Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Depok: Papua Center FISIP UI, 2012
306.995 4 UNI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi Suparlan, 1938-2007
Abstrak :
In this article, the author describes the history of changes among the Kamoro in Mimika. Some of the changes-due to changes in their physical, social, and cultural environment-were unexpected and surprising, so that they were not ready to cope with. Consequently, there were two prominent implications in their life: the increase of consumerism behavior, and the occurrence of more frequent conflicts among themselves. In the final part, the author examines the Kamoro relationship with outsiders, of how they categorize the latter, and with whom they used to generate conflicts. Recently, conflicts mainly occur on the problems of land dispute with outsiders, and in the competition to get the 'one million-dollars' funds from PT Freeport.
2001
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Drabbe, P.
Abstrak :
Buku ini berisi tentang tata bahasa Kamoro yang dijelaskan dalam bahasa Belanda.
'S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1953
BLD 499.25 DRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda pada satu lokasi yang berdampingan akan menimbulkan kesenjangan, baik kesenjangan sosial, ekonomi maupun, politik. Kesenjangan yang diakibatkan oleh kerangka berpikir (frame of references) yang berbeda mengakibatkan komunikasi yang tidak dua arah. PT. Freeport Indonesia dengan budaya inovator dan masyarakat Amungme serta Kamoro yang tradisionil mengalami hambatan dalam berkomunikasi yang lancar Frame of references yang membentuk persepsi pada masa lalu akan mungkin muncul kembali dikemudian hari untuk menginterpretasikan peristiwa yang hampir sama (Erwin P Bettinghaus,1987) Hal ini menjelaskan kerusuhan sosial yang sering terjadi di Mimika.

Pentingnya komunikasi tersebut baik pada masyarakat tradisionil yang menekankan komunikasi lisan (J.L. Fischer,1973) dan arti komunikasi pada masyarakat kapitalis yang demikian penting (Jurgen Habermas, 1970) Serta karakteristik komunikasi tertulis dari budaya birokrasi (Max Weber, 1943) menuntut Suatu pendekatan manajemen komunikasi dan Strategi komunikasi agar terjadi Suasana harmonis dan derap maju bersama dari tiga perbedaan yang ada.

Dengan pendekatan kualitatif Serta didukung wawancara pembicaraan informal dan wawancara baku terbuka pada pihak yang berkepentingan dan kompeten juga kajian literatur maka pemgumpulan data dan analisis dapat dilakukan. Keterbatasan penelitian mengakibatkan data yang didapat tidak dilengkapi dengan data primer.

Hasil temuan Studi ini menekankan pentingnya lembaga independen yang dapat dipercaya untuk menjembatani berbagai macam kepentingan yang berbeda. Strategi komunikasi yang disusun dibagi dalam tiga periode yaitu periode jangka pendek jangka menengah dan jangka panjang dengan tujuan yang berbeda dan khalayak yang berbeda pula untuk masing-masing periode.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bhremaalya Enzovani Wiratno Putra
Abstrak :
Sejak tahun 1990-an, PT Freeport Indonesia mensponsori festival-festival besar yang bertujuan untuk merevitalisasi dan memberdayakan masyarakat Kamoro, penduduk asli Mimika, Papua Tengah. Festival-festival ini memberikan kesempatan kepada para pemahat Kamoro untuk menjual karya mereka dengan harga yang menguntungkan dan menampilkan budaya mereka kepada khalayak yang lebih luas. Inisiatif ini memicu terjadinya kebangkitan budaya Kamoro yang signifikan, khususnya di kalangan maramowe, sang pengukir Kamoro. Seiring berjalannya waktu, kebangkitan budaya ini berkembang menjadi misi preservasi, pemberdayaan, dan promosi budaya Kamoro yang kini dilakukan oleh Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe di bawah naungan PT Freeport Indonesia. Penelitian ini mengkaji proses kompleks yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif ini, dengan fokus pada fenomena komodifikasi budaya dan rekacipta tradisi. Selain itu, tulisan ini juga memberikan wawasan mengenai perkembangan ini dari sudut pandang masyarakat Kamoro sendiri. ......Since the 1990s, PT Freeport Indonesia has sponsored major festivals aimed at revitalizing and empowering the Kamoro people, the indigenous people of Mimika, Central Papua. These festivals give Kamoro carvers the opportunity to sell their work at profitable prices and showcase their culture to a wider audience. This initiative sparked a significant cultural revival, especially among Maramowe, the Kamoro carvers. Over time, this cultural revival developed into a mission to preserve, empower and promote Kamoro culture which is now carried out by the Maramowe Weaiku Kamorowe Foundation under the auspices of PT Freeport Indonesia. This research examines the complex processes involved in these initiatives, focusing on the phenomena of cultural commodification and the reinvention of tradition. In addition, this paper also provides insight into these developments from the perspective of the Kamoro people themselves.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrizal Fairuz
Abstrak :
Kegiatan PLTU Puncak Jaya dalam menyalurkan listrik menghasilkan limbah abu terbang yang sangat banyak tiap tahunnya. Kegiatan itu berada dekat dengan perkampungan Suku Kamoro yang populasinya cukup banyak. Maka dirancanglah sebuah pabrik batako yang produksinya menggunakan tenaga kerja dari Suku Kamoro dan proses produksinya menggunakan limbah abu terbang sebagai bahan baku. Dengan menghitung waktu standar pembuatan batako, maka dapat dibuat rancangan lini produksi, kebutuhan bahan baku (MRP) dan rencana produksi (MPS) tiap bulan. Diharapkan dengan rancangan pabrik batako ini dapat memberdayakan minimal 100 orang pada lini produksi. ......Puncak Jaya PLTU in electric supply activities produce a lot of fly ash every years. This activities nearly with Kamoros etnic village that have a large population. Then a brick manufacturing will be design that use Kamoros etnic as a labour and production process use fly ash as raw material. With determine a brick making standart time we can create production line, material requirement planning (MRP) and master production planning (MPS) for each month. Expected by this brick manufacturing design will utillization around 100 people in production line.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51856
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Els Tieneke Rieke Katmo
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana perempuan Kamoro beradaptasi terhadap perubahan lingkungan berdasarkan kajian terhadap pengalaman individu perempuan Kamoro dengan budayanya yang matriarkhal dalam interaksiya dengan kondisi ekologisnya yang rusak. Kerangka analisis yang dipakai adalah politik ekologi feminis. Metode penelitian ini adalah studi kasus feminis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan observasi. Hasil analisis memberikan kesimpulan tiga hal yakni: pertama, perempuan Kamoro memiliki cara beradaptasi tertentu terhadap perubahan ekosistimnya. Cara beradaptasi itu mengacu pada gendered knowledge, gendered environmental rigths and responsibilities dan gendered environmental grass roots political activism. Kedua, cara pandang tentang dan memperlakukan alam dan perempuan sebagai objek telah mengganggu relasi dan peran laki-laki, perempuan, dan alam. Akibatnya adalah kerusakan ekologi dan ketidakberdayaan perempuan. Ketiga, relasi perempuan dan alam adalah sebuah relasi yang penting. Penelitian ini menyarankan: pertama, pemerintah perlu kaji kembali paradigma pembangunan, pemerintahan yang demokratis dan transparansi sehingga memungkinkan kontrol masyarakat, dalam era otonomi ada bagi kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan. Kedua, PTFI perlu mempertimbangkan prinsip keadilan gender yang proposional dan berperspektif gender dalam program pemberdayaan masyarakat dan mengacu pada cara perempuan Kamoro melakukan adaptasi atas perubahan ekosistimnya. Ketiga, perempuan Kamoro berhenti melakukan internalisasi nilai sebagai pencari nafkah, mengkaji kembali bentuk-bentuk penindasan bagi perempuan Kamoro dalam budaya, untuk melahirkan kembali cara pandang baru tentang relasi perempuan, alam, dan laki-laki yang lebih harmonis, serta perempuan Kamoro membangun kekuatan kolektif yang independen dan mengembangkan jaringan dengan berbagai pihak. ......The focus of the research is to explain how Kamoro women adapt to the environmental changes based on a study on the individual daily life experiences of Kamoro women with their matriarchal culture in interaction with the damaged ecological condition. The research method used is a Feminist Political Ecology. The data are collected by conducting in-depth interview, involved supervision, and observation. The result of the analysis suggests three conclusions. First, Kamoro women possess a certain method of condition to face the changes in the ecosystem. This method of adaptation refers to the gender knowledge, gendered environmental rights and responsibilities as well as gendered environmental grassroots political activism. Second, the view point on and the treatment toward nature and women as the subject have disrupted the relation and the role of men, women, and nature. It results in the damaged ecology and powerlessness in women. Third, relation between women and nature is an important relation. The research proposes a number of suggestions: First, the government needs to review the paradigm of development, the democratic and transparent government, so that the community control can be carried out, and in the area of regional autonomy the local wisdom is considered in the management of environment. Second, PTFI needs to consider the principle of gender justice which is proportional and has gender perspective in the community development program and which refers to the method used by Kamoro women to adapt to the changes in the ecosystem. Third, Kamoro women cease to do the value internalization as a financial provider, review the kinds of oppression against Kamoro women in the area of culture, in order to relive a new viewpoint on a more harmonious relation among women, nature, and men, and Kamoro women should build an independent, collective power and develop their network with various parties.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24305
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusdam Arrang Bua
Abstrak :
[ABSTRAK
Ketertarikan penulis untuk membahas CSR PTFI bermula dari ditemukannya fakta yang mencatat bahwa, (1) alokasi dana CSR PTFI untuk program CD adalah lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan alokasi dana CSR oleh perusahaan (ekstraktif) lainnya di Indonesia; dan (2) dalam realisasi distribusi dana CSR untuk CD, pengelolaan lebih besar dana CSR untuk CD (dana kemitraan) dikelola oleh LPMAK. Oleh sebab itu, tesis ini adalah suatu kajian akademis yang membahas mengenai pemaknaan pelaksanaan CD LPMAK sebagai wujud representasi CSR PTFI. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran LPMAK dalam pengelolaan program CD, secara khusus kepada masyarakat suku Kamoro di wilayah Kokonao, Distrik Mimika Barat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan dua jenis data yaitu data primer (observasi dan wawancara/in-depth interview) dan data sekunder dari kajian literatur akademis berupa buku, jurnal dan berbagai dokumen dari PTFI dan LPMAK. Dengan berpijak pada analisis Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton dan lima modal CD, hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan CD LPMAK di Kokonao telah diimplementasikan dengan cukup baik, namun pelaksanaannya masih belum maksimal. Tidak maksimalnya pelaksanaan CD bersumber dari faktor-faktor penghambat peran aktor/unit dalam sistem pengolahan CD. Secara keseluruhan, hasil penelitian telah berkontribusi secara teoritis, menambah wawasan pemahaman terhadap Analisis Fungsional Merton dari sisi konsep ‗fungsi‘ dalam kategori intended consequences dan konsep ‗disfungsi‘ dalam kategori unintended consequences. Pertama, pada kategori intended consequences, penulis menemukan bahwa konsep ‗fungsi manifes‘ secara aplikatif dalam konteks CD memiliki dua sifat yang disebut penulis dengan istilah consistency dan inconsistency. Kedua, pada kategori unintended consequences, penulis juga menemukan bahwa konsep ‗disfungsi‘ Merton tidak serta merta dapat digunakan untuk membaca kekurangan dari fungsional CD. Pemaknaan kekurangan tersebut diakomodir dalam suatu konsep yang disebut penulis sebagai less function. Konsep less function ditujukan untuk mempertegas derajat disfungsi yang tidak disebutkan Merton dalam penjelasannya mengenai konsep ‗disfungsi‘. Lebih jauh, less function adalah derajat kecil (derajat lebih rendah dari disfungsi—disfungsi berderajat) dalam menginterpretasikan konsep ‗disfungsi‘ Merton di dalam kategori unintended consequences.
ABSTRACT
The anxiety of author towards PTFI‘s CSR started from the fact that (1) PTFI's CSR funding allocation for CD program is greater in number than any other extractive companies in Indonesia; and (2) the allocation of PTFI's CSR funding for CD (Partnership Fund), in a greater number is managed by LPMAK. So, this thesis is an academic study discussing about the implementation of CD by LPMAK, as a representation of PTFI‘s CSR. The thesis aims to assess the LPMAK‘s role in conducting community development programs, especially to the Kamoro tribe in Kokonao Village, Mimika Barat District. This research applied a qualitative approach, by using two types of data, which are the primary data sources collected through observation as well as in-depth interview and the secondary data collected from academic books, journals, and documents from PTFI and the LPMAK. Using Robert K. Merton‘s Structural Functionalism analysis and five capitals of CD, the result of the study showed that LPMAK‘s CD implementation was good enough; still it had not been implemented maximally, due to some factors which reduced the role of the unit in CD‘s processing system. Overall, the result of the study has given a theoretical contribution in broadening the understanding of Merton‘s Functional Analysis at the side of function and dysfunction concepts. First, in the intended consequences category, the author found that manifest function concept in the CD context has two characteristics, called consistency and inconsistency. Second, from the unintended consequences, the author also found that Merton‘s dysfunction concept cannot be applied easily to read the functional deficiencies of CD. The understanding of its deficiencies was accommodated in a concept called here as less function. Less function concept is used to emphasize the degree of Merton‘s dysfunction concept which is not explained well before. Furthermore, less function is defined as a small degree (a lower degree than dysfunction—dysfunction with degree) in the interpretation of Merton‘s dysfunction concept within unintended consequences category, The anxiety of author towards PTFI‘s CSR started from the fact that (1) PTFI's CSR funding allocation for CD program is greater in number than any other extractive companies in Indonesia; and (2) the allocation of PTFI's CSR funding for CD (Partnership Fund), in a greater number is managed by LPMAK. So, this thesis is an academic study discussing about the implementation of CD by LPMAK, as a representation of PTFI‘s CSR. The thesis aims to assess the LPMAK‘s role in conducting community development programs, especially to the Kamoro tribe in Kokonao Village, Mimika Barat District. This research applied a qualitative approach, by using two types of data, which are the primary data sources collected through observation as well as in-depth interview and the secondary data collected from academic books, journals, and documents from PTFI and the LPMAK. Using Robert K. Merton‘s Structural Functionalism analysis and five capitals of CD, the result of the study showed that LPMAK‘s CD implementation was good enough; still it had not been implemented maximally, due to some factors which reduced the role of the unit in CD‘s processing system. Overall, the result of the study has given a theoretical contribution in broadening the understanding of Merton‘s Functional Analysis at the side of function and dysfunction concepts. First, in the intended consequences category, the author found that manifest function concept in the CD context has two characteristics, called consistency and inconsistency. Second, from the unintended consequences, the author also found that Merton‘s dysfunction concept cannot be applied easily to read the functional deficiencies of CD. The understanding of its deficiencies was accommodated in a concept called here as less function. Less function concept is used to emphasize the degree of Merton‘s dysfunction concept which is not explained well before. Furthermore, less function is defined as a small degree (a lower degree than dysfunction—dysfunction with degree) in the interpretation of Merton‘s dysfunction concept within unintended consequences category]
2015
T44711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
Abstrak :
Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI. Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980. Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan. Melalui penelitian ini ingin diketahui: 1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali. 2. Pola adaptasi di lokasi yang baru. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut. Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru. Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu: 1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya. 2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro. Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang. Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua. Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru. Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah: 1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah: a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur. b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru. 2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh: a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama. b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi. c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama. d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK. 3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu: a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan. Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro. b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI. Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut. Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang. Implikasi Penelitian 1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua. 2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah. 3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah. 4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional. ......Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management. Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement. Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area. This research was held with several objectives: 1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project. 2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications. Research hypothesis that were tested in this research, were: 1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment. 2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function. The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples. Research findings 1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro: a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement. b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro 2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene. These findings were concluded from: a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages. b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food. c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses. d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines. 3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes: a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education. b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations. c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation. Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite. Research Implications 1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program. 2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village. 3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods. 4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>