Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Sadia Canantya Anissa
"
ABSTRAKPerjanjian dapat melahirkan suatu hubungan hukum yang menyebabkan satu pihak berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Namun, ketika terjadi keadaan memaksa, para pihak dapat dibebaskan untuk memenuhi kewajibannya atau untuk membayar ganti rugi. Dalam penelitian ini, penulis membahas mengenai klausula keadaan memaksa dalam perjanjian antara PT Internet Pratama Indonesia dan PPK Dinas Pendidikan Kota Surabaya dalam Putusan No. 1182K/Pdt/2012. Dalam klausula keadaan memaksa tersebut tidak diatur mengenai lsquo;diskontinuitas suatu produk rsquo; discontinue sebagai keadaan memaksa, namun kemudian ketika hal tersebut terjadi, PT Internet Pratama Indonesia dibebaskan untuk memenuhi kewajibannya dan untuk membayar ganti rugi karena hal tersebut dianggap sebagai keadaan memaksa oleh Mahkamah Agung. Dalam menentukan suatu peristiwa sebagai keadaan memaksa, perlu dipertimbangkan pula mengenai unsur-unsur dari keadaan memaksa berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode penelitian adalah yuridis normatif dengan menggunakan jenis data sekunder.
ABSTRACTAn agreement creates a legal relation between the parties that formed the right to one party to demand something and the obligation to the other party to fulfill the demand. When a force majeure event happens, it excuses a party from performance or to pay damages. This thesis analyzes the force majeure clause in the agreement between PT Internet Pratama Indonesia and PPK Dinas Pendidikan Kota Surabaya in the Court Decision No. 1182K Pdt 2012. The force majeure clause do not stipulate lsquo discontinuity of product rsquo as a force majeure event, however when such event occurred, PT Internet Pratama Indonesia was excused from the performance and to pay damages because the event was considered as a force majeure event by the Supreme Court Mahkamah Agung . In determining an event as a force majeure event it is necessary to consider the elements of force majeure based on Article 1244 Indonesial Civil Code. The research is conducted using the research method of legal normative and the type of data used is the secondary data. "
Lengkap +
2017
S68479
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Amalia Muthy Afifa
"Pengadaan Barang dan Jasa dilakukan dengan dasar suatu kontrak. Penandatanganan dan pengendalian kontrak tersebut dilakukan oleh pihak yang mewakili Pemerintah. Pemerintah tetap memiliki kedudukan dalam kontrak pasca kontrak tersebut ditandatangani. Pejabat Pembuat Komitmen atau pejabat yang mengendalikan kontrak tidak dapat melakasanakan kewajibannya akibat terjerat perkara pidana tidak membuat kontrak berakhir, serta mengharuskan adanya pihak yang bertanggung jawab atas pengendalian kontrak. Dalam kontrak pengadaan 36 unit single bus antara PT X dan Badan Publik Y, PPK dalam pengadaan tersebut tersangkut perkara korupsi. Hal tersebut mengakibatkan PT X membutuhkan perlindungan hukum mengenai penyelesaian kontraknya. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder. Penelitian ini memiliki hasil bahwa Badan Publik Y merupakan pihak dalam kontrak pengadaan barang dan jasa yang harus bertanggung jawab dalam pengendalian kontrak pasca PPK terjerat perkara pidana dengan menunjuk pejabat atau PPK yang baru.
The procurement of goods and services is conducted on the basis of a contract. The signing and control of the contract is carried out by a party representing the Government. The government retains a position as a party in the contract after the contract is signed. Pejabat Pembuat Komitmen has no longer has authority on implementation of the contract as a result of a criminal case. It does not terminate the contract, and requires a party to be liable for controlling the contract. In the contract for the procurement of 36 single buses between PT X and Public Agency Y, PPK and all elements in the procurement were involved in corruption cases. This resulted in PT X requiring legal protection regarding the completion of its contract. This research was conducted using a normative juridical research method. Data collection is done with secondary data. The result of this research is the Public Agency Y is a party to the contract for the procurement of goods and services that must be responsible for controlling the contract with a designation of new PPK after the former PPK is caught in a criminal case."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gusti Ayu Made Irenee Sarasvati
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pentingnya penerapan mekanisme pemberitahuan (notifikasi) keadaan kahar pada praktik kontrak dewasa ini, khususnya terhadap kebijakan dan implementasinya di Indonesia dan Belanda. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam hal prestasi tidak dapat dilaksanakan karena suatu peristiwa yang berada di luar kontrol debitur, maka debitur dapat mendalilkan keadaan kahar sebagai dasar untuk mengurangi atau membebaskan debitur dari tanggung jawab atas biaya, ganti rugi, maupun bunga terhadap tuntutan wanprestasi. Dalam praktiknya, selalu ada kemungkinan dimana debitur mendalilkan keadaan kahar atas itikad buruk, misalnya dengan menggunakan keadaan kahar sebagai alasan yang mengakibatkan tidak terlaksananya suatu prestasi padahal wanprestasi terjadi karena kelalaiannya sendiri, atau debitur yang tidak mematuhi persyaratan prosedural dalam kontrak seperti ketentuan untuk memberikan notifikasi tertulis atas keadaan kahar yang menimpanya segera setelah keadaan tersebut terjadi. Maka dari itu, demi memberikan perlindungan kepada kreditur dari tindakan-tindakan demikian, penting bagi Indonesia untuk memiliki kepastian hukum mengenai ketentuan mekanisme pemberitahuan/notifikasi keadaan kahar sebagai syarat prosedural debitur yang mendalilkan keadaan kahar, berikut dengan implikasi hukum apabila gagal melakukannya. Berbeda dengan Indonesia, Belanda sebagai negara pembanding telah mengenali pentingnya mekanisme ini dalam doktrin, praktik kontrak, serta per timbangan Hakim dalam kasus hukum konkret.
This paper analyzes the importance of the application of force majeure notification mechanism in recent contract practices, especially on its policy and implementation in Indonesia and the Netherlands. This paper is prepared using doctrinal research method. In the event that the performance cannot be fulfilled due to an event that is beyond the debtor's control, the debtor can claim force majeure as a basis for reducing or relieving the debtor from liability for costs, damages, and interest on the default claim. In practice, there is always the possibility that the debtor may argue force majeure in bad faith, for example by using force majeure as an excuse that results in the non-performance of a performance when the default occurred due to his own negligence, or a debtor who does not comply with procedural requirements in the contract such as the provision to provide written notification of force majeure as soon as it occurs. Therefore, in order to provide protection to creditors from such actions, it is important for Indonesia to have legal certainty regarding the provisions of the force majeure notification mechanism as a procedural requirement for debtors who postulate force majeure, along with the legal implications of failing to do so. As opposed to Indonesia, the Netherlands as a comparative country has recognized the importance of this mechanism in doctrine, contractual practice, as well as the consideration of Judges in concrete legal cases."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Evie Amandha
"Laporan magang ini membahas mengenai evaluasi terhadap perlakuan akuntansi atas piutang sewa pembiayaan serta tindakan dan penerapan kode etik KAP EAT dalam rangka kelangsungan usaha PT KLJ (KLJ). KLJ merupakan perusahaan afiliasi dari PT ABC Group (ABC) bergerak di bidang transmisi gas alam. KLJ terlibat sebagai transporter dalam Gas Transportation Agreement (GTA) dengan PLC dan SLM sebagai shipper, serta PPP sebagai offtaker. GTA diklasifikasikan sebagai suatu perjanjian yang mengandung sewa berdasarkan ISAK 8 sehingga KLJ mengakui piutang sewa pembiayaan sesuai dengan PSAK 30. Pada tahun 2016 PLC melakukan pelanggaran perjanjian GTA dan memberikan notifikasi keadaan kahar pada tahun 2017 yang berujung pada penghentian perjanjian pada tahun 2019. Manajemen KLJ melakukan evaluasi ulang atas perjanjian tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak lagi mengandung sewa. Manajemen KLJ memutuskan untuk melakukan penurunan nilai dan reklasifikasi piutang sewa pembiayaan menjadi piutang usaha dan aset tetap sebagai upaya mempertahankan kelangsungan usaha. Piutang sewa pembiayaan direklasifikasi menjadi piutang usaha berdasarkan probable cash flow atas Ship-or-Pay tahun 2016 September 2019. Sisa dari piutang sewa pembiayaan kemudian direklasifikasi menjadi Aset Tetap. Secara umum, perlakuan akuntansi yang diterapkan pada piutang sewa pembiayaan dan dampak pelanggaran perjanjian atas pengakuan selanjutnya telah sesuai dengan PSAK berlaku. Auditor KAP EAT telah melakukan tindakan sesuai dengan SA 570 terkait dengan kelangsungan usaha dan menerapkan kode etik dengan baik.
This internship report discusses the evaluation of the accounting treatment on finance lease receivables along with the actions and application of the code of ethics by KAP EAT in the framework of PT KLJ (KLJ)s going concern. KLJ is an affiliated company of PT ABC Group (ABC) which is engaged in gas transmission. KLJ was involved as a transporter in the Gas Transportation Agreement (GTA) with PLC and SLM as shipper, and PPP as an offtaker. GTA is classified as an agreement that contains a lease based on ISAK 8 so KLJ recognizes finance lease receivables in accordance with PSAK 30. In 2016 PLC violated the GTA and gave a force majeure condition notification in 2017 which led to termination of the agreement in 2019. KLJ management re-evaluated the agreement and states that the agreement did not contain any lease. The management of KLJ decided to impair and reclassify the finance lease receivables into trade receivables and fixed assets in order to maintain KLJs going concern. Finance lease receivables are reclassified into trade receivables based on probable cash flow for Ship-or-Pay in 2016- September 2019. The remainder of the finance lease receivables is then reclassified as Fixed Assets. In general, the accounting treatment applied to finance lease receivables and the impact of breach of agreement for subsequent recognition is in accordance with applicable PSAK. KAP EAT auditors have acted in accordance with SA 570 related to business continuity and implemented the code of ethics properly."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Velasita Wibowo
"Pandemi Covid-19 berpotensi mengganggu kinerja dan kapasitas operasional perusahaan asuransi jiwa sebagai LJKNB. AAJI mencatat 72,8% peningkatan total klaim manfaat meninggal dunia yang dibayarkan industri asuransi jiwa dibandingkan tahun 2020. Penelitian ini membahas pengaturan dan penafsiran pandemi Covid-19 sebagai force majeure pada suatu perjanjian asuransi jiwa serta alasan penolakan dan penundaan pembayaran klaim asuransi jiwa oleh perusahaan asuransi jiwa yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji alasan dari penolakan dan penundaan pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi jiwa dalam hal pandemi Covid-19 sebagai force majeure. Pengaturan pandemi Covid-19 sebagai force majeure tidak ditemukan dalam dasar hukum yang mengatur asuransi jiwa. Menurut ahli hukum dengan pertimbangan yurisprudensi, pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure relatif, sehingga hanya dimungkinkan untuk menunda kewajiban para pihak dalam asuransi jiwa. Penolakan terhadap pembayaran klaim asuransi jiwa kurang dapat diterapkan dalam praktiknya. Alasan penundaan pembayaran klaim asuransi jiwa dengan pandemi Covid-19 sebagai force majeure digunakan oleh PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha dan PT Asuransi Jiwa Kresna. Perusahaan asuransi jiwa harus selalu dengan itikad baik, serta transparan dan terang terhadap kemampuannya dalam melakukan pembayaran klaim asuransi di situasi keadaan kahar apa pun.
Covid-19 pandemic has potential to disrupt performance and operational capacity of life insurance companies as LJKNB. AAJI recorded 72.8% increase in total death benefit claims paid by life insurance industry compared to 2020. This research discusses regulation and interpretation of Covid-19 pandemic as force majeure in life insurance agreement and reasons for rejection and delay of life insurance claim payments by life insurance companies during Covid-19 pandemic. The method used is normative juridical by examining reasons for rejection and delay of claim payments by life insurance companies, particularly in the case of Covid-19 pandemic as a force majeure. Covid-19 pandemic as force majeure is not regulated in any legal basis governing life insurance. Covid-19 pandemic can be categorized as relative force majeure according to jurist and jurisprudence considerations, resulting to delayed obligations of each party in life insurance. Rejection of life insurance claim payment is less applicable in practice. PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha and PT Asuransi Jiwa Kresna applied Covid-19 pandemic as force majeure in delaying life insurance claim payments. Life insurance companies must be in good faith, transparent, and clear about their ability to make life insurance claim payments during any force majeure situations."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library