Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nada Suci Rahmadani Adrin
Abstrak :
Latar belakang: Celah bibir dan lelangit merupakan anomali bawaan yang paling umum ditemui pada regio kraniofasial yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Pada celah bibir dan lelangit ditemukan adanya jembatan jaringan lunak pada beberapa pasien celah bibir dan lelangit lengkap, yang dapat disebut dengan soft tissue band. Mekanisme terbentuknya soft tissue band ini belum diketahui dengan pasti. Jembatan jaringan lunak ini dapat menghubungkan bagian lateral dan medial celah bibir atau nostril, beberapa pada tepi alveolus yang. Soft tissue band memiliki 3 tipe utama yaitu tipe 1 band yang menghubungkan bibir dengan bibir (Lip-to-lip/Simonart’s band), tipe 2 band yang menghubungkan bibir dengan alveolus (Lip-to-alveolus/Oblique band), dan tipe 3 band yang menghubungkan antar alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). Data mengenai soft tissue band pada pasien celah bibir dan lelangit di Indonesia masih sedikit, karena itu penulis berniat melakukan penelitian ini. Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi pasien celah bibir dan celah lelangit dengan soft tissue band berdasarkan sisi celah dan jenis band pada periode Januari 2013 – Desember 2016 di RSAB Harapan Kita. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik klinik CLP RSAB Harapan kita periode Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Uji Kappa Agreement menunjukkan hasil p>0,61. Terdapat 206 pasien celah bibir dan lelangit tercatat di RSAB Harapan Kita tahun 2013 – 2016. Dari 206 pasien terdapat 32 pasien (15,5%) dengan soft tissue band. Pada tahun 2013 terdapat 14 kasus (43,8%), pada 2014 terdapat 9 kasus (43,8%), pada 2015 terdapat 7 kasus (21,9%), dan pada 2016 terdapat 2 kasus (6,3%). Soft tissue band paling banyak berada pada tipe celah unilateral yaitu 75% pasien dan celah bilateral 25% pasien. Pada tipe UCLP sebanyak 59,4% kasus pada tipe UCLA 15,6%, pada tipe BCLP terdapat 25%, dan pada tipe BCLA tidak ditemukan kasus soft tissue band. Berdasarkan tipe band, 56,3% pasien dengan tipe Simonart’s band (bibir-ke-bibir) paling banyak ditemukan, diikuti dengan tipe Oblique band (bibir-ke-alveolus) sebanyak 34,4% pasien, dan tipe Alveolar band (alveolus-ke-alveolus) sebanyak 9,4%. Berdasarkan variasinya, soft tissue band paling banyak ditemukan yaitu, ditutupi kulit sebanyak 90,6% kasus dan jaringan mukosa 9,4%. Kesimpulan: Prevalensi soft tissue band pada periode tahun 2013 sampai dengan 2016 di RSAB Harapan Kita mengalami penurunan jumlah kasus di setiap tahunnya. ......Background: Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies that affect craniofacial region with the causes is not known for sure. In the cleft lip and palate, soft tissue band were found in some patients with complete cleft lip and palate. The mechanism of soft tissue band formation is not known for sure. This soft tissue band can connect the lateral dan medial cleft lips or nostril, some on the alveolar ridge. Soft Tissue band have 3 main types, type 1 band that connects lip with lip (Lip-to-lip/Simonart’s band), type 2 band that connects lip with alveolus (Lip-to-alveolus/oblique band), dan type 3 band connects between the alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). The data regarding soft tissue band in cleft lip and palate patients in Indonesia is still small, therefore the author wants to do this research. Objective: to determine the prevalence of patients cleft lip and palate with the soft tissue band based on the side of the cleft and type of the band in the period January 2013 to December 2016 at RSAB Harapan Kita. Methods: This research is a retrospective descriptive study using secondary data in the form of clinical medical records of CLP RSAB Harapan Kita period January 2013 to December 2016. Results: The Kappa Agreement shows he result of p>0,61. There are 206 patients with cleft lip and palate were record at RSAB Harapan Kita in 2013 – 2016. From 206 patients there were 32 patients (15,5%) with soft tissue band. In 2013 there were 14 cases (43,8%), in 2014 there were 9 cases (43,8%), in 2015 there were 7 cases (21,9%), and in 2016 there were 2 cases (6,3%). Soft tissue band is mostly in the type of unilateral cleft, which is 75% of patients and bilateral cleft 25% of patients. In the UCLP type there were 59,4% of cases, 15,6% of UCLA type, 25% of the BCLP type, and no soft tissue band cases in the BCLA type. Based on band type, 56,3% of patients with Simonart’s band (lip-to-lip) type were found the most, followed by Oblique band (lip-toalveolus) type in 34,4% of patients, and Alveolar band (alveolus-to-alveolus) type in 9,4% patients. Based on the variation, soft tissue bands were mostly founds covered with skin in 90,6% of cases and 9,4% of mucosa tissue. Conclusion: The prevalence of soft tissue bands in the period 2013 to 2016 at RSAB Harapan Kita has decreased the number of cases each year.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Kezia Martina
Abstrak :
Latar belakang: Strategi terapi sarkoma jaringan lunak (SJL) ekstremitas cukup menantang. Hal ini karena diagnosis sering terlambat dan gambaran klinisnya yang tidak spesifik sehingga hampir 50% pasien yang baru didiagnosis mengalami kematian. Berbagai modalitas terapi digunakan untuk meningkatkan angka kesintasan pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas. Namun faktor klinikopatologis dapat memengaruhinya angka kesintasan sehingga memengaruhi efektivitas terapi. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka dan faktor-faktor yang memengaruh kesintasan hidup (overall survival) lima tahun pascaterapi pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas di RSCM tahun 2011-2015. Metode: Sebanyak 42 pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas ditegakkan dengan histopatologis dan menjalani terapi di RSCM tahun 2011-2015 menjadi subjek dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan metode Kapplan Meier, uji Cox Regression, dan Cox Regression with Time Dependent Variable Hasil penelitian: Median kesintasan hidup pascaterapi pasien sebesar 6 tahun ( 3 bulan - 8,25 tahun) dengan persentase kesintasan hidup lima tahun sebesar 52,4%. Faktor yang berpengaruh terhadap kesintasan hidup lima tahun pascaterapi pasien SJL adalah tindakan pembedahan berupa limb saving surgery (HR 0,852 IK95% 0,68 - 1,07, p =0,163). Kesimpulan: Kesintasan hidup lima tahun pada pasien sarkoma jaringan lunak ekstremitas adalah sebesar 52,4%, Kesintasan hidup dipengaruhi oleh derajat SJL tinggi, terapi tidak lengkap, dan stadium klinis metastasis. Kata kunci: kesintasan, sarkoma jaringan lunak ekstremitas. ......Background: The strategy for treating limb soft tissue sarcoma (SJL) is quite challenging. This is because the diagnosis is often delayed and the clinical picture is non-specific so that almost 50% of newly diagnosed patients die. Various therapeutic modalities are used to increase the survival rate of patients with extremity soft tissue sarcoma. However, clinicopathological factors can influence the survival rate and thus affect the effectiveness of therapy. This study aims to determine the numbers and factors that influence overall survival five years after therapy for patients with soft tissue sarcoma of the extremities at RSCM in 2011-2015. Methods: A total of 42 patients with soft tissue sarcoma of the extremities were histopathologically established and underwent therapy at the RSCM in 2011-2015 as subjects in this study. Data analysis was carried out using the Kapplan Meier method, Cox Regression test, and Cox Regression with Time Dependent Variable. Results: The median survival after therapy for patients was 6 years (3 months - 8.25 years) with a five-year survival percentage of 52.4%. Factors that affect five-year survival after SJL patients are surgical procedures in the form of limb saving surgery (HR 0.852 95% CI 0.68 - 1.07, p = 0.163). Conclusion: The five-year survival rate for patients with soft tissue sarcomas of the extremities was 52.4%. Overal survival is affected by higher sarcoma grade, incomplete therapy, and worse clinical stage. Keywords: survival, extremity soft tissue sarcoma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Susanti
Abstrak :
Perawatan ortodontik terus berkembang seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Fasial merupakan bagian yang penting bagi manusia, demikian pula dengan profil fasial sehubungan dengan kebutuhan estetis. Pertimbangan perawatan ortodontik terkait erat dengan perubahan jaringan lunak profil fasial. Dibutuhkan perangkat yang relatif sederhana dan terjangkau secara luas untuk memprakirakan perubahan fasial dan menjelaskannya kepada pasien. Tujuan: Memperoleh cara memprakirakan perubahan jaringan lunak profil fasial pasien pasca perawatan ortodontik yang terjangkau secara luas. Tempat dan Waktu: Penelitian dilakukan di Departemen Ortodonti dan Klinik Radiologi Kedokteran Gigi, Rumah Sakit Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta, bulan November 2010 sampai dengan September 2011. Metode: Radiograf sefalometri lateral standar sebelum dan sesudah perawatan dari 133 paseien pasca perawatan ortodontik sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2005, yang diambil secara konsekutif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan pada 29 radiograf sefalometri untuk mengevaluasi keandalan (reliability) pengukuran dan kesahihan (validity) metode pengukuran menggunakan uji Bland-Altman. Penapakan dan pengukuran terhadap landmarks dilakukan secara manual pada radograf sefalometri analog dan secara digital pada radiograf sefalometri yang telah didigitasi menggunakan alat pindai Medi 2000. Penapakan dan pengukuran secara manual menggunakan pinsil mekanik dan kaliper digital, serta piranti lunak Adobe Photoshop Extended CS4 untuk penapakan dan pengukuran digital. Penelitian kedua untuk memperoleh formula indeks perubahan jaringan lunak profil fasial lateral, melalui analisis uji t, analisis korelasi dan regresi linier terhadap landmarks jaringan lunak, jaringan keras, ketebalan jaringan lunak, posisi gigi, serta faktor risiko terkait. Selanjutnya dilakukan uji manova untuk memperoleh indeks tiap titik jaringan lunak profil fasial setelah perawatan ortodonti. Hasil: Uji reliabilitas dan validitas pengukuran pada penelitian pendahuluan menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran manual dan digital. Pada penelitian kedua terdapat perubahan pada landmarks jaringan lunak: Labrale superior, Stomion superior, Stomion inferior, Labrale mental, dan Pogonion. Pada komponen dento-kraniofasial terdapat perubahan pada: jaringan keras titik A, ketebalan Labrale superior, ketebalan Pogonion, posisi geligi insisif sentral atas, insisif sentral bawah, molar atas dan molar bawah. Dari analisis regresi linier diperoleh formula indeksperubahan jaringan lunak profil fasial lateral pasca perawatan ortodontik. Dari uji manova diperoleh formulasi indeks perubahantiap titik yang berpengaruh terhadap perubahan jaringan lunak profil fasial. Kesimpulan: Indeks perubahan jaringan lunak profil fasial pasca perawatan ortodontik dapat dilakukan melalui pengukuran radiograf sefalometri yang telah didigitasi, dengan menggunakan piranti lunak yang tersedia secara umum, menggunakan formulasi hasil analisis terhadap jaringan lunak, komponen dento-kraniofasial, komponen karakteristik dan komponen perawatan. Indeks ini dapat digunakan secara luas, sekaligus untuk menjelaskan perubahan jaringan lunak pada pasien. ......Orthodontic treatment continues to develop along with the community demand. Facial is an important part of human body, as well as facial profile with respect to aesthetic needs. Orthodontic treatment considerations are associated with changes in soft tissue facial profile. It requires a relative simple and easy method to predict changes in patient?s facial profile and to explain possible treatment result to the patient. Objective: The aim of this study is to obtain the method to predict patient?s facial profile soft tissue changes after orthodontic treatment. Time and place of study: The study was conducted at the Department of Orthodontics and the Dento-maxillofacial Radiology Clinic, Dental Hospital, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, from November 2010 to September 2011. Method: Good quality standard lateral cephalometric radiographs before and after treatment of 133 patients who had completed the orthodontic treatment from 1995 until 2005, were consecutively taken from the medical records. The study was conducted in two stages. The preliminary study on 29 radiographs that aimed to evaluate the reliability and the validity of measurement as the intra and inter observer agreement value, using the Bland-Altman test. Tracing of landmarks and measurements are carried out manually and digitally on lateral cephalometric radiograph that had been digitized using the Medi2000 scan tool. Tracing and measurements manually using mechanical pencil and digital calipers. Digital tracing and measurements were performed by the image-editing using the Adobe Photoshop CS4 Extended software. The second as the main study was to obtain index of the lateral soft tissue facial profile, using t test, correlation analysis, and linear regression analysis of the soft and hard tissue landmarks, the soft tissue thickness, position of the teeth, as well as the related risk factors. Manova test were then performed to obtain the index of each soft tissue facial profile landmark points after treatment. Results: Reliability and validity test of the measurements on preliminary research showed no significant differences between the manual and digital measurements. In the main study there were changes of the soft tissue landmarks: superior Labrale, Stomion superior, Stomion inferior, Labrale mental, and Pogonion. In the dento-craniofacial components there were changes in: hard tissue A-point, the thickness of the Superior Labrale, Pogonion thickness, position of the upper and lower central incisivus, upper and lower anchorage molars. The index of the lateral soft tissue facial profile changes after orthodontic treatment, the index of the lateral soft tissue facial profile landmark points during treatment were obtained. The manova test on the twelve landmark points were then performed to obtain the index of the each soft tissue facial profile points. Conclusions: The index of the soft tissue facial profile after fixed orthodontic treatment could be acquired from digitized lateral cephalometric radiograph, using the available and common image editing software. The index formulation consist of the analysis of the soft tissues, dento-craniofacial components, characteristics components and treatment components. This index could then be used widely, as well as be used to explain the possible alterations in soft tissue after orthodontic treatment to the patient.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
D1312
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Risyad Hanafiah
Abstrak :
Latar Belakang: Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu maloklusi. Asimetri wajah dapat terjadi pada bagian sepertiga atas, sepertiga tengah, dan sepertiga bawah wajah karena pertumbuhan kranial, maksila, dan mandibula saling berhubungan satu sama lain. Pemeriksaan asimetri wajah penting dilakukan karena ada tidaknya asimetri wajah dapat menggambarkan adanya masalah dental yang dialami oleh pasien. Ada tidaknya asimetri pada wajah ini juga merupakan salah satu kriteria daya tarik, yang memiliki efek penting pada kesejahteraan psikologis dan sosial seseorang. Pembahasan: Pemeriksaan asimetri wajah penting untuk dilakukan karena asimetri wajah dapat menggambarkan adanya masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan asimetri wajah dapat dilakukan menggunakan pemeriksaan jaringan lunak menggunakan foto ekstraoral pasien dengan metode pengukuran sudut dan pengukuran linear dan juga pemeriksaan jaringan keras menggunakan foto radiograf sefalometri postero-anterior pasien dengan metode Rickket’s analysis dan Grummon’s Analysis. Kesimpulan: Untuk mendapatkan hasil dan detail yang lebih baik dalam pemeriksaan asimetri wajah, kedua metode pemeriksaan asimetri wajah dapat dilakukan. ......Background: Facial asymmetry is an imbalance that occurs in homologous parts of the face in terms of size, shape, and position on the left and right sides. Because facial asymmetry is often accompanied by dental asymmetry, it is a condition that needs to be considered in treating a malocclusion. Facial asymmetry can occur in the upper, middle, and lower third of the face because the cranial, maxillary, and mandibular growths are related to one another. Examination of facial asymmetry is important because the presence or absence of facial asymmetry can indicate the presence of dental problems experienced by the patient. The presence or absence of facial asymmetry is also a criterion of attractiveness, which has an important effect on a person’s psychological and social well-being. Disscusions: Examination of facial asymmetry is important to do because facial asymmetry can describe the existence of health problems experienced by patients. Examination of facial asymmetry can be done using soft tissue examination using extraoral photos of the patient using the angle measurement and linear measurement methods and hard tissue examination using postero-anterior cephalometric radiographs of the patient using the Rickket's analysis and Grummon's analysis methods. Conclusion: To get better results and details in examining facial asymmetry, both methods of examining facial asymmetry can be performed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avi Aisyah Ramadini
Abstrak :
Latar Belakang: Perlu dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita khususnya ras Deutro-Melayu. Profil wajah lurus dipilih karena profil wajah lurus tidak mengindikasikan adanya disproporsi dental dan fasial sehingga individu dengan profil wajah lurus diindikasikan memiliki oklusi normal serta penampilan wajah dan dental yang dapat diterima. Tujuan: Mengetahui gambaran jaringan lunak wajah pasien pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus di RSKGM FKG UI beserta perbedaannya. Metode: Penelitian ini menggunakan 56 rekam medis dan sefalogram lateral pasien pria dan wanita berusia 18-25 tahun ras Deutro-Melayu sebelum perawatan ortodonsia. Analisis dilakukan menggunakan uji T tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney. Hasil: 8 parameter pengukuran menunjukkan perbedaan bermakna antara pria dan wanita (p<0,05) yakni pada kecembungan fasial, kecembungan fasial total, sudut nasofrontal, sudut mentolabial, sudut servikomental, posisi hidung terhadap bidang fasial, posisi bibir atas terhadap bidang fasial, dan posisi bibir bawah terhadap bidang fasial. Pria menunjukkan hasil pengukuran yang lebih besar dibandingkan dengan wanita, kecuali pada sudut nasofrontal yang secara statistik menunjukkan nilai rerata wanita lebih besar dibandingkan pria. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus. ...... Background: It is necessary to conduct research to see the difference of facial soft tissue profile in male and female especially Deutro-Malay race. Straight face profile is selected because it does not indicate any dental and facial disproportions, so that individuals with straight facial profiles are indicated to have normal occlusion and acceptable facial and dental appearance. Objective: To compare the difference of facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile. Method: This study used medical records and lateral cephalograms of 56 male and female patients aged 18-25 with Deutro-Malay race before orthodontic treatment. Measurement performed with independent sample T-test and Mann-Whitney test. Result: 8 measurement parameters showed significant difference (p<0,05) those are facial convexity, total facial convexity, nasofrontal angle, mentolabial angle, cervicomental angle, position of nose to facial plane, position of upper lip to facial plane, and position of lower lip to facial plane. Male showed larger measurements than female, except in nasofrontal angle that statistically showed that female's mean score was greater than male. Conclusion: There is a significant difference between facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gabriella
Abstrak :
Latar Belakang: Penelitian persepsi Ortodontis dan masyarakat awam tentang profil wajah biasanya dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan di antara kelompok tersebut. Namun, masih sedikit penelitian yang menghubungkan persepsi dengan parameter jaringan lunak profil wajah. Tujuan: Mengetahui perbedaan persepsi ortodontis dan masyarakat awam dan korelasinya terhadap parameter jaringan lunak profil wajah menurut Arnett, Schwarz, dan Rickett. Metode: Penelitian ini adalah analitik korelatif dengan desain potong lintang. Foto profil 52 orang dinilai estetikanya oleh 17 ortodontis dan 17 masyarakat awam pada kuesioner. Uji korelasi Spearman dilakukan antara nilai modus persepsi VAS oleh Ortodontis dan masyarakat awam dengan selisih pengukuran parameter jaringan lunak Arnett, Schwarz, Rickett pada foto terhadap nilai normal. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara persepsi ortodontis dan masyarakat awam tentang profil wajah (p=0,001). Uji kappa menunjukkan kesepakatan antara Ortodontis dan masyarakat awam yang rendah (p=0,035 untuk persepsi estetika, p=0,112 untuk persepsi kecembungan). Terdapat korelasi linier negatif sedang yang bermakna secara statistik antara persepsi estetika Ortodontis dan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Rickett (Ls/bibir atas) (r=-0,287, p=0,039), tetapi tidak terdapat korelasi linier yang bermakna secara statistik antara persepsi Ortodontis dan masyarakat awam dengan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Arnett, Schwarz, dan Rickett (Li/bibir bawah). Kesimpulan: Terdapat korelasi antara persepsi Ortodontis dengan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Rickett (Ls/bibir atas). .......Background: Facial profile perception of Orthodontists and Laypeople was usually studied to assess the agreement between them. However, there is still lack of study that correlates the facial profile perception with soft tissue parameters. Objectives: This study was aimed to evaluate the perception of Orthodontists and Laypeople about the facial profile and its possible correlation with soft tissue facial profile parameters according to Arnett, Schwarz, and Rickett. Methods: This study was correlative analytical study with cross-sectional design. The facial profile photographs of 52 people were rated by 17 Orthodontists and 17 Laypeople on the questionnaire. The correlation between the mode value of VAS perception score by Orthodontists and Laypeople with the difference of soft tissue facial profile parameters at photographs from the normal value according to Arnett, Schwarz, and Rickett was tested using Spearman's correlation. Results: Regarding the perception of Orthodontists and Laypeople on facial profile, statistically significant difference was detected (p=0.001). The Kappa statistic test showed poor agreement between Orthodontists and Laypeople in facial profile perception (p=0.035 for pleasantness, p=0.112 for convexity). The correlation test showed that there was statistically significant difference (moderate negative linear correlation) between Orthodontists’ perception with soft tissue facial profile parameters according to Rickett (Ls/upper lip) (r=-0.287, p=0.039), but there was no statistically significant difference (linear correlation) between Orthodontists’ and Laypeople’ perceptions with the soft tissue facial profile parameters according to Arnett, Schwarz, and Rickett (Li/lower lip). Conclusion: It was concluded that there was correlation between Orthodontists’ perception with soft tissue facial profile parameters according to Rickett (Ls/upper lip.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aliyah Pradono
Abstrak :
Informasi mengenai profil kesehatan gigi dan mulut di Indonesia belum mencakup profil kesehatan/penyakit pada mukosa mulut. Selain itu, studi mengenai penyakit atau kondisi mukosa mulut pada anak-anak sedikit sekali yang dilaporkan dan biasanya terbatas pada 1 atau 2 penyakit. Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada/tidaknya, macam penyakit jaringan lunak mulut ini khususnya pada anak murid sekolah dasar. Diharap para dokter gigi, penentu kebijakan masalah kesehatan gigi-mulut dan juga masyarakat lebih concern mengenai masalah tersebut. Penelitian "cross-sectional" ini dilakukan di kalangan murid sekolah dasar, kecamatan Pacet, Cianjur dan 319 anak terlibat dalam penelitian ini. Lesi dijumpai pada 152 (47,2%) anak. Empat belas macam lesi dijumpai pada mukosa mulut. Masing-masing prevalensnya adalah 80 anak dengan cheilitis angularis (25%), ANUG 49 (15,3%), cheilitis 17 (5,3%), atrofi papila lidah 13 (4%), "flicated tongue" 8 (2,5%), "geographic tongue" 6 (1,8%), tongue tie 6 (1,8%), melanin pigmentation 5 (1,5%), fibroma 3 (0,9%), stomatitis aftousa 2 (0,6%), mukokel 2 (0,6%), "cheek biting" 2 (0,6%), geografik stomatitis 1 (0,3%) dan hemangioma 1 (0,3%). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan adanya bermacam penyakit atau kondisi mukosa mulut dengan prevalennya masing-masing dan, mayoritas berupa lesi yang ada kaitannya dengan infeksi mikroba.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Gozali Surono
Abstrak :
Masalah kesehatan yang terjadi secara global saat ini adalah resistensi antimikroba. Resistensi ini menyebabkan meningkatnya mortalitas penyakit, memanjangnya lama hari rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Salah satu strategi yang diusung untuk menanggulangi resistensi ini adalah dengan menerapkan pola kuman sebagai acuan dalam perumusan panduan penggunaan antibiotika yang rasional. Pola kuman berguna bagi para klinisi untuk membantu memberikan petunjuk dalam pemberian terapi empiris. Pola kuman juga berfungsi untuk menunjukkan tren sensitivitas jenis kuman terhadap suatu jenis antibiotika. Indonesia menunjukkan kepeduliaannya dengan membuat suatu peraturan tentang Program Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA). Rumah sakit Santa Maria merupakan rumah sakit swsata yang sudah menerapkan pola kuman dalam panduan penggunaan antibiotika. Penelitian yang dilakukan terhadap kasus infeks jaringan lunak di RS Santa Maria mendapatkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan jenis kuman yang paling banyak ditemukan di kasus infeksi jaringan lunak dan pada uji sensitivitas antibiotika masih mempunyai derajat sensitivitas yang cukup baik terhadap golongan cephalosporin generasi ketiga. Pola kuman ini juga mendorong para klinisi agar memberi pengobatan sesuai dengan panduan antibiotika yang diberlakukan di RS Santa Maria. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa dengan penerapan pola kuman terhadap panduan penggunaan antibiotika, pasien mempunyai outcome sembuh dengan lama hari rawat yang lebih pendek (5.45 hari vs 4.3 hari dengan P<0.001), biaya belanja obat antibiotika berkuurang (Rp.79.982.730 vs Rp.41.020.622) dan rata-rata total biaya yang lebih efisien (Rp.13.854.266 vs Rp.11.930.250). Hal ini dikarenakan jumlah penggunaan antibiotika yang berkurang setelah PPRA. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam ere PPRA di RS Santa Maria adalah mengoptimalkan pemakaian penggunaan jenis antibiotika spektrum sempit dan peningkata kualitas pengumpulan data pola kuman dengan teknik yang benar, alat yang menunjang dan sumber daya manusia yang berkompetensi di bidangnya . Beberapa hal yang harus diperhitungkan oleh rumah sakit terkait pola kuman ini adalah manfaat yang didapat haruslah lebih besar nilainya daripada biaya investasi, biaya operasional, dan biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan baik terhadap pasien, klinisi dan rumah sakit.
Global health issue that is crucial nowadays problems is antimicrobial resistance. This resistance leads to increased disease mortality, extended length of stay and increased cost of treatment. One of the strategies that is carried out to overcome this resistance is to apply antibiogra, patterns as a reference in the formulation for rational use of antibiotics guidelines. Antibiogram patterns are useful for clinicians in giving empirical therapy thorough an educated guess. Antibiogram patterns are also useful to show trends of antibiotic sensitivity againts certain type of germ. Indonesia shows its concern by making a regulation on the Antimicrobial Stewardship (AMS). Santa Maria Hospital, a private hospital has applied antibiogram patterns to formulate antibiotic guidelines. This thesis was conducted on soft tissue infections cases found in Santa Maria Hospital . The result was that Staphylococcus aureus is the most commonly germ found in cases of soft tissue infections and still has a moderate sensitivity to antibiotic such as third generation of cephalosporin. This antibiogram pattern also encourages clinicians to treat patient diagnosed with soft tissue infection based on the antibiotic guidelines that applicable in Santa Maria Hospital. The results of this study found that with the application of antibiogram patterns to formulate antibiotic guidelines, brings benefit such as not only patients were recovered from the infection but also recovery with shorter length of stay (and 5.45 days vs 4.3 days with P<0.001), cost expenses for phharmacy logistic decreased (Rp.79.982.730 vs Rp.41.020.622) and decreased mean of treatment cost (Rp.13.854.266 vs Rp.11.930.250). The reason for this to happened is that the amount of antibiotic used to treat pastient is decreased after AMS . Some matter that need to be improved in the AMS program at Santa Maria Hospital is to optimize the use of narrow spectrum antibiotics and to improve the quality of collecting data for antibiogram pattern by improving techniques, supporting tools and competent human resources. Consideration that must be taken into account is that regarding this antibiogram pattern bring benefits for patients, clinicians and hospitals which is more important than the investment costs, operational costs, and maintenance costs.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashyfa Santosa
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai studi kelayakan material ekuivalen jaringan spesifik pada rentang energi radiodiagnostik 80 kV hingga 130 kV , yang dikontruksi menggunakan campuran bahan organik berupa tepung beras dan lilin batik gondorukem, cecek, parafin . Dari hasil studi pendahuluan, didapatkan 4 jenis komposisi material ekuivalen, yaitu material ekuivalen jaringan adiposa, jaringan otot, jaringan otak dan organ hati. Masing-masing komposisi material ekuivalen jaringan kemudian akan melalui dua jenis metode uji, yaitu metode Dual Energy Computed Tomography DECT untuk mengetahui karakteristik sampel melalui besaran Hounsfield Unit HU, dan metode stoikiometri menggunakan Energy Dispersive Spectroscopy EDS untuk mengetahui karakteristik sampel melalui susunan jenis atom. Masing-masing data dari kedua metode kemudian akan diolah hingga mendapat nilai densitas elektron ?e dan nomor atom efektif Zeff . Hasil kalkulasi untuk metode uji DECT pada material ekuivalen jaringan adiposa, jaringan otot, jaringan otak dan organ hati menunjukan kesalahan literatur minimum sebesar 0,605 ; 0,732 ; 0,751 ; 0,670 untuk densitas elektron ?e dan 26,345 ; 26,417 ; 25,089 ; 24,617 untuk nomor atom efektif Zeff. Sedangkan untuk metode Stoikiometri, pengukuran dianggap tidak akurat karena atom hidrogen yang tidak dapat terdeteksi. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat akurasi metode DECT lebih baik dibandingkan metode stoikiometri, dengan hasil analisa dari keempat sampel menunjukan kesesuaian respon terhadap jaringan target, namun hanya pada jenis energi tinggi 130kV.
ABSTRACT
This research discusses the feasibility study of tissue specific equivalent material in radiodiagnostic energy range 80 kV to 130 kV, that are made from organic mixtures rice flour and waxes for batik gondorukem, cecek, paraffin . From the preliminary study, we obtain four types of equivalent material compositions, which are equivalent to adipose, muscle, brain, and liver. Each of the compositions will be evaluated using two methods, which is Dual Energy Computed Tomography DECT method in order to discover characteristic through Hounsfield Unit HU scale, and Stoichiometry with Energy Dispersive Spectroscopy EDS in order to discover characteristic through atoms composition. The test result then processed into the quantity of electron density e and effective atomic number Zeff . From DECT method, calculation of adipose, muscle, brain, and liver equivalent materials shows minimum literature error 0,605 0,732 0,751 0,670 for electron density e and 26,345 26,417 25,089 24,617 for effective atomic number Zeff . While for the Stoichiometric method, the measurement is considered inaccurate because the hydrogen atom cannot be detected. From these results, it can be concluded that the DECT method has better accuracy compared to stoichiometry method, which the four samples have a similar response that represents tissue target, but only when exposed with high energy 130kV .
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Pandora Djuhadi
Abstrak :
Latar Belakang: Inklinasi gigi insisivus merupakan titik utama dalam menentukan rencana perawatan demi mewujudkan hasil yang estetis dan seimbang. Profil wajah seseorang sangat mempengaruhi persepsi estetika dan penampilan. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan inklinasi gigi insisivus dengan profil jaringan keras dan lunak wajah masih sangat jarang dilakukan, terutama pada pasien dengan maloklusi kelas II. Di sisi lain, pasien dengan maloklusi skeletal kelas II seringkali memiliki masalah pada inklinasi gigi dan profil wajah sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi inklinasi gigi insisivus rahang atas dan bawah terhadap profil jaringan keras dan lunak wajah pada pasien maloklusi skeletal kelas II.Metode: Pengambilan sampel penelitian berupa radiograf sefalometri lateral digital pasien dengan skeletal kelas II yang diperiksa dengan alat yang terstandarisasi dari suatu klinik yang sama kemudian dilakukan identifikasi landmark dan analisis sudut dengan aplikasi OneChep untuk diperoleh data berupa besar sudut inklinasi insisivus dari analisis Eastman, profil jaringan keras wajah dari analisis Down, dan profil jaringan lunak wajah dari analisis Holdaway. Analisis data dengan uji korelasi Pearson. Hasil: Uji korelasi Pearson antara inklinasi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap seluruh parameter uji profil jaringan keras dan lunak wajah menunjukkan angka signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan skeletal kelas II. Tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang bawah terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap profil jaringan lunak dan keras wajah pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. ...... Background: Incisors inclination is one of the main point on deciding the treatment plan to bring an aesthetic and balanced result. Facial profile also have a great impact on the perception of aesthetic and appearance. In Indonesia, research about the correlation of incisors inclination with facial profile is rarely done, especially in patient with class II skeletal malocclusion. On the other hand, patient with class II skeletal malocclusion usually have problems regarding incisors inclination and facial profile. Hence, research about the correlation on incisors inclination with soft and hard tissue facial profile is really important to conduct. Objective: Determine the correlation of incisors inclination with soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion. Method: 52 sample of lateral cephalometric radiograph from patient with class II skeletal malocclusion from standardized lab were analyzed with an application called OneChep to gain the data of incisors inclination from Eastman analysis, hard tissue facial profile from Down analysis, and soft tissue facial profile from Holdaway analysis. Then, the data was tested for correlation using Pearson Correlation test. Result: Pearson correlation test on class II skeletal malocclusion patient showed the significance value between maxillary and mandibular incisors inclinations towards hard and soft tissue facial profile were >0.05 on each of the parameter. The parameters used on hard tissue facial profile were facial angle and angle of convexity from Down analysis. The parameter used on soft tissue facial profile was soft tissue facial angle by Holdaway analysis. Thus, there were no correlation between maxillary incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle, also no correlation between mandibular incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle in patient with class II skeletal malocclusion. Conclusion: There were no correlation between maxillary and mandibular incisors inclination toward soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library