Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Rahmawati
"Cacat tulang dapat terjadi dari berbagai macam penyebab seperti infeksi, tumor, trauma, pembedahan, etiologi bawaan/kongenital dan seterusnya. Bone graft digunakan untuk merawat kerusakan tulang tersebut. Di Indonesia bone graft berbasis Xenograft banyak digunakan, namun sayangnya kurang di resorbsi sehingga tulang yang terbentuk kurang optimal. Oleh karena itu perlu pengembangan kandidat material alternatif bone graft untuk bidang kedokteran gigi. Monetite diprediksi memiliki kemampuan mudah diresorbsi dan membentuk tulang dengan baik. Kelarutan berkaitan erat dengan kemampuan suatu material untuk diresorbsi. Tujuan penelitian ini adalah membuat granul monetite dengan menggunakan gipsum sebagai prekursor dengan metode hidrotermal, kemudian membandingkan kelarutan monetite hasil sintesis, dengan granul hidroksiapatit non-sinter (prototipe) dan granul xenograft hidroksiapatit komersial (Bio HA, BATAN). Perubahan fasa granul dianalisis menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD). Analisis kelarutan dilakukan dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) dengan menggunakan larutan buffer asetat dan larutan buffer tris sebagai larutan simulasi. Selanjutnya, pengamatan mikrostruktur dan komposisi elemen menggunakan metode SEM-EDX. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa gipsum sudah berubah menjadi monetite pada suhu 100°C,125°C,150°C selama 24 jam. Impuritas ditemukan pada hasil sintesis suhu 100°C, sehingga granul hasil sintesis suhu 125°C digunakkan untuk pengujian kelarutan. Granul monetite memiliki kelarutan pada buffer asetat sebesar 92,70 mg/L dan pada buffer tris sebesar 11,16 mg/L. Granul xenograft memiliki kelarutan pada buffer asetat 15,94 mg/L dan pada buffer tris sebesar 5,02 mg/L. Sedangkan untuk granul HA non sinter memiliki kelarutan pada buffer asetat 189,1 mg/L dan pada buffer tris sebesar 150,04 mg/L. Hasil uji kelarutan menunjukkan granul monetite dan HA non sinter memiliki potensi diresorbsi oleh osteoklas lebih baik dari xenograft. Namun granul HA non sinter juga memiliki kelarutan yang tinggi pada larutan buffer tris (13 kali kelarutan monetite) sehingga kemungkinan akan cepat terlarut oleh cairan tubuh ketika nanti diimplankan dibandingkan dengan granul monetite. Berdasarkan hasil karakterisasi XRD dan pengujian kelarutan, granul monetite dapat dibuat dengan metode hidrotermal dan memiliki potensi kemampuan diresorbsi dan pembentukan tulang paling baik bila dibandingkan dengan granul kontrol.

Bone defects can occur from various causes such as infection, tumor, trauma, surgery, congenital/congenital etiology and so on. Bone graft is used to treat the damaged bone. In Indonesia, Xenograft bone grafts are widely used, but unfortunately their low resorption hinder bone formation. Therefore, it is necessary to develop an alternative bone graft materials for dentistry. Monetite is predicted to have the ability to be easily resorbed and form a new bone. Solubility is closely related to bone graft degradability. The purpose of this study was to make monetite granules using gypsum as a precursor through hydrothermal method, then to compare the solubility of the synthesized monetite with non-sintered hydroxyapatite granules (prototype) and commercial hydroxyapatite xenograft granules (Bio HA, BATAN). The granules were characterized using X-ray diffraction (XRD) method. Solubility measurement was carried out using the Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) method in acetate buffer solution and tris buffer solution. Furthermore, the observation of the microstructure and elemental composition were done using the SEM-EDX method. The results of XRD analysis showed that the gypsum was into monetite at a temperature of 100°C, 125°C, 150°C for 24 hours. Impurities were found in the synthesis at 100°C, thus granules obtained at 125°C were used for further analysis. Monetite granules have a solubility of 92.70 mg/L in acetate buffer and 11.16 mg/L in tris buffer. Xenograft granules have a solubility of 15.94 mg/L in acetate buffer and 5.02 mg/L in tris buffer. As for the non-sintered HA granules, the solubility in acetate buffer is 189.1 mg/L and in tris buffer is 150.04 mg/L. The results of the solubility test showed that monetite granules and non-sintered HA had better potential for osteoclast resorption than xenografts. However, non-sintered HA granules also have high solubility in tris buffer solution (13 times the solubility of monetite) so they are likely to be quickly dissolved by body fluids when implanted later than monetite granules. Based on the results of XRD characterization and solubility testing, monetite granules can be prepared using the hydrothermal method and have the best potential for resorption and bone formation compared to control granules."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Christiane Budiman
"ABSTRAK
Kitosan merupakan polimer alam yang hanya larut pada suasana asam encer sehingga tidak dapat digunakan sebagai penyalut enterik. Salah satu turunan kitosan, N-(2-karboksibenzil)kitosan (KBKS), telah disintesis dengan tujuan memperoleh polimer yang larut dalam suasana basa namun tidak larut dalam suasana asam. Struktur kimia KBKS_ dikarakterisasi dengan spektroskopi
inframerah dan UV-Vis. Derajat substitusi KBKS ditentukan dengan titrimetri. Berdasarkan hasil kelarutannya, KBKS memiliki kelarutan yang berbeda dalam larutan berbagai pH. KBKS dapat larut dalam larutan pH 1,2 dan larutan pH =9,
sedangkan kitosan hanya dapat larut pada pH <3. KBKS kemudian diaplikasikan sebagai bahan penyalut sediaan enterik dengan menggunakan teofilin sebagai model obat. Uji pelepasan teofilin in vitro menunjukkan bahwa obat masih dapat lepas dalam suasana asam sehingga hasil modifikasi kimia yang telah dilakukan telah berhasil meningkatkan kelarutan kitosan, namun belum dapat dijadikan sebagai bahan penyalut sediaan enterik.
ABSTRACT
Chitosan is a natural polymer that soluble only in dilute acid. Therefore, it can not use as an enteric coating. A chitosan derivative, N-(2 carboxybenzyl)chitosan (CBCS), was synthesized to get an alkaline soluble polymer but insoluble in acidic solution. The chemical structure of CBCS was characterized by FTIR and UV spectroscopies. The degree of substitution was determined by titrimetry. In different pH solutions, solubility of CBCS was different. CBCS was soluble in solution at pH 1,2 and pH 29. On the other hand, chitosan was only soluble at pH<3. CBCS was used as enteric coating with theophylline as model drug. Release profile of theophylline was studied under both simulated gastric and intestinal pH conditions. Result indicated that CBCS was not suitable to be a potential enteric coating material although the solubility of chitosan was increase.
"
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ], 2010
S32726
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Rusliawati
"ABSTRAK
Deposit DCO di pipa transfer merupakan hasil serangkaian kejadian pembekuan produk DCO di pipa yang mempunyai temperatur di bawah pour point yaitu saat pelaksanaan transfer minyak berat DCO dari tangki menuju kapal dilakukan melalui pipa di bawah laut. Seringkali DCO membeku di dalam pipa, sehingga DCO tidak dapat dipompa. Untuk mengatasi kebuntuan pipa DCO tidak dapat dilakukan hanya dengan cara mekanis seperti pengadukan tetapi diperlukan solvent yang cukup kuat untuk melarutkan DCO tersebut.
Tujuan dari praktik kerja lapangan ini adalah untuk memilih solvent produksi Pertamina yang paling baik untuk melarutkan deposit DCO dalam pipa. Solvent yang diuji diantaranya Heavy Alkilate, Low Aromatic White Spirit (LAWS), Pertasol CA, Pertasol CB, Special Boiling Point x (SBPx), dan Heavy Aromate.
Metoda uji kelarutan DCO oleh masing-masing solvent ini adalah uji kelarutan secara visual, DCO dilarutkan dalam masing-masing solvent dan diamati ada atau tidaknya pemisahan DCO dengan solvent. Komposisi hidrokarbon dalam setiap solvent, dilakukan analisis dengan Gas Cromatograph Detail Hidrocarbon Analyzer (GC-DHA). Kandungan aromat dalam masing-masing solvent diuji dengan Titik Anilin.
Dari hasil uji didapatkan, bahwa solvent yang paling baik melarutkan DCO adalah Heavy Aromate. Titik Anilin Heavy Aromate sangat rendah yaitu <15oC. Setelah pendinginan selama ± 3 jam, belum terjadi pemisahan antara anilin dengan Heavy Aromate. Dari hasil uji dengan GC-DHA, Heavy Aromate mengandung hidrokarbon aromatik paling banyak yaitu 46.719 % massa, 50.017 % mol, dan 44.394 % volume. Untuk campuran solvent lain dan Heavy Aromate (50:50) dan (75:25), masih dapat melarutkan DCO."
2008
TA1701
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nirwana Sari
"Ibuprofen merupakan jenis obat pereda sakit yang memiliki kelarutan dalam air yang rendah sekitar 11 ug/mL. Akibat kelarutan yang rendah dalam air, ibuprofen memiliki bioavabilitas yang rendah pula. Dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis mikroemulsi minyak dalam air M/A untuk meningkatkan kelarutan dan bioavabilitas ibuprofen. Saponin dari ekstrak buah lerak digunakan sebagai surfaktan, palm oil sebagai minyak dan span 20 sebagai kosurfaktan. Mikroemulsi optimum didapat dengan perbandingan Sm 9:1 Sm:oil 7:1 dengan ukuran droplet sekitar 3,6 nm ndash; 15,7 nm, tipe mikroemulsi minyak dalam air M.A . Mikroemulsi stabil dalam waktu penyimpanan selama 7 hari dan dalam larutan pH 1,2 sedangkan pada larutan pH 7,4 tidak stabil. Kelarutan ibuprofen dalam bentuk sediaan mikroemulsi meningkat menjadi 1,8 mg/mL dalam air. Studi interaksi ibuprofen dengan mikroemulsi dapat dilihat dengan FTIR. Ukuran mikroemulsi yang telah terloading ibuprofen juga meningkat menjadi 45,07 nm. Ibuprofen yang tersolubilisasi ke dalam mikroemulsi berada pada bagian mikroemulsi yang bersifat hidrofob. Persen disolusi ibuprofen pada larutan pH 1,2 suasana lambung sebanyak 4 selama 2 jam sedangkan, pada larutan pH 7,4 suasana usus sebanyak 82,6 selama 12 jam.

Ibuprofen is a type of painkiller that has a low solubility in water about 11 g mL. Due to low solubility in water, ibuprofen has a low bioavability as well. In this research will be synthesized microemulsion oil in water O W to increase solubility and bioavability of ibuprofen. Saponins from lerak fruit extracts are used as surfactants, palm oil as oil and span 20 as cosurfactants. The optimum microemulsion was obtained by Sm 9 1 Sm oil 7 1 with droplet size about 3.6 nm 15.7 nm and the type of microemulsion is oil in water O W . Microemulsions are stable for 7 days and in pH 1,2 was stable and unstable in pH 7.4. The solubility of ibuprofen in microemulsion increased to 1.8 mg mL in water. The interaction studies of ibuprofen with microemulsions characterizated with FTIR. The size of the microemulsion loaded ibuprofen also increased to 45.07 nm. Ibuprofen solubilized in hydrophobic part of microemulsion. The percentage dissolution of ibuprofen in pH 1,2 is 4 for 2 hours, in pH 7.4 is 82.6 for 12 hours. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S69195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yofi Alifa
"

Kurkumin adalah metabolit sekunder hasil isolasi dari tanaman Curcuma longa Linn. Kurkumin memiliki manfaat sebagai antikanker, antiinflamasi, antioksidan, antiproliferatif, antibakteri, antivirus, pewarna alami, dan bumbu masakan. Namun, manfaat yang dimiliki oleh kurkumin, khususnya dalam bidang medis tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan yang dimilikinya. Kurkumin memiliki sifat fisikokimia yang buruk, yaitu kelarutan yang buruk dalam air, stabilitas yang buruk, dan bioavailabilitas yang rendah. Pembentukan kompleks inklusi suatu senyawa dengan siklodekstrin dan turunannya mampu memperbaiki sifat fisika dan kimia dari senyawa yang akan diinklusi tersebut. Berdasarkan literatur, pembentukan kompleks inklusi kurkumin dengan siklodekstrin dan turunannya mampu meningkatkan kelarutan, stabilitas, dan bioavailabilitas dari kurkumin. Skripsi ini merupakan artikel review berisi tentang kompleks inklusi kurkumin dengan siklodekstrin dan turunannya dalam berbagai metode pembuatan, serta karakterisasi kompleks yang pernah dilakukan oleh para peneliti.

 


Curcumin is a secondary metabolite isolated from the Curcuma longa Linn. Curcumin has properties as an anticancer, anti-inflammatory, antioxidant, antiproliferative, antibacterial, antiviral, natural coloring, and cooking spices. However, the properties possessed by curcumin cannot be utilized optimally because of its limitations. Curcumin has poor physicochemical properties, such as poor solubility in water, poor stability, and low bioavailability. The formation of this inclusion complex of a compound with cyclodextrin and its derivatives can improve the physical and chemical properties of the inclusion compound. Based on the literature, the structure of curcumin inclusion complexes with cyclodextrin and their derivatives can increase solubility, stability, and bioavailability of curcumin. This review article contains the complex of curcumin with cyclodextrins and their derivatives in various manufacturing methods, as well as complex characterizations that researchers have carried out.

 

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Riskafuri
"Gliklazid merupakan antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan pada pengobatan diabetes melitus tipe 2. Namun, gliklazid dengan kelarutan rendah dalam air memiliki laju disolusi yang rendah dan menyebabkan masalah pada bioavailabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan laju kelarutan dan disolusi gliklazid menggunakan metode mikronisasi. Proses mikronisasi dilakukan dengan menggunakan alat vibrating mill dengan variasi durasi milling. Mikrokristal yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan particlesize analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, dan X-ray powder diffraction, serta diuji profil kelarutannya dan laju disolusinya.
Hasil PSA dan SEM menunjukan terjadinya penurunan ukuran partikel. Struktur kristal tidak berubah berdasarkan hasil XRD dan terjadi penurunan suhu puncak endotermik dan entalpi peleburan berdasarkan hasil DSC. Hasil uji disolusi serbuk menunjukkan adanya peningkatan laju disolusi sebesar 2,50 kali dibandingkan serbuk gliklazid standar. Pada sediaan tablet terjadi peningkatan laju disolusi sebesar 1,13 kali dibandingkan tablet gliklazid standar.

Gliclazide is a second generation sulfonylurea which is useful in the treatment of type 2 diabetes mellitus. However, gliclazide with low solubility in water has low dissolution rates and hence suffer from oral bioavailability problems. This study is intended to enhance the solubility and dissolution rate of gliclazide by using micronization method. The micronization process carried out by using a vibrating mill with varying the milling duration. Microcrystals were characterized with particle size analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, and X-ray powder diffraction, and also solubility and dissolution test.
PSA and SEM results indicated that the particle size were decreased. Crystal structure did not change based on the results of XRD and the endothermic peak temperature and enthalpy of fusion were decreased based on the results of DSC. The rate of dissolution was increased about 2,50 times compared with standard. In tablet dosage form, the dissolution rate was increased about 1,13 times compared with standard.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S839
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jesslyn Marteen Clarissa
"Latar Belakang: Perbaikan defek tulang dapat dilakukan dengan penggunaan material bone graft. Secara klinis, material bone graft dipakai dalam berbagai variasi ukuran granul yang disesuaikan dengan pertimbangan untuk aplikasi spesifik dan tujuan penggunaan bone graft. Di sisi lain, informasi mengenai pengaruh ukuran granul bone graft belum diketahui dan belum ada penelitian mengenai efek perbedaan ukuran granul pada prototipe karbonat hidroksiapatit terhadap kelarutan in vitro dan sitotoksisitas. Tujuan: Mengevaluasi pengaruh ukuran granul terhadap kelarutan in vitro dan sitotoksisitas prototipe karbonat hidroksiapatit. Metode: Uji kelarutan in vitro dengan merendam prototipe karbonat hidroksiapatit dalam larutan asetat buffer dan Tris-HCl buffer selama 7 hari dalam suhu 37°C. Nilai kelarutan in vitro diuji dengan alat Horiba Ion Selective Electrode. Uji sitotoksisitas dengan MTT Assay pengaruh medium ekstrak terhadap sel preosteoblas MC3T3-E1 selama 1 hari. Nilai absorbansi dibaca dengan ELISA Microplate Reader. Analisis data dengan uji statistik One-Way ANOVA. Hasil: Konsentrasi ion kalsium terlarut dalam larutan asetat buffer pada kelompok ukuran granul 250-500 µm yaitu 45,79 ± 3,11 mg/L, 500-1000 µm yaitu 37,41 ± 4,28 mg/L, dan 1000-2000 µm yaitu 35,85 ± 1,28 mg/L. Konsentrasi ion kalsium terlarut dalam larutan Tris-HCl buffer pada kelompok ukuran granul 250-500 µm yaitu 3,88 ± 0,36 mg/L, 500-1000 µm yaitu 2,94 ± 0,19 mg/L, dan 1000-2000 µm yaitu 2,02 ± 0,58 mg/L. Uji statistik menunjukkan perbedaan konsentrasi ion kalsium terlarut yang signifikan antara granul ukuran 250-500 µm dan 1000-2000 µm pada kedua larutan buffer. Persen viabilitas sel menunjukkan hasil diatas 70% pada semua kelompok ukuran granul dan konsentrasi ekstrak. Uji statistik menunjukkan perbedaan nilai absorbansi dan persen viabilitas sel pada konsentrasi ekstrak 50 mg/mL prototipe karbonat hidroksiapatit ukuran 250-500 µm terhadap 1000-2000 µm, 100 mg/mL prototipe karbonat hidroksiapatit ukuran 250-500 µm terhadap 500-1000 µm, dan konsentrasi ekstrak 200 mg/mL prototipe karbonat hidroksiapatit ukuran 250-500 µm terhadap 1000-2000 µm dan 500-1000 µm terhadap 1000-2000 µm. Kesimpulan: Semakin besar ukuran granul prototipe karbonat hidroksiapatit yang direndam dalam larutan asetat buffer dan Tris-HCl buffer, hasil uji kelarutan in vitro menunjukkan.rata-rata konsentrasi ion kalsium terlarut yang semakin kecil. Uji sitotoksisitas prototipe karbonat hidroksiapatit menunjukkan hasil nontoksik dengan viabilitas sel ukuran granul 1000-2000 µm>500-1000 µm>250-500 µm.

Background: Repair of bone defects can be done using bone graft material. Clinically, bone graft material is used in a variety of granule sizes that are adjusted to consider the specific application and intended use of the bone graft. On the other hand, information regarding the influence of bone graft granule size is not yet known and there has been no research regarding the effect of differences in granule size in hydroxyapatite carbonate prototypes on in vitro solubility and cytotoxicity. Objective: To evaluate the effect of granule size on the in vitro solubility and cytotoxicity of the carbonate hydroxyapatite prototype. Methods: The in vitro solubility test was conducted by immersing the carbonate hydroxyapatite prototype in a solution of acetate buffer and Tris-HCl buffer for 7 days at a temperature of 37°C. The in vitro solubility value was tested using the Horiba Ion Selective Electrode. The cell cytotoxicity test was carried out using MTT assay for the effect of medium extracts on MC3T3-E1 preosteoblast cells. Absorption values were read with an ELISA Microplate Reader. Data analysis using the One-Way ANOVA statistical test. Results: The concentration of dissolved calcium ions in the acetate buffer solution in the granule size group 250-500 µm was 45.79 ± 3.11 mg/L, 500-1000 µm was 37.41 ± 4.28 mg/L, and 1000-2000 µm was 35, 85 ± 1.28mg/L. The concentration of dissolved calcium ions in the Tris-HCl buffer solution in the granule size group 250-500 µm was 3.88 ± 0,36 mg/L, 500-1000 µm was 2.94 ± 0.19 mg/L, and 1000-2000 µm was 2, 02 ± 0.58mg/L. Statistical tests showed significant differences in dissolved calcium ion concentrations between granules measuring 250-500 µm and 1000-2000 µm in both buffer solutions. The percentage of cell viability showed results above 70% in all granule size groups and extract concentrations. Statistical tests show differences in absorption values and percent cell viability at extract concentrations of 50 mg/mL of carbonate hydroxyapatite prototype with a size of 250-500 µm versus 1000-2000 µm, 100 mg/mL hydroxyapatite carbonate prototype with a size of 250-500 µm versus 500-1000 µm, and extract concentration 200 mg/mL carbonate hydroxyapatite prototype size 250-500 µm against 1000-2000 µm and 500-1000 µm against 1000-2000 µm. Conclusion: The larger the size of the carbonate hydroxyapatite prototype granules soaked in acetate buffer and Tris-HCl buffer, the results of the in vitro solubility test show a smaller average concentration of dissolved calcium ions. The cytotoxicity test of the carbonate hydroxyapatite prototype showed nontoxic results with cell viability of granule size 1000-2000 µm > 500-1000 µm > 250-500 µm."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noel Arsenius
"Kuersetin merupakan flavonoid yang ditemukan pada banyak buah dan sayuran seperti apel, sayuran hijau, tomat, dan buah beri. Senyawa ini memiliki efek farmakologis yang luas, seperti mencegah penyakit kardiovaskuler, antioksidan, antitumor, dan lain-lain. Namun, aplikasi farmakologis kuersetin sangat dibatasi oleh hidrofobisitas yang sangat tinggi dan bioavailabilitas yang rendah. Potensi terapeutik kuersetin dapat direalisasikan dengan meningkatkan kelarutannya melalui pembentukan kompleks inklusi dengan siklodekstrin. Siklodekstrin merupakan senyawa oligosakarida siklik yang memiliki susunan melingkar yang dengan rongga hidrofobik dan bagian luar yang bersifat hidrofilik. Kompleksasi kuersetin dengan siklodekstrin dapat meningkatkan kelarutan kuersetin dalam air, meningkatkan ketersediaan hayati kuersetin serta menutupi rasa pahitnya. Tujuan dari review artikel ini adalah untuk membandingkan metode kompleksasi serta penggunaan jenis siklodekstrin karena kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi hasil akhir dari kompleks inklusi. Metode kompleksasi terbaik yaitu freeze-dry dengan penggunaan derivat β-siklodekstrin seperti hidroksipropil β-siklodekstrin atau sulfobutil eter β-siklodekstrin. Hasil menunjukkan bahwa kompleksasi kuersetin dengan siklodekstrin dapat meningkatkan kelarutan kuersetin dalam air.

Quercetin is a flavonoid found in many fruits and vegetables such as apples, leafy vegetables, tomatoes, and berries. This compound has extensive pharmacological effects, such as antioxidants, antitumor, and others. Unfortunately, the pharmacological application of quercetin is very limited due to extreme hydrophobicity and low bioavailability. The therapeutic potential of quercetin can be obtained by increasing its solubility through the formation of an inclusion complex with cyclodextrin. Cyclodextrin is a cyclic oligosaccharide compound which has a circular arrangement with a hydrophobic cavity and a hydrophilic exterior. Complexation of quercetin with cyclodextrin is expected to increase the solubility of quercetin in water, increase the biological availability of quercetin and improve its bitter taste. From the latest research results, the best complexation method was freeze drying with cyclodextrin derivatives such as hydroxypropyl β-cyclodextrin or sulfobutyl ether β-cyclodextrin. The results showed that the complexation of quercetin with cyclodextrins increases its solubility in water."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refi Syahreza Wisamputra
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Salah satu obat yang digunakan untuk pengobatan TB adalah rifampisin. Namun, rifampisin memiliki masalah terkait kelarutannya yang rendah dalam air. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan rifampisin dalam air dengan memformulasikannya menjadi nanosuspensi. Selanjutnya nanosuspensi rifampisin dikeringan dengan metode semprot kering untuk membentuk nanokomposit dengan tujuan meningkatkan stabilitasnya. Nanosuspensi dibuat menggunakan metode presipitasi pelarut-antipelarut dengan bantuan ultrasonik menggunakan probe sonicator. Pelarut yang digunakan adalah metanol sedangkan antipelarut yang digunakan adalah aquademineralisata. Penstabil yang digunakan adalah polivinil alkohol (PVA), poloxamer 188 atau kombinasi PVA dan poloxamer 188. Proses pengeringan dilakukan dengan metode semprot kering dengan penambahan manitol sebagai eksipien pembentuk matriks. Formulasi menggunakan PVA 0,4% memiliki ukuran partikel terendah, yaitu 306±14,01 nm (sebelum pengeringan) dan 326±102,73 nm (setelah pengeringan). Kombinasi PVA dan poloxamer 188 tidak menghasilkan ukuran partikel nanosuspensi yang lebih kecil dibandingkan formula yang hanya menggunakan salah satu penstabil. Namun, ukuran partikel setelah pengeringan tetap terjaga dibandingkan formula yang hanya menggunakan poloxamer 188. Kelarutan jenuh nanokomposit meningkat 21,48 kali dibandingkan dengan bentuk obat murni. Nanokomposit mampu melepaskan 79,15±1,87% obat saat disolusi di dalam HCl 0,1N selama 45 menit. Selain itu, stabilitas nanokomposit lebih baik dibandingkan nanosuspensi setelah disimpan pada suhu 4°C dan 25°C selama 30 hari.

Tuberculosis (TB)is one of the leading causes of death globally. One of the drugs used for the treatment of TB is rifampicin. However, rifampicin has problem regarding its low solubility in water. This research aims to increase rifampicin solubility in water by formulating it into a nanosuspension. The nanosuspension was dried using spray drying method to form a nanocomposite with the intention of increasing its storage stability. Nanosuspension was prepared using solvent-antisolvent precipitation assisted with sonication. Methanol was used as solvent while demineralized water was used as antisolvent. Polyvinyl alcohol (PVA), poloxamer 188 or combination of PVA and poloxamer 188 were used as stabilizer. The drying process is done using the spray drying method with addition of mannitol as a matrix forming excipient. Formulation using PVA 0.4% has the lowest particle size, which is 306±14.01 nm (before drying) and 326±102.73 nm (after drying). Combination of PVA and poloxamer 188 did not produce lower sizes compared to the formulation using only one of the stabilizers. However, the particle size remained unchanged compared to the formula which used only poloxamer 188. The saturated solubility of the nanocomposite increases 21.48 times compared to the pure drug form. The nanocomposite released 79.15±1.87% of the drug after dissolution in HCl 0.1N for 45 minutes. The stability of nanocomposite is also higher than that of the nanosuspension after 30 days of storage in cold (4°C) and room (25°C) temperature."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fionna Christie Emmanuela
"Rifampisin memiliki ke1arutan yang rendah dalam medium cairan paru-paru, sehingga efikasi" "obat tidak optimal. Pada penelitian sebe1utnnya, penambahan eksipien peningkat ke1arutan seperti manitol terbukti dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi rifampisin dari sediaan serbuk inhalasi. Namun, ukuran partikel serbuk inhalasi rifampisin-manitol tersebut belum memenuhi persyaratan untuk terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-manitol yang memiliki sifat aerdonamis yang baik dengan adanya penambahan 30% 1-leusin, 1,5% amonium bikarbonat, atau kombinasi keduanya, dengan tetap mempertahankan kelarutan dan pe1epasan obat yang baik da1am medium cairan paru-paru. Formulasi serbuk inhalasi rifampisin-manitol dibuat dengan metode semprot kering, kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta ke1arutan dan profil disolusinya da1am medium simulasi paru­ paru. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan kombinasi 30% l-1eusin dan 1,5% amonium bikarbonat pada serbuk inhalasi rifampisin-manito1 (F4) menghasilkan serbuk inhalasi dengan sifat aerodinamis yang paling baik, dengan kelarutan dan disolusi yang dapat dipertahankan dengan baik. Pengukuran menggunakan Anderson Cascade Impactor (ACI) menunjukkan diameter aerodinamis padarentang 0,57 ± 1,2Jlm hingga 11,59 ± 1,29Jlm dengan rata-rata diameter sebesar 7,76J1m, persentase serbuk teranalisis (Emitted Fraction I EF) sebesar 34,96%, dan % Fine Particle Fraction (FPF) sebesar 41,22°/o. Pengujian kelarutan memberikan hasi1 sebesar 1,51 ± 0,02 mg/mL dan persentase obat terdisolusi sebesar 20,22%" "± 1,78% yang menunjukkan penurunan berturut-turut sebanyak 0,82 dan 0,66 kali lipat" "dibandingkan formulasi rifampisin-manitol. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpu1kan bahwa formu1asi rifampisin-manitol dengan kombinasi 30% 1-leusin dan 1,5% amonium.

Poor solubility of rifampicin in the lung fluid could fail to exert an optimal therapeutic effect." "In the previous study, the addition of mannitol can be used to enhance the solubility and dissolution rate of rifampicin dry powder inhaler. However, the particle size of the previous rifampicin-mannitol dry powder does not meet the criteria to be deposited in the deep lung yet. This study aimed to produce rifampicin-mannitol dry powder inhaler with good aerodynamic properties by adding 30% of 1-leucine, 1,5% of ammonium bicarbonate, or both while maintaining a good solubility and dissolution rate of the drug in simulated lung fluid. All formulations were produced by spray drying, then characterized by their yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size distribution, as well as solubility and dissolution rate in simulated lung fluid. This study indicated that rifampicin-mannitol formulation with 30% addition of 1-leucine and 1,5% of ammonium bicarbonate (F4) showed the best aerodynamic properties, with good solubility and dissolution rate. Measurement using Anderson Cascade Impactor (ACI) showed aerodynamic diameter at the range from 0.57 ±" "1.26J..Lm to 11.59 ± 1.29p.m, with mean diameter of 7.76p.m, 34.96% Emitted Fraction (EF), and % Fine Particle Fraction (FPF) of 41.22%. Compared to rifampicin-mannitol formulation, the solubility and dissolution rate of F4 are decreased by 0,82 and 0,66 times to 1,51 ± 0,02 mg/mL and 20.22% ± 1.78% respectively. As a conclusion, rifampicin-mannitol dry powder inhaler with 30% addition of 1-leucine and 1.5% of ammonium bicarbonate perform the best aerodynamic properties."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>