Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Davindra Fadhlurrahman Widardjo
"

Dalam hubungan antarnegara sebagai sebuah komunitas internasional yang hidup dalam perdamaian, negara-negara diwajibkan untuk menahan diri dari ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab utama atas pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional diberikan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Dewan Keamanan. Dalam menjalankan mandat tersebut, Dewan Keamanan memiliki kewenangan yang spesifik untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif, sebagaimana dipertegas dalam Bab VII Piagam PBB, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata dari negara-negara anggota. Dewan Keamanan telah mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata pada berbagai kasus, seperti pada Perang Teluk, operasi negara-negara di Afrika, dan intervensi militer di Mali terhadap teroris. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk menguraikan kewenangan Dewan Keamanan untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara melalui resolusi yang diadopsi, kemudian mengamati praktik Dewan Keamanan pada kasus-kasus terdahulu, dan pada akhirnya menganalisis penggunaan kekuatan bersenjata pada kasus perang melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak dan Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2249 (2015). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan tidak mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata terhadap ISIS di Irak dan Suriah, namun memberikan perkembangan mengenai teori hak bela diri terhadap aktor non-negara apabila negara teritorial tidak mampu atau tidak mau mengatasi ancaman tersebut. Penelitian ini menyarankan bahwa hendaknya otorisasi Dewan Keamanan tidak serta merta dianggap sebagai cap persetujuan atas operasi militer di negara lain dimana negosiasi dan pembahasan yang panjang akan selalu diperlukan, dan respon militer atas dasar bela diri tetap harus sesuai dengan pembatasan dalam hukum internasional.


In the relationship between states as an international community living in peace, states must refrain from the threat or use of force. The primary responsibility for the maintenance of international peace and security is conferred by the members of the United Nations (UN) on the Security Council. In carrying out its mandate, the Security Council has specific powers to take effective collective measures, emphasized in Chapter VII of the UN Charter, including the use of force of member states. The Security Council has authorized the use of force in many cases, such as in the Gulf War, the state operations in Africa, and the military intervention in Mali against terrorists. By using juridicial-normative method and secondary data, this study attempts to elaborate the power of the Security Council to authorize the use of force by states through adopted resolutions, then examines the practice of the Security Council in the previous cases, and eventually analyses the use of force in the case of war against Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria based on Security Council Resolution 2249 (2015). This study concludes that the Security Council did not authorize the use of force against ISIS in Iraq and Syria, but it provides a development on self-defence theory against non-state actors if the territorial state is unable or unwilling to suppress the threat. This study advises that the Security Council authorization should not be considered as approval stamp for military operation in other state, where long negotiations and discussions will always be needed, and that military response as self-defence must be in accordance with the limitations in international law.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astuti Nurjanah
"Tesis ini akan membahas kewarganegaraan ditinjau dari perspektif hukum nasional Indonesia dan hukum internasional, dampak hak kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia yang turut serta sebagai Foreign Terrorist Fighters (FTF), serta saran perlindungan terhadap kewarganegaraan anak-anak dari warga Negara Indonesia yang terlibat sebagai FTF di Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang dapat menjamin kepastian hukum dan mendukung kepentingan hak asasi manusia di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif dengan metode penafsiran sistematis. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebijakan untuk mencabut kewarganegaraan eks ISIS di Indonesia masih menimbulkan kontradiksi. Hukum internasional tidak memaksakan Negara kebangsaan secara langsung kewajiban untuk memulangkan anggota keluarga FTF. Meskipun demikian, beberapa komitmen yang relevan didirikan di bawah berbagai bidang internasional, hukum nasional yang mendukung repatriasiasi, sebagai pilihan terbaik untuk bertindak sesuai dengan internasional yang ada dalam kerangka kerja nasional. Dalam mengkaji status kewarganegaraan eks ISIS ini, penting untuk membedakan anak-anak dari orang dewasa karena hak atas kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan peraturan internasional Article 15 Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Article 24 Section 3 the International Covenant on Civil and Political Right, serta Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Meskipun demikian, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan mencabut kewarganegaraan anak-anak dari warga negara Indonesia eks ISIS, bisa saja mereka melakukan hal itu karena tidak dalam kondisi bisa memilih. Jika mereka diterima, maka pemerintah harus siap dengan beberapa konsekuensi. Pertama, pemerintah perlu melakukan identifikasi dan pemilahan anak-anak yang dapat dibawa kembali ke Indonesia. Kedua, menyediakan fasilitas pelayanan Kesehatan dengan sumber daya manusia kesehatan jiwa yang memadai untuk intervensi psikologis anak-anak tersebut. Ketiga, menyiapkan program sosialisasi dan dukungan agar masyarakat dapat menerima anak yatim piatu kombatan ISIS, sebagai bentuk pemenuhan kewajiban pelindungan anak yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah perlu memandang anak-anak sebagai korban, bukan pelaku. Jangan sampai mereka harus menanggung dosa yang dilakukan orang tua mereka, seperti yang terjadi pada anak-anak bekas tahanan politik.

This thesis is aimed to discuss citizenship from the perspective of Indonesian national law and international law, the impact of citizenship rights on Indonesian citizens who participate as Foreign Terrorist Fighters (FTF), as well as advice on protecting the citizenship of children from Indonesian citizens who are involved in the FTF in the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) which can guarantee legal certainty and support the interests of human rights in Indonesia. This research is a normative legal research and uses secondary data which is analyzed descriptively with a systematic interpretation method. The results of the study revealed that the policy to revoke ex-ISIS citizenship in Indonesia still creates contradictions. International law does not impose a national State directly on the obligation to repatriate FTF family members. Nonetheless, several relevant commitments were established under various international, national laws supporting repatriation, as the best option for acting in accordance with existing international frameworks. In reviewing the ex-ISIS citizenship status, it is important to distinguish children from adults because the right to citizenship has been regulated in Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, and international regulations Article 15 of the Universal Declaration of Human Rights in 1948 and Article 24 Section 3 of the International Covenant on Civil and Political Rights, as well as the Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Nonetheless, the government needs to review the policy of revoking the citizenship of children of ex- ISIS Indonesian citizens, not in a state of being able to choose. If they are accepted, then the government must be prepared with some consequences. First, the government needs to identify and sort out children who can be brought back to Indonesia. Second, providing health service facilities with adequate mental health human resources for psychological intervention for these children. Third, prepare a socialization and support program so that the community can accept ISIS combatant orphans, as a form of fulfilling the obligation to protect children as regulated in Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. The government needs to view children as victims, not perpetrators. Do not let them have to bear the sins of their parents, as happened to the children of former political prisoners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library