Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elizabeth Claudya
"ABSTRAK
Hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dahulu merupakan hubungan bilateral yang problematik. Normalisasi hubungan kedua negara menjadi bukti kesiapan kedua negara untuk kembali bekerja sama tanpa mengungkit peristiwa di masa lalu. Sejak saat upaya itu bergulir, kerja sama antarnegara terus berkembang dan menguat, dibuktikan dengan adanya Kemitraan Strategis hingga One Belt One Road (OBOR) pada saat ini. Hubungan kerja sama kedua negara kembali ditingkatkan lagi dengan adanya Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia-Tiongkok tahun 2013 yang meliputi kerjasama di bidang politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, dan kerjasama lainnya. Dalam lingkup yang lebih luas, sejak tahun 2015, hubungan Indonesia-Tiongkok juga terjalin dalam inisiatif OBOR. Hal-hal itu merupakan latar belakang dibuatnya tugas akhir dengan topik Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia-Tiongkok dalam rangka One Belt One Road (OBOR). Dari hasil analisis tugas akhir ini, dapat disimpulkan bahwa keuntungan besar yang diperoleh RRT dari Kemitraan Strategis tahun 2005 dan adanya inisiatif OBOR menjadi faktor pendorong diadakannya Kemitraan Strategis Komprehensif pada tahun 2013. Selain untuk meraup keuntungan yang lebih besar, RRT memanfaatkan hubungan tersebut untuk mempromosikan OBOR melalui pendekatan soft power.

ABSTRACT
"
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Amiratania Bastari
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana penerima beasiswa sebagai salah satu stakeholder kebijakan luar negeri Tiongkok mempersepsikan diplomasi publik dan citra negara Tiongkok selama pandemi COVID-19. Pertama, diplomasi publik yang dilakukan Tiongkok dalam kerangka informasional dan relasional diidentifikasikan. Diplomasi publik yang dilakukan Tiongkok sebagai alat komunikasi krisis juga akan dilihat melalui Image Repair Theory. Selanjutnya, wawancara mendalam dengan tiga penerima beasiswa dan narasumber ahli dilakukan untuk menganalisis persepsi mereka terkait diplomasi publik dan citra negara Tiongkok selama pandemi COVID-19, di mana citra negara terdiri dari empat aspek; fungsional, estetik, normatif, dan emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tiongkok telah melakukan networking, messaging, bolstering dan corrective action. Secara informasional, selain dari sumber informasi domestik Tiongkok, informan juga mencari informasi pada media sosial Kedutaan Tiongkok di Indonesia. Secara relasional, vaccine diplomacy dinilai efektif untuk memperbaiki citra negara Tiongkok, walaupun belum dieksploitasi secara maksimal. Dalam persepsi citra negara, hanya tiga aspek yang teridentifikasikan, di mana aspek normative merupakan aspek yang paling menonjol.

This study aims to analyze how scholarship recipients as one of China's foreign policy stakeholders perceive public diplomacy and the country image of China during the COVID-19 pandemic. First, China's public diplomacy in an informational and relational framework is identified. China's public diplomacy as a crisis communication tool will also be seen through the Image Repair Theory. Furthermore, in-depth interviews with three scholarship recipients and expert resource person were conducted to analyze their perceptions regarding public diplomacy and the China’s country image during the COVID-19 pandemic, where country image consists of four aspects; functional, aesthetic, normative, and emotional. The results showed that China had carried out networking, messaging, bolstering, and corrective action. Informationally, apart from Chinese domestic sources of information, informants also seek information on social media of the Chinese Embassy in Indonesia. Relationally, vaccine diplomacy is considered effective in improving the image of the Chinese state, although it has not been exploited to its full potential. Regarding perception of China’s country image, only three aspects were identified, of which the normative aspect is the most prominent aspect"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toelle, Samantha Antoinette Fedora
"Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Tiongkok yang menandakan peresmian kerja sama Indonesia-Tiongkok dalam kerangka kerja Belt and Road Initiative (BRI). Inisiatif ini digagas oleh pemerintah Tiongkok untuk memberi insentif ekonomi (pendanaan, faktor produksi, tenaga kerja dan ahli, asistensi) guna mendukung pembangunan infrastruktur negara mitra dan memperkuat konektivitas di sepanjang jalur BRI (Silk Road Economic Belt dan 21st Century Maritime Silk Road). Kendati sokongan yang disediakan untuk merealisasikan agenda Global Maritim Fulcrum (GMF) Indonesia, terdapat berbagai risiko multisektoral yang mengikuti penerimaan BRI. Terlebih lagi, latar belakang persaingan geopolitis yang menjadi preseden kemunculan BRI semakin menambah daftar ancaman pada tingkat nasional, regional dan internasional. Keresahan tersebut menghadirkan pertanyaan yang diangkat dalam skripsi ini; mengapa Indonesia tetap melakukan penerimaan Belt and Road Initiative Tiongkok? Dengan menggunakan kerangka analisis economic statecraft, penulis menemukan terdapat beberapa faktor yang mendorong sebuah negara untuk menerima economic statecraft, yakni; tingkat stateness Indonesia yang tinggi sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sesuai kepentingan eksekutif dan mengabaikan risiko dan/atau penolakan pada tingkat domestik; keterbatasan fiskal Indonesia dalam memenuhi ekspektasi pembangunan dalam negeri; keselarasan antara kepentingan pembangunan Indonesia dengan benefit yang dapat BRI sediakan; kekuatan Tiongkok sebagai emerging major power yang meningkatkan kredibilitas BRI; dan adanya ancaman geopolitis yang lebih besar apabila Indonesia menolak sebagai konsekuensi dari relasi asimetris antara Tiongkok-Indonesia.

In 2018, the Indonesian government signed a Memorandum of Understanding (MoU) with the Chinese government which marked the inauguration of Indonesia-China cooperation within the framework of the Belt and Road Initiative (BRI). This initiative was initiated by the Chinese government to provide economic incentives (funding, production factors, labor and experts, assistance) to support partner countries' infrastructure development and strengthen connectivity along the BRI route (Silk Road Economic Belt and 21st Century Maritime Silk Road). Despite the support provided to realize Indonesia's Global Maritime Fulcrum (GMF) agenda, there are multisectoral risks that follow BRI's acceptance. Moreover, the background of geopolitical rivalry that precedes the emergence of the BRI further adds to the list of threats at the national, regional and international levels. This unrest presents the question raised in this thesis; why does Indonesia continue to accept China's Belt and Road Initiative? By using the economic statecraft analysis framework, the author finds that there are several factors that encourage a country to accept economic statecraft, namely; Indonesia's high level of stateness so that it is able to formulate policies that suit executive interests and ignore risks and/or rejection at the domestic level; Indonesia's fiscal limitations in meeting domestic development expectations; alignment between Indonesia's development interests and the benefits that BRI can provide; China's strength as an emerging major power that increases the credibility of BRI; and the existence of a greater geopolitical threat if Indonesia refuses as a consequence of asymmetrical relations between China-Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library