Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayturrochmah Siti
Abstrak :
Hibah suatu perbuatan hukum keperdataan yang definisinya dirumuskan pada Pasal 1666 (KUHPerdata) “Hibah ialah sebuah perikatan janji yang mengatasnamakan pemberi hibah semasa hidup, dilakukan secara percuma serta tidaklah juga bisa diminta lagi, atau penyerahan sebuah bentuk kebendaan demi pemenuhan kebutuhan penerimanya lewa sebuah tahapan serah terima.” Ketentuan mengenai proses hibah tersebut diatas mengalami penambahan norma apabila objek yang akan dihibahkan adalah masuk dalam kategori harta bersama perkawinan. sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Perkawinan Pasal 35 Ayat (1) dimana bunyinya ialah “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. konsekuensi dari perkawinan yang dilangsungkan tanpa perjanjian perkawinan memunculkan Harta bersama. Permasalahan yang timbul berikutnya secara teoritis dan praktis adalah mengenai rupa pemufakatan diantara pasangan tersebut haruslah dituangkan dalam bentuk tertulis atau cukup dengan lisan saja, walaupun dituangkan dalam bentuk tertulis apakah seharusnya dilaksanakan dengan dihadapkan pada pejabat berwujud akta otentik ataukah cukup hanya dengan surat pernyataan dibawah tangan bermaterai cukup. kemudian bagaimana dengan proses hibah yang dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan dari pasangan yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis tapi bisa ditunjukan dengan media lain, misalnya foto ataupun rekaman suara yang berisikan pernyataan bahwa pasangan (istri/suami) saling mengetahui dan menyetujui proses hibah atas tanah yang merupakan hak bersama. Tesis ini disusun dengan menggunakan metodologi yuridis normatif, berusaha melakukan analisa dan membuat pendapat hukum terkait bentuk persetujuan istri dalam hibah tanah harta bersama pada putusan pengadilan negeri kupang Nomor : 190/Pdt.G/2018/PN.Kpg., kemudian berusaha mengetahui kekuatan hukum akta hibah tanah harta bersama dalam perkawinan yang dibuat tanpa persetujuan istri secara tertulis. Terakhir dapat ditarik kesimpulan bahwa Persetujuan istri dalam harta bersama dikarenakan belum diatur secara spesifik dalam Undang-undang maka tidak diwajibkan harus dalam bentuk tertulis sepanjang dapat dibuktikan kebenarannya. ......A grant is one of the civil legal acts whose full definition can be found in the formulation of Article 1666 of the Civil Code (KUHPerdata) which clearly states that "Grant is an agreement with which the donor, during his lifetime, is free and irrevocably, surrenders an object for the purposes of the recipient of the grant who receives the delivery. The provisions regarding the grant process mentioned above experience additional norms if the object to be donated is included in the category of marital joint property. as explained in Article 35 paragraph (1) of Law No. 35 of Law No. 1 of 1974 which reads "Wealth acquired during marriage becomes joint property". Joint assets arise as a consequence of a marriage that is carried out without a marriage agreement, for example a property separation agreement. The next problem that arises theoretically and practically is regarding the "form of consent" from the couple, it must be stated in written form or just verbally, even if it is stated in written form whether it must be in the form of an authentic deed made before a public official sworn in by law. or is it enough just to have an underhand statement with sufficient stamp duty. then what about the grant process which is carried out with the knowledge and consent of the spouses which is not stated in written form but can be shown by other media, for example a photo or sound recording containing a statement that the spouse (wife/husband) knows each other and agrees to the process of granting the land that has been acquired. is a common right. This thesis was prepared using a normative juridical methodology, trying to analyze and make legal opinions regarding the form of wife's consent in the joint property land grant in the Kupang District Court Decision Number: 190/Pdt.G/2018/PN.Kpg., then trying to find out the legal force a deed of joint property land grant in a marriage made without the written consent of the wife. It can be concluded that the wife's consent in joint property is because it has not been specifically regulated in the law, so it is not required to be in written form as long as the truth can be proven.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Mahesa D
Abstrak :
Tesis ini membahas pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan khususnya dengan objek Hak Tanggungan berupa harta bersama dari suami dan istri sebagai pelaksanaan Pasal 20 jo Pasal 6 UUHT. Selain itu tesis ini juga mengupas mengenai penerapan pelaksanaan parate eksekusi oleh pemegang objek Hak Tanggungan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini adalah penelitian dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyarankan dibuat suatu peraturan pelaksana yang mengatur dengan jelas mengenai prosedur pelaksanaan dari Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan perihal hak pemegang Hak Tanggungan pertama menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa fiat pengadilan. ......The focus of this study is implementation of enforcement of Hak Tanggungan (Security Right on Land) particularly where the object of Hak Tanggungan is joint assets of husband and wife. This study also focuses in the implementation of Parate Executie in accordance with Article 20 juncto Article 6 of the Law of Hak Tanggungan by the holder based on the positive law. This study is a research -with a descriptive design. The researcher suggests it is necessary to provide implementation decision which regulates the procedure of Article 6 of the Law of Hak Tanggungan regarding the rights of the Hak Tanggungan object holder to sell Hak Tanggungan object by public auction without court verdict.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25987
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ellyzabeth Tanaya
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai kelalaian Notaris dalam pembuatan Kesepakatan Pembagian Harta Bersama sebagai sarana untuk membagi harta bersama setelah perceraian. Dalam Putusan Nomor 1553 K/PDT/2017, Notaris memasukan harta bawaan milik Penggugat ke dalam Kesepakatan Pembagian Harta Bersama dan mencantumkannya sebagai harta bersama. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini meliputi akibat hukum pembuatan Kesepakatan Pembagian Harta Bersama yang isinya merugikan salah satu pihak dan tanggung jawab Notaris terhadap Kesepakatan yang dibuatnya yang memuat unsur perbuatan melawan hukum. Agar dapat menjawab permasalahan tersebut, Penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian adalah Kesepakatan yang isinya merugikan salah satu pihak menjadi tidak sah dan dibatalkan oleh Majelis Hakim di pengadilan sepanjang mengenai harta bawaan karena adanya kekhilafan pada objek sengketa. Selain itu, sebuah Kesepakatan tidak dapat mengubah status harta bawaan menjadi harta bersama karena dipindahkannya hak atas tanah dari satu orang ke orang lain harus dilakukan dengan perjanjian kebendaan. Tanggung jawab Notaris terhadap perbuatan yang dilakukannya adalah Notaris dapat dikenai sanksi perdata dan sanksi administratif. Mengenai sanksi perdata, Notaris diminta untuk menaati hasil Putusan. Terhadap Notaris tidak dimintakan penggantian biaya, ganti rugi atau bunga karena masalah Penggugat sudah terselesaikan dengan dikeluarkannya harta bawaan dari Kesepakatan. Untuk sanksi administratif, Notaris atas dasar laporan maupun temuan dapat dikenai sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris. Notaris sebaiknya lebih teliti saat memeriksa bukti-bukti formal agar Notaris dapat dengan mudah mengklasifikasikan status harta. Selain itu, Notaris sebaiknya memberikan jalan keluar berupa pembetulan akta agar masalah dapat diselesaikan tanpa perlu melalui jalur litigasi di pengadilan. ......This thesis discusses Notarys negligence in making Joint Assets Distribution Agreement as a way to divide the joint assets after divorce. In Decision Number 1553 K/PDT/2017, the Notary included the ex-wifes personal assets into the Joint Assets Distribution Agreement and listed them as joint assets. This certainly gave loss to the owner of the assets. Issues that will be researched are legal consequences of the Joint Assets Distribution Agreement whose contents adverse one of the parties and the Notarys responsibility towards Agreement made which contains unlawful act elements. In order to answer those issues, the author uses normative juridical research form with analytical descriptive research type. The result is that the Joint Assets Distribution Agreement whose contents adverse one of the parties shall not be considered valid and is canceled by the Judges as long as it is related to personal assets because it is granted based on mistake. Moreover, an agreement couldnt change the status of a personal assets into the joint assets because land of rights transfer from one person to another must be done with a material agreement. Notarys responsibility upon his actions is that a Notary may be sanctioned by civil and administrative sanctions. Regarding civil sanctions, the Notary is asked to obey the results of the Decision. As for administrative sanctions, Notary may be subject to sanctions by the Notary Supervisory Board. Notary as a public official should be more careful when examining formal evidence so that the Notary can easily classify the status of assets. In addition, the Notary should provide a solution in the form of deed correction so that the problem can be resolved without going through litigation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Natagina Putri
Abstrak :
Segala tindakan terhadap harta bersama dalam perkawinan seharusnya dilakukan atas persetujuan suami dan istri. Hal tersebut dikarenakan sejak dilangsungkannya perkawinan, harta yang diperoleh baik oleh suami maupun istri, sepanjang tidak adanya perjanjian kawin, maka kepemilikan atas harta tersebut dilakukan secara bersama-sama. Namun dalam kenyataannya ditemukan tindakan terhadap harta bersama dalam perkawinan yang dilakukan secara sepihak (dalam hal ini suami yang melakukannya) sebagaimana kasus dalam Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor 1594/Pdt.G/2022/PA.PLG. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis perlindungan hukum bagi istri atas perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta wasiat oleh suami dan pertanggungjawaban notaris yang membuat akta wasiat tersebut. Penelitian hukum ini berbentuk doktrinal dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahawa perlindungan hukum bagi istri atas harta bersama yang dijadikan objek wasiat oleh suami tanpa sepengetahuannya diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam, yang mana berdasarkan kedua ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk dapat bertindak dan mengalihkan harta bersama, harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Adapun dalam kaitannya dengan notaris yang membuat akta wasiat atas harta bersama secara sepihak (tanpa sepengetahuan istri), dapat dinyatakan bahwa notaris tersebut harus bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (11) dan ayat (12), serta Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Berdasarkan ketentuan tersebut, notaris dapat dikenakan sanksi administratif atau pun dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga oleh istri. ......All actions regarding joint assets in marriage should be carried out with the consent of the husband and wife. This is because since the marriage took place, assets acquired by both husband and wife, as long as there is no marriage agreement, ownership of these assets is carried out jointly. However, in reality it was found that actions against joint property in marriage were carried out unilaterally (in this case the husband did it) as was the case in the Palembang Religious Court Decision Number 1594/Pdt.G/2022/PA.PLG. Therefore, this research is intended to analyze legal protection for wives for unlawful acts in making a will deed by their husband and the responsibility of the notary who made the will deed. This legal research takes a doctrinal form using secondary data collected through literature study. Next, the data was analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that legal protection for wives for joint property which is made the object of a will by the husband without his knowledge is regulated in Article 36 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Article 92 of the Compilation of Islamic Law, which is based on both provisions. It is stated that in order to act and transfer joint assets, it must be based on the agreement of both parties. As for the notary who makes a deed of will on joint assets unilaterally (without the wife's knowledge), it can be stated that the notary must be responsible in accordance with the provisions of Article 16 paragraph (11) and paragraph (12), as well as Article 44 of Law Number 30 of 2004 concerning the Position of Notaries as amended by Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of Notaries. Based on these provisions, the notary can be subject to administrative sanctions or be sued for reimbursement of costs, compensation and interest by the wife.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library