Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Surjadi
"Studi ini membahas artikulasi identitas-identitas kultural di Provinsi Riau yang muncul sebagai tanggapan atas kepengaturan desentralisasi. Riau yang merupakan salah satu provinsi berpendapatan per kapita terbesar, adalah salah satu kisah sukses desentralisasi pascaSoeharto. Provinsi ini juga menjadi tempat tinggal bagi kelompok warga Melayu yang terbesar di Indonesia. Namun mereka bukanlah penduduk mayoritas di Provinsi Riau. Artikulasi identitas kultural didalami menggunakan kerangka pemikiran Stuart Hall, sedangkan kepengaturan governmentality dianalisis dengan kerangka konseptual Michel Foucault. Terjadi kontestasi antar berbagai identitas kultural yang diwarnai dengan relasi kekuasaan yang rumit antara aktor-aktor di Jakarta dan Riau.

This study discusses various articulations of cultural identities in Riau Province, which arise as responses to the governmentality of decentralization. Riau as one of the provinces with the largest income per capita, is a success story of post Soeharto decentralization. The province is also home to the largest Malay group in Indonesia. However, they are not the majority population in Riau. Articulation of cultural identity is explored from the perspective of Stuart Hall, while governmentality is analised using Michel Foucault rsquo s conceptual framework. There are contestations among diverse cultural identities colored by complex power relations between actors in Jakarta and Riau.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2247
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Suzen Hartaty Rotoea
"Mangongkal Holi merupakan ritual Batak Toba yang hanya bisa dilakukan di kampung halaman marga suku Batak Toba yang terletak di sekitar wilayah Danau Toba. Syarat khusus pelaksanaan Mangongkal Holi menyebabkan popularitas pelaksanaannya menurun di kalangan suku Batak Toba diaspora di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Berkaitan dengan hal itu penelitian ini berupaya untuk menemukan artikulasi Mangongkal Holi sebagai wahana identitas Batak Toba Jabodetabek. Dengan memanfaatkan teori ritual Catherine Bell dan konsep artikulasi identitas kultural Stuart Hall, artikulasi suatu ritual oleh masyarakat pemilik ritual dapat dipahami sebagai sarana konstruksi identitas. Lebih lanjut, dapat diketahui pula bahwa Mangongkal Holi memberikan representasi identitas bagi suku Batak Toba. Dengan kata lain Mangongkal Holi tampak memiliki relasi sebagai sarana resistensi perubahan identitas Batak Toba yang berada di diaspora. Ritualisasi Mangongkal Holi menunjukkan adanya rekontekstualisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh keyakinan dominan Batak Toba. Rekontekstualisasi dilakukan dengan cara pengubahan narasi utama pelaksanaan ritual dari hal yang berbau mitos menjadi narasi alkitabiah. Rekontekstualiasi Mangongkal Holi dapat dinyatakan tidak sempurna sebab masih ada ritualisasi yang didasarkan pada keyakinan Batak Toba sebelumnya yakni hasipelebeguan. ketidaksempurnaan rekontekstualisasi disebabkan masih adanya penganut keyakinan Batak Toba masa lalu dan tahapan ritualisasi yang tidak jauh berbeda. Dalam skala yang lebih luas, dampak ketidaksempurnaan rekontekstualisasi berdampak pada artikulasi Batak Toba Jabodetabek yang mengalami kontingensi atas pelaksanaan Mangongkal Holi. Kontingensi dalam artikulasi individu Batak Toba Jabodetabek melahirkan dikotomi-dikotomi yang kemudian menjadi stereotip dalam masyarakat Batak Toba Jabodetabek seperti kota-desa, hasipelebeguan-kristen, dan bona pasogit-perantauan. Meskipun demikian, pada akhirnya Mangongkal Holi menjadi sarana resistensi yang digunakan oleh suku Batak Toba untuk menjaga konstruksi identitas esensial. Berdasarkan rekontekstualisasi dan kontingensi Mangongkal Holi maka ritual dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari wacana dominan dan mengandung catatan historis dan dinamika sosial serta pergulatan wacana yang ada dalam masyarakat tertentu khususnya wacana identitas. Sementara itu, bangunan tugu yang menjadi sarana pelaksanaan ritual menunjukkan kecenderungan menghadirkan tiga corak arsitektur: i) Penggunaan corak nasional tugu yang merupakan simbol lingga dan yoni dengan simbol lain pada bangunan tugu yang mengandung falsafah Batak; ii) Penggunaan simbol dalam bangunan untuk mengisahkan sejarah marga atau klan; dan iii) Penggabungan unsur arsitektur khas suku Batak Toba dengan corak nasional tugu. Selain itu, tugu Batak Toba merupakan lanskap sakral sekaligus lanskap pragmatik bagi marga suku Batak Toba.

Mangongkal Holi is a Toba Batak ritual that can only be performed in the hometown of the Toba Batak clan located around the Lake Toba region. The special requirements for the implementation of Mangongkal Holi have caused the popularity of its implementation to decline among the Toba Batak diaspora in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek). In this regard, this research seeks to find an articulation of Mangongkal Holi as a vehicle for Batak Toba identity in Jabodetabek. By utilising Catherine Bell's ritual theory and Stuart Hall's concept of cultural identity articulation, the articulation of a ritual by the ritual owner community can be understood as a means of identity construction. Furthermore, it can also be seen that Mangongkal Holi provides a representation of identity for the Toba Batak tribe. In other words, Mangongkal Holi appears to have a relationship as a means of resistance to changes in Toba Batak identity in the diaspora. The ritualisation of Mangongkal Holi shows the recontextualisation of cultural values influenced by the dominant beliefs of Batak Toba. Recontextualisation is done by changing the main narrative of ritual from mythological to biblical narratives. The recontextualisation of Mangongkal Holi can be declared imperfect because there are still ritualisations based on previous Batak Toba beliefs, namely hasipelebeguan. The imperfection of recontextualisation is due to the existence of adherents of past Batak Toba beliefs and ritualisation stages that are not much different. On a broader scale, the impact of the imperfection of recontextualisation has an impact on the articulation of the Jabodetabek Batak Toba who experience contingency over the implementation of Mangongkal Holi. Contingency in the articulation of Jabodetabek Batak Toba individuals gave birth to dichotomies which later became stereotypes in the Jabodetabek Batak Toba community such as city-rural, hasipelebeguan-christian, and bona pasogit-diaspora. Nevertheless, in the end Mangongkal Holi became a means of resistance used by the Toba Batak tribe to maintain essential identity construction. Based on the recontextualisation and contingency of Mangongkal Holi, the ritual can be defined as a manifestation of the dominant discourse and contains historical records as well as social dynamics and discourse struggles that exist in a particular society especially the discourse of identity. Meanwhile, The Tugu that are a means of performing rituals show a tendency to present three architectural styles: i) The use of the national style of the monument which is a phallus and yoni symbol with other symbols on the monument building containing Batak philosophy; ii) The use of symbols in the building to tell the history of the clan or clan; and iii) The combination of typical Toba Batak architectural elements with the national style of the monument. In addition, the Toba Batak monument is a sacred landscape as well as a pragmatic landscape for the Toba Batak clan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Shofiyanti
"Penelitian ini membahas artikulasi identitas kultural masyarakat Osing melalui mocoan (tembang naskah kuno) di Banyuwangi. Masyarakat Osing, yang merupakan kelompok etnis asli Banyuwangi, memiliki kekayaan budaya yang masih lestari, salah satunya melalui tradisi lisan dalam bentuk mocoan. Tembang-tembang naskah kuno ini, yang berfungsi sebagai media penyampaian nilai-nilai moral, sejarah, dan ajaran hidup, menjadi sarana penting dalam menjaga dan mengungkapkan identitas kultural masyarakat Osing. Penelitian ini berfokus pada analisis terhadap pelestarian tradisi mocoan, dengan mengkaji bagaimana proses pertunjukan mocoan berperan dalam pembentukan dan artikulasi identitas kultural masyarakat Osing di Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi untuk mengkaji berbagai makna yang terbentuk dalam praktik mocoan sebagai tradisi tembang naskah yang hidup (living manuscript) dalam masyarakat Osing. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara dengan tokoh budaya setempat, serta analisis diskursif terhadap pertunjukan mocoan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa mocoan tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya, tetapi juga sebagai ruang bagi agensi untuk menciptakan dan merumuskan ulang makna atas identitas kultural mereka. Dalam konteks ini, komunitas Mocoan Lontar Yusup Milenial memainkan peran penting dalam mempertahankan tradisi mocoan melalui negosiasi terhadap habitus ritual dan pembaruan strategi pelestarian, dengan mengakses pengetahuan tradisional dan menyajikan pertunjukan yang relevan bagi generasi muda. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa, kini, aspek pemahaman isi naskah tidak lagi penting dibandingkan dengan penekanan pada kemampuan dalam menembangkan teks itu sendiri, di mana hal ini justru mengukuhkan bahasa Osing sebagai living language—satu aspek penting dalam mempertahankan identitas budaya Osing di tengah arus globalisasi. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dinamika pelestarian tradisi lisan di masyarakat Osing, serta menjelaskan bagaimana mocoan berfungsi sebagai sarana artikulasi identitas budaya yang tidak hanya bersifat historis, tetapi juga relevan dalam konteks sosial kontemporer. Dengan demikian, mocoan berperan sebagai salah satu strategi diskursif yang memungkinkan keberlanjutan dan regenerasi tradisi Osing di masa depan.

This study aims to analyze the articulation of the cultural identity of the Osing community through mocoan (traditional recitation of old manuscript) in Banyuwangi. The Osing people, who are the indigenous ethnic group of Banyuwangi, possess a rich cultural heritage that is still preserved, one of which is through the oral tradition of mocoan. These ancient poetic scripts, which serve as a medium for conveying moral values, history, and life teachings, have become an important tool in maintaining and expressing the cultural identity of the Osing community. This research focuses on analyzing the preservation of the mocoan tradition by examining how the performance of mocoan contributes to the formation and articulation of the Osing community’s cultural identity in Banyuwangi. This study employs a qualitative approach with an ethnographic method to explore the various meanings embedded in the mocoan practice as a living manuscript within the Osing community. Data is collected through participatory observation, interviews with local cultural figures, and discursive analysis of mocoan performances. The findings reveal that mocoan not only serves as a means of cultural preservation but also provides a space for agency to create and reinterpret the meanings of their cultural identity. In this context, the Mocoan Lontar Yusup Milenial community plays a significant role in maintaining the mocoan tradition through the negotiation of ritual habits and the renewal of preservation strategies, accessing traditional knowledge, and presenting performances that resonate with younger generations. This phenomenon also shows that, while understanding the mocoan texts remains important, there is now a greater emphasis on the performance or vocalization of the texts themselves, which functions to reaffirm the Osing language as a living language—an essential element in preserving the Osing cultural identity amidst globalization. This research contributes significantly to understanding the dynamics of oral tradition preservation in the Osing community, and explains how mocoan functions as a tool for articulating cultural identity that is not only historical but also relevant in contemporary social contexts. Thus, mocoan plays a role as one of the discursive strategies that allows the continuity and regeneration of Osing traditions in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Gunawan
"ABSTRAK
Isu mengenai migran, terutama dalam proses penyesuaian diri di lingkungan tempat tinggal baru dan konflik kultural yang terjadi sebagai akibatnya, banyak diangkat menjadi tema film Jerman dekade terakhir ini. Salah satunya adalah film berjudul Shahada 2010 karya Burhan Qurbani. Film bergenre melodrama dengan durasi 88 menit ini menceritakan tiga orang anak muda muslim yang tinggal di Berlin dan harus berhadapan dengan hal-hal yang baru sehingga terjadi konflik dalam diri dan identitas mereka. Adegan dalam film akan dianalisis menggunakan konsep mengenai konstruksi identitas dari Stuart Hall. Konstruksi identitas yang dilihat adalah Islam sebagai keyakinan para migran dan pluralitas identitas muslim yang ditunjukkan mengenai Islam dari negosiasi yang terjadi antara ldquo;roots ldquo; dan ldquo;routes ldquo; para migran muslim dalam film ini. Melalui analisis film Shahada 2010 akan dilihat bagaimana konstruksi identitas migran muslim di Jerman ditampilkan.

ABSTRACT
The issues of migrant, mainly on the adaptation process and cultural conflict, have been used as Germany movie themes in the last decades. This undergraduate thesis focus on the identity construction of muslim migrant in a film named Shahada 2010 by Burhan Qurbani. This 88 minute melodrama genre film tells about three young Muslims who are living in Berlin and has to deal with new things, causing inter cultural clashes and causing conflicts within themselves and their identity. Each scene in this film will be analyzed using the concept of identity construction by Stuart Hall. The results of identity construction is pluralism in muslim identity shown by negotiation process between the ldquo roots ldquo and the ldquo routes ldquo of muslim migrant in this film. Through the analysis of Shahada film will be seen how the construction of Muslim migrant identity in Germany is represented.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library