Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: United Nations , [date of publication not identified]
341.23 UNI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kolb, Robert
Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2014
341.552 KOL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1981
340.9 SUD s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Orrego Vicuna, Fransisco
New York: Cambridge University Press, 2004
341.52 ORR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Achmad Zen Umar
Abstrak :
Tiba-tiba nama "Ligitan" dan "Sipadan" menjadi buah bibir di Indonesia. Bukan karena pulau-pulau itu menyumbang bagi kocek negara, tapi justru karena keduanya "lepas" dari haribaan pertiwi. Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) 17 Desember lalu menetapkan Malaysialah pemilik Ligitan dan Sipadan dua pulau nun di kanan atas Kalimanta sana. Ada pendapat yang sangat menyesalkan kekalahan kita di ICJ itu. Sebab biar sejengkal pun wilayah kita harus kita pertahankan. Kelompok ini mengingatkan kemungkinan akan dapat lenyapnya beberapa pulai lain jika makna kekalahan ini tidak dipahami sebagai pelajaran yang mesti dicamkan. Kelompok kedua bersuara santai. Buat apa pusing-pusing menangisi dua pulay yang lepas, sementara ada sekitar 17.000 pulau yang lain. Mengurus pulau yang berpenghuni saja kita belum becus.
Hukum dan Pembangunan, 2003
HUPE-XXXIII-1-Mar2003-123
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adies Caesarian
Abstrak :
Produk hukum yang bersumber dari aktivitas organisasi internasional banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan sumber hukum internasional. Kebanyakan instrumen ini hadir sebagai pelengkap dari perjanjian konstitutifnya dengan sifat yang tidak mengikat, tetapi tidak dipungkiri memiliki signifikansi sebagai sumber hukum. Berkaitan dengan ini, Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) merupakan badan ciptaan dari International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) yang secara khusus diberikan mandat untuk mengawasi implementasi kewajiban Negara pihak yang lahir dari ICERD. Untuk menjalankan mandatnya, CERD dapat mengeluarkan General Recommendationsebagai panduan bagi Negara pihak dalam memahami ketentuan ICERD sehingga Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan lebih baik. Selain bagi Negara pihak, General Recommendation juga digunakan oleh organ yudisial, seperti International Court of Justice (ICJ) sebagai pertimbangan untuk memahami suatu ketentuan Konvensi. Hal ini tercermin dari praktik ICJ dalam pertimbangan Putusan Diallo, Belgia melawan Senegal, Wall Advisory Opinion, dan IFAD Advisory Opinion. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk mengetahui posisi General Recommendation sebagai sumber hukum internasional, mengamati praktik ICJ sebelumnya dalam menggunakan General Recommendation sebagai bahan pertimbangan, serta menganalisis pertimbangan ICJ terhadap General Recommendation No.30 Tahun 2004 dari CERD dalam perkara Qatar melawan UEA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ICJ tidak menggunakan General Recommendation No.30 Tahun 2004 untuk menginterpretasikan ketentuan dalam ICERD tanpa mengelaborasikan alasannya. Meskipun hal ini dapat dilakukan oleh ICJ karena ICJ tidak wajib mengikuti interpretasi dari CERD ataupun preseden sebelumnya, hal ini menyimpang dari praktik-praktik ICJ sebelumnya. Sehubungan dengan itu, penggunaan General Recommendation sebagai sarana interpretasi oleh ICJ dapat dilihat sebagai supplementary means of interpretation dalam kaitannya dengan posisi General Recommendation sebagai sumber hukum subsider. Penelitian ini menyarankan General Recommendation diberikan pertimbangan yang besar terhadap suatu pertimbangan interpretasi ketentuan perjanjian HAM internasional. Pun ketika ICJ memilih untuk menyimpang dari interpretasi General Recommendation, hendaknya memberikan justifikasinya demi menjaga konsistensi putusannya. ......Sources of law originating from the activities of international organizations contribute a lot to the development of sources of international law. Most of these instruments are complements to the constitutive agreement with a non-binding nature, but it is undeniable that they have a certain legal significance as a source of law. In this regard, the Committee on the Elimination of Racial Discrimination (“CERD”) is an organ created by the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (“ICERD”) which is specifically mandated to monitor the implementation of obligations of ICERD States parties. To carry out its mandate, CERD can issue General Recommendations as a guide for States parties in understanding the provisions of ICERD so that States can carry out their obligations better. In addition to State parties, the General Recommendation is also used by judicial organs, such as the International Court of Justice (“ICJ”) as considerations to interpret International Human Rights Law Convention’s certain provisions. This is reflected in ICJ's practices such as Diallo Judgement, Belgium v. Senegal Judgement, Wall Advisory Opinion, and IFAD Advisory Opinion. By using juridical-normative methods and secondary data, this study aims to locate General Recommendation as a source of international law, observe previous ICJ practices in using General Recommendations as considerations, and further analyse ICJ's considerations on CERD’s General Recommendation No. 30 (2004) in the Qatar v. UAE Judgement. This study concludes that ICJ does not use General Recommendation No. 30 of 2004 to interpret the provisions in ICERD without providing its justification. While this is a common and reasonable practice by the ICJ—as they are not obliged to follow the interpretation of the CERD nor ICJ’s previous precedents—this Judgement deviates from previous ICJ practices. The relation of General Recommendation as a means of interpretation by the ICJ can be seen as a supplementary means of interpretation as this closely relates to the General Recommendation position as a subsidiary source of international law. This study suggests that the General Recommendation is given great weight to the consideration of the interpretation of International Human Rights treaties. In a situation where ICJ chooses to dismiss the interpretation of the General Recommendation, ICJ should provide its justification in doing so to maintain the consistency of ICJ’s jurisprudence.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiz Idris Wiyasa
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai potensi pengaruh yang mungkin timbul dari dikeluarkannya Advisory Opinion tentang Kewajiban Negara Terkait Perubahan Iklim oleh Mahkamah Internasional. Tiga inti permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yakni kewenangan Mahkamah Internasional dan peran advisory opinion-nya terhadap dinamika hukum internasional secara umum; status quo hukum perubahan iklim; serta prospek dampak yang mungkin timbul ketika Mahkamah Internasional menjawab pertanyaan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sehubungan dengan tanggung jawab negara terkait perubahan iklim. Penelitian akan dilakukan secara doktrinal, dengan memaparkan berbagai instrumen hukum yang relevan secara sistematis, menganalisis kaitan masing-masing instrumen, serta mengidentifikasikan implikasi hambatan dan potensi dari berbagai instrumen terseput. Hasil dari penelitian ini mencatat tiga skenario respon Mahkamah Internasional dari pengajuan advisory opinion ini: 1) penolakan untuk menjawab inti pertanyaan; 2) afirmasi semata atas status quo hukum perubahan iklim; 3) diberikannya kontribusi progresif terhadap status quo hukum perubahan iklim. Terkait skenario terakhir, tulisan ini akan mencatat ekspektasi bentuk kontribusi tersebut. Terakhir, pengaruh bagi hubungan internasional dan hukum domestik juga ditelaah. ......This research discusses the potential influences that may arise from the upcoming Advisory Opinion on State Obligations Regarding Climate Change issued by the International Court of Justice. The study focuses on three main issues: the authority and role of the Court’s advisory opinions in the dynamics of international law in general; the status quo of climate change law; and the prospective impacts that may emerge when the Court responds to questions presented by the United Nations General Assembly in relation to States’ climate change obligations. The research will be conducted doctrinally, meaning that it will systematically present various relevant legal instruments, analyze the relationship between each instrument, and identify the obstacles and potential implication of these various instruments. The findings of this research suggest three scenarios on which the Court may respond to the request: 1) refusal to clarify the “core” of the question; 2) mere affirmation of status quo climate change law; and 3) progressive contributions from status quo climate change law. With regards to the latter, this study will also suggest in what way can the Court make such progressive contributions. Lastly, influences towards international relations and domestic law will also be analyzed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Theda Alana
Abstrak :
Pada prinsipnya, ICJ hanya memiliki yurisdiksi asli, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Namun, beberapa perjanjian internasional ICAO memberikan yurisdiksi banding kepada ICJ, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Adapun ICJ telah menjatuhkan tiga putusan sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Walaupun demikian, instrumen hukum ICJ dan ICAO serta praktik ICJ dalam putusan-putusannya tidak memberikan landasan yang komprehensif mengenai yurisdiksi banding ICJ. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis (1) dasar hukum dan ruang lingkup yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO berdasarkan instrumen hukum ICJ dan ICAO; (2) praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 1972; dan (3) konsistensi praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 2020. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pasal 84 Konvensi Chicago, Pasal II(2) IASTA, serta Pasal 36(1) dan 37 Statuta ICJ menjadi dasar hukum yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO; tetapi instrumen hukum ICJ dan ICAO tidak mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup yurisdiksi tersebut. Kedua, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 1972 memperjelas ruang lingkup yurisdiksi bandingnya—terutama mengenai jenis putusan yang dapat diajukan banding, yakni meliputi bukan hanya putusan Dewan ICAO atas merits, tetapi juga atas yurisdiksi; serta ruang lingkup peninjauan yang diterapkan pada persidangan banding, yakni standar peninjauan de novo. Ketiga, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 2020 konsisten dengan praktiknya dalam Kasus ICAO 1972; dan semakin memperjelas ruang lingkup yurisdiksi banding ICJ—terutama memperjelas bahwa standar peninjauan de novo diterapkan bukan hanya terhadap pertanyaan hukum, tetapi juga terhadap pertanyaan fakta. ......In principle, the ICJ only has an original jurisdiction, wherein it acts as a court of first and last instance. However, several ICAO treaties provide the ICJ with an appellate jurisdiction, wherein it acts as a court of appeal from the ICAO Council. The ICJ has rendered three judgments as a court of appeal from the ICAO Council. Nevertheless, the legal instruments of the ICJ and ICAO as well as the ICJ’s practice in its judgments do not provide a comprehensive basis regarding the ICJ’s appellate jurisdiction. Therefore, this study analyzes (1) the legal basis and scope of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council based on the legal instruments of the ICJ and ICAO; (2) the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 1972 ICAO Case; and (3) the consistency of the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 2020 ICAO Case. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. First, Article 84 of the Chicago Convention, Article II(2) of the IASTA, as well as Articles 36(1) and 37 of the ICJ Statute constitute the legal basis of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council; but the legal instruments of the ICJ and ICAO do not specifically regulate the scope of that jurisdiction. Second, the ICJ’s practice in the 1972 ICAO Case clarifies the scope of its appellate jurisdiction—particularly regarding the types of decisions that are subject to appeal, which include not only the ICAO Council’s decisions on the merits, but also on jurisdiction; and the scope of review that applies in appellate proceedings, namely a de novo standard of review. Third, the ICJ’s practice in the 2020 ICAO Case is consistent with its practice in the 1972 ICAO Case; and further clarifies the scope of the ICJ’s appellate jurisdiction—particularly by clarifying that a de novo standard of review is applied not only to questions of law, but also to questions of fact.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library