Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aram, John D.
Marshfield, Ma.: Pitman Pub. , 1986
338.973 ARA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
B. Nugroho Sekundatmo
"Ranah penyiaran Indonesia pasca 1998 telah mengalami perubahan mendasar dengan keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di mana sebelumnya merupakan domain kewenangan pemerintah (Departemen Penerangan) menjadi domain kewenangan masyarakat yang direpresentasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI merupakan lembaga negara yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Tetapi konstestasi Negara, industri, dan masyarakat sipil di ranah penyiaran belum selesai dan berlarut-larut dalam Peraturan Pemerintah tentang penyiaran.
Tujuan penelitian ini adalah membongkar akar penyebab kontestasi tersebut dan memberikan rekomendasi kepada KPI, baik lembaga maupun anggotanya/termasuk saya sendiri, untuk mengelola kontestasi berhadapan dengan industri dan pemerintah dalam rangka mengatur penyiaran Indonesia sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Proses penelitian ini diabdikan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perubahan sistem penyiaran nasional yang tersentralisasi menuju sistem penyiaran lokal berjaringan.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa akar kontestasi masalah ini adalah pertarungan rezim Market Regulation melawan Public Regulation. Siapa sesungguhnya yang dimenangkan dan diuntungkan dalam kontestasi tujuh PP Penyiaran tersebut? Jawabnya adalah para pemilik modal TV/radio yang sudah mapan di industri penyiaran Indonesia. Bagaimana dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)? Depkominfo hanyalah kaki-tangan para pemilik modal yang sudah mapan di industri penyiaran itu. Dan KPI? KPI masih belum berhasil, kalau tak sopan jika dikatakan telah gagal, menjadi instrumen pelopor untuk menegakkan kepemilikan publik atas ranah liar Indonesia. Tapi kontestasi tetap belum selesai. Public Regulation masih mempunyai peluang untuk terus hidup, tesis ini ditutup dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mendorong public regulation tersebut.
Participatory Action Research ini juga menemukan terjadinya bipolarisasi aktor di ranah penyiaran, yakni Depkominfo dan Industri di satu pihak, berhadapan dengan DPR, KPI, dan Masyarakat Sipil di lain pihak. Bipolarisasi aktor tersebut berdialektika dengan terjadinya diskrepansi/patahan dalam struktur ekonomi politik penyiaran di mana Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran kemudian menjadi tidak sinambung dengan Undang-Undang Penyiaran.

Indonesia broadcasting landscape in the post 1998, has basically changed after the deliberation of the new Broadcasting Law (UU Nomor 32 Tahun 2002). Under the previous law, the power to regulate TV and radio belongs to The Department of Propaganda (Departemen Penerangan). Nowadays, it belongs to the public which is represented by the Indonesian Broadcasting Commission (KPI). By law, KPI is a state body to regulate the broadcasting matters. But the ministry of communication and information and also the established broadcasting capitalists do not satisfied with the law. The contestation among the state, industry, and civil society in the broadcasting landscape has not finished yet. It's still continuing till the Government Regulations on Broadcasting signed by the President Susilo Bambang Yudhoyono.
The purpose of this research is to find out the roots of the contestation and to formulate the recommendations for KPI, as an institution and also for the commissioner/including myself, to manage the contestation facing the broadcasting industry and government. However, the broadcasting landscape must be regulated so that it can give the benefit for public. The Process of this research will be dedicated to reach the final purpose, i.e. to change the centralized broadcasting system to local network system.
The finding of this research is that the contestation between the Market Regulation vis a vis Public Regulation. Who is really got the benefit of the government regulations on broadcasting? The answer is the established broadcasting capitalists in Indonesia. How about the Department of Communication and Information (Depkominfo)? Depkominfo is just a slave of the established broadcasting capitalist. And KPI? KPI has not been successful yet as a frontier soldier to uphold the public ownership on broadcasting arena. Actually, the contestation is to be continued. The Public Regulation still has the opportunity to survive. This research provides recommendations to enforce the public regulation.
This Participatory Action Research has also found the bipolarization of the actors in the broadcasting landscape, i.e. government and the industry on one faction against parliament (DPR), KPI, and civil society. This bipolarization runs dialectically with the discrepancy in the broadcasting political economy structure so that the Government Regulations on Broadcasting doesn't obey the Broadcasting Law.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valentina Sahasra Kirana
"Sejak tahun 2009, Indonesia terikat oleh kerjasama open sky ASEAN. Tesis ini membahas keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama ini ditinjau dari perspektif hukum internasional dan hubungan internasional. Teori yang menggambarkan hubungan antara kepentingan negara dan kepentingan rezim dalam kerjasama internasional yang seringkali berbenturan digunakan untuk menjelaskan kepentingan nasional Indonesia yang terganggu dalam kerjasama open sky ASEAN di satu sisi dan manfaat kerjasama ini di sisi lain. Di satu sisi, Indonesia bersama dengan kesepuluh negara anggota ASEAN lain memperoleh manfaat dari kerjasama open sky ASEAN melalui proyek Masyarakat ASEAN. Di sisi lain, kepentingan nasional Indonesia untuk melindungi kedaulatan di wilayah udara dan industri penerbangan nasionalnya terganggu dalam kerjasama ini. Ketentuan dalam Konvensi Wina sebagai sumber hukum internasional berperan dalam memberikan peluang bagi Indonesia berupa penarikan diri, reservasi maupun amandemen untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya yang terganggu oleh kerjasama ini, namun dengan tetap menjalankan kewajibannya terhadap rezim. Meskipun ketiga peluang ini dimungkinkan menurut hukum internasional, menurut hubungan internasional peluang untuk reservasi dan amandemen merupakan pilihan yang lebih diplomatis. Dengan meneliti posisi keikut-sertaan Indonesia dalam kerjasama open sky ASEAN, tampak bahwa hukum internasional dan hubungan internasional merupakan dua kajian yang saling mendukung. Hukum internasional merupakan kerangka normatif dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan negara dengan kepentingan rezim dalam sebuah kerjasama internasional. Meskipun demikian, dalam hubungan sarat konflik antara kepentingan rezim dengan kepentingan negara, kepentingan negara lebih banyak memengaruhi kepentingan rezim.

Since 2009, Indonesia has committed to ASEAN open sky cooperation. This research aims to observe Indonesia's participation within this cooperation through international law and international relations lenses. A theory describing conflict relations between state's and regime's interest within international cooperation is used to explain Indonesia's interest when facing challenges within this cooperation, while showing that there are also benefits from this cooperation. On the one side, Indonesia and the other ten ASEAN members enjoy open sky cooperation trough ASEAN Community project. On the other side, this cooperation has posed some challenge to Indonesia in protecting its air sovereignty and national airlines industry. The Vienna Convention as a source of international law offers some possibilities for Indonesia in the forms of withdrawal, reservation, or amendment in order to protect its national interests which have undergone some challenges while still adhering to its obligation to the regime. Even though the three possibilities are supported by international law, from international relation perspective possibilities to reserve and amend are considered more diplomatic. By observing Indonesia's partnership in ASEAN open sky cooperation, it can be concluded that international law and international relations are two disciplines that are complementing each other. International law is a normative construct in international relations that aims to balance state's and regime's interest. However, within conflict relations between regime's and state's interest, it is suggested that state's interest has more domination over regime's interest."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library