Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faris Bari Issains
Abstrak :
Selain penggunaan di berbagai industri, kaolin dapat digunakan sebagai bahan sintesis zeolit karena memilki keuntungan dari segi ekonomi dan lingkungan. Namun, kaolin perlu dilakukan aktivasi melalui kalsinasi pada temperatur dan waktu tertentu. Tujuan penulisain ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu kalsinasi terhadap karakteristik fisik dari kaolin yang berpotensi sebagai bahan baku untuk sintesis zeolit. Penulisan ini menggunakan pendekatan literature review dari berbagai sumber dengan melakukan evaluasi dan analisis data karakterisasi kaolin yang telah dilakukan aktivasi dengan variasi temperatur dan waktu kalsinasi. Bahan yang digunakan dalam penulisan ini adalah kaolin dari berbagai sumber, yaitu Belitung, China, Etiopia, Iran, Italia, Kankara, Malaysia, Nigeria, Serbia, Spanyol, dan Thailand. Data karakterisasi yang digunakan adalah SEM, FTIR, XRD, dan BET. Varibel temperatur kalsinasi yang dibahas dari berbagai literatur adalah 500, 550, 600, 650, 700, dan 800 °C, sedangkan variabel waktu kalsinasi yang dibahas dari berbagai literatur adalah 30, 60, 90, 120, 180, dan 300 menit pada 650 dan 800 oC. Metakaolin stabil pada rentang temperatur 500-850 °C. Aktivasi kaolin optimum pada temperatur 650 oC selama 120 menit atau 800 oC selama 60 menit agar terbentuk metakaolin secara sempurna yang bersifat reaktif, sehingga dapat digunakan sebagai bahan sintesis zeolit. Perubahan morfologi kaolin dari vermikular menjadi tidak beraturan diperoleh setelah kalsinasi pada temperatur ≥ 600 °C. Waktu kalsinasi selama 120 menit pada 650 °C memperoleh perubahan luas permukaan spesifik paling signifikan sebesar 50,6%. Temperatur dan waktu kalsinasi tinggi menghasilkan pengotor berupa cristobalite dan mulite yang dapat menurunkan reaktivitas metakaolin.
Besides being used in various industries, kaolin also can be used as material for zeolite synthesis due to it has economic and environmental advanteges. However, kaolin needs activated trough calcination at certain temperature and time. This work aimed to stody the influence of calcination temperature and time on physics characteristics of kaolin as a potential raw material for synthesis zeolite. This study uses literature review approach form various sources by evaluating and analyizing characterization of calcined kaolin with variations of temperature and time. The material used in this paper is kaolin from various sources, namely Belitung, China, Ethiopia, Iran, Italy, Kankara, Malaysia, Nigeria, Serbia, Spain, and Thailand. Characterizations data used are SEM, FTIR, XRD, and BET. Six different temperatures (500, 550, 600, 650, 700, 800 °C) and various calcination time (30, 60, 90, 120, 180, 300 minutes at 650 and 800 oC) were discussed. Metakaolin stable in the temperature range of 500 850 °C. The optimum kaolin activation at 650 oC for 120 minutes or 800 oC for 60 minutes to form metakaolin completely which is reactive, so it can be used as a zeolite synthesis material. Morphology kaolin changed from vermicular to irregular after calcination at above 600 °C. Calcination time for 120 minutes at 650 °C produced the most significant specific surface area changes of 50.6%. High temperatures and calcination times produce impurities in the form of cristobalite and mulite which can reduce the reactivity of metakaolin.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursiah
Abstrak :
ABSTRAK
Titanium Dioksida sebagai semikonduktor fotokatalisis telah banyak diaplikasikan untuk keperluan pemurnian air dan udara. Pada rangkaian sistem TiO2 untuk keperluan fotokatalisis, dapat digunakan TiO2 yang diimmobilisasikan dalam bentuk lapisan tipis dengan proses sol-gel. Jenis kristal yang paling aktif untuk keperluan fotokatalisis untuk degradasi polutan adalah anatase. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengoptimalkan proses fotokatalisis tersebut antara lain upaya untuk memperbesar persentase anatase dan memperbaiki karakteristik lapisan tipisnya. Pada penelitian mi, divariasikan jenis pelarut alkohol, lama kalsinasi dan pengulangan kalsinasi.Variasi pelarut alkohol yang digunakan yaitu metanol, etanol dan isopropanol. Persentase anatase pada Ti0 2 yang dihasilkan dari ketiga larutan berbeda, yang terbesar Ti0 2 dari larutan dengan pelarut metanol. Dari foto SEM terlihat bahwa proses sol-gel pada larutan dengan pelarut etanol menghasilkan proses gelasi sedangkan yang berpelarut isopropanol menghasilkan proses presipitasi. Luas permukaan lapisan yang paling besar adalah yang berasal dan larutan dengan pelarut isopropanol. Vaniasi lama kalsinasi yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, 90 menit, 2,5 jam, 5 jam, 7,5 jam dan 10 jam. Dari difraktogram sinar-X tenlihat bahwa semakin lama kalsinasi yang diberikan, jumlah anatase semakin sedikit. Percohaan ketiga adalah mengulangi kalsinasi setelah T10 2 terbentuk. Kalsinasi dilakukan dua kali masing-masing selama 45 menit. Persentase anatase pada kristal T102 jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang sekali kalsinasi selama 45 menit.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Irwin Marlundu
Abstrak :
Metakaolin telah berhasil dibuat menggunakan kaolin Pulau Bangka dengan proses kalsinasi. Pada penelitian ini proses kalsinasi menggunakan lima variabel temperatur: 600, 650, 700, 750, dan 800°C selama 4 jam. Pada penelitian ini, kaolin juga diberikan perlakuan mekanik berupa milling untuk mempelajari pengaruh perlakuan milling terhadap produk hasil kalsinasi. Kaolin di-milling menggunakan planetary ball mill selama 15 menit dengan kecepatan milling sebesar 20rad/min dan kemudian dikalsinasi dengan masing-masing variabel temperatur. Sebagai material pembanding, metakaolin komersial dengan produk dagang MetaStar digunakan untuk dibandingkan karakteristiknya dengan metakaolin yang dihasilkan pada setiap temperatur. Hasil perlakuan milling kaolin, beserta kaolin dan MetaStar dikarakterisasi distribusi ukuran partikelnya menggunakan instrumen Particle Size Distribution. Kemudian, setiap metakaolin dan juga MetaStar akan dikarakterisasi menggunakan instrumen X-Ray Diffraction XRD dan Scanning Electron Microscope SEM . Pengujian Simultaneous Thermal Analysis STA juga dilakukan untuk mempelajari perilaku pemanasan kaolin dan kaolin dengan perlakuan milling. Hasil karakterisasi XRD menunjukkan kemiripan antara metakaolin Bangka dengan MetaStar, pengecualian untuk metakaolin MK800-MT. Hasil pengujian STA menunjukkan adanya pergeseran temperatur dimana kaolin mengalami dehidroksilasi dan rekonstruksi setelah kaolin diberi perlakuan milling. Dan kemudian, hasil pengujian SEM menunjukkan keberadaan struktur kaolinite berbentuk lapisan lamelar-laminate. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan struktur yang terlihat setelah kaolin dikalsinasi. ......Metakaolin has been successfully made using Pulau Bangka rsquo s kaolin through calcination process. In this study, the calcination process used five temperature variables 600, 650, 700, 750, and 800°C for 4 hours. In this study, kaolin is subjected to mechanical treatment to study the effect of the treatment on the product of calcination. Kaolin is milled using a planetary ball mill for 15 minutes at a milling speed of 20rad min and then calcined with each temperature variable. As a comparison material, commercial metakaolin MetaStar products is used to compare its characteristic to the metakaolin produced at each temperature. The results of milling treatment, along with kaolin and MetaStar is characterized using the particle size distribution instrument to determine the particle size. Then, each metakaolin and MetaStar will be characterized using X Ray Diffraction XRD and Scanning Electron Microscope SEM instruments. Simultaneous Thermal Analysis STA was also conducted to study the heating behavior of kaolin and kaolin after milling treatment. The results of XRD characterization show similarities between metakaolin Bangka and MetaStar, except to MK800 MT metakaolin. The STA test results showed a temperature shift in which the kaolin was dehydroxylated and reconstructed after kaolin was treated with milling. And then, the SEM test results show the existence of kaolinite structures in the form of lamellar laminate layers. It can be concluded that there is no structural changes happened after the kaolin is calcined.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Adzkaro Khoirurrijal
Abstrak :
ABSTRACT
Nowadays, either keeping or throwing out the final product of dental cast is the most common thing to do. The waste from dentistry can be considered toxic if not handled specifically and separately to other waste. Hence, recycling process can reduce its effect and the waste of dental casts. The aim of this research is to reuse the dental gypsum either for practical use or health facilities. This research studies, the behavior of before after recycle and heat treatment to several grades of dental gypsum that will be used as impression material or dies. As it rsquo s designed to be an impression material that will undergo heat treatment, Simultaneous Thermogravimetry and Differential Scanning Calorimetry TGA DSC will be applied to understand the Phase Transformation to its mass change and the behavior to a temperature difference. The result will be validated using an experimental approach. X ray Diffraction XRD and Scanning Electron Microscope will also be done to identify the crystalline phases and the surface microstructure, it will be validated using an experimental approach as well. A range of gap between parameter values is expected between the fresh new dental gypsum and the recycled one. However, it is expected some similar values between the heat treated and the fresh new dental gypsum.
ABSTRACT
Dewasa ini, baik menyimpan atau membuang produk akhir dari gips gigi adalah hal yang paling umum untuk dilakukan. Limbah dari kedokteran gigi dapat dianggap beracun jika tidak ditangani secara khusus dan terpisah dengan limbah lainnya. Oleh karena itu, proses daur ulang dapat mengurangi efek dan limbah gips gigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggunakan kembali gipsum gigi baik untuk penggunaan praktik atau fasilitas kesehatan. Penelitian ini mempelajari, perilaku sebelum-sesudah mendaur ulang dan perlakuan panas ke beberapa tipe gipsum gigi yang akan digunakan sebagai bahan impresi atau cetakan. Karena dirancang untuk menjadi material impresi yang akan menjalani perlakuan panas, Simultaneous Thermogravimetry dan Differential Scanning Calorimetry TGA-DSC akan diterapkan untuk memahami transformasi fase untuk perubahan massa dan perilaku terhadap perbedaan suhu. Hasilnya akan divalidasi menggunakan pendekatan eksperimental. X-ray Diffraction XRD dan Scanning Electron Microscope SEM juga akan dilakukan untuk mengidentifikasi fase kristal dan mikro struktur permukaan, perihal tersebut akan divalidasi menggunakan pendekatan eksperimental. Keberadaan renggang antara nilai-nilai parameter diharapkan antara gipsum gigi segar / baru dan yang didaur ulang. Namun, diharapkan beberapa nilai serupa antara perlakuan panas dan gipsum gigi baru / segar.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiz Rizqullah Hasian Rambey
Abstrak :
Nanokomposit CeO2/SnO2 telah disintesis melalui proses hidrotermal dan pola difraksi XRD nanokomposit yang dihasilkan masih memuat impuritas selain SnO2 dan CeO2, dan belum menunjukkan terjadinya kristalisasi. Weight loss di 250oC dan 600 oC yang berhubungan dengan hilangnya molekul air dan terjadinya kristalisasi pada nanokomposit diketahui dari hasil pengukuran TGA (Thermal Gravimetric Analysis). Proses kalsinasi terhadap nanokomposit untuk tiga variasi suhu, yaitu 500 oC, 600 oC, dan 700 oC selama 2 jam, menghasilkan pola difrasi XRD (X-Ray Diffraction) dengan hilangnya impuritas dan kristalisasi yang baik. Indentifikasi nanokomposit menggunakan XRF (X-Ray Fluoroscene) menunjukkan elemen Sn dan Ce tetap hadir setelah proses kalsinasi. Kehadiran ikatan oksigen dengan Ce (~460 cm-1) dan Sn (~630 cm-1) diketahui dari pengukuran Raman. Perhitungan celah pita optik nanokomposit dari hasil reflektansi UV-VIS DRS (UV-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopy) berada diantara CeO2 dan SnO2, dan tidak menunjukkan perubahan yang besar dengan perlakuan kalsinasi. Sifat permukaan nanokomposit CeO2/SnO2 dengan dan tanpa kalsinasi menunjukkan macropores yang berbentuk slit-shaped pores. Nanokomposit CeO2/SnO2 yang dikalsinasi pada suhu 600 oC menunjukkan kinerja fotokatalitik terbaik untuk cahaya tampak, dengan dosis 0.2 g/L, dan pH 13 dalam mendegradasi MB (Methylene Blue). Bertambahnya waktu rekombinasi elektron-hole dengan penggabungan CeO2 dan SnO2 yang berbeda celah pita optik, yang berkontribusi dalam degradasi maksimum MB, dengan hole sebagai species yang berperan aktif untuk paparan pada cahaya tampak. ......The CeO2/SnO2 nanocomposites have been synthesized through the hydrothermal process and the nanocomposites XRD diffraction pattern produced still contains impurity other than SnO2 and CeO2, and have not shown crystallization. Weight loss at 250 oC and 600 oC which is related to the loss of water molecules and the occurrence of crystallization in nanocomposites is known from the results of TGA (Thermal Gravimetric Analysis) measurements. The process of calcination of nanocomposites for three variations of temperature, namely 500 oC, 600 oC, and 700 oC for 2 hours, produces XRD (X-Ray Diffraction) diffraction patterns with impurity loss and good crystallization. Identification of nanocomposites using XRF (X-Ray Fluoroscene) shows the elements Sn and Ce remain present after the calcination process. The presence of oxygen bonds with Ce (~ 460 cm-1) and Sn (~ 630 cm-1) is known from Raman measurements. Calculation of nanocomposite optical band gap from the results of UV-VIS DRS (UV-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopy) is between CeO2 and SnO2, and does not show a large change with calcination treatment. Surface properties of CeO2 / SnO2 nanocomposites with and without calcination showed macropores in the form of slit-shaped pores. CeO2 / SnO2 nanocomposites calcined at 600 oC showed the best photocatalytic performance for visible light, at a dose of 0.2 g / L, and pH 13 in degrading MB (Methylene Blue). Increased electron-hole recombination time by combining CeO2 and SnO2 with different optical band gaps, which contributes to the maximum degradation of MB, with holes as species that play an active role for exposure to visible light.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Natasya
Abstrak :
Penelitian telah selesai dilakukan untuk mengetahui pembentukan metakaolin menggunakan kaolin Badau, Bangka Belitung, sebagai bahan baku zeolit. Untuk dapat dimanfaatkan dalam sintesis zeolit, kaolin harus diubah terlebih dahulu menjadi metakaolin agar reaktivitasnya dapat meningkat. Dalam penelitian ini, kaolin diaktivasi menggunakan larutan kimia HNO3 3M dan 4M, lalu diagitasi selama 24 jam dengan kecepatan 300 rpm pada suhu 50°C. Kemudian, kaolin dinetralkan dan dikeringkan pada suhu 110°C. Sampel yang sudah kering dikalsinasi pada suhu 550°C dan 650°C selama 5 jam. Sampel dikarakterisasi luas permukaan dan porinya menggunakan Brunauer-Emmett-Teller ( BET), gugus fungsi dengan inframerah (FTIR), topografi permukaan dengan elektron mikroskop yang dilengkap dengan sinar-X dispersi energi (SEM-EDS), dan kristal struktur dengan sinar-X (XRD). Hasil FTIR menunjukkan hilangnya gugus hidroksil saat kaolin dikalsinasi pada suhu 550°C dan 650°C, diperkuat oleh hasil SEM yang menunjukkan perbedaan morfologi antara raw kaolin dan kaolin dengan kalsinasi. Luas permukaan dan diameter pori paling besar, yakni 21.261 m2/g dan 3,4826 nm, terjadi pada kaolin yang dikalsinasi pada suhu 650°C. Hasil EDS menunjukkan perbedaan kandungan pengotor berupa K, Fe, dan Zn antara raw kaolin dan kaolin dengan aktivasi asam HNO3 3M . Hasil XRD menunjukkan perubahan dari kaolinit menjadi kuarsa pada sampel yang diberikan perlakuan. ......Research has been performed to determine the formation of metakaolin using Badau kaolin, Bangka Belitung, as a zeolite raw material. To be used in zeolite synthesis, kaolin must be converted into metakaolin to increase its reactivity. In this research, kaolin was activated using HNO3 3M and 4M chemical solutions, agitated for 24 hours at a speed of 300 rpm at temperature 50°C. Kaolin was then neutralized and dried at 110°C. The dry samples were calcined at 550°C and 650° C for 5 hours. The samples were characterized for surface area and pore using Brunauer-Emmett-Teller (BET), functional groups using infrared (FTIR), surface morphology using scanning electron microscope equipped with energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDS), and crystal structure using X-ray diffraction (XRD). FTIR results showed the loss of hydroxyl groups when kaolin was calcined at 550°C and 650°C, SEM results showed morphological differences between raw kaolin and kaolin with calcination. The largest surface area and pore diameter of 21,261 m2/g dan 3.4826 nm occurred in kaolin calcined at 650°C. The EDS results showed differences in the impurity content including K, Fe, and Zn between raw kaolin and kaolin with 3M HNO3 acid activation. The XRD results showed a change from kaolinite to quartz in the treated samples.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Decky Joesiana Indrani
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan. Hidroksiapatit sintesis dan hidroksiapatit (HA) yang diproleh secara komersial menunjukkan derajad kristalinitas tinggi. Salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan degradasi scaffold alginat/HA adalah menggunakan HA amorf dan dalam struktur komposit biopolimer/HA. Alginat yang diperoleh dari alga coklat Sargassum di perairan Banten belum dimanfaatkan untuk kegunaan rekayasa jaringan. Selain itu, pengamatan pertumbuhan sel pada scaffold selalu dilakukan pada scaffold yang materialnya diperoleh secara komerisal. Tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh scaffold dari komposit hidroksiapatit kalsinasi rendah dengan alginat (S.duplicatum dan S.crassifolium) yang dapat digunakan sebagai kerangkat pertumbuhan sel. Material dan Metode. Scaffold dipreparasi dari HA yang diperoleh secara sintesis dengan alginat yang ekstraksi dari alga S.duplicatum atau S.crassifolium. Karakterisasi dilakukan terhadap serbuk HA dengan kalsinasi suhu 400°-900°C , serbuk alginat dan scaffold alginat S.duplicatum/HA atau S.crassifolium/HA. Pemilihan dengan kemampuan degradasi tinggi selain berdasarkan berdasarkan derajat kristalinitas, ukuran kristalit dan luas mukaHA, juga berdasarkan uji degradasi dan uji mekanik dari scaffold. Selanjutnya, terhadap scaffold alginat S.duplicatum dan S.crassifolium/HA dilakukan kultur sel. Pertumbuhan sel diukur dari aktifitas ALP dan perlekatan sel pada scaffold. Hasil. Serbuk hidroksiapatit dengan kalsinasi suhu 400°C, 750°C atau 900°C telah diidentifikasi sebagai fasa hidroksiapatit karbonasi yang sesuai dengan tulang. Identifikasi terhadap alginat S.duplicatum atau S.crassifolium memperlihatkan terbentuknya alginat yang mengandung gugus yang sesuai dengan protein. Hidroksiapatit kalsinasi suhu 400°C menunjukkan degradasi terbesar. Namun, mempertimbangkan kekuatan mekanik, telah dipilih scaffold alginat S.duplicatum/HA750°C dan S.crassifolium/ HA750°C untuk dilakukan kultur sel punca mesenkimal. Pengamatan setelah lima minggu pada masingmasing scaffold diketahui bahwa sel punca mesenkim telah berdiferensiasi ke ostoeblas dan memperlihatkan perlekatan osteoblas pada masing-masing scaffold. Pembahasan. Pertumbuhan sel punca mesenkimal pada scaffold komposit alginat S.duplicatum/HA750°C dan S.crassifolium/ HA750°C dapat dijelaskan karena adanya degradasi dari material scaffold selama scaffold berada di dalam medium kultur. Degradasi memungkinkan terlepasnya ion-ion yang terkandung di dalam material scaffold dan masuk ke dalam sel serta mempengaruhi pertumbuhan sel punca mesenkimal.
ABSTRACT
Introduction. Synthesized and commercially available hydroxyapatites have shown high degree of crystallinity which were difficult to degrade. Efforts to incrrease the degradation have used amorphous hydroxyapatite and alginate/hydroxyapatite structure. As an addition, the abundant of Sargassum algae in Banten shore have not been applied for tissue engineering purposes. The use of mesenchymal stem cell have showed more proliferation in scaffold than that of osteoblasts. Aim. The aims of the present study, therefore, were to provide alginat / hydroxyapatites of low calcination temperatures compsite scaffolds available for mesenchymal stem cell growth. Materials and Methods. Alginate/hydroxyapatite composite scaffolds were developed using S.duplicatum or S.crassifolium with amorphous hydroxyapatites. Characterizations were conducted for S.duplicatum or S.crassifolium alginates, hydroxyapatites as well as alginate/hydroxyapatite composite scaffolds. Alginat/ hydroxyapatite composite showing high degradation and high compressive strength were considered for cell culture in the scaffolds. Results. Results showed that extractions of S.duplicatum and S.crassifolium algae were identified as alginates presenting the components similar to proteins. Synthesized hydroxyapatites calcinated at 400°C, 750°C or 900°C was identified as carbonated hydroxyapatite that simulate the human hard tissues. Hydroxyapatite of 400°C showed higher degradation. However, alginate S.duplicatum/hydroxyapatite of 750°C and S.crassifolium/ hydroxyapatite of 750°C composites scaffolds were chosen as scaffolds for the cell culture to secure the compression strength. Incubation of mesenchymal stem cells on both scaffolds for five weeks have showed differentiation of mesenchymal stem cells into osteoblasts and cell attachment in each scaffolds. Discussion. The growth of osteoblast in alginate S.duplicatum/hydroxyapatite of 750°C and S.crassifolium/ hydroxyapatite of 750°C composites scaffolds may have been due to the degradation each scaffolds that would transfer ions from the scaffolds to mesenchymal stem cells.
Depok: 2012
D1315
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rezki Ashidiqi
Abstrak :
Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh temperatur kalsinasi dan jenis aktivasi kimia pada kaolin belitiung sebagai bahan baku zeolit. Tujuan dari aktivasi kaolin adalah untuk menjadi bahan baku pembuatan zeolit sebagai katalis proses hydrocracking minyak bumi. Pada penelitian ini menggunakan metode literature review. Penelitian ini mengambil hasil karakterisasi literatur dengan perbedaan media penukar kation NaOH, KOH, NH4Cl, NH4NO3, dan HNO3. Selain data perbedaan media penukar kation, perbedaan temperatur yang diambil pada suhu 500, 550, 600, 650, 700, 750°C. sampel- sampel yang didapatkan dari literatur merupakan karakterisasi Fourier transform infrared (FTIR) Spectroscopy dan X-Ray Diffraction Spectroscopy (XRD), dan X-Ray Diffraction Spectroscopy (XRF). Hasil yang diperoleh adalah dengan pemberian media penukar kation yang bersifat asam merupakan metode yang cocok untuk membuat zeolit sebagai cangkang katalis, sementara perlakuan pemberian media penukar kation KOH merupakan metode yang baik untuk membuat zeolit secara efisien. ......In this study to determine the influence of calcination temperature and type of chemical activation in kaolin Belitiung as the raw material of zeolite. The purpose of kaolin activation is to be the raw material of zeolite manufacture as a catalyst for petroleum hydrocracking processes. In this study used the literature method of review. This research took the results of the characterization of literature with the difference of media exchanger of NaOH, KOH, NH4Cl, NH4NO3, and HNO3. In addition to the difference data of cation exchangers, temperature difference taken at 500, 550, 600, 650, 700, 750°C. The samples obtained from literature are characterization of Fourier transform infrared (FTIR) Spectroscopy and X-Ray Diffraction Spectroscopy (XRD), and X-Ray Diffraction Spectroscopy (XRF). The results obtained is with the medium administration of cation of cations of acid is a suitable method to make zeolite as a catalyst shell, while the treatment of the media giving KOH cation exchanger is a good method to make zeolite efficiently.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herninta Fadhilah Novrianti
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu kalsinasi terhadap karakteristik kimia dan fisik dari kaolin alam. Kaolin sebagai bahan baku pembuatan zeolit untuk katalis hydrocracking minyak bumi diaktivasi menggunakan larutan asam sulfat dengan variasi konsentrasi 1, 5, dan 10 M untuk meningkatkan kadar SiO2 dan menurunkan kadar pengotor, seperti K2O, CaO, dan TiO2. Sampel kaolin dari berbagai daerah juga dikalsinasi dengan variasi waktu selama 10, 30, 45, 60, 90, 100, 120, 180, 240, 300, dan 900 menit pada range suhu kalsinasi 500-800 ºC. Sampel kaolin dikarakterisasi menggunakan XRF, FTIR, SEM, dan BET. Hasil percobaan menunjukkan adanya pengaruh dari variasi konsentrasi larutan media pertukaran ion yang digunakan. Terdapat kenaikan kadar SiO2 seiring bertambahnya konsentrasi asam sulfat hingga mencapai 87,46% pada konsentrasi 10 M. Perubahan morfologi kaolin menjadi metakaolin pada pengamatan SEM serta hilangnya gugus-gugus khas kaolinit pada pengamatan FTIR tidak dipengaruhi waktu kalsinasi. Sedangkan peningkatan waktu kalsinasi akan meningkatkan luas permukaan kaolin.
The goal of this study is to understand the effects of calcination time on chemical and physical characteristics of kaolin. Kaolin is used as a raw material for zeolites synthesis as petroleum catalysts support to modify the structure of hydrocarbon compunds into lighter fractions. Kaolin was treated using sulfuric acid 1, 5, and 10 M solution with the aim to increase its SiO2 content and decrease the impurities of kaolin, specifically K2O, CaO, dan TiO2. Kaolin samples from different regions were converted into metakaolin in order to increase its reactivity and properties through the calcination process for 10, 30, 45, 60, 90, 100, 120, 180, 240, 300, dan 900 minutes at temperatures range of 500-800 ºC. Samples were characterized using XRF, FTIR, SEM, and BET. Treated kaolin produces an increase in SiO2 levels to reach 87,46% at a concentration of 10 M sulfuric acid solution. Changes in morphology of kaolin to metakaolin on SEM observations and loss of typical kaolinite groups on FTIR observation were not affected by calcination time. However, increase in calcination time will increase the surface area of kaolin and also its reactivity. Calcined kaolin produces an optimum surface area at the time of calcination for 120 minutes with a 52% increase compared to the raw kaolin.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Luthfiyah
Abstrak :
Hidroksiapatit (HA) merupakan biomaterial yang dapat diekstrak dari limbah alami. Material hidroksiapatit dapat diaplikasikan dalam medis karena memiliki sifat biokompatibel, bioaktivitas, dan osteokonduksi yang bagus. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis hidroksiapatit dari tulang femur sapi dengan menggunakan suhu kalsinasi yang berbeda yaitu pada suhu 850oC dan 900oC. Hidroksiapatit yang diperoleh akan dikarakterisasi menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA), X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscopy Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS), dan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu kalsinasi maka akan semakin banyak senyawa organik yang terdekomposisi. Selain itu, peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan ukuran kristal dan kristalinitas meningkat. Ukuran kristal HA sintesis meningkat dari 41,11 nm menjadi 57,50 nm dan derajat kristalinitas meningkat dari 87,34% menjadi 88,18%. HA sintesis dan HA komersial memiliki struktur kristal heksagonal yang menunjukkan bahwa rasio Ca/P tidak sesuai dengan stoikiometri. Rasio Ca/P yang diperoleh pada suhu kalsinasi 850oC adalah 1,689 yang mana lebih mendekati rasio CaP stoikiometri 1,67 dibandingkan dengan menggunakan suhu kalsinasi 900oC. Sedangkan HA komersial memiliki rasio Ca/P yang lebih rendah dibandingkan HA sintesis dengan nilai rasio 1,523.
Hydroxyapatite (HA) is a biomaterial that can be extracted from natural waste. Hydroxyapatite can be applied medically because it has good biocompatibility, bioactivity, and osteoconduction. This study aims to synthesize hydroxyapatite from bovine bone using different calcination temperature, at 850oC and 900oC. Hydroxyapatite obtained will be characterized using Thermogravimetric Analysis (TGA), X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscopy Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS), and Fourier Transform Infra Red (FTIR). The results show that the higher temperature, the more organic compounds will be decomposed. In addition, an increase in calcination temperature causes crystallite size and crystallinity increased. Crystallite size of synthesis HA increased from 41.11 nm to 57.50 nm and the degree of crystallinity increased from 87.34% to 88.18%. Synthesis HA and commercial HA have a hexagonal crystal structure which means Ca/P ratio incompatible with stoichiometry. The Ca/P ratio obtained at temperature 850oC is 1.689 which is closer to the stoichiometric Ca/P ratio 1.67 compared using temperature 900oC. Whereas commercial HA has a lower Ca/P ratio than synthesis HA with ratio value 1.523.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>