Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Femmi Dwinda Agustini
Abstrak :
Latar belakang. Doksorubisin dikenal sebagai antikanker yang sangat poten, namun penggunaanya dibatasi oleh toksisitas terhadap berbagai organ vital, salah satunya jantung. Mekanisme molekuler kardiotoksisitas doksorubisin berhubungan dengan produksi radikal bebas berlebih yang menyebabkan penurunan ekspresi gen-gen yang mengkode protein regulator kalsium intrasel sehingga terjadi gangguan homeostasis kalsium intrasel yang menyebabkan aktivasi jalur apoptosis intrinsik yang dimediasi caspase, terutama caspase-9 dan caspase-12. Stres oksidatif akibat DOX juga menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam terjadinya apoptosis. Mangiferin merupakan salah satu kandidat potensial senyawa kardioprotektor untuk terapi doksorubisin, akan tetapi mekanisme molekulernya belum diketahui dengan pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mekanisme molekuler mangiferin berhubungan dengan regulasi kalsium intraseluler. Metode. Penelitian dilakukan terhadap tikus Sprague Dawley jantan yang diinduksi doksorubisin dengan dosis total 15 mg/kg BB. Pemberian mangiferin dilakukan dengan dosis 30 dan 60 mg/kg BB secara oral selama tujuh minggu. Parameter yang diamati adalah ekspresi protein regulator Ca2+ intrasel yaitu SERCA2a, parameter apoptosis (caspase-12 dan caspase-9), kadar kalsium sitosol dan mitokondria, serta parameter inflamasi (TNF-α). Hasil. Induksi doksorubisin menyebabkan penurunan ekspresi SERCA2a, disertai peningkatan ekspresi gen pro-apoptosis yakni caspase-12 dan caspase-9 serta peningkatan derjat inflamasi dan kerusakan jantung. Pemberian mangiferin menyebabkan peningkatan ekspresi SERCA2a, penurunan ekspresi caspase-12 dan caspase-9 serta penurunan derajat inflamasi. Kesimpulan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa normalisasi homeostasis kadar kalsium intrasel merupakan bagian dari mekanisme kardioproteksi mangiferin. ...... Background. Doxorubicin is well known as a potent anticancer agent despite its toxicity on various vital organs, especially the heart. The molecular mechanism of doxorubicin cardiotoxicity revolves around the overproduction of free radicals which cause downregulation of genes encoding calcium regulatory proteins, leading to disturbance of calcium homeostasis and activation of intrinsic apoptotic pathway mediated by caspases, particularly caspase-12 and caspase-9. Doxorubicin cardiotoxicity is also accompanied by inflammation that is crucial for apoptosis. Mangiferin is currently studied as cardioprotective agents for doxorubicin therapy. However, its molecular mechanism has yet been revealed. This study was aimed to determine whether cardioprotective effect of mangiferin is caused by its effect on intracellular calcium regulation. Method. Male Sprague Dawley rats were induced by doxorubicin with a total dose of 15 mg/kg BW. Mangiferin was given orally at the dose of 30 and 60mg/kg BW for seven weeks. The parameters examined were mRNA expressions levels of calcium regulatory gene (SERCA2a), proapoptotic genes (caspase-9 and caspase-12) and proinflammatory cytokine gene (TNF-α), as well as mitochondrial and cytosolic calcium levels. Result. It was found that doxorubicin caused downregulation of SERCA2a expression and increased the expression of both proapoptotic genes. Interestingly, we found that mangiferin could attenuate those things above by increasing SERCA2a expression as well as decreasing caspase-9 and caspase-12 expressions, while ameliorating inflammation. Conclusion. Based on this finding, we suggest that the cardioprotective effect of mangiferin is at least in part due to the regulation of intracellular calcium homeostasis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Rafika Nursyirwan
Abstrak :
Latar belakang Kardiotoksisitas subklinis merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi, tetapi belum dapat terdeteksi menggunakan pemeriksaan ekokardiografi konvensional. Pemeriksaan global longitudinal strain menggunakan ekokardiografi speckle tracking dilaporkan dapat mendeteksi disfungsi ventrikel kiri lebih awal dibandingkan ekokardiografi konvensional. Namun, belum banyak penelitian terkait pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan ekokardiografi speckle tracking pada anak dengan keganasan. Studi ini diharapkan dapat membantu deteksi dini gangguan fungsi jantung. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap 49 subyek anak berusia 6 bulan sampai 17 tahun 10 bulan pada September-November 2022. Subyek penelitian adalah anak yang baru terdiagnosis keganasan, tidak memiliki masalah jantung sebelumnya, dan mendapatkan kemoterapi kemudian dievaluasi pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan pemeriksaan kuantitatif ekokardiografi (konvensional, Doppler jaringan, speckle tracking) sebelum dan sesudah mendapat kemoterapi 3 bulan. Pasien yang mengalami reduksi relatif GLS >15% dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biomarker jantung troponin I. Hasil ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk deteksi disfungsi sistolik ventrikel kiri lebih dini dengan sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34). Subyek yang mengalami kardiotoksisitas subklinis didapatkan sebanyak 63,3% ditandai dengan reduksi relatif GLS>15% setelah kemoterapi 3 bulan. Didapatkan penurunan bermakna nilai LPSS ventrikel kiri segmen mid dan segmen apikal serta GLS dari median -18,4 (RIK -17,3 sd. -19,6) % sebelum kemoterapi menjadi -15,3 (RIK -13,65 sd. -17,85) % (p<0,0001) sesudah kemoterapi 3 bulan dengan median dosis kumulatif antrasiklin 150 (RIK 120-300) mg/m2. Reduksi relatif GLS>15% ini ditemukan di saat yang bersamaan belum ditemukan penurunan EF/FS sampai di bawah batas normal. Tidak terbukti usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan regimen kemoterapi memengaruhi kardiotoksisitas subklinis pada pasien anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi selama 3 bulan pada penelitian ini. Kesimpulan Pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam mendeteksi kardiotoksisitas subklinis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34). ......Background Subclinical cardiotoxicity is a condition that often occurs in children with malignancy who receive chemotherapy, but it has not been frequently detected using conventional echocardiography. Global longitudinal strain examination using speckle tracking echocardiography is reported to be able to identify left ventricular dysfunction earlier than conventional echocardiography. However, there are not many studies related to quantitative examination of cardiac function by speckle tracking echocardiography in children with malignancy. This study is expected to help early detection of impaired heart function. Methods This research is a cross sectional study at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta on 49 child subjects aged 6 months to 17 years 10 months in September-November 2022. The research subjects were children who had just been diagnosed with malignancy, had no previous heart problems, and received chemotherapy. Then they were evaluated by quantitative echocardiography (conventional, tissue Doppler, speckle tracking) before and after 3 months of chemotherapy. Patients who experienced a relative reduction of GLS > 15% underwent further examination of troponin I.Results Speckle tracking echocardiography can be considered for early detection of left ventricular systolic dysfunction with 100% sensitivity (95% CI 82.35-100) and 60% specificity (95% CI 40.60-77.34). Children with subclinical cardiotoxicity were found to be 63.3% characterized by a relative reduction in GLS>15% after 3 months of chemotherapy, with a significant decrease in mid and apical segment left ventricular LPSS values and GLS from a median -18.4 (IQR -17.3 sd. -19.6) % before chemotherapy to -15.3 (IQR -13.65 sd. -17.85) % (p<0.0001) after 3 months of chemotherapy with a median cumulative dose of anthracycline 150 (IQR 120-300) mg/m2. This relative reduction of GLS> 15% was found at the same time that there was no decrease in EF/FS below normal limits. There was no evidence that age, gender, nutritional status, and chemotherapy regimen had an effect on subclinical cardiotoxicity in pediatric patients with malignancy who received chemotherapy for 3 months in this study. Conclusion Speckle tracking echocardiography can be considered for detecting subclinical cardiotoxicity. This examination has a sensitivity of 100% (95% CI 82.35-100) and a specificity of 60% (95% CI 40.60-77.34).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talia Putri Rahmani
Abstrak :
Doksorubisin merupakan salah satu obat kemoterapi yang diberikan kepada pasien kanker payudara. Namun, pemberiannya dibatasi oleh efek kardiotoksik yang dihasilkan. Doksorubisin dikatalis oleh enzim CBR1 di hati menjadi doksorubisinol, yang juga memiliki peran pada efek kardiotoksik yang dihasilkan setelah pemberian doksorubisin. Kadar doksorubisin dan doksorubisinol di dalam tubuh dipengaruhi oleh polimorfisme enzim CBR1 (967 G>A; 262 G>A; 1096 G>A; 627 C>T) yang dapat mengubah aktivitas dan ekspresi CBR1 sehingga menyebabkan perubahan kadar doksorubisin dan doksorubisinol dalam tubuh. Sehingga, tinjauan mengenai pengaruh polimorfisme CBR1 terhadap kadar doksorubisin dan doksorubisinol dalam tubuh setelah pemberian doksorubisin perlu dilakukan sebagai rekomendasi dalam pemantauan terapi obat (PTO) terhadap rejimen kemoterapi yang mengandung doksorubisin. Metode yang direkomendasikan merupakan analisis kadar doksorubisin dan doksorubisinol dengan teknik biosampling Dried Blood Spot (DBS) menggunakan kromatografi cair kinerja ultra tinggi tandem spektrometri massa (KCKUT-SM/SM), dan evaluasi profil genetik CBR1menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Doksorubisinol lebih poten terhadap SERCA2A sehingga, kadarnya yang lebih tinggi menyebabkan disregulasi ion kalsium yang menyebabkan disfungsi mitokondria yang lebih parah. Disisi lain, keempat polimorfisme genetik CBR1 terbukti menurunkan kadar doksorubisinol dalam tubuh, terkait dengan penurunan aktivitas dan ekspresi CBR1. Sehingga, konversi doksorubisin menjadi doksorubisinol berkurang. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami polimorfisme CBR1 memiliki risiko kardiotoksisitas yang lebih rendah setelah pemberian doksorubisin
Doxorubicin is a chemotherapy drug given to breast cancer patients. However, their administration is limited by its cardiotoxic effects. Doxorubicin is catalyzed by the CBR1 enzyme in the liver to doxorubicinol, which also has a role in the cardiotoxic effects produced after administration of doxorubicin. Doxorubicin and doxorubicinol levels in the body are affected by the polymorphism of the CBR1 enzyme (967 G> A; 262 G> A; 1096 G> A; 627 C> T) which can change the activity and expression of CBR1 and then causes changes in the levels of doxorubicin and doxorubicinol in the body. Therefore, a review of the effect of CBR1 polymorphisms on the levels of doxorubicin and doxorubicinol after administration of doxorubicin needs to be done as a guideline recommendation in monitoring drug therapy of doxorubicin. The recommended methods are the analysis of doxorubicin and doxorubicinol levels using the Dried Blood Spot (DBS) biosampling technique using ultra high performance liquid chromatography tandem mass spectrometry (UHPLC-MS/MS), and evaluation of the genetic profile of CBR1 using Polymerase Chain Reaction (PCR). Doxorubicinol is more potent against SERCA2A. Thus, higher levels cause dysregulation of calcium ions which causes more severe mitochondrial dysfunction. In contrast, the four CBR1 genetic polymorphisms have been shown to reduce doxorubicinol levels in the body, associated with decreased CBR1 activity and expression. Thus, the conversion of doxorubicin to doxorubicinol is reduced. Based on these statements, it can be concluded that individuals who experience CBR1 polymorphisms have a lower risk of cardiotoxicity after administration of doxorubicin.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan
Abstrak :
Fenitoin adalah obat antikonvulsan yang digunakan dalam manajemen terapi epilepsi, kejang tonik-klonik, kejang kompleks parsial, dan status epilepticus. Fenitoin memiliki indeks terapeutik yang sempit (10–20 µg/mL), farmakokinetika yang tidak linear,  dan potensi neurotoksisitas dan kardiotoksisitas serius. Oleh karena itu, kadar fenitoin dalam darah perlu dipantau untuk memastikan efektivitas dan keamanan terapi yang diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis dan preparasi sampel dalam DBS menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Photodiode Array (KCKT-PDA) yang optimum dan tervalidasi sesuai pedoman Food and Drug Administration (2018). Analisis dilakukan menggunakan KCKT-PDA dengan kolom C18 (Waters, Sunfire TM, 5 µm; 250 x 4,6 mm). Elusi dilakukan dengan fase gerak metanol-asetonitril-air (44:10:46) secara isokratik dengan laju alir, 1,0 mL/menit, suhu kolom 35ºC, dan volume injeksi 20 µl. Preparasi sampel dilakukan dengan menotolkan 30 µl darah mengandung fenitoin pada Dried Blood Spot (DBS) lalu dikeringkan selama 120 menit. DBS kemudian dipotong menjadi kecil (dipotong menjadi kecil ±3 mm) dan dimasukan ke dalam sample cup dan ditambahkan 30 µl karbamazapein 10 µg/mL sebagai baku dalam dan diekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan menambahkan 400 µl metanol ke dalam sample cup, lalu dikocok dengan vorteks selama 30 detik, disonikasi selama 15 menit, dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Supernatan kemudian dipipet sebanya 300 µl dan dikeringkan dengan aliran gas nitrogen. Ekstrak kering direkonstitusi menggunakan 100 µl fase gerak lalu divorteks selama 30 detik, disonikasi 2 menit, dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit. Metode ini sudah memenuhi parameter validasi penuh menurut Food and Drug Administration (2018) dengan LLOQ 0,1 µg/mL dan rentang kurva kalibrasi 0,1-50 µg/mL dengan koefisien korelasi (r) 0,9989-0,9994. ......Phenytoin is an anticonvulsant drug which can be use in the management of epilepsy, tonic-clonic seizure, complex partial seizure, and status epilepticus. Phenytoin has a narrow therapeutic index (10–20 µg/mL), non-linear pharmacokinetics profile, and serious neurotoxicity and cardiotoxicity potentials. Thus, therapeutic drug monitoring of phenytoin serum level is required to ensure therapy’s safety and efficiency. This study aims to obtain an optimum and validated analysis and preparation method for phenytoin in Dried Blood Spot (DBS) using HPLC-PDA based on Food and Drug Administration Guidelines (2018). The quantification of phenytoin is performed using C18 (Waters, Sunfire, 5 µm; 250 x 4,6 mm) column with injection volume of 20 µl. The mobile phase consists of methanol-acetonitrile-water (44:10:46) with 1,0 ml/min flow rate and the column temperature maintained at 35ºC. Sample in DBS was extracted by liquid-liquid extraction using 400 µl of methanol which was then mixed by vortex for 30 seconds, sonicated for 15 minutes, and centrifugated at 10.000 rpm for 5 minutes. Supernatant obtained was pipetted for 30 µl and evaporated using nitrogen gas flow. The dried extract was reconstituted with 100 µg of the mobile phase, mixed by vortex for 30 seconds, sonicated for 2 minutes, and centrifugated at 10.000 rpm for 3 minutes. This method has met the qualifications for a validated analytical method set by the Food and Drug Administration Guidelines (2018). The LLOQ value was 0,1 µg/mL and the range of calibration curve was 0,1-50 µg/mL (r = 0,9989 – 0,9994).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ardyanti Rohadatul ‘Aisy
Abstrak :
Hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan lupus eritematosus sistemik, reumatoid artritis, dan malaria. Namun, hidroksiklorokuin memiliki efek samping seperti toksisitas okular, neurotoksisitas, gangguan gastrointestinal, hingga toksisitas berat seperti kardiotoksisitas. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan terapi obat dalam penggunaan hidroksiklorokuin dosis tinggi atau jangka waktu yang panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis dan preparasi sampel hidroksiklorokuin dalam VAMS menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi – Photodiode Array yang optimum dan tervalidasi berdasarkan pedoman Food and Drug Administration 2018. Analisis kuantifikasi hidroksiklorokuin dilakukan dengan KCKT-PDA dengan kolom C18 (Waters, Sunfire™ 5μm; 250 x 4,6mm), volume injeksi 100 μL, dan suhu kolom 45 ºC. Fase gerak terdiri atas asetonitril-dietilamin 1% (65:35) (elusi isokratik) dengan laju alir 0,8 mL/menit dan total waktu analisis 12 menit. Preparasi sampel dalam VAMS dilakukan dengan metode ekstraksi cair-cair dengan pelarut amonia 1% dan n-heksan-etil asetat (50:50 v/v) dengan volume masing-masing 500 μL. Darah di dalam VAMS dikeringkan selama 2 jam, lalu ditambahkan baku dalam dan larutan ammonia 1%. Sampel dikocok dengan vortex selama 15 detik dan disonikasi selama 5 menit. Kemudian ditambahkan n-heksan-etil asetat (50:50) lalu dikocok kembali dengan vortex selama 15 detik dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 10.000 rpm. Fase n-heksan-etil asetat diambil lalu dikeringkan dengan gas Nitrogen. Residu hasil pengeringan direkonstitusi dengan fase gerak sebanyak 150 μL dan dipindahkan ke vial autosampler untuk dianalisis dengan sistem KCKT-PDA. Metode ini telah memenuhi parameter validasi penuh menurut Food and Drug Administration 2018, dengan LLOQ 2 ng/mL dan rentang kurva kalibrasi 2-6500 ng/mL dengan koefisien korelasi 0,99927-0,99969. ......Hydroxychloroquine is an antimalarial drug that used for systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, and malaria treatment. However, hydroxychloroquine has several side effects such as ocular toxicity, neurotoxicity, gastrointestinal disorder, and also severe toxicity like cardiotoxicity. Therefore, therapeutic drug monitoring of high dose or long-term use of hydroxychloroquine is needed. This study aims to obtain an optimum and validated analysis and preparation method for hydroxychloroquine in VAMS using High Performance Liquid Chromatography – Photodiode Array Detector based on Food and Drug Administration guidelines (2018). Hydroxychloroquine quantification was performed using HPLC-PDA with Waters Sunfire™ C18 (5μm; 250 x 4,6mm) column with injection volume of 100 μL, and the temperature of column was controlled at 45 ºC. Mobile phase consist of acetonitrile-diethylamine 1% (65:35) (isocratic elution) and delivered at a flow rate of 0,8 mL/min through out the 12 minutes run. Sample in VAMS is extracted by liquid-liquid extraction with ammonia 1% and n-hexane-ethyl acetate (50:50 v/v), 500 μL each as a solvent. Blood in VAMS was dried for 2 hours, then added with internal standard solution and 1% ammonia solution. The samples were mixed on vortex for 15 seconds and sonicated for 5 minutes. n-hexane-ethyl acetate (50:50) was added to the samples, then mixed again on vortex for 15 second and centrifuged for 5 minuted at a speed of 10,000 rpm. n-hexane-ethyl acetate phase was separated and dried under Nitrogen gas flow. The residue from drying process as reconstituted with 150 μL mobile phase and transferred to autosampler vial for analysis. This method has successfully qualify the Food and Drug Administration (2018) parameters, with 2 ng/mL of LLOQ, range of calibration curve 2-6500 ng/mL, and coefficient of correlation 0,99927-0,99969.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library