Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latuasan, Kitra
"Latar Belakang : Nusa Tenggara Timur adalah wilayah endemik malaria. Tidak hanya malaria simtomatik, malaria asimtomatik juga menjadi beban daerah ini. Pendeteksiannya harus dilakukan dengan seksama. Perubahan hematologi yang terjadi pada pasien, diantaranya jumlah dan hitung jenis leukosit dapat dijadikan salah satu penanda terjadinya malaria asimtomatik.
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi malaria asimtomatik, mengetahui profil jumlah dan hitung jenis leukosit, serta mengetahui hubungan malaria asimtomatik dengan jumlah dan hitung jenis leukosit pada warga di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT.
Metode : Metode penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel yang berasal dari data sekunder penelitian induk di Nangapanda, Ende, NTT pada tahun 2009.
Hasil : Prevalensi malaria asimtomatik di Kecamatan Nangapanda, Ende, NTT sebesar 14,7. Median nilai minimum-nilai maksimum jumlah leukosit = 8000 3000-21000 sel/mm3, hitung jenis monosit = 5 0-14, hitung jenis granulosit = 47 10-71, hitung jenis limfosit = 48 23-84. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan malaria asimtomatik dengan jumlah dan hitung jenis leukosit pada keseluruhan data. Namun, jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, terdapat hubungan signifikan antara malaria asimtomatik dengan monosit pada jenis kelamin laki-laki p=0,031.
Diskusi : Tidak terdapat hubungan signifikan antara infeksi malaria asimtomatik dengan jumlah dan hitung jenis leukosit pada warga di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT.

Introduction : East Nusa Tenggara is a malaria rsquo s endemic region. The region bears not only the burden of symptomatic malaria, but also asymptomatic malaria. The detection of this disease must be done carefully, and one of the methods is to measure the hematological changes that happened in the patients body, calculating the total and differential leukocyte counts.
Objective : The objectives of this study were to find out the prevalence of asymptomatic malaria, the total and differential counts of leukocyte, and also the relationship between asymptomatic malaria with the total and differential leukocyte counts on the residents of Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara.
Method : This study used cross sectional method, with the sample originated from a secondary data of the previous study in Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara back in 2009.
Result : The prevalence of asymptomatic malaria in Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara was 14.7. While the median minimum maximum total leukocyte counts 8000 3000 21000 cell mm3, monocyte counts 5 0 14, granulocyte counts 47 10 71, lymphocyte counts 48 23 84. In this study, there was no significant relationship between asymptomatic malaria with total and differential leukocyte counts in the overall data. However, if categorized by sex, there was a significant relationship between asymptomatic malaria and monocyte counts in male p 0.031.
Discussion : There was no significant relationship between asymptomatic malaria infection with the total and differential counts of leukocyte on residents of Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Abdullah
"Infeksi merupakan komplikasi serius dan umum terjadi pada pasien di ruang rawat intensif rumah sakit. Pasien di ruang rawat intensif sering mengalami kondisi kritis dan imunosupresi yang membuat mereka rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik. Seringkali, penyebab infeksi tidak dapat langsung diidentifikasi, sehingga pemberian antibiotik empiris harus dilakukan, di mana antibiotik diberikan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan tentang patogen yang kemungkinan besar terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kuman dan kesesuaian pemberian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman, serta menganalisis hubungan kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris di ruang rawat intensif rumah sakit Cipto Mangunkusumo periode 2022. an observasional yang dilakukan secara potong lintang (cross-sectional) pada penggunaan antibiotik empiris pada pasien ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode 2022. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien yang dirawat di ruang rawat intensif periode Januari- Desember 2022 yang terdiri dari ICU Dewasa (Kanigara) dan ICU IGD RSCM. Perbaikan klinis setelah pemberian terapi antibiotik empiris dinilai dari penurunan jumlah leukosit, penurunan kadar prokalsitonin, perbaikan skor National Early Warning Score (NEWS) pada 0-48 jam setelah antiobiotik empiris dihentikan. Analisis bivariat dilakukan dengan Uji Chi Square, dengan nilai p signifikansi <0,05. Analisis multivariat dilakukan pada faktor perancu dengan Uji Regresi Logistik.

            Pada penelitian ini didapatkan 107 penggunaan antibiotik empiris. Hasil uji sensitivitas kuman pada pasien yang mendapatkan antibiotik empiris menunjukkan bahwa Klebsiella pneumonia dan Acinetobacter sp. adalah kuman yang paling banyak ditemukan, dengan tingkat sensitivitas yang rendah terhadap antibiotik di bawah 40% pada sebagian besar hasil uji sensitivitas kuman. Didapatkan jumlah kesesuaian antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas kuman lebih tinggi pada kategori tidak sesuai sebanyak 62,62% (n=67). Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien (p<0,05). Analisis multivariat menunjukkan kesesuaian penggunaan antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas memiliki signifikansi secara statistik terhadap perbaikan klinis (OR 5,26 (1,46-18,95), p = 0,011).

            Penggunaan antibiotik empiris di ruang rawat intensif sebagian besar tidak sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian hasil uji sensitivitas kuman dengan perbaikan klinis pada pasien. Temuan ini menegaskan pentingnya pemilihan antibiotik empiris yang tepat berdasarkan pola kuman dan hasil uji sensitivitas kuman untuk meningkatkan efektivitas perawatan di ruang rawat intensif.


Infections are a serious and common complication in patients in hospital intensive care units. Patients in intensive care often experience critical conditions and immunosuppression, making them vulnerable to various infections, including those caused by antibiotic-resistant pathogens. Often, the cause of the infection cannot be immediately identified, necessitating the administration of empirical antibiotics, where antibiotics are given based on clinical experience and knowledge of the most likely involved pathogens. This study aims to determine the pattern of pathogens and the appropriateness of empirical antibiotic administration with the results of pathogen sensitivity tests, as well as to analyze the relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients receiving empirical antibiotics in the intensive care unit of Cipto Mangunkusumo Hospital for the period of 2022.

            This study is an observational cross-sectional research on the use of empirical antibiotics in intensive care patients at Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2022 period. The data collected were medical record data of patients treated in the intensive care unit from January to December 2022, consisting of the Adult ICU (Kanigara) and the Emergency Department ICU of RSCM. Clinical improvement after the administration of empirical antibiotic therapy was assessed from the decrease in leukocyte count, the decrease in procalcitonin levels, and the improvement of the National Early Warning Score (NEWS) within 0-48 hours after the empirical antibiotics were discontinued. Bivariate analysis was performed using the Chi-Square Test, with a significance value of p<0.05. Multivariate analysis was performed on confounding factors using Logistic Regression Test.

            In this study, 107 uses of empirical antibiotics were found. Pathogen sensitivity tests in patients receiving empirical antibiotics showed that Klebsiella pneumoniae and Acinetobacter sp. were the most commonly found pathogens, with a low level of sensitivity to antibiotics below 40% in most pathogen sensitivity test results. In addition, the number of appropriate empirical antibiotics with the results of pathogen sensitivity tests was higher in the inappropriate category by 62.62% (n=67). There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients (p<0.05). Multivariate analysis showed statistical significance (OR = 5,26 (1,46-18,95), p-value = 0.011).

            The use of empirical antibiotics in the intensive care unit was mostly not in accordance with the results of pathogen sensitivity tests. There was a significant relationship between the appropriateness of pathogen sensitivity test results and clinical improvement in patients. These findings affirm the importance of selecting the appropriate empirical antibiotics based on the pattern of pathogens and the results of pathogen sensitivity tests to enhance the effectiveness of care in the intensive care unit.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library