Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dee Dee Alfarishy
Abstrak :
ABSTRACT
Nepenthes adalah salah satu genus tumbuhan yang memiliki karakter kunci identifikasi pada organ daun dan kantong sebagai modifikasi. Akan tetapi, luasnya variasi morfologi pada organ tersebut dalam satu spesies dan antar spesies dapat menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi. Penelitian dilakukan untuk menyediakan alternatif proses identifikasi melalui karakter anatomi. Taman Nasional Kerinci Seblat dipilih sebagai lokasi penelitian disebabkan kurangnya data taksonomi terbaru spesies alami Nepenthes di sana. Lima spesies Nepenthes telah dikoleksi dari Danau Lingkat dan Danau Gunung Tujuh. Pengamatan helaian daun dan kantong dilakukan terpisah. Kantong dibelah menjadi bagian tutup kantong dan badan kantong, kemudian diamati menggunakan mikroskop stereo. Helaian daun dipisahkan menjadi sayatan paradermal dan transversal, didehidrasi menggunakan alkohol, dan diwarnai menggunakan safranin dan fast green. Sayatan diamati menggunakan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat sebelas karakter pembeda antar spesies, yaitu penyebaran kelenjar digesti di pangkal kantong, bentuk kelenjar digesti di pangkal kantong, kerapatan kelenjar digesti di pangkal kantong, kerapatan stomata, panjang stomata, bentuk kelenjar sessile, kerapatan kelenjar sessile, distribusi trikom, ketebalan kutikula adaksial, ketebalan hipodermis adaksial, dan jumlah lapisan hipodermis adaksial. Selain itu, telah dilakukan pelengkapan data terhadap kelenjar nektar.
ABSTRACT
Nepenthes is one of genera which have key characters on leaf and pitcher as modification. However, wide varieties of morphological features on pitcher intraspecies and between species could be tough for identification proccess. The objective was to provide alternative identification proccess by anatomical features. Kerinci Seblat National park were choosen because lack of update data on wild type Nepenthes there. Five Nepenthes were collected from Lingkat Lake and Gunung Tujuh Lake. Observation on leaves and pitcher divided to two different methods. Pitcher were separated into lid and body part, then observed by stereo microscop. Leaves were separated into paradermal and transversal slices, dehydrated used alcohol, and stained used safranin and fast green. Slices observed by light microscop. Result show there are eleven different characters between species, that rsquo s are digestive glands distribution on pitcher base, digestive glands shape on pitcher base, digestive glands density on pitcher base, stomatal density, stomatal length, sessile glands shape, sessile glands shape, trichoma distribution, adaxial cuticle thickness, adaxial hypodermal thickness, and amount of adaxial hipodermal layer. Besides, updating data on nectary glands has been done.
2016
S66891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Budiman
Abstrak :
Kualitas manusia sebagai salah satu modal dasar pembangunan lebih mendapat perhatian pada Pelita V dalam rangka mempertinggi derajat kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditetspkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tersirat bahwa agar tercapai tingkat kualitas manusia yang dicita-citakan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan member! prioritas yang tinggi pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dalam keluarga termasuk peningkatan status gizi masyarakat di samp ing upaya-upaya prevent if, kuratif dan rehablitatif. Kualitas manusia terdiri dari aspek ragawi dan aspek mental; yang termasuk aspek ragawi yaitu kebugaran dan pertumbuhan; sedangkan yang termasuk aspek mental yaitu kecerdasan dan keterampilan. Gangguan gizi yang erat kaitannya dengan pertumbuhan ragawi dan mental adalah kurang energi protein (KEP) dan kurang iodium. Di Indonesia, KEP dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan dua dari empat masalah gizi utama. Prevalensi gizikurang pada anak usia di bawah lima tahun (balita) yang diukur atas dasar berat badan pada umur tertentu (kurang dari 70 % median acuan) menurun dari 29.1 persen (1983) menjadi 10.8 persen (1987)1. Laporan lain2 menyebutkan bahwa prevalensi menurun dari 14.4 persen (1978) menjadi 12.8 (1986) dengan penurunan yang besar terjadi didaerah perkotaan yaitu 4.2 persen di bandingkan daerah pedesaan sebesar 0.9 persen. Besar dan luasnya masalah pertumbuhan ragawi di samping dinyatakan dengan prevalensi gizikurang pada anak balita, dapat pula dinyatakan dengan besarnya prevalensi gizikurang pada anak usia tujuh tahun yang diukur pencapaian tinggi badannya. Hal ini sekaligus dikaitkan dengan keadaan ekonouii suatu wilayah3'4,'. Di Indonesia, prevalensi gizi kurang anak usia tujuh tahun secara nasional belum ads. Prevalensi gizikurang atas dasar indeks tinggi badan menurut umur (<=90% median acuan Indonesia hasil modifikasi acuan WHO-NCHS) anak baru masuk sekolah (6-8 tahun) di tiga provinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1988 berturut-turut adalah 9.8; 14.6 dan 16.4 persen. Oleh karena tinggi badan merupakan produk dari interaksi berbagai faktor dan kesempatan mengoreksi tinggi badan sebelum mencapai tinggi bada usia dewasa terjadi pada masa usia sekolah, maka pertumbuhan ragawi pada usia tersebut perlu mendapat perhatian secara khusus. Di pinak lain, penderita GAKI di Indonesia pada tahun 1986 di perkirakan 30 juta penduduk mempunyai resiko tinggi mengalami defisiensi iodium dan bermukim di daerah endemis. Tiap tahun dari sejumlah itu terjadi 9200 bayi lahir mati. Di samping itu lebih dari 750 000 orang menderita kretin.Diperkirakan pula 3.5 jut a di antaranya dijumpai mengalami gangguan mental, gangguan motorik termasuk pertumbuhan ragawi, dan gangguan kordinasi. Pembesaran kelenjar gondok (goiter) da lam berbagai tingkat kurang lebih 8 juta orang. Di satu pihak KEP dan GAKI mempunyai efek terhadap pertumbuhan; di lain pihak pertumbuhan tersebut merupakan hasil interaksi yang sangat komplek berbagai faktor. Berbeda dengan sebaran masalah KEP yang dapat terjadi dengan tidak mengenal kekhususan ketinggian tempat, sebaran masalah GAKI terutama terjadi di daerah pegunungan dan daerah aliran sungai yang deficit unsur iodium serta daerah yang sukar dijangkau dengan kendaraan umum. Daerah-daerah tersebut uraumnya secara sosial-ekonomis jug a kurang maju. Oleh karena itu, pertumbuhan anak di daerah ysng endemik GAKI, kemungkinan bukan disebabkan oleh defisiensi iodium saja tetapi peranan sosial ekonomi perlu dipertimbangkan. Hubangan antara defisiensi iodium dan tinggi badan anak sekolah dasar kelas satu menjadi objek penelitian ini.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kini, Sudha R
Philadelphia: Pennsylvania Lippincott Williams Wilkins, 2013
616.994 07 KIN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soewondo Djojosoebagio
Jakarta: UI-Press, 1996
612.4 SOE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indrati Suroyo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raven Ginola Imanuel
Abstrak :
Mata merupakan salah satu dari panca indra yang digunakan untuk melihat dan menjadi aset terpenting dalam hidup manusia. Salah satu bagian terpenting dari mata ialah kelopak mata di mana terdapat sebuah kelenjar yang disebut kelenjar meibom. Kelenjar ini berada pada lapisan air mata yang berguna untuk menyekresikan komponen minyak atau lipid dan berperan penting dalam memperlambat proses evaporasi yang menyebabkan terjaganya kelembapan pada mata. Kekurangan kelenjar meibom yang dikenal sebagai Disfungsi Kelenjar Meibom (DKM) merupakan penyebab utama dari penyakit mata kering. Karena proses diagnosis yang dikerjakan oleh tenaga medis terbilang subjektif, maka penelitian ini menggunakan pendekatan deep learning untuk melakukan klasifikasi pada tingkat keparahan dari DKM. Klasifikasi dilakukan dengan membagi tingkat keparahan atau kehilangan kelenjar meibom berdasarkan hasil meiboscore-nya menjadi 4 kelas, yaitu kelas 0 untuk meiboscore ≤ 25%, kelas 1 untuk 25% < meiboscore ≤ 50%, kelas 2 untuk 50% < meiboscore ≤ 75%, dan kelas 3 untuk meiboscore  > 75%. Metode deep learning yang digunakan adalah Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur AlexNet. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah 139 citra meibography yang bersumber dari Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) Departemen Kirana dari 35 pasien mata kering yang sudah mengalami augmentasi dan segmentasi, sehingga data akhir yang digunakan yaitu sebanyak 417 citra segmentasi. Pada tahap pre-processing, dilakukan perhitungan meiboscore dengan bantuan software dan membaginya ke dalam 4 kelas sesuai dengan nilai meiboscore­-nya. Citra yang sudah dilabel ini kemudian dibagi menjadi 80% data training dan 20% data testing. Dari 80% data training, diambil 10% untuk dijadikan data validation, sehingga 417 data tersebut terbagi menjadi 299 data training, 84 data testing, serta 34 data validation. Training model dilakukan menggunakan arsitekur AlexNet dengan hyperparameter berupa epoch sebanyak 100, batch size 32, dan learning rate 0,0001. Pada arsitektur ini juga diterapkan fungsi optimasi yaitu Adam (Adaptive moment estimation) dan fungsi loss categorical cross entropy. Proses modelling dilakukan sebanyak 5 kali percobaan dan memperoleh nilai rata-rata akurasi training dan validation sebesar 99,59% dan 99,41% dan nilai dari loss training dan loss validation sebesar 0,1259 dan 0,0524. Sedangkan rata-rata kinerja testing model berhasil memperoleh akurasi testing sebesar 87,38%; testing loss sebesar 0,5151; dan Area Under Curve (AUC) sebesar 0,9715. ...... The eye is one of the five senses used to see and is the most important asset in human life. One of the most important parts of the eye is the eyelid where there is a gland called meibomian gland. This gland is located in the tear film which is useful for secreting oil or lipid components and plays an important role in slowing down the evaporation process which leads to maintaining moisture in the eye. Meibomian gland deficiency, known as Meibomian Gland Dysfunction (MGD), is a major cause of dry eye disease. Since the diagnosis process carried out by medical personnel is subjective, this study uses a deep learning approach to classify the severity of MGD. Classification is done by dividing the severity or loss of meibomian glands based on meiboscore results into 4 classes, namely class 0 for meiboscore ≤ 25%, class 1 for 25% < meiboscore ≤ 50%, class 2 for 50% < meiboscore ≤ 75%, and class 3 for meiboscore > 75%. The deep learning method used is Convolutional Neural Network (CNN) with AlexNet architecture. The data used in this study are 139 meibography images sourced from Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM) Kirana Department from 35 dry eye patients that have undergone augmentation and segmentation, so that the final data used is 417 segmentation images. In the pre-processing stage, meiboscore was calculated with the help of software and divided into 4 classes according to the meiboscore value. The labeled images were then divided into 80% training data and 20% testing data. From 80% of the training data, 10% is taken to be used as validation data, so that the 417 data is divided into 299 training data, 84 testing data, and 34 validation data. The training model is carried out using the AlexNet architecture with hyperparameters in the form of epochs of 100, batch size 32, and learning rate 0,0001. In this architecture, the optimization function Adam (Adaptive moment estimation) and categorical cross entropy loss function are also applied. The modeling process was carried out 5 times and obtained an average training and validation accuracy value of 99,59% and 99,41% and the value of training loss and validation loss of 0,1259 and 0,0524. While the average performance of the testing model successfully obtained a testing accuracy of 87,38%; testing loss of 0,5151; and Area Under Curve (AUC) of 0,9715.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprayadi
Abstrak :
Pendahuluan. Tiroidektomi total merupakan prosedur baku pada penanganan keganasan tiroid maupun kelainan jinak tiroid yang gagal pengobatan. Namun sering terjadi komplikasi hipokalsemia akibat cedera kelenjar paratiroid. Upaya untuk mengurangi komplikasi tersebut telah banyak dilakukan, namun komplikasi hipokalsemia tetap tinggi. Banyak faktor dapat menimbulkan hipokalsemia pasca tiroidektomi total telah diteliti di seluruh dunia. Di RSCM sejauh ini belum ada studi yang terfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi kejadian hipokalsemia pasca tiroidektomi total. Metode. Studi potong lintang dilakukan pada subjek yang menjalani tiroidektomi total dan completion pada periode Januari 2013 ? Desember 2015 di Divisi Bedah Onkologi FKUI/RSCM. Faktor yang memengaruhi hipokalsemia diketahui melalui telusur rekam medis. Hasil. Dari 250 subjek (33 laki-laki, 217 perempuan) dilakukan tiroidektomi total (197 subjek) dan completion (53 subjek). Diperoleh prevalensi hipokalsemia 39,6%. Rerata usia subjek 44,2 tahun. Ukuran tumor tiroid lebih besar dari 4 cm pada 161 subjek (64%). Metastasis KGB pada 56 subjek (26,8%). Histopatologik tiroid ganas pada 209 subjek (83,6%). Diseksi leher dilakukan pada 56 subjek (22,4%). Operator junior sebagai operator utama pada 129 subjek (51,6%). Rata-rata Lama rawat 4,85±2,2 hari bila timbul hipokalsemia. Mayoritas (70,7%) penurunan kalsium serum terjadi pada hari pertama pascaoperasi. Gejala hipokalsemia ringan pada 82 subjek (82,8%). Hanya 1% yang mengalami hipokalsemia berat. Analisis statistik menunjukkan diseksi leher dan operator junior merupakan faktor risiko yang bermakna (nilai P. 0,027 dan nilai P. 0,002). Kesimpulan. Prevalensi hipokalsemia pasca tiroidektomi total sebesar 39,6%. Faktor yang berisiko menyebabkan hipokalsemia pascaoperasi tiroidektomi total adalah dilakukan diseksi leher dan operator junior.
ABSTRACT
Introduction: Total thyroidectomy is a standard procedure in the treatment of thyroid malignancies and benign thyroid disorder treatment failures. The most frequently complication of total thyroidectomy is hypocalcemia due to injury to the parathyroid glands. Efforts to reduce these complications has been widely applied, but the complication rate is still high. Many factors could cause hypocalcaemia recognizable after total thyroidectomy has been investigated throughout the world. In the Faculty of medicine / RSCM no study has focused on the factors that influence the incidence of hypocalcemia after total thyroidectomy. Methods: A cross-sectional study was conducted by taking medical record data subjects who have undergone total thyroidectomy and completion operations in the period January 2013 - December 2015 in the Division of Surgical Oncology Faculty of Medicine / RSCM. The factors that affect hypocalcemia identified through a search of medical records. Results: Of the 250 subjects (33 male, 217 female) with thyroid tumor action has been taken total thyroidectomy (197 subjects) and completion (53 subjects). Hypocalcemia prevalence of 39.6%. The mean age of subjects was 44.2 years. 64% (161 subjects) to measure thyroid tumors larger than 4 cm. 26.8% (56 subjects) had metastatic lymph nodes. 83.6% (209 subjects) with malignant thyroid tumors. 22.4% of the subjects underwent neck dissection. 51.6% (129 subjects) surgery performed by a junior operator. The average length of stay was 4.85 ± 2.2 days in case of hypocalcaemia. The majority (70.7%) decrease in serum calcium occur on the first day after surgery. 82.8% (82 subjects) experienced mild symptoms of hypocalcemia. Only 1% experiencing severe hypocalcemia. Factors that cause the risk of hypocalcemia is performed neck dissection and junior operator. Conclusion: The prevalence of post-thyroidectomy hypocalcemia total of 39.6%. These risk factors cause postoperative hypocalcemia total thyroidectomy was performed neck dissection and junior operator. Keywords: Total thyroidectomy; completion; hypocalcemia; parathyroid glands.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Ginealdy
Abstrak :
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: kanker serviks adalah keganasan ginekologi terbanya kedua pada perempuan yang menjadi salah satu masalah utama karena insidensnya yang tinggi dan penyebab kematian utama pada negara berkembang seperti Indonesia. The International Federation of Gynecology and Obstetrics FIGO merevisi terakhir pada tahun 2009, stadium IIA dibagi berdasarkan ukuran tumornya yaitu IIA1 Ukuran lesi primer le;4cm dan IIA2 Ukuran lesi primer >4cm . Revisi ini dilakukan setelah dilakukan analisis pada data, literature dan kasus pada stadium IB yang sudah direvisi sebelumnya pada tahun 1995. Menarik untuk diteliti, apakah perubahan penetapan stadium memperbaiki prognosis atau adakah perbedaan prognosis kanker serviks stadium IIA1 dengan stadium IIA2 secara tidak langsung dengan melihat faktor metastasis kelenjar getah bening. Seperti kita ketahui faktor prognosis yang dominan pada kanker serviks stadium awal adalah faktor metastasis ke kelenjar getah bening. TUJUAN: Membuktikan adanya perbedaan prognosis kanker servik stadium IIa1 dibanding stadium IIa2 berdasarkan kejadian metastasis ke kelenjar getah bening pelvik yang dilakukan histerektomi radikal. METODE: Dengan menggunakan metode potong lintang dilakukan pengambilan data 108 sampel pasien kanker serviks stadium IIA yang dilakukan pembedahan histerektomi radikal di bagian Onkologi Ginekologi RSCM Jakarta sejak tahun 2006 hingga tahun 2016. HASIL: Pasien kanker serviks stadium IIA1 sebanyak 80 74 pasien dan stadium IIA2 sebanyak 28 26 pasien. Pada stadium IIA2 47.79 tahun didapatkan rata rata usia pasien lebih muda dibandingkan IIA1 55.85 tahun . Pada stadium IIA1 juga didapatkan jumlah paritas yang lebih tinggi yaitu 4 sedangkan pada stadium IIA2 dengan jumlah paritas 2.Keterlibatan metastasis kelenjar getah bening pada pasien kanker serviks stadium IIA1 dan IIA2 berjumlah 51 63.75 dan 16 57.14 secara berurutan. Tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian metastasis kelenjar getah bening pada kedua kelompok stadium kanker serviks pada stadium IIA dengan nilai p = 0,535. SIMPULAN: Faktor metastasis kelenjar getah bening pada kedua stadium memiliki hasil yang serupa. Tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian metastasis kelenjar getah bening pada kedua kelompok stadium kanker serviks stadium IIA1 dan IIA2 yang ditatalaksna dengan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis. Perubahan penetapan stadium sepertinya tidak memperbaiki prognosis.
ABSTRACT
BACKGROUND Cervical cancer is the second most common gynecologic cancer in women and become one of the main problem in developing country such as Indonesia due to its high incidence and the leading cause of death ini this country. The latest revision of The International Federation of Gynecology and Obstetrics FIGO in 2009 divides stage IIA into IIA1 primary lesion le 4cm and IIA2 primary lesion 4 cm based on the size of primary lesion. This revision was made after analysis of data, literature dan cases in IB stage that has been revised earlier ini 1995. It is interesting to observe whether the change in staging determination improves the prognosis or is there a difference in the prognosis of stage IIA1 cervical cancer with stage IIA2 indirectly by looking at the metastatic factor of lymph nodes. As we know one of the main prognostic factor in early stage of cervical cancer is metastatic factor to the lymph nodes. OBJECTIVES This study was designed to determine a difference in prognosis of stage IIA1 cervical cancer compared to stage IIA2 based on the incidence of metastasis to pelvic lymph nodes by radical hysterectomy.METHODS A cross sectional study was conducted among 108 stage II cervical cancer patient post radical hysterectomy in obstetric gynecologic department of cipto mangunkusumo hospital since 2006 2016.RESULTS From 108 patients with cervical cancer stage IIA, 80 74 patients are stage IIA1 and the remaining the remaining 28 26 patients are stage IIA2. The average age of patients at stage IIA2 47.79 years younger than IIA1 55.85 years and also patient at stage IIA1 having a higher parity number which is 4 compare to stage IIA2 with the number of parity 2. The Involvement of lymph node metastasis in patients with stage IIA1 and IIA2 cervical cancer were 51 63.75 and 16 57.14 respectively. There was no difference in the proportion of lymph node metastases occurring in both cervical cancer stage groups at stage IIA with p 0,535.CONCLUSION Metastatic factor to lymphnode in both stage have the same result. There was no difference in the proportion of lymph node metastasis occurring in both stage IIA1 and IIA2 cervical cancer stage which was corrected with radical hysterectomy and pelvic lymphadenectomy. Changing staging does not seem to improve the prognosis.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Johan Ricardo
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker ovarium epitelial merupakan jenis keganasan ovarium yang paling sering ditemukan dan bersifat agresif. Upaya melakukan deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan ginekologi, dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi, advanced imaging (CT-Scan, MRI) dan pemeriksaan kadar serum CA-125, namun untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan histopatologi. Tujuan: Membandingkan temuan metastasis kelenjar getah bening pada advanced imaging (CT-Scan, MRI) dengan histopatologi pada kasus kanker ovarium epitelial.dan menentukan rentang waktu antara dilakukkan advanced imaging dengan tindakan operasi. Metode: Penelitian ini bersifat kohort retrospektif. Sampel penelitian adalah pasien dengan riwayat kanker ovarium epitelial stadium awal yang sudah dilakukan limfadenektomi di RSCM pada tahun 2017-2022 dengan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data melalui data sekunder. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Mc Nemar atau Kappa. Hasil: Dari karakteristik didapatkan usia rata-rata 48 tahun, paling banyak dengan jenis clear cell carcinoma (36.7%), dan ditemukan paling banyak pada ovarium kanan (43.3%). Hasil advanced imaging tidak memiliki nilai kesepakatan yang berarti dengan hasil histopatologi (Kappa value -0.01, p >0.05). Hasil paling banyak ditemukan metastasis di pelvis kiri. Rentang waktu dilakukannya operasi setelah pemeriksaan advanced imaging, paling banyak dalam waktu kurang dari 3 bulan (50.0%). Kesimpulan: Semakin cepat waktu dilakukan tindakan operasi semakin tinggi survival rate. Tidak ada hubungan yang signifikan antara ditemukannya limfadenopati pada advanced imaging dan histopatologi. ...... Background: Epithelial ovarian cancer is the most common and aggressive type of ovarian malignancy. Efforts aimed at early detection are gynecological examination, combined with ultrasound examination, advanced imaging (CT-Scan, MRI) and CA-125 levels, but to determine a definite diagnosis a histopathological examination is needed. Objective: To compare the findings of lymph node metastases on advanced imaging (CT-Scan, MRI) with histopathology in cases of epithelial ovarian cancer. And to determine the time interval between advanced imaging and surgery. Methods: This study used a retrospective cohort. The sample of the study was patients with a history of early-stage epithelial ovarian cancer who had undergone lymphadenectomy at RSCM in 2017-2022 by consecutive sampling technique. Data collection through secondary data. Data were analyzed univariately and bivariately with the Mc Nemar or Kappa test. Results: The features revealed that the average age was 48 years, that clear cell carcinoma was the most prevalent form (36.7%), and that it was most frequently discovered in the right ovary (43.3%). According to the study's findings, there was no significant correlation between the outcomes of advanced imaging and those of histopathology (Kappa value: -0.01, p >0.05). The results showed that most metastases were found in the left pelvis. This study evaluated the length of surgery following enhanced imaging test revealed that 50% of patients underwent surgery in less than three months on average. Conclusion: The difference between preoperative and intraoperative findings will be minimized if surgery is conducted early. There was no significant correlation between lymphadenopathy findings on advanced imaging and histopathology.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristina Anna bethania
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling umum terjadi pada wanita dan penyebab kematian kanker yang paling sering terjadi. Status kelenjar getah bening (KGB) amerupakan faktor prognostik dan penentu pilihan tatalaksana pasien kanker payudara. Biomarka untuk memprediksi metastasis KGB sampai saat ini belum akurat. Beberapa biomarka yang berhubungan dengan agresivitas dan prediksi metastasis yaitu CD44 (Cluster of Differentiation 44) dan MT1-MMP (Membrane Type 1- Matrix Metalloproteinase). Ekspresi CD44 dan MT1-MMP yang tinggi berhubungan dengan sifat yang lebih agresif dan prognosis yang buruk sehingga dibutuhkan biomarka tumor yang dapat memberikan informasi adanya metastasis KGB. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi CD44 dan MT1-MMP pada metastasis kelenjar getah bening karsinoma payudara invasif NST. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang pada sediaan operasi mastektomi kasus karsinoma payudara invasif NST di RSCM periode Januari 2019 sampai Juni 2020. Sampel penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 24 kasus karsinoma payudara invasif NST dengan metastasis kelenjar getah bening dan 24 kasus karsinoma payudara invasive NST tanpa metastasis kelenjar getah bening. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara simple random sampling dari kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Dilakukan pulasan imunohistokimia CD44 dan MT1-MMP dan dilakukan perhitungan jumlah sel yang terpulas positif. Analisis statistik Chi Square dan Kruskal Wallis dilakukan diantara dua kelompok tersebut. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna ekspresi CD44 pada karsinoma payudara invasif No Special Type dengan dan tanpa metastasis kelenjar getah bening.(p=0,009). Terdapat perbedaan bermakna ekspresi MT1-MMP pada karsinoma payudara tipe invasive carcinoma of No Special Type dengan dan tanpa metastasis kelenjar getah bening(p=0,032). Serta adanya hubungan overekspresi CD44 dan MT1-MMP pada metastasis kelenjar getah bening (p=0,000) Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna antara ekspresi CD44 dan MT1-MMP pada karsinoma payudara invasif NST dengan status metastasis kelenjar getah bening. ......Background: Breast cancer is the most common type of cancer in women and the most common cause of cancer death. Lymph node status (KGB) is a prognostic factor and determinant of treatment options for breast cancer patients. The biomarker for predicting lymph node metastasis is not accurate until this time. Several biomarkers associated with aggressiveness and metastatic prediction are CD44 (Cluster of Differentiation44) and MT1-MMP (Membrane Type 1-Matrix Mettaloproteinase). The high expression of CD44 and MT1-MMP is associated with a more aggressive nature and poor prognosis. The tumor biomarkers are needed to provide information on the presence of lymph node metastases. Aims: This study aims to determine the relationship between CD44 and MT1-MMP expression on lymph node metastases of invasive breast cancer NST. Method: An observational analytic study with a cross-sectional design on a mastectomy operation for invasive breast carcinoma NST cases at RSCM from January 2019 to June 2020. The study sample was divided into 2 groups, 24 cases of NST invasive breast carcinoma with lymph node metastases and 24 cases of invasive breast carcinoma NST without lymph node metastases. The research sample was taken by simple random sampling of cases that met the inclusion criteria and did not include the exclusion criteria. CD44 and MT1-MMP immunohistochemical staining were performed and the number of cells stained positively was calculated. Chi-Square and Kruskal Wallis statistical analysis was performed between the two groups. Results: There was a significant difference in the expression of CD44 in invasive breast carcinoma NST with and without lymph node metastases (p = 0.009). There was a significant difference in the expression of MT1-MMP in invasive carcinoma of No Special Type breast carcinoma with and without lymph node metastases (p = 0.032). And there is a relationship between CD44 and MT1-MMP overexpression in lymph node metastases (p = 0.000) Conclusion: There was a significant relationship between CD44 and MT1-MMP expression in invasive breast carcinoma NST and lymph node metastasis status.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>