Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Krishna Prana Julian
"Pada tahun 2011, terjadi krisis kemanusiaan di Libya yang menyebabkan munculnya korban jiwa di kalangan penduduk sipil. Menyikapi kondisi ini, North Atlatic Treaty Organizatoin (NATO) memutuskan untuk melakukan misi intervensi kemanusiaan ke Libya pada 31 Maret 2011. Dalam melakukan upaya tersebut, NATO meminta Jerman untuk turut mengirimkan pasukan militernya guna membantu misi kolektif NATO di Libya. Terlepas dari adanya permintaan tersebut, Jerman menunjukkan perilaku defection dengan memutuskan untuk tidak melibatkan pasukan militernya ke dalam misi tersebut. Perilaku defection Jerman dalam menyikapi permintaan NATO tersebut menarik dikaji, sebab fenomena tersebut menunjukkan bahwa institusi keamanan tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk perilaku anggotanya pada kondisi-kondisi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perilaku defection yang dilakukan Jerman terhadap permintaan NATO pada kasus Krisis Libya 2011 guna mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi peran institusi keamanan dalam membentuk perilaku anggotanya.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori aliansi yang dikemukakan oleh Glenn H. Snyder. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku defection yang ditunjukkan Jerman dalam menyikapi permintaan NATO pada kasus Krisis Libya 2011 dipengaruhi oleh dua alasan. Pertama, Jerman tidak memiliki kepentingan yang signifikan untuk menyelesaiakan permasalahan krisis yang terjadi di Libya pada tahun 2011. Kedua, Jerman memiliki ketakutan terhadap risiko entrapment dalam menyikapi Krisis Libya 2011. Oleh karena itu, perilaku defection dilakukan guna mengurangi risiko entrapment tersebut.

In February 2011, Libya underwent a civil war that led to civilian casualties. In response to this situation, North Atlatic Treaty Organizatoin (NATO) decided to send its troops to Libya to protect Libyan civilian. While doing so, NATO requested Germany to contribute its military troop to NATOs collective forces in Libya. In spite of this request , Germany decided to shows a sign of defection behaviour by rejecting to send its military troop to Libya. German defection behaviour towards NATOs expectation in the wake of Libyan Crisis 2011 is intriguing to be studied, because it shows that security alliance does not always have significant influence on shaping the behaviour of its members. Therefore, this study examines the cause of German defection behaviour towards NATOs request in the Libyan Crisis 2011.
To explain this phenomenon, this study uses alliance theory to understand why NATO had no significant influence on shaping German behaviour in such case. The result of this study indicates that German defection behaviour towards NATOs request was driven by two factors. First, Germany does not have any significant interest on solving the undergoing crisis in Libya 2011. Second, Germany had fears of entrapment due to several reasons including its low direct and indirect dependece toward NATO, explicitness of alliance agreement, and NATOs supportive behaviour toward Germany in the past.  This fears leads to German defection behaviour toward NATOs expectation in Libyan Crisis 2011.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rifqi Daneswara
"Kerja sama keamanan Eropa mengalami perkembangan terbaru dengan aktivasi Permanent Structured Cooperation tahun 2017 oleh Uni Eropa. Aktivasi PESCO dilakukan pada waktu yang unik setelah United Kingdom memilih untuk keluar dari Uni Eropa melalui referendum di tahun 2016. Skripsi ini berusaha mencari tahu mengapa Uni Eropa mengaktivasi PESCO di tahun 2017. Tulisan ini menggunakan teori legitimasi yang ditulis oleh Tallberg dan Zurn dengan melihat legitimasi institusi berdasarkan fitur-fitur yang dimiliki institusi yaitu otoritas, prosedur dan performa. Teori tersebut digunakan karena terdapat permasalahan legitimasi yang dihadapi oleh Uni Eropa ketika PESCO diaktifkan. Menggunakan teori legitimasi, tulisan menemukan bahwa aktivasi PESCO dilakukan sebagai salah satu upaya Uni Eropa untuk melanjutkan integrasi sekaligus meningkatkan legitimasi yang dimiliki oleh institusi. Berdasarkan fitur otoritas, di dalam PESCO Uni Eropa memiliki otoritas yang rendah bila dibandingkan dengan bentuk kerja sama di bidang lainnya seperti Euro Area sebagai upaya mengurangi defisit legitimasi Uni Eropa. Sementara itu, berdasarkan fitur prosedur, pengambilan keputusan yang ada di dalam PESCO berpusat dalam Dewan Uni Eropa memiliki tujuan meningkatkan legitimasi di mata pemerintah negara anggota. Terakhir, berdasarkan fitur Performa, PESCO dibentuk untuk meningkatkan kapabilitas keamanan Uni Eropa dan legitimasi di mata audiens, namun lambatnya penyelesaian proyek menghalangi peningkatan legitimasi di fitur ini. Berdasarkan ketiga fitur tersebut, ditemukan bahwa PESCO dibentuk berdasarkan permasalahan legitimasi yang melanda Uni Eropa yaitu tingginya defisit legitimasi yang dihadapi, rendahnya kepercayaan dari negara anggota serta ketidakmampuan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah keamanan di lingkungan mereka. Dengan mengatasi ketiga hal tersebut, diharapkan aktivasi PESCO dapat meningkatkan legitimasi yang sebelumnya mengalami penurunan diakibatkan berbagai krisis.

European security cooperation underwent the latest development by the activation of Permanent Structured Cooperation (PESCO) in 2017 by the European Union. The PESCO activation was carried out in a unique time after the United Kingdom chose to leave the European Union through a referendum in 2016. This study seeks to find out why the European Union activated PESCO in 2017 and adopted the theory of legitimacy written by Tallberg and Zurn by looking at the legitimacy of the institutions based on the features of the institution, namely authority, procedure, and performance. Such theory was used because there were legitimacy problems faced by the European Union at the time when PESCO was activated. Using the theory of legitimacy, this study found that PESCO activation is carried out as one of the European Union's efforts to continue the integration while at the same time increasing the legitimacy of the institution. Based on the feature of the authority in PESCO, the European Union has low authority compared with forms of cooperation in other fields, as an effort to reduce the EU's legitimacy deficit. Meanwhile, based on the features of the procedure, the decision-making in PESCO is centered on the Council of the European Union with the aim of increasing legitimacy for its member state governments. Lastly, based on the feature of the performance, PESCO was activated to increase the EU security capabilities and legitimacy for the audience, however, the slow pace of project completion prevented the increase of legitimacy in this feature. Based on these three features, it was found that PESCO was formed on legitimacy problems that plagued the European Union, namely the high deficit of legitimacy, low trust from the member countries and the European Union's inability to resolve security problems in their environment. By overcoming those three things, it is hoped that PESCO activation may increase the legitimacy which has previously decreased due to various crises."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library