Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Gumilar
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai implementasi asas kekhususan sistematis dalam hal terjadi benturan penyidikan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana perpajakan. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana hubungan antara Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tolok ukur penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana perpajakan, dan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dalam kasus Mobile-8. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan kasus. Data-data yang diperoleh diolah secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bersifat khusus dalam hal terjadi tindak pidana korupsi, sedangkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat khusus dalam hal terjadi tindak pidana perpajakan. Selain itu, ada beberapa tolok ukur yang dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk menentukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perpajakan, yakni subjek hukum, sifat perbuatan, alat bukti yang diperoleh, lingkungan dan area delicti berada, Ada tidaknya unsur ldquo;kerugian keuangan negara atau perekonomian negara rdquo; sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi, dan ada tidaknya penundukan terhadap Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, dalam kasus Mobile-8, oleh karena merupakan tindak pidana perpajakan, maka kewenangan penyidikan ada pada Penyidik PPNS Dirjen Pajak, bukan pada Kejaksaan.
ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of the principle of systematic specificity Lex Systematiche Specialiteit in the event of a clash of investigations between the criminal act of corruption and the criminal act of taxation. The scope of this Thesis is how the relationship between the Corruption Act and the Law of General Provisions and Procedures of Taxation, the benchmark of corruption criminal investigation and the criminal act of taxation, and the authority of the investigation of corruption in the field of taxation in Mobile 8 case. The research method used is normative juridical, using legislation approach, analytical approach, and case approach. The data obtained are processed qualitatively and described systematically. The result of the research concludes that the Corruption Act is special in the case of corruption, whereas the Law on General Provisions and Tax Procedures is special in the case of tax crime. In addition, there are several benchmarks that can be used as a basis for investigators to determine the criminal acts of corruption or criminal acts of taxation, namely the subject of law, the nature of deeds criminal acts , evidence obtained, the environment and delicti areas are located, whether or not there is an elements of state financial loss or national economic loss as element of the criminal act of corruption, and whether or not there is any submission to Article 14 of the Corruption Act. In addition, in Mobile 8 case, since it is a criminal act of taxation, the authority of investigation is on the PPNS Investigator of the Director General of Taxes, not the Attorney General 39 s Office."
2017
T47911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelwin Airel Anwar
"Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah.

Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Ratih Rimayanti
"Penelitian eksperimental untuk menguji kekhususan mangsa siput Phyllidia elegans telah dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Sampel dikarantina secara in-situ dengan spons Axinyssa spp. selama 28 hari. Analisis pemangsaan dilakukan dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dengan membandingkan titik yang muncul pada ekstrak bebas garam siput P. elegans dan spons Axinyssa spp.
Hasil analisis KLT menunjukkan bahwa siput P. elegans tidak memangsa spons Axinyssa spp. dalam kondisi kekurangan pangan. Hasil KLT juga menunjukkan bahwa siput P. elegans secara konsisten mengandung amfilekten isosianida yang didapatkan dari spons mangsanya di alam, Dragmacidon sp.

Field experiment was conducted in order to examine prey specificity of nudibranch Phyllidia elegans in Pramuka Island waters, Seribu Islands, DKI Jakarta. Samples were quarantined by in-situ method with sponges Axinyssa spp. for 28 days. Feeding analysis was done using thin layer chromatography technique by comparing spots between salt-free extract of P. elegans and Axinyssa spp.
TLC analysis showed that P. elegans did not feed on Axinyssa spp. under lack-of-food condition. Results of TLC also showed that P. elegans consistently containing amphilectene isocyanide which sequestered from its natural sponge prey, Dragmacidon sp.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1322
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library