas kornea. Sensasi yang berkurang (terutama terhadap nyeri) mengakibatkan pasien kurang menyadari bila terjadi sesuatu pada mata. Keadaan ini membuat pasien sangat berisiko mengalami kerusakan mata lebih lanjut. Hal ini menyebabkan pasien terlambat mencari pengobatan. Pada mata yang hipoestesia mudah terjadi infeksi, lukalulkus, perforasi, jaringan parut 9 dan dapat berakhir dengan kebutaan. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel dkk. (1999) mendapatkan kecenderungan hipoestesia kornea 3-4 kali Iipat lebih besar pada pasien dengan Iasi hipopigmentasi pada wajah dibandingkan dengan pasien tanpa Iesi wajah. Kekurangan penelitian ini, seperti yang diakui oleh penelitinya, adalah menggunakan lidi kapas untuk pemeriksaan kornea. Cara ini kurang sensitif dan sangat tergantung pada keterampilan pemeriksa. Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan lidi kapas sebenamya tidak dianjurkan oleh World Health Organization (WHO), karena berpotensi rmerusak epitel kornea bila dilakukan secara tidak benar. Peneliti mengemukakan mengenai perlunya dilakukan penelitian menggunakan alat estesiometer Cochet-Bonnet.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Wahyudi
Abstrak :
Penelitian yang diadakan di Malaysia pada tahun 2001dan beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukan penggunaan lensa kontak merupakan faktor risiko utama Acanthamoeba Keratitis (AK). Pengetahuan dan penelitian tentang faktor risiko AK pada pengguna lensa kontak di Indonesia masih sedikit dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai faktor risiko AK pada pengguna lensa kontak dan karakteristik mahasiswa FKUI yang mempengaruhinya. Pengumpulan data berdasarkan kuesioner pada 106 mahasiswa FKUI tingkat I, II, dan III yang dipilih secara nonprobability sampling. Karakteristik mahasiswa yang diteliti adalah jenis kelamin dan tingkat pendidikan mahasiswa. Pengetahuan yang diteliti ialah faktor risiko AK. Analisis Univariate menunjukkan 52,6% responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 2,1% memiliki tingkat pengetahuan cukup, dan 45,3% memiliki tingkat pengetahuan kurang. Analisis bivariate menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin (p=0,964) dengan tingkat pengetahuan faktor risiko AK dan terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan mahasiswa (p=0,03) dengan tingkat pengetahuan faktor risiko AK. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pengetahuan dan mengakses informasi mengenai kesehatan mata karena pendidikan yang lebih tinggi memungkinkan individu memiliki informasi, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan kognitif yang lebih baik untuk mengakses informasi mengenai kesehatan mata. ...... Study conducted in Malaysia in 2001 and studies in the United States show the use of contact lens is a major risk factor for Acanthamoeba keratitis (AK). Knowledge about risk factor for Acanthamoeba keratitis in contact lens users in Indonesia is still low and little research is done. The purpose of this study is to assess the relationship between the knowledge level regarding risk factor for Acanthamoeba keratitis in contact lens users andits relation to student characteristics in Faculty Medicine of University Indonesia (FMUI). A questionnaire-based survey was carried out with 106 students, selected by nonprobability sampling from first, second and third grade students in FMUI. Student characteristics studied were gender and education level in FMUI. Questions regarding knowledge on Acanthamoeba keratitis were risk factor. Univariate analysis showed 52.6% of respondents had high knowledge level, 2.1% had a moderate level of knowledge, and 45.3% had low knowledge levels. Bivariate analysis showed that there was no significant relation between sex (p = 0.964) with the knowledge levelregarding risk factors for Acanthamoeba Keratitis and there is a significant relation between the education level of students (p = 0.03) with the knowledge level regarding risk factors for Acanthamoeba keratitis. The results show that both man and women have equal opportunity to acquire the knowledge and information about eye health. Whereas with higher levels of education, individuals have critical thingking skills and better cognitive to obtain information about eye health.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library