Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dhyana Arifin
Abstrak :
Bahasan pokok penulisan skripsi ini adalah eksistensi Hukum Kebendaan Bergerak dalam praktek pemakaian jaminan kebendaan bergerak di bank-bank maupun Perusahaan Jawatan Pegadaian.
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daliati Hasiholan Gulo
Abstrak :
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak penguasaan atas tanah yang berasal dari konsepsi hukum Barat telah hapus dan diganti dengan hak-hak penguasaan yang baru. Salah satu diantara hak penguasaan yang dihapuskan itu adalah bezit atas tanah. Namun dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lain, baik yang terdapat dalam UUPA maupun dalam Buku II KUH Per data, bezit atas tanah ini mempunyai beberapa keistimewaan: a. Bezit atas tanah bukanlah suatu hak yuridis yang pemegangnya memiliki surat bukti hak, melainkan suatu keadaan yang tampak keluar dirnama si pemegang berperan seolah-olah sebagai pemilik yang sah. b. Dari segi lain, pemilik yang sah atas sebidang tanah bisa jadi adalah bezitter itu sendiri dan ia dapat menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai bezit untuk melindungi haknya dari gangguan orang lain. Dengan demikian, sebagian dari keten tuan-ketentuan mengenai bezit merupakan "isi” dari suatu hak atas tanah. UUPA memperkenalkan hak milik baru atas tanah sebagai penggaBti hak milik (eigendom) yang terdapat dalam KUH Perdata. Namun sampai sekarang mengenai hak milik baru ini belum ada pengaturan selanjutnya dalam bentuk Undang-undang hak milik yang menentukan seberapa luas dan dalamnya hak milik tersebut. Oleh sebab itu, dengan mendasarkan diri pada Pasal 56 UUPA, bisa saja ketentuan-ketentuan yang menyangkut eigendom sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal KUH Perdata diberlakukan kembali dan sebagian diantaranya adalah ketentuan-ketentuan mengenai bezit atas tanah ini, khususnya yang menyangkut perlindungan hukum baik terhadap pemilik yang sah maupun terhadap bezitter yang jujur. Di dalam skripsi ini, penulis menooba melihat kemungkinan pemberlakuan ini, khususnya dalam sengketa- sengketa pemilikan tanah yang bersifat perdata. Untuk itu di dalam skripsi ini penulis turut melampirkan sebuah Putusan Mahkamah Agung Pepublik Indonesia atas sebuah perkara sengketa pemilikan tanah. Dalam putusan tersebut tampak jelas perlindungan terhadap bezitter tanpa mempersoalkan hak milik yang sebenarnya ada pada siapa. Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa ada beberapa ketentuan mengenai bezit atas tanah (tetapi tidak semuanya) yang masih perlu dipertahankan. Penulis juga menyarankan agar ketentuan-ketentuan yang dianggap masih dapat dipertahankan itu sebaiknya turut dipertimbangkan dalam penyusunan Undang-undang hak milik yang akan datang.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nini Nuraini
Abstrak :
Berkembangnya masalah merek dewasa ini merupakan konsekwensi logis dari bertambah ramainya dunia perdagangan. Dan sejalan dehgan semakin pesatnya arus perdagangan tersebut, masuk pula pengaruh-pengaruh asing ke Indonesia sehingga menimbulkan orientasi pada konsumen kita bahwa segala sesuatu yang bermerek luar negeri itu baik. Keadaan ini tentunya tidak akan disia-siakan begitu saja oleh para produsen/pengusaha yang cepat tanggap terhadap kehendak konsumen. Ironisnya hal ini kemudian terwujud dengan dipalsukannya atau ditirunya merek-merek asing tersebut oleh para produsen/pengusaha kita dengan maksud agar produk-produk yang dipasarkannya tersebut laku terjual dan menjadi laris di pasaran. ' Hal ini dilakukan mereka karena di dalam UU Merek 1981 tidak ada ketentuan yang- mengatur mengenai larangan pemakaian merek luar negeri. Namun keadaan ini justru menimbulkan kecaman dari pihak pemilik merek asing yang mereknya ditiru/dipalsu tersebut. Sebagai salah satu negara anggota Konyensi Paris, Indonesia tentunya harus memperhatikan " kritikan ini. Karenanya kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-HC.01.01 tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Merek Yang Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Orang Lain. Adapun dasar pertimbangan dikeluarkannya SK Menteri ini adalah bahwa pemakaian merek terkenal milik orang lain tersebut akan menyesatkan masyarakat tentang asal-usul serta kwaiitas sesuatu barang sehingga masyarakat akan keliru untuk memilih barang yang bermutu baik . Mengingat usia UU Merek yang sudah relatif' tua dan efektivitasnya yang kurang mengenai sasaran lagi, maka adalah wajar apabila dalam perkembangan selanjutnya peraturan ini seringkali kurang mampu lagi mengatasi kesulitan-kesulitan atau permasalahan yang ada. Oleh karenanya perlu segera dilakukan revisi terhadap undangundang ini agar mengenai sasaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan pembangunan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amran Reza
Abstrak :
Salah satu produk perbankan syariah di bidang penyaluran dana adalah dengan fasilitas line facility sebagai bentuk komitmen (wa'd) penyediaan plafon pembiayaan secara bergulir dalam jangka waktu tertentu. Komitmen tersebut dilaksanakan dalam berbagai prinsip, rukun dan syarat instrumen pembiayaan syariah sesuai kebutuhan nasabah yang satu sama lain memungkinkan timbulnya masalah hukum. Persoalan-persoalan tersebut diteliti dalam tipologi problem identification dengan pendekatan kualitatif menggunakan metode kepustakaan dan lapangan. Dalam kerangka pembiayaan line facility oleh bank syariah, konsep hak milik menjadi hal yang penting karena akan menentukan jenis akad-akad pembiayaan yang akan dilaksanakan dari pembiayaan line facility sebagai bagian dari struktur pembiayaan dan pada akhirnya juga menentukan jenis lembaga jaminan yang perlu dilakukan sebagai bentuk pengelolaan resiko oleh bank. Hasil studi kepustakaan dan lapangan menunjukkan bahwa praktek pemberian fasilitas pembiayaan line facilty dalam jenis qardh, hawalah wal murabahah di bank syariah dari beberapa sisi telah menyalahi konsep sesuai syariat, terutama mengenai struktur pembiayaan, prinsip perikatan, rukun dan syarat akad dan konsep hak milik. Pelanggaran tersebut mengakibatkan konsep wa'd line facility seolah-olah tidak dilaksanakan secara menyeluruh. Line facility tidak difungsikan sebagai wa'd yang mengikat secara moral tetapi menjadi akad pokok yang telah menimbulkan hubungan utang piutang antara para pihak yang pelunasannya telah dijamin dengan lembaga jaminan fidusia dan hak tanggungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan setingkat undang-undang bagi perbankan syariah dan produk-produknya agar konsep muamalah Islam dapat benar-benar dilaksanakan sesuai syariat. Itikad dan ketaatan para pihak atas rukun dan syarat yang telah digariskan menjadi hal yang penting selain terus dilakukannya usaha sosialiasi atas mekanisme pembiayaan perbankan syariah. ......One of the sharia banking systems in the realm of financing is the so-called line facility, considered as the manifestation of commitment (wa'd) of the provision of financing plafond conducted sequently in a certain period of time. The commitment is conducted in various principles, laws and requirements of the sharia financing instrument in accordance with the customers' needs, which could occur a legal problem. Such problems are scruitnized in the problem identification typology with a qualitative approach, using the library as well as field study. In the line facility financing framework provided by a sharia bank, the concept of ownership becomes an important issue, since it will determine the types of financing agreement (akad) that will be implemented from the line facility financing as the part of the financing structure, which will eventuallly also determine the type of guarantee institution applied as the risk management for the bank. The study, both library and field, shows that the implementation of the line facility financing provision under the type of qardh, hawalah wal murabahah in the sharia bank has violated the sharia concept itself in several aspects, particularly on the financing structure, binding principles, procedures and requirements of the akad, as well as concept of ownership, which causes the wa'd line facility seem to be implemented in a mere partial way. Line facility doesn't function anymore as a wa'd that binds morally, but instead as a main akad which cause a debt-credit relation between the concerned parties, the payment of which is guaranteed by the fiduciary guarantee institution as well as security right. Therefore, there is a need to create a law-level regulation for sharia banking and its products in order to ensure that the Islamic muamalah concept can be really applied according to the sharia. Furthermore, the good will and conformity of the parties involved on the pillars and requirements determined would be important in ensuring the sustainability of this matter, besides by socializing the mechanism of sharia banking financing.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deystia Ayesha Rae
Abstrak :
Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 yang dibelakangi oleh adanya permohonan uji materil atas ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial atas Sertifikat Jaminan Fidusia serta hak parate eksekusi yang dimiliki Penerima Fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah mengabulkan permohonan uji materil untuk sebagian dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) tidak mengikat apabila tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan Fidusia sehingga eksekusi harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta cidera janji (wanprestasi) tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur namun harus berdasarkan kesepakatan debitur dan kreditur atau adanya upaya hukum yang menentukan telah terjadi cidera janji (wanprestasi). Penelitian ini akan berfokus kepada pengaturan mengenai pelaksanaan hak parate eksekusi yang melekat dalam setiap bentuk jaminan kebendaan dan implikasi/dampak dari terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia. Untuk dapat menjelaskan permasalahan pokok dari penelitian ini maka dipergunakan metode penelitian yuridis normatif, yang menekankan kepada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis yaitu norma peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Berdasarkan analisis diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah menimbulkan beberapa dampak seperti hilangnya hak khusus yang dimiliki jaminan Fidusia, hilangnya kepercayaan kreditur untuk menyalurkan kredit, adanya potensi biaya eksekusi yang besar, timbulnya kemungkinan adanya itikad tidak baik dari debitur, Pengadilan Negeri akan terbebani dengan banyaknya permohonan gugatan wanprestasi yang diajukan, dan menjadi tidak berlakunya Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. ......In this research, the author will discuss the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 based on the request for a judicial review of the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) of Law No. 42 of 1999 on Fiduciary Guaranty, which regulates the executorial power of the Fiduciary Guaranty Certificate and parate execution right owned by the Fiduciary Recipient. Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has granted a partial judicial review request and stated that the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) are not binding if there is no agreement on breach of contract (default) and the debtor refuse to voluntary hand over the object of Fiduciary Guaranty, therefore the execution shall be carried out and apply the same as the execution of court decision which already obtain a permanent legal force, and also a breach of contract (default) shall not be determined unilaterally by the creditor but must be based on the agreement of the debtor ad creditor or there is a legal remedy which determines that there has been a breach of contract (default). This study will focus on the regulation regarding the implementation of the parate execution rights in every form of secured transaction and the implications/impacts of the issuance of the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 on the execution of Fiduciary Guaranty. To be able to explain the main problems of this research, a normative judicial research method is used, which emphasizes the use of written legal norms, namely the statute approach and the case approach based on Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019. Based on the analysis, it is known that the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has caused several impacts such as the loss of special rights held by Fiduciary Guaranty, namely the loss of creditor trust to give credits, the potential for large execution costs, the possibility of bad faith from the debtor, the District Court will be burdened with many lawsuit filled for default, and the Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 8 of 2011 on the Safeguarding of the Execution of Fiduciary Guarantee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolani K. Idroes
Abstrak :
Negara kita yang sedang membangun memerlukan terjemahan karya asing (khususnya buku-buku asing) yang memuat ilmu dan teknologi Negara maju untuk dimanfaatkan di sini. Terjemahan dilindungi UU No 7 / 1987 sebagaimana ciptaan asli lain yang dilindungi Undang-Undang. Walaupun telah ada pengaturan yang melindungi hak cipta sebagai hak kebendaan, tetapi tetap saja terjadi pelanggaran hak cipta dengan memanfaatkan kekosongan hukum dalam UU Hak Cipta Kita ataupun karena belum ada kesamaan pengertian, sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leodi Chandra Hidayat
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam Undang-Undang Kepailitan Pasal 55 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa setiap kreditor separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa hak eksekusi kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi dan perbandingan ketentuan hukum. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Adapun pokok permasalahan dalam tesis ini adalah apakah penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan yang dianut oleh Undang-Undang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan, bagaimanakah upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan dalam pelaksanaannya, bagaimanakah perbandingan pengaturan mengenai penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan menurut Undang-Undang Kepailitan Indonesia dan menurut Bankruptcy Code Amerika Serikat. Berdasarkan hasil penelitian asas umum yang berlaku dalam hukum kepailitan belum berjalan selaras dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-Undang Kepailitan belum digunakan. Didapatkan lima perbedaan pengaturan mengenai ketentuan penangguhan eksekusi hak jaminan kebendaan {stay) dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia dengan Bankruptcy Code Amerika Serikat.
2007
T19315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhy Hermawan
Abstrak :
Dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis dewasa ini, maka keperluan akan modal atau dana bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh karenanya, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha atau masyarakat perlu diperluas. Namun demikian, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank. Untuk itu alternatif lain untuk mendapatkan dana, yaitu melalui perusahaan pembiayaan. Fasilitas pembiayaan yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada debitor mengandung risiko cukup tinggi dari kemungkinan pihak debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Mengingat benda/barang yang dijadikan jaminan pada perusahaan pembiayaan pada umumnya adalah benda bergerak, maka pembebanan jaminannya memakai Fidusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status obyek jaminan fidusia dan bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Perusahaan Pembiayaan dengan jaminan fidusia sebagai jaminan kebendaan, serta kedudukan penerima fidusia (kreditor) apabila tidak dilakukannya pendaftaran jeminan fidusia. Selanjutnya guna menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode pendekatan hukum normatif yang dapat diinterpretasikan sebagai penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan berdasarkan pada data-data sekunder. Dalam undang-undang Jaminan Fidusia terdapat penegasan adanya sifat kebendaan yakni adanya asas droit de suite yang berarti bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang mengikuti obyek fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, juga asas droit de preference, yang berarti kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Undang-Undang Jaminan Fidusia telah memberikan suatu kepastian hukum bagi masyarakat dan dalam pasal-pasalnya telah mengatur secara sistematis masalah proses lahir hingga hapusnya jaminan fidusia disamping itu, telah memberikan batasan tentang obyek jaminan fidusia itu sendiri, yang lebih luas daripada yang selama ini dikenal lewat yurisprudensi, yakni tidak hanya terbatas pada benda bergerak saja, melainkan mencakup benda tetap. ......With the development of business activities today, the need for capital or funds for businesses is also increasing. Therefore, the means of providing funds needed by businesses or the community needs to be expanded. However, credit facilities from banks are very limited and not all business actors have access to financial assistance from banks. For that another alternative to get funds, namely through finance companies. Financing facilities provided by finance companies to debtors carry a high enough risk of the possibility of debtors unable to fulfill their obligations. Considering the objects/goods which are used as collateral for the finance company in general are movable objects, the imposition of the collateral uses Fiduciary. The purpose of this study is to determine the status of fiduciary security objects and forms of legal protection that can be provided to finance companies with fiduciary guarantees as material security, and the position of fiduciary recipients (creditors) if there is no fiduciary registration. Furthermore, in order to answer these problems, the writer uses the method of normative legal approach that can be interpreted as a library law research conducted based on secondary data. In the Fiduciary Security law there is an affirmation of the material nature that is the principle of droit de suite which means that fiduciary guarantees still follow objects that follow fiduciary objects in the hands of whoever the objects are, also the principle of droit de preference, which means the fiduciary creditor is domiciled as a creditor which takes precedence over other creditors. The Fiduciary Guarantee Law has provided legal certainty for the community and in its articles systematically regulates the issue of the birth process until the abolition of fiduciary guarantees, in addition, has provided limits on the object of fiduciary security itself, which is broader than has been known through jurisprudence, which is not only limited to moving objects, but includes fixed objects.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fricilia
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kasus perdata yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan perkara Nomor 305/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Utr. Pihak Penggugat adalah perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan leasing, sedangkan Tergugat adalah perorangan yang telah mendapatkan fasilitas kredit dari Penggugat. Kemudian dalam perjalanannya Tergugat wanprestasi dalam hal menunggak pembayaran yang diketahui bahwa Tergugat sedang dalam kasus tindak pidana narkotika serta objek jaminan fidusia menjadi barang sitaan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara untuk dimusnahkan. Penggugat melakukan gugatan dan sita jaminan dimana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Nomor 305/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Utr., Penggugat dimenangkan dan kemudian dikeluarkan sita jaminan kendaraan atas milik Tergugat untuk diserahkan ke Penggugat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai batasan-batasan putusan pengadilan pidana dapat menghapuskan hak kebendaan fidusia pemegang fidusia, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemegang fidusia terhadap penyitaan objek jaminan dan peran notaris dalam melindungi kepentingan pihak ketiga. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dan tipologi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian ini ialah perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemegang fidusia dapat dilakukan dengan perlawanan atau gugatan. Peran notaris dalam hal melindungi kepentingan pihak ketiga dengan cara memastikan para pihak adalah orang yang berwenang, objek jaminan adalah benar kepunyaan pemberi fidusia serta menambah klausul penyerahan secara sukarela pada akta jaminan fidusia. ......This research discusses civil cases that were examined and tried at the North Jakarta District Court with case Number 305 / Pdt.G / 2019 / PN.Jkt.Utr. The Plaintiff is a company engaged in leasing financing, while the Defendant is an individual who has obtained a credit facility from the Plaintiff. Then in the course of the Defendant's default in the case of delinquent payments, it was discovered that the Defendant was in a narcotics crime case and the object of fiduciary security was confiscated by the North Jakarta District Prosecutor's Office for destruction. The Plaintiff filed a lawsuit and confiscated guarantees which based on the decision of the District Court Number 305/Pdt.G/2019/ PN.Jkt.Utr., The Plaintiff was won and then confiscated the vehicle guarantees of the Defendant's property to be submitted to the Plaintiff. The problems raised in this research are regarding the limitations of the criminal court's decision to abolish the fiduciary property rights of the fiduciary, legal remedies that the fiduciary can take against the confiscation of collateral objects and the role of the notary in protecting the interests of third parties. To answer these problems used normative juridical legal research methods and descriptive evaluative research typology. The result of this research is that confiscation can be carried out against the guilty person who is handed over to the government, but only for the goods that have been confiscated. Legal remedies that can be taken by fiduciary holders can be done with resistance or lawsuits. The role of the notary in protecting the interests of third parties by ensuring that the parties are authorized persons, the object of guarantee is the true property of the fiduciary and by adding a voluntary submission clause to the fiduciary guarantee deed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>