Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanna Debora Imelda
Abstrak :
Despite the growing number of new cases of HIV and AIDS in Indonesia, the progress ofprevention programs has been slow. Low prevalence is always stated as a reason for delayingHIV prevention programs and to justify slow progress in implementation. Prevention programsare moreover based on a high-risk group paradigm. They focus on female sex workers asresponsible for the spread of HIV, leading to its stigmatization as a hooker?s disease. This articledescribes how seropositive mothers interpret and respond to HIV and AIDS as women, in lightof the fact that most of them have not experienced full-blown AIDS. Some women had alreadyexperienced severe illnesses caused by HIV but defined their ill health by the symptoms theyexperienced, revealing that they did not really feel as if they were living with HIV and AIDS.Despite the fact that some members had died due to AIDS, many still could not believe thatthey were suffering from HIV and AIDS or that their illnesses were caused by it; rather, theirsymptoms were of other diseases such as diarrhoea, tuberculosis, or hepatitis. And thoughthey realized that their past (or present) behaviours put them at risk, they maintained thatthey were victims who had contracted the disease from their promiscuous or drug-injectinghusbands. Even when they did admit that their own behaviour had something to do with it,they did not consider HIV and AIDS as a disease but a curse from God, a punishment fortheir immoral behaviour. Keywords: Women, Infectious Disease, Interpretation, HIV and AIDS, Support Group,Indonesia
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Desyana Endarti Hendraswari
Abstrak :
Anak usia 0-23 tahun merupakan masa golden period namun sangat rentan mengalami kurang gizi yang akan mengganggu pertumbuhan baik fisik maupun otak anak. Gangguan pertumbuhan pada masa ini bersifat irreversible. Penyakit infeksi menjadi salah satu penyebab langsung anak mengalami kekurangan gizi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan penyakit infeksi (ISPA, diare, kecacingan, campak, TB paru, Pnemonia) dengan wasting dan underweight pada anak usia 0-23 bulan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan design studi cross sectional dengan menggunakan data SSGI 2021 dengan jumlah sampel 32.084 balita. Pada hasil penelitian proporsi underweight 14,32%, wasting 9,56% dan penyakit infeksi 31,54%. Anak dengan riwayat infeksi memiliki risiko 1,03 kali lebih tinggi untuk wasting dibandingkan anak tanpa riwayat penyakit infeksi setelah dikontrol dengan variabel berat badan saat lahir serta IMD dan tidak bermakna secara statistik. Sedangkan anak dengan penyakit infeksi berisiko 1,1 kali (95% CI:1,00-1,14) lebih tinggi untuk underweight dibandingkan anak tanpa riwayat penyakit infeksi setelah dikontrol dengan variabel usia anak serta berat badan saat lahir dan bermakna secara statistik. ......Children aged 0-23 years are the golden period but are very vulnerable to malnutrition which will interfere with the growth of both the physical and brain of the child. Growth disturbance at this time is irreversible. Infectious diseases are one of the direct causes of children experiencing malnutrition. The purpose of this study was to determine the relationship between infectious diseases (ARI, diarrhea, helminthiasis, measles, pulmonary tuberculosis, pneumonia) with wasting and underweight in children aged 0-23 months in Indonesia. This study used a cross-sectional study design using SSGI 2021 data with a total sample of 32,084 toddlers. In the results of the study the proportion of underweight was 14.32%, wasting was 9.56% and infectious disease was 31.54%. Children with a history of infection had a 1.03 times higher risk of wasting than children without a history of infectious disease after controlling for birth weight and IMD variables and were not statistically significant. Meanwhile, children with infectious diseases had a 1.1 times (95% CI: 1.00-1.14) higher risk of being underweight than children without a history of infectious diseases after controlling for the variables of child's age and birth weight and statistically significant.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Ruswan
Abstrak :
Penyakit kusta adalah merupakan penyakit menular yang bersifat kronis dan memiliki dampak sosial yang cukup besar. Penularannya melalui hubungan yang lama dan akrab, karena itu kontak serumah dengan penderita kusta diduga merupakan resiko yang tinggi untuk terjadinya penularan. Namun demikian tidak semua kontak serumah tertular, untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penularan penyakit kusta pada kontak serumah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dengan desain Cross sectional . Populasi penelitian ini diduga 974 kontak serumah dengan penderita kusta tipe MB yang telah RFT yang terdiri dari 270 penderita kusta dan 704 bukan penderita kusta Sampel sebanyak 400 yang terdiri dari 111 penderita kusta dan 289 bukan penderita kusta yang dipilh dengan meta de stratified random sampling secara proposianal. Hasil penelitian menunjukkan 1 diantara 3,6 kontak serumah menderita kusta Beberapa faktor yang berhubungan adalah: pendidikan, pengetahuan, status perkawinan, pekerjaan, umur, hygiene sanitasi, lama kontak, keakraban dan status gizi (p< 0.05), dan variabel keakraban memiliki hubungan yang paling kuat (POR=6.87). Dari hasil analisa muitivariat ada 6 variabel utama yang berhubungan yaitu pendidikan, gizi, pekerjaan, pengetahuan, keakraban dan status perkawinan. Setelah dilakukan penilaian interaksi ditemukan ada 5 interaksi dari variabel-variabel utama yang bermakna. (p<0.05), sehingga dapat dikemukakan sebuah model dengan 6 variabel utama dan 5 variabel interaksi.
The Correlation Factors with the New Leprosy Case Supposed to be by Household Contact at Bekasi, 1997Leprosy is a infectious disease with the characters become cronical and has big social impact. The infection through the close and long contact, so that household contact with the leprosy patient supposed to be has high rich to the infection case. Nevertheless not all the house hold contact will become a case, it is important to be known that the correlation factors with the infection of the leprosy disease supposed to be by living together contact. The research has been doing at Bekasi with the cross sectional design. The population are 974 house hold contact with the leprosy patient, and 704 leprosy patient Total sample about 400.consist of 111 leprosy patient, and 289 not leprosy patient, thet has been chosen by stratified random sampling proportionally. The result shows that I of 3.6 house hold contact has leprosy. There are many correlation factor i.e.education, knowledge, marital status, job, age, hygiene sanotation, the length of contact, closely and the nutrient ( p< 0.005), and the closely variable has the strongest correlation (PDR= 6.87 ). The result of the multivariate analysis there are 6 main variables that has correlation i.e. education, nutritien, job, knowledge, closely and marital status after interaction judgment by done there are 5 interactions from the main variables that meaningfully (p<0.005), so that there will be a model using 6 main variables and 5 interaction variables.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mururul Aisyi
Abstrak :
Thalassemia merupakan kelainan herediter sintesis hemoglobin yang pertama kali digambarkan oleh Cooley dan Lee pada tahun 1925. Setelah tahun 1940 baru diketahui karakter genetik yang sebenarnya dari penyakit ini. Penyakit ini merupakan suatu bentuk homozigot dari kelainan genetik resesif, yang pada keadaan heterozigot menunjukkan manifestasi hematologis lebih ringan. Kondisi homozigot dengan manifestasi klinis yang berat tersebut dikenal sebagai thalassemia mayor, sedangkan bentuk heterozigot dinamakan thalassemia minor. Thalassemia merupakan kelainan genetik tersering di dunia. Kelainan ini terutama ditemukan pada daerah sabuk yang melingkar dari Mediterania ke Timur Tengah, India, Birma dan Asia Tenggara. Di Indonesia, frekuensi pembawa gen penyakit ini sekitar 5%, sehingga dapat diperkirakan akan didapatkan 5000 kasus baru per tahun. Karena adanya penyebaran penduduk, penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Masalah pada penderita thalassemia sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang menyeluruh dan terpadu. Masalah yang mungkin timbul dapat berupa anemia kronik sampai kepada kelainan berbagai organ tubuh baik sebagai akibat proses penyakit tersebut maupun efek samping pengobatannya. Di samping masalah medis tersebut di atas penyakit ini juga menimbulkan masalah psikososial yang besar baik bagi penderita maupun lingkungannya. Isolasi sosial, rasa percaya diri yang rendah, prestasi akademik rendah, depresi dan ketakutan akan kematian lebih dini merupakan beberapa dampak yang dapat ditimbulkan akibat perjalanan kronik penyakit Dengan demikian penatalaksanaan penderita thalassemia seyogyanya bersifat holistik baik dare aspek fisis medis maupun psikososial. Pendapat bahwa anak-anak thalassemia lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan dengan anak normal telah diterima selama bertahun-tahun. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin terlibat tetapi sejauh ini belum didapatkan hasil yang memuaskan. Kerentanan terhadap infeksi didapat akibat penyakitnya sendiri atau akibat pengoba tan dan tindakan dalam perjalanan penyakit thalassemia. Selain kondisi kelebihan besi dan anemia berat, peningkatan kerentanan terhadap infeksi tersebut diamati terjadi lebih sering pada pasien dan pasca splenektomi. Komponen utama imunitas terhadap infeksi bakteri adalah sistem fagositosis dan proses opsonisasi yang terkait dengan imunoglobulin dan komplemen. Faktor-faktor ini ditemukan tidak berfungsi secara adekuat pada penderita thalassemia khususnya yang telah menjalani splenektomi atau dengan penimbunan zat besi. Splenektomi menyebabkan hilangnya organ dengan fungsi fagositosis dan produksi antibodi. Penderita asplenik berisiko tinggi mendapat infeksi fulminan oleh bakteri berkapsul. Kelebihan besi menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang membutuhkan besi untuk pertumbuhannya. Di sisi lain, timbunan besi merusak sel limfosit dan menghambat fungsi-fungsinya terutama aktivitas neutrofil dan monosit terhadap bakteri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasripin
Abstrak :
Tarif pemeriksaan IMS di Puskesmas Mangga Besar hingga saat ini sebesar Rp. 20.000,- per kunjungan. Apabila biaya tersebut ditingkatkan ada kemungkinan daya beli masyarakat menjadi lebih rendah. Sementara apabila diturunkan ada kemungkinan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap mutu layanan yang ada. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui besar tarif pemeriksaan IMS di Klinik Jelia Puskesmas Mangga Bcsar Jakarta Barat yang rasional dengan memperhatikan biaya satuan. tingkat pemulihan biaya, tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat Jenis penelitian ini adahth study analitik dengan pendekatan perhitungan cost ana/isis. Metode analisis biaya yang digunakan adalah, Activity Based Costing (ABC) yang menelusuri biaya berdasarkan Clinical Pathway, selain itu juga mengumpulkan data mengenai tingkat kemampuan dan kemauan membayar (ATP/WTP) dari responden selaku pengguna layanan pemeriksaan IMS. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa biaya pemeriksaan IMS dari biaya invest.asi langsung Rp. l6.077.489,10,- sedangkan biaya operasional langsung diketahui scbesar Rp. 237.970.301,dengan komponen terbesar terdapat pada biaya gaji pegawai sebesar Rp. 149.ll8,504,-. Biaya tidak langsung pada pemeriksan IMS sebesar Rp. 148.719.898,- atau 36,9% dari biaya total. Biaya total pemeriksaan IMS di Klinik Jelia Puskesmas Mangga Besar tahun 2007 adalah sebesar Rp. 402.767688,-. Biaya terbesar terdapat pada biaya operasional langsung yaitu Rp. 237.970301,- atau 59% dari total biaya. Biaya satuan pemeriksaan IMS sebesar Rp. 223.388,-. CRR pemeriksaan IMS di Klinik Jelia pada tahun 2007 sebesar 8,95% ATP berkisar antara Rp. 32.250,- hingga Rp. 517500,-, dengan nilai tengah Rp. 114.500 ? WTP berkisar antara Rp. 10.000,- dengan Rp. 200.000,·, dengan nilai rata-ram Rp. 53203,·dan ni!ai rengah Rp. 37.500,-. ATP lebih tinggi daripada WTP. Tarif pemeriksaan IMS yang rasional berdasarkan simulasi ditetapkan sebesar Rp. 75.000,-. Saran yang disampaikan adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih komprehensif tentang biaya pemeriksaan IMS, utilisasi terhadap pemeriksaan IMS harus selalu ditlngkatkan, pcndampingan kepada kelompok penjaja seks komersial harus selalu digalakan, perlu adanya usulan penetapan tarif pemeriksaan IMS, Dinas Kesehatan Provinsi DKJ Jakarta perlu mengupayakan koordinasi yang lebih baik dengan Suku dinas dan Puskesmas dalam pemmggulangan lMS. Dengan demikian dihatapkan adanya intervensi yang berkelanjutan untuk dapat menurunkan kasus HIV sehingga dapat meningkatkan produktiivitas dan kesejahteraan masyarakat. ......The Sexual Infectious Disease (SID} medical checkup tariff at Mangga Besar Public Health Center is only Rp 20,000 for each visit. If the current price is raised, it is afraid that public purchase interest is declining. On the contraryif it is decreased, there is a possibility of public lessening trust on the quality served. The purpose of the study is to acquire the rational cost of SJD medical checkup at Jelia Clinic Mangga Besar Public Health Center West Jakarta by focusing on the unit cost, recovery cost levet. and public purchase ability and interest. The srudy ls analytical study with the cost analysis approath. Cost analysis method used is Activity Based Costing (ABC} which traces cost based on Clinical Pathway, and atso collect data pertaining public purchase ability and interest of the respondents as the customers of the SiD medical checkup services. It is derived from the srudy that SID medical checkup cost is Rp.16.077.489.10,- of the total direct investment cost; while direct operational cost is Rp. 237.970.301,- with the biggest component is on employee salary with the amount of Rp. 149.118504,-. SID medical checkup indirect cost is Rp. 148.719.898,- or 36,9% of the total cost. The total cost of SID medical checkup at ? is Rp. 53.203,- and median is Rp. 37.500,-. ATP is higher tban WTP. It is determined that the SID medical checkup rational oost based on the simulation is Rp. 70.000,-. It is suggested that further comprehensive study on SID medical checkup cost and utilization on SID medical checkup are to be improvesociety's for commercial sexual workers needs to be enhanced, DKl Jakarta Health Office needs to coordinate better with Sub Health Office and Public Health Center, and the scheme of SID medical checkup cost settlement is needed. To sum up, it is hoped that there is a sustained intervention to lessen HIV cases in order to improvesociety's productivity and wealth.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T20916
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Finley
Abstrak :
Rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan penghasil berbagai jenis limbah khususnya limbah klinis infeksius, toksis, dan radioaktif. Limbah klinis yang tidak dikelola dengan benar akan menimbulkan dampak kesehatan langsung bagi masyarakat dan lingkungan. Menurut hasil pemeriksaan BTKL Depkes Jakarta tahun 2003, menunjukkan bahwa effluent limbah cair Rumah Sakit Pusat Infeksi Prof. DR. Sulianti Saroso (RSPI-SS) tidak memenuhi baku mutu BOD5 34 mg/l, TSS 80 mg/l, dan NH3 0,18 mg/l. Pembakaran limbah padat klinis di insenerator menunjukkan gejala adanya pembakaran yang kurang sempurna, dimana suhu pembakaran tidak mencapai 1000°C. Dari latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian adalah: (1) Apakah IPAL RSPI-SS efektif menurunkan parameter BOD5, COD, TSS, NH3, PO4, dan bakteriologi serta berapakah efisiensinya? (2) Apakah suhu pembakaran limbah padat klinis sudah efektif? (3) Berapakah efisiensi pembakaran (EP) dan efisiensi pemusnahan (DRE) limbah padat klinis di insenerator? (4) Berapakah konsentrasi emisi udara untuk parameter NH3, C12, HCI, NO2, debu, S02, H2S, HF, CO1 dan CO2 dari insenerator?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Kualitas effluent dan efisiensi IPAL. (2) Suhu pembakaran di insenerator, efisiensi pembakaran , serta efisiensi pemusnahan, penghilangan (3) Kualitas emisi udara dari insenerator dengan parameter NH3, CI2, HC1, NO2, debu, SO2, H2S, HF, CO, dan CO2. (4) Pengelolaan limbah klinis dan upaya minimisasi . Hipotesis kerja: adalah (1) Efisiensi IPAL yang masih rendah menyebabkan parameter BOD5, COD, TSS, NH3, PO4. dan bakteriologi melampaui baku mutu. (2) Temperatur pembakaran limbah klinis yang rendah di insenerator, menyebabkan EP dan DRE rendah. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif, metode penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional. Pengolahan data dengan tabulasi, komparasi, dan teknik sampling secara purposive sampling. Hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) Konsumsi air bersih rata-rata tahun 2003 adalah 3810,4 m3/bulan. Rasio BOD5 dan COD dari influent IPAL adalah 0,52 berarti limbah bersifat organik dan metode pengolahannya proses biologi. (2) IPAL berfungsi tidak efektif, dan hasil analisis kualitas effluent tidak memenuhi syarat Kep.MenLH No.58 /1995 lampiran B, IPAL yang mengolah air limbah sebesar 75,5 - 107 m3 hanya mampu menurunkan konsentrasi hari 1 : BOD5 44,2 mg/l, TSS 82 mg/1, dan koliform 8x104. Hari 2 : TSS 74 dan mg/l, PO4 7,7 mg/l, koliform 22x104. Hari 3 TSS 86 mg/l, NH3 0,23 mg/l, dan koliform 4x104. (3).Efisiensi IPAL hanya mampu menurunkan BOD5 16-49%, COD 14-44%, TSS 4-19%, NH344-52, %, PO4 0 0 ? 8 % dan koliform 0%. (4) Suhu pembakaran limbah padat klinis adalah 342°C belum mencapai suhu optimum (1000°C). Hasil analisis kualitas emisi insenerator tidak memenuhi syarat NH3 yaitu 0,82 mg/m3 menurut SK Gubernur DKI Jakarta No. 670 Tahun 2000. Efisiensi pembakaran 95% dan efisiensi pemusnahan/penghilangan 96% belum memenuhi syarat menurut Kep. Ka.Bapedal No.03/Bapedal 09/1995 yaitu 99,999%. RSPI-SS menangani pembakaran limbah padat klinis dari rumah sakit selain dari sumber internal. Penggunaan air bersih yang berlebih merupakan salah satu obyek untuk minimisasi limbah cair. Limbah fixer, kemasan infus, botol alkohol, botol bayclin, dan betadin merupakan limbah padat yang dapat di daur ulang. Kesimpulannya adalah bahwa pengelolaan limbah klinis di RSPI-SS baik limbah cair pada IPAL maupun penanganan limbah padat klinis di insenerator belum optimal. Demikian juga upaya minimisasi limbah belum optimal. Pengelolaan limbah klinis rumah sakit tersebut dapat ditingkatkan dengan menerapkan konsep minimisasi limbah dan kaidah dalam penanganan limbah B3 dan limbah non B3 sesuai dengan karakteristik limbah yang dihasilkan. Sebagai saran: untuk meningkatkan pengelolaan limbah klinis di RSPISS adalah perbaikan dan pemeliharaan peralatan IPAL, operasi IPAL sesuai SOP, menambah waktu aerasi, segregasi dan pre-treatment limbah sebelum masuk ke IPAL, memasang meteran di IPAL dan Instalasi air bersih, efisiensi penggunaan air bersih, serta mengkaji syarat mikrobiologi limbah cair pada Kep.MenLH No.58/1995 Lampiran B. Pengelolaan limbah padat klinis perlu upaya segregasi, mengendalikan suhu di insenerator, operasi insenerator sesuai dengan SOP, meningkatkan pengetahuan / ketrampilan petugas, dan uji TCLP abu hasil insenerasi serta penanganan abu sesuai prosedur limbah B3.
Management of Hospital Clinical Waste (A Case Study at National Medical Center for Infectious Disease Prof. Dr. Sulianti Saroso Hospital Jakarta)Hospital is a healthcare facility, which generates variety of waste particularly infectious, toxic, and radioactive clinical waste. The improper management of hospital clinical waste will cause direct health impacts on the surrounding community and on the environment. Data from BTKL Department of Health Jakarta year 2003, obtained result analysis of effluent quality of RSPI-SS waste-water treatment plant (WWTP) was excessive compared to standard issued by Ministry of Environment regulation number 58 year 1995 attachment B on BOD5 34 mg/l, TSS 80 mg/l, NH3 0,18mg/l. Hospital clinical waste incineration was inadequate temperature which is less than 1000°C. Therefore based on the above data, research questions were as follow: (1) was the WWTP of RSPI-SS effective to remove BOD5, COD, TSS, NH3, PO4, and bacteria and what was its efficiency? (2) Was the combustion temperature of clinical solid waste effective? (3) What were the combustion efficiency (CE) and destruction removal efficiency (DRE)? (4) What was the concentration of emission quality of incinerator such as NH3, Cl2, HCI, NO2, dust, SO2, H2S, HF, CO, C02? This research aimed to assess management of hospital clinical waste on effluent quality of WWTP and its efficiency, combustion temperature in incinerator, CE, DRE, and also clinical waste management and minimization program. Working hypothesis are: (1) Low efficiency of WWTP caused excessive quality of effluent on BOD5, COD, TSS, NH3, PO4, and bacteria. (2) Low combustion temperature of clinical solid waste caused low on CE and DRE of incinerator. Research was conducted by quantitative approach and analytical descriptive research methodology. Research design was cross-sectional, purposive sampling technique, and data processing by tabulation and comparation. Results obtained from the research are as follows: (1) Average water use at RSPI-SS year 2003 was 3810.4 m3/monthly, and BOD5/COD ratio of influent quality was 0.52 which meant organic loading and treatment method was biological process. (2) WWTP functioned ineffective, in which result analysis of effluent quality was exceeded standard, observed parameters on: Day I: BOD5 44.2 mg/l, TSS 82 mg/l, and coliform 6x104. Day 2: TSS 74 mg/l, PO4s 7.7mg/l and, coliform 22x104. Day 3: BOD5 86 mg/l, NH3 0.23 mg/l, and coliform 4x104. (3) Treatment efficiency of WWTP was only enable to remove observed parameters on: BOD5 16 - 49%, COD 14 - 44%, TSS 4 -19%, NH3 44 - 52%, and PO4' 0 - 8% and coliform 0%. (4) Combustion temperature in the incinerator was only 342 °C, which unreached optimum temperature (1000°C). Result analysis of the incinerator emission quality indicated excessive concentration on ammonia refer to stationary source of air quality standard issued by Governor of Jakarta Decree number 670 year 2000). CE of clinical waste incineration was 95% and DRE was 96%, which meant below the standard requirement by ministry of environment which is 99,999%. RSPI-SS hospital incinerated clinical solid waste from out side source. Inefficiency of water use was one of the waste water minimization objects. The hospital waste minimization program covers the following action such as efficiency of water use, effluent re-use, fixer recovery , re-use of infuse bottle, alcohol, detergent, and betadine. Conclusions are as follows: Clinical waste management at RSPI-SS hospital which consisted of waste water on WWTP and clinical solid waste handling on incinerator were not optimum. Clinical waste management could be improved by application of minimization concept and method of hazardous waste and non hazardous waste handling based on generated waste characteristic. Recommendations are: repairing and maintenance of WWTP instrument, WWTP operation based on SOP, extend the period of aeration, segregate the waste water, install the flow rate meter on the WWTP and water plant, water efficiency, evaluation of microbiology standard of hospital effluent issued by ministry of environment, segregation of clinical solid waste, operation of incinerator based on SOP, to improve knowledge and skill of operator, and residual TCLP test of incineration and residual handling based on hazardous waste handling procedure.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T 11374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patria Vittarina Sarisetyaningtyas
Abstrak :
Varisela atau cacar air merupakan penyakit menular yang biasanya mengenai anak, namun dapat pula terjadi pada dewasa muda yang rentan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Varisela merupakan penyakit yang bersifat universal, diperkirakan 60 juta kasus terjadi di dunia setiap tahunnya. Sebuah survai di jepang menunjukkan angka kejadian terbanyak terjadi pada anak usia kurang dari 6 tahun. Di Eropa dan Amerika, 90% kasus terjadi pada anak di bawah usia 10 tahun, kurang dari 5% pada usia lebih dari 15 tahun, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Di Indonesia, angka kejadian varisela di rumah sakit yang ada tidak mencernunkan keadaan sebenamya karena pada umumnya pasien berobat jalan ke Puskesmas, praktek swasta dokter umum, spesialis anak, atau spesialis kulit. Data rumah sakit menunjukkan kelompok umur terbesar yang menderita varisela adalah pada kelompok usia 5 sampai 14 tahun. Secara khas varisela ditandai dengan gejala demam, nyeri kepala, malaise, anoreksi, batuk pilek, radang tenggorok dan pruritus. Gejala sistemik tersebut menetap 2-3 hari dan pruritus 3-5 hari. Setelah awitan lesi kulit, papul baru berubah menjadi krusta, dalam 3-4 hari (rata-rata 1-7 hari). Rata-rata waktu untuk terjadinya krusta adalah 6 hari (2-12 hari) dan penyembuhan total 16 hari (7-34 hari). Anak sehat (imunokompeten), apabila menderita varisela secara konvensional hanya mendapat terapi simtomatik. Asildovir oral tidak direkomendasi secara rutin untuk pengobatan varisela tanpa komplikasi pada anak imunokompeten Keuntungan klinis dari pemberian terapi antivirus masih merupakan kontroversi. Pertimbangan lain, berkaitan dengan masalah biaya pengobatan, terbatasnya data efikasi terapi antivirus bila terapi dimulai setelah 24 jam timbulnya lesi kulit dan kemungkinan timbulnya resistensi virus. Pada umumnya infeksi virus menurunkan sistem kekebalan tubuh yang dapat bersifat sementara. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh misalnya dengan menggunakan obat imunomodulator. Obat imunomodulator dapat bersifat irnunostimulan atau imunosupresor 9 Pada umumnya imunostimulan digunakan sebagai obat tambahan atau ajuvan dalam upaya menyembuhkan infeksi sehingga apabila terdapat indikasi penggunaan antibiotik maka pemberian antibiotik tetap diberikan. Ajuvan yang dimaksud adalah substansi yang dapat membantu kerja substansi Iainnya, dalam hal ini substansi tersebut mempunyai kesanggupan untuk memodifikasi respons imun.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fadiyah Ulayya Verdianti
Abstrak :
Latar Belakang Kanker serviks adalah penyakit kronis yang mudah dicegah dan dapat ditangani jika ditemukan dini. Meskipun demikian, sampai saat ini, kanker serviks masih menjadi penyakit dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi di Indonesia dan dunia serta menimbulkan beban yang signifikan bagi penderita maupun masyarakat. Infeksi HPV merupakan penyebab utama terjadinya kanker serviks dan tindakan pencegahan lainnya tidak cukup untuk mencegah terjadinya infeksi HPV tanpa didampingi dengan vaksinasi. Oleh karena itu, penelitian untuk menelusuri pengetahuan, sikap, dan perilaku serta faktor sosial ekonomi yang dapat menjadi penghambat terjadinya vaksinasi HPV diperlukan. Metode Dilakukan pengambilan data menggunakan kuesioner pada tanggal 20-23 November 2023 di Poli Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSCM Kiara. Sampel yang di ambil berupa data dari sosiodemografi dan pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) terkait HPV serta kanker serviks pada populasi cakupan untuk melihat hubungan diantaranya. Hasil Subjek penelitian ini sebagian besar sudah memiliki sikap yang positif terhadap infeksi HPV, vaksinasi HPV, dan kanker serviks (69,3%). Akan tetapi, sebagian besar masih memiliki pengetahuan dan perilaku yang buruk (72,4% dan 84,3%). Pada penelitian ini terdapat hubungan antara pengetahuan dengan sikap (p 0,001, OR 6,857, 95% CI=1,954- 24,062) dan pengetahuan dengan perilaku (p 0,003, OR 4,227, 95% CI=1,569-11,389). Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara sikap dengan perilaku. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pengetahuan dengan status vaksinasi HPV (p 1,000), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status sikap dengan status vaksinasi HPV (p 0,455), dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perilaku dengan status vaksinasi HPV (p 1,000). Kesimpulan Ditemukan tingkat pengetahuan dan perilaku subjek yang buruk dengan sikap yang positif. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap dan pengetahuan dengan perilaku, tetapi tidak antara sikap dengan perilaku. Selain itu, tidak ada hubungan antara status pengetahuan, sikap, dan perilaku denga status vaksinasi. ......Introduction Cervical cancer is a chronic disease that is easy to prevent and can be treated if found early. However, to date, cervical cancer is still a disease with a high incidence and mortality rate both in Indonesia and globally, while also causing a significant burden for sufferers and society. HPV infection is the main cause of cervical cancer and, without vaccination, other preventive measures alone are not enough to prevent HPV infection. Therefore, research to explore knowledge, attitudes, and behavior as well as socio- economic factors that can hinder HPV vaccination is needed. Method Data were collected using a questionnaire on 20-23 November 2023 at the Obstetrics and Gynecology Clinic, RSCM Kiara. The sample that was taken was data from sociodemographics and knowledge, attitudes, and practice (KAP) related to HPV and cervical cancer in the coverage population to see the relationship between them. Results Most of the subjects in this study had a positive attitude towards HPV infection, HPV vaccination, and cervical cancer (69.3%). However, the majority still have poor knowledge and behavior (72.4% and 84.3%). This research found a relationship between knowledge with attitudes (p 0.001, OR 6.857, 95% CI=1,954-24,062) and knowledge with behavior (p 0.003, OR 4.227, 95% CI=1,569-11,389). However, no statistically significant relationship was found between attitudes with behavior. This study found that there was no significant relationship between knowledge status with HPV vaccination status (p 1.000), there was no significant relationship between attitude status with HPV vaccination status (p 0.455), and there was no significant relationship between behavior status with HPV vaccination status (p 0.455). Conclusion It was found that the subject's level of knowledge and behavior was poor with a positive attitude. This study also found that there was a statistically significant relationship between knowledge with attitudes and knowledge with behavior, but not between attitudes with behavior. Apart from that, there is no relationship between knowledge status, attitudes, and practice with vaccination status.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The process of economic development and industrialization has historically involved fundamental changes in the social and economic organization of populations. These changes are taking place today in Indonesia, and tire effects are dramatic-infectiuts disease rates are declining, population size is increasing. and the population is growing older. Additionally, the many lifestyle changes we associate with development will also mean the rates of chronic disease will likely increase. Changing consumption patterns are the primary culprits for this transition. increased tobacco see will cause significant increases in heart disease rates, lung cancer and many Other cancers. The dietary transition towards a high fat, low fiber, high animal-food based diet that typically accompanies development will also matte a significant contribution to the increased of chronic disease. The costs of tire epidemologic transition ore many. The epidemologic transition will mean a great loss of life and many of the deaths will be premature (i.e during the otherwise productive years of life). Tire direct cost of treatment for the sick will be very large. Additionally. it is not clear that tire agriculture sector 's response to increased demand for livestock based foods will be an environmentally or economically sustainable proposition for indonesia.
Journal of Population, Vol. 3 No. 1 June 1997 : 67-96, 1997
JOPO-3-1-Jun1997-67
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>