Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Preciosa Alnashava J.
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang bagaimana representasi kekerasan simbolik dalam hubungan romantis pada serial situasi komedi How I Met Your Mother serta bermaksud membongkar ideologi patriarki di balik representasi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis semiotika Roland Barthes dan teknik pengumpulan data melalui analisis teks, serta studi literatur. Konsep kekerasan simbolik yang digunakan dalam penelitian ini beranggapan bahwa hubungan romantis heteroseksual merupakan bentuk kekerasan simbolik pada perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serial komedi situasi How I Met Your Mother menampilkan kekerasan simbolik dengan mereproduksi mitos perempuan dalam hubungan romantis sebagai : objek seks, makhluk yang emosional, dan pihak yang harus lebih rela berkorban. Mitos ini lah yang mengkonstruksikan ideologi patriarki di balik komedi situasi How I Met Your Mother.
This research tries to explain about how the representation of symbolic violence in romantic relationships in a sitcom, How I Met Your Mother, and to expose the pathriarchal ideology behind the representation. This is a qualitative research with semiotic by Roland Barthes as the method to analyze the text and text analysis technique along with literature study to collect the data. The concept of symbolic violence, that is used in this research, assumes that a heterosexual romantic relationship is a form of symbolic violence to women. The result of this research indicates that How I Met Your Mother displays symbolic violences by reproducing myths towards women as: sex symbols, emotional beings and the ones who have to be more self-sacrificing than men. These myths construct the patriarchal ideology behind How I Met Your Mother.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30603
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Meutia Harum
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas novel seorang pengarang Indonesia, yaitu Clara Ng yang berjudul Tea for Two (2010). Novel Tea for Two menampilkan tema kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi isu dalam novel. Untuk itu, penelitian ini akan berfokus pada proses internalisasi ideologi gender pada tokoh utama dalam novel yaitu Sassy, dengan menggunakan pendekatan Habitus dan Gender. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa latar belakang budaya patriarkis membentuk pola pikir tokoh perempuan sehingga menginternalisasi secara ideologis yang menyebabkan tokoh utama perempuan dalam novel ini mengalami kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik dalam rumah tangganya. Dengan demikian, relasi yang terbentuk adalah relasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan serta menampilkan laki-laki sebagai pihak yang dominan.
ABSTRACT
This research discusses a novel by Clara Ng, a female author from Indonesia, titled Tea for Two (2010). The Novel expressed domestic violence in household which is increasingly prevalent and became an issue in Indonesian society. Therefore, this study focused on the process of internalization of gender ideology on female characters in the novel with Habitus and Gender approach. This research found that the cultural background of patriarchal formed mindset of women and ideologically internalized so the female characters in this novel experienced a symbolic and physical violence in the household. Thus, a relation that is formed is an inequality between men and women and show men as the dominant party.
2012
T30621
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo Widiatmojo
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian kualitatif ini memaparkan pemikiran Pierre Bourdieu dan Theo van Leuween dalam membongkar kekerasan simbolik terhadap perempuan melalui medium fotografi di facebook. Pemaknaan foto melalui semiotika sosial Theo van Leuween merupakan hasil objektif-subjektif peneliti yang dikonfirmasi oleh informan, dilanjutkan dengan analisis mendalam dari pemikiran Pierre Boudieu tentang Habitus, doxa, modal, dan arena sebagai struktur pembentukan kekerasan simbolik. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang dilihat dari semiotika sosial adalah fokus utama foto ada pada bagian payudara, penggunaan atribusi fotografi (kamera, lensa, tripod, tas kamera, warna kaos) untuk mendominasi perempuan, kata-kata vulgar dalam group facebook KFI, serta jenis pakaian yang dikenakan perempuan saat pemotretan. Hasil temuan dari penelitian ini adalah terbentuknya habitus fotografi portrait sebagai medium untuk mendominasi perempuan serta group facebook KFI sebagai arenanya yang dibangun atas dasar budaya patriarki, dimana dalam KFI tidak terdapat fungsi sensor dalam pembatasan pornografi. Kekerasan simbolik juga terpelihara karena adanya hubungan transaksional, fungsi rekreasi, nilai ekonomi serta upaya pendakian status anggota KFI dengan cara mengunggah foto perempuan seksi di group facebook KFI. Struktur habitus ini dibentuk dari berbagai aspek, yaitu modal ekonomi, modal simbolik (edukasi), sejarah fotografi, hunting model, industri kamera serta facebook
ABSTRACT
This qualitative research examined to investigate symbolic violence against women on Indonesian Photography Community online (KFI) on facebook through portrait photography. The meaning of image (portrait of women) were profoundly and critically analyzed by, both subjectivity and objectivity, expending Habitus, doxa, modal and field theory by Pierre Bourdieu, utilizing van Leuween‟s social semiotic and confirmed by spokesperson. The form of symbolic violence against women done within various areas. Breast is the main focus of the images, photography attribution (camera, telephoto lens, tripod, camera bag, shirt) use as a symbols of domination, dirty comment on facebook, and obviously the fashion were threaded as symbolic violence. The main result of this research argue that photography is the core medium to dominate women and facebook group KFI as the central field without pornography censorship as constructed by culture of patriarchy. Symbolic violence were continued in KFI as transactional relationship, refreshing, economic value, and social climb, by upload various photograph of sexy women. This structure of Habitus shape by economic modal, symbolic modal, education, history of photography in Indonesia, hunting model, camera industry and facebook.
2016
T45739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chazizah Gusnita
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang bagaimana karakteristik berita-berita di media massa terutama media online dalam memberitakan kasus pemerkosaan. Bahasa yang digunakan media cenderung mengutamakan nilai berita. Sehingga penggunaan bahasa dalam menampilkan berita pemerkosaan mengandung kekerasan simbolik. Habitus media massa ini terus dilakukan tanpa disadari oleh korban pemerkosaan, pembaca berita itu, mau pun media sebagai pelaku. Teori yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu yakni kekerasan simbolik dan habitus. Selain itu menggunakan Viktimologi sebagai kajian kriminologisnya. Metode yang digunakan adalah analisis wacana kritis. ......This thesis discusses how the characteristics of the news media, especially online media in reporting cases of rape. The language used tends to give priority to the value of the news media. So the use of language in presenting news symbolic violent rape. Habitus media is being conducted by the unwitting victims of rape, the news reader, and even the media as the perpetrators. The theory used in the study using the theory of Pierre Bourdieu's habitus and symbolic violence. The method used is critical discourse analysis
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Eka Qamara Yulianthy Dewi Hakim
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini menganalisis bagaimana proses pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan yang mengalami mekanisme kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik digunakan sebagai upaya menanamkan pemahaman atau kepentingan-kepentingan tertentu dengan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Studi ini bertujuan untuk menganalisis proses interaksi dalam kerangka pemberdayaan, mekanisme kekerasan simbolik yang berlangsung dan perjuangan simbolik para aktor yang terlibat dalam proses pemberdayaan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode-metode: observasi partisipasi, wawancara mendalam, FGD, dokumentasi dan data sekunder. Penelitian dilakukan selama ± 2 tahun dengan pemilihan lokasi secara bertahap pada LSM Asih di Cengkareng, LSM Asah di Kutai Kartanegara dan LSM Asuh di Cibinong. Temuan dalam studi ini adalah munculnya ?kelompok tanggung? sebagai hasil ?lain? dari proses pemberdayaan yang telah dilaksanakan oleh LSM Asih, LSM Asah dan LSM Asuh. Suatu kelompok ?baru? dari warga binaan yang telah berhasil menikmati pemberdayaan namun belum berdaya sepenuhnya, masih tergantung pada pemberdaya dan memiliki peran penting sebagai ?jembatan? antara pemberdaya dan warga yang akan dibina. Posisi menjadi serba tanggung karena tanggung untuk bisa maju dan tanggung untuk dikatakan telah maju. Ketiga kelompok tanggung tersebut memiliki persamaan dan perbedaan baik secara individu, relasi sosial, waktu dan lingkungan yang membentuknya. Kesimpulannya adalah dialektika negara, LSM dan masyarakat, dialektika kepentingan pemberdaya dan peningkatan capital warga binaan, dan dialektika global dan lokal bukanlah diamati sebagai siapa atau mana yang lebih berkuasa atau dominan. Dialektika-dialektika tersebut justru menciptakan suatu (re)produksi sosial atau budaya yang terus berproses. Walaupun di dalamnya ada upaya penghimpunan habitus kolektif atau dominasi atau kepentingan melalui mekanisme kekerasan simbolik, namun tetap ada upaya-upaya perjuangan simbolik para aktor di dalamnya. Terlepas dari menjadi kelompok dominan atau kelompok terdominasi, perjuangan simbolik menjadi kekuatan bertahannya dialektika tersebut.
ABSTRACT
This dissertation analyzes how the empowerment process in urban poor community who experienced symbolic violence. Symbolic violence is used as an approach to instill an understanding or any particular interests in the name of social welfare improvement. The study aims to analyze an interaction process within empowerment framework, process of symbolic violence mechanism, and symbolic struggle of actors who involved in empowerment process. The study uses a qualitative approach with participant observation, in-depth interviews, focus group discussion (FGD), documentation and secondary data. The study was conducted for about two years in gradually selected three NGO?s are The Asih NGO in Cengkareng, The Asah NGO in Kutai Kartanegara, and The Asuh NGO in Cibinong. The key finding from this study is the emerging of ?Tanggung Group? as the ?other? output of empowerment process that has been conducted by The Asih, Asah and Asuh NGO. This is a ?new? group in the empowered communities that has gained several benefits but not fully empowered yet, they still depend to the empowerment institution and hold an important role as a ?bridge? group between the empowerment institution and community. Their position became halfempowered, because they either could not fully step forward or to be called as totally being empowered. Those three ?tanggung groups? have both similarties and differences in term of in individual, social relation, time and environment condition that build them. The main conclusions drawn from this research were that the state, NGOs, and society dialectic, dialectic of empowerment institution interest and improvement of empowered community capital, global and local dialectic are not been viewed as who or which one is more powerful or dominant. Those dialectics have created a social or cultural (re)production that continues processing. Although is has a collective habitus collection or domination or particular interest through symbolic violence mechanism, however there is still symbolic struggle among the actors. Apart from being a dominant group or being dominated group, symbolic struggle become the strength of the existing dialectic.
Depok: 2011
D1198
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Puspitasari
Abstrak :
Kepelbagaian atau pluralitas di Indonesia memiliki sejarah panjang yang diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan, kepelbagaian telah menjadi penyebab dari adanya konflik yang berbasis pada perbedaan etnis dan agama Bahasa yang menurut Sukarno dan Bourdieu dapat menjadi penyebab meningkatnya tegangan dalan pemaknaan dikarenakan oleh hakekat teks sebagai person yang selalu mengandung kepentingan. Pemilihan bahasa yang merepresentasi kepentingan dan ideology merupakan sumber dari pertarungan untuk memenangkan dominasi terhadap yang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti telah menganalisis wacana pluralisme pada sejumlah akun twitter. Peneliti berupaya menganalisis praktik kekerasan simbolikyang muncul karena dikonstruksioleh pengguna akun twitter tersebut. Peneliti menggunakan teori habitus, kapital, arena and kekerasan simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan ditunjang oleh konsep kekuasaan menurut Michel Foucault. Peneliti menggunakan paradigma kritis, metode pengumpulan data berbasis observasi dan wawancara. Sementara metode analisis menggunakan kerangka semiotika Roland Barthes. Setelah mengamati beberapa akun twitter yang merepresentasikan dua pandangan yang berbeda: mendukung dan menentang pluralisme, peneliti menemukan adanya sejumlah mitos yang berlangsung dalam arena. Mitos mengenai klaim kebenaran tunggal yang absolut menjadi kerangka yang melegitimasi penerimaan terhadap kekerasan. Dan hal itu terjadi berkat adanya habitus yang terbentuk dalam masyarakat melalui rentang waktu yang panjang dan diwacanakan oleh institusi-institusi sosial seperti institusi pendidikan, agama da media massa, bahkan institusi pemerintahan. Setiap pihak yang terlibat dalam twitter mereproduksi wacana yang berbeda dan masing-masing berusaha membangun habitus, bagi pendukung berusaha membangun habitus baru, bagi penentang berusaha mengukuhkan habitus lama untuk mendukung status quo. Sekalipun demikian penelitian menunjukkan bahwa twitter memiliki potensi untuk menjadi media alternatif yang membentuk habitus yang nirkekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa wacana yang direproduksi oleh penentang pluralisme adalah tentang kekuatan uang di balik wacana pluralisme untuk melegitimasi resistensi mereka terhadap pluralisme dan penerimaan terhadap kekerasan. ...... Diversity in Indonesia has such a long history which has been filled by conflict and violence. In fact, before its independence, diversity became cause of conflicts of multi religions and ethnics. Language; as Sukarno and Bourdieu mentioned, became a cause of rising tension in perceiving meaning. This happened because every text is a message as said by Roland Barthes. It means, every text shown in every arena including twitter has the meaning indeed. Language selection can also represent certain interests and ideology, and that?s what defines discourse. Language derived from the idea of domination. By then, discourse can be changeable according to the purpose of the parties/individuals who are trying to fight their dominant ideas. Based on the understanding of that, researcher has tried to analyze the discourse of pluralism in several twitter accounts. Researcher has tried to analyze how symbolic violence constructed to the actor of twitter arena as shown in their account. By that, researcher has used the theory of habitus, capital, arena and symbolic violence by Pierre Bourdieu and supported by Michel Foucault?s power. The method analysis utilized in this research is Roland Barthes? semiotic. Researcher has used critical paradigm. The data collection methods were using observation and interview. By observed several accounts on twitter that represented different perspectives on pluralism, pro and anti-pluralism, researcher has tried to reveal the myth that happened on the twitter arena. By then, researcher find symbolic violence appear through the habitus that constructed to the individu from a long period and going through the social institutions such as education, religion, media institution. Every parties in twitter has reproduced the different discourse that build new habitus or established the old habitus to support the ideology of status quo. The result of this research shown that the discourse of pluralism that produced by the antipluralism draws an effort of dominant party to legitimate violence as a way to solve the problem of differences. Then they produced and reproduced the discourse pluralism by appointing Jaringan Islam Liberal (JIL) as the enemy of Islam and suspect that America behind this (the pluralism) who also funded and facilitated the idea of pluralism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1311
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Nur Fadhila
Abstrak :
Representasi media tentang disabilitas kerap kali dihadapkan dalam masalah misrepresentasi dan penggunaan bingkai yang merendahkan jika bukan mengenai masalah kurangnya representasi. Paralimpiade sebagai salah satu ajang terbesar dalam olahraga berpotensi membawa visibilitas mengenai disabilitas serta menjadi daya tarik besar bagi industri media. Namun, diskursus mengenai disabilitas telah lama berada dalam norma ableist. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh mengenai ableism yang muncul dalam representasi Paralimpian atau atlet dengan disabilitas pada film dokumenter Rising Phoenix mengenai Paralimpian dan pengalamannya pada Paralimpiade. Temuan data yang didapat dari metode analisis diskursus kritis (CDA) dari Norman Fairclough menunjukkan bahwa representasi Paralimpian dalam film tersebut menunjukkan adanya mekanisme supercrip yang dibangun di sekitar Paralimpian. Hal ini ditemukan dalam penggunaan bahasan superlatif dan narasi pahlawan super. Menggunakan teori medan Bourdieu sebagai landasan teoretis, praktik representasi ini dapat dilihat sebagai ableism dan beroperasi serupa dengan apa yang disebut Bourdieu sebagai “medan”. Oleh karena itu, ableism memiliki kuasa untuk mengkonstitusi diskursus seputar disabilitas sekaligus mengkonstruksi dominasinya melalui kekerasan simbolik. Jenis kekerasan ini dilakukan dan dipertahankan oleh industri budaya karena merupakan sarana untuk menghasilkan keuntungan. Lebih dari itu, proses diskursif ini dapat dilihat sebagai hubungan yang merugikan dalam kriminologi konstitutif dan begitu pula konstruksi yang membangunnya. ......Media representation of disability often time is met with the problem of misrepresentation and degrading portrayals if not always about underrepresentation. Paralympics as one of the biggest events in sports has the potential to attract the visibility on disability issues as well as a big attraction for the media industry. However, the discourse of disability has long been about othering disability underlying an ableist norm. To further examine this problem, this thesis aims to analyze how ableism appears in the way the Paralympians is represented in Rising Phoenix, a documentary film about Paralympians and their experience with Paralympics. The finding gained from Fairclough’s Critical Discourse Analysis (CDA) method shows that Paralympian is represented through a supercrip mechanism in Rising Phoenix. This is evident in the usage of superlative language and superhero narrative. Using Bourdieu’s field theory as the theoretical foundation, this practice of representation can be seen as ableism and operates correspondingly with what Bourdieu called a “field”. Therefore, ableism has the power to constitute the discourse around disability as well as construct its domination through symbolic violence. This type of violence is being performed and sustained by the cultural industry as a means of generating profit. Moreover, this discursive process can be considered as harmful relation in constitutive criminology and so is the construction that builds it.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Abdillah Fani
Abstrak :
ABSTRAK
Karya akhir ini disusun untuk membahas dan mengidentifikasi karakteristik kekerasan terhadap jurnalisme pada masa orde baru dan reformasi. Fenomena kekerasan terhadap jurnalisme dijelaskan dengan menggunakan teori realitas sosial kejahatan, teori proses kriminalisasi, kejahatan politik, dan kekerasan simbolik. Hasil dari penulisan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik, bentuk, dan pelaku kekerasan pada masa orde baru dan reformasi. Karya akhir ini juga membahas mengenai pentingnya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers dalam demokrasi.
ABSTRACT
This thesis is arranged to discuss and identify the characteristics of violence against journalism in the new order and reform. The phenomenon of violence against journalism explained by using theory of social reality of crime, criminalization process theory, political crimes, and symbolic violence. The results shows that there are differences in the characteristics, forms, and the perpetrators of violence in the new order and reform. This thesis also discussed the importance of freedom of opinion, freedom of expression, and freedom of the press in a democracy.
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Gani Mustakim
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah buku pelajaran kanji yang berjudul "Kanji Pictographix". Mendasari pada konsep representasi dan kekerasan simbolik terhadap gender, penelitian ini ingin menemukan adanya bentuk-bentuk diskriminasi gender lewat penggambaran kanji sebagai aksara tulis yang digunakan dalam bahasa jepang. Menggunakan metode semiotika roland barthes, penelitian ini menemukan bahwa banyak kanji-kanji yang direpresentasikan secara bias dan membawa kepada stereotip yang cenderung negatif terhadap gender perempuan. Stereotip yang negatif tersebut antara lain: Banyak bicara, Irasional karena cenderung menggunakan perasaan, Perempuan cantik memiliki tubuh yang langsing, dan Istri yang baik menjalankan peran domestik.
The focus of this study is the kanji textbook entitled 'Kanji Pictographix'. Based on the concept of representation and symbolic violence related to gender, this study aimed to expose the biases of gender discrimination described within kanji as script writing in Japanese. Using Roland Barthes"s semiotics method, this thesis discovered that many kanji represented with biases that tend to lead to negatively stereotypes for female gender. Those stereotypes are: Talkactiveness , Irrational because women tend to use their feelings, beautiful woman has a slim body, and a good wife to run the domestic roles.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30878
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Kurnia Ramadhani
Abstrak :
Studi fenomenologi ini mendeskripsikan dan memahami bagaimana kekerasan simbolik yang dipraktikkan di ranah online, lebih khususnya, pada aplikasi Instagram, yaitu aplikasi berbagi foto sekaligus media sosial. Para perempuan pengguna Instagram berisiko mengalami pelecehan dalam berbagai bentuk, seperti pengambilan dan publikasi foto tanpa izin, stereotip negatif sebagai objek seksual. Penelitian ini juga bertujuan untuk memahami hubungan antara kekuasaan gender dengan kekerasan simbolik, serta bagaimana resistensi terhadap dominasi laki-laki di Instagram terjadi, sehingga menciptakan ruang ketiga. Ruang ketiga adalah ruang di mana yang berkuasa dan yang dikuasai dapat bertemu dan saling menegosiasikan identitas. Penelitian ini lebih jauh berpendapat bahwa anonimitas merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kekerasan simbolik. Data yang diperoleh dari serangkaian wawancara dengan empat pengguna Instagram perempuan menghasilkan sebuah tema umum yang muncul dalam penelitian ini, bahwa perempuan yang mengalami pelecehan di instagram seringkali menganggap hal tersebut "normal", "wajar" dan "alamiah". Oleh karena itu, perpanjangan dari kekerasan simbolik yang terjadi terhadap perempuan mungkin dilanggengkan
The main aim of this phenomenological study is to explore, describe and understand the presence of symbolic violence that is being implemented in cyberspace, specifically, through the photo sharing application Instagram. Putting women users of Instagram at risk of being harassed in many forms -such as violation of consent, negative stereotypes and the notions of women as sexual objects-this research argues that it is important to analyze symbolic violence through the practice of online harassment since its subtle and non-visible ways of working do not allow us to understand its mechanisms completely. Drawing on real, narrative data obtained from a series of interviews with four women, this study also seeks to understand the interrelations of power relations in gender, and how symbolic violence could further manifest in resistance towards the male dominance over the cyberspace, thus creating a "third space", an "arena of contested identities". This research further argues that anonymity causes harassment, and suggests that the conventional wisdom of `it`s just social media` is at the heart of this problem. A common theme emerging from these narratives is that women who experience harassment in instagram often find it "normal", therefore permitting the existence and persistence of symbolic violence.
2015
S61002
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>