Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vera V. Syamsi
Abstrak :
Ketika The Beatles mulai dikenal Iuas dan menjadi idola banyak kaum muda di Inggris, kaum mapan di sana mengecamnya dan melarang pemutaran lagu dari kelompok tersebut. Larangan itu terjadi karena kaum mapan merasa adanya ancaman atas otoritas dan wibawa mereka, sementara -sebaliknya- bagi kaum marjinal (dalam hal ini kaum muda dan kelas pekerja) The Beatles merupakan tempat menaruh harapan untuk mendapat kebebasan dan kesempatan yang pada akhirnya adalah perhaikan taraf hidup. Tetapi ternyata sikap `permusuhan' clari kaum mapan itu tidak berlangsung lama dan bahkan pada akhirnya The Beatles di kooptasi dan dipergunakan oleh mereka (dalam hal ini pemerintah) sebagai identitas budaya bangsa tersebut. Selain itu, kelompok musik rock 'n roll itu menimbulkan banyak perubahan dan mengilhami banyak hal Baru tidak saja di Inggris tetapi juga di banyak negara lain di dunia. Karena itu menjadi sangat menarik untuk dianalisa dan diteliti lebih lanjut ideologi apa saja yang berkontestasi dibalik perubahan yang terjadi. Untuk itu penelitian ini dilakukan melalui perspektif kajian budaya dengan pusat perhatian pada momen representasi dan produksi budaya / budaya produksi serta konsumsi. Sedangkan perangkat yang dipergunakan adalah Semiotik yang termuat dalam konsep Mitos yang dikemukakan oleh Roland Barthes.
At the time of its emergence, The Beatles was received with two different reactions; a very enthusiastic and warm welcome by the youth and a very strong objection by parents, teachers and government. The Beatles brought to the surface many things that people didn't realize before and caused many changes. To the youth, it symbolizes freedom, an outlet of expression, a time to be the center of the attention; to the working class people The Beatles was a hope for the eradication of the invisible restriction wrapping them (known as class division) and a medium to go to the higher plane in the society; and to the Establishment The Beatles was an alarm of threat to the power and authority they possessed. With so many interests and ideologies took part behind the sky rocketing popularity of the band, it is very interesting to observe further the phenomenon which later involved many people in the United Kingdom and also the world. More interestingly, the attitudes first showed by the elite group of people called the Establishment has eventually changed. Not only did they accept the group but also now they co-opt the group as nation's cultural identity. Clearly there has been a big change in the society, and this thesis would like to investigate the contesting ideologies behind the change and the circumstance in Britain's present society through cultural studies approach with the focus on moments of Representation and Production / Consumption using Semiotics theory in the concept of Mythology set forward by Roland Barthes.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, 2003
959.8 IND i (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Windarsih
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas masalah imperialisme media dalam dinamika televisi nasional Indonesia -Trans TV- khususnya, Metalui teori hegemoninya Gramsci dianalisa bagaimana TV dapat berfungsi sebagai resistensi hegemoni dalam menghadapi imperialisme media yang masuk melalui program TV asing. Pengembangan identitas budaya merupakan salah satu srrategi yang diterapkan pada stasiun teievisi nasional Trans TV, Menggunakan pendekatan studi kasus dengan teknik pengumpulan data in depth interview dan observasi. Analisa data secara ilustratif naratif setelah melalui tahap pengkategorian data. HasH penelitian menunjukkan bahwa Trans TV sebagai stasiun televisi late comer tnengembangkan produksi program secara in house (90%) dengan mengedepankan identitas budaya lokal. Namun hal tersebut belum bisa dikatakan mengcounter hegemoni, karena Trans TV sejak awal siaran sampai sekarang masih tetap menayangkan program impor dalam Biaskop Trans TV. Faktor lainnya, sebagai televisi komersial Trans TV di samping mengemban tugas memberikan edukasi kepada masyarakat. di sisi lain tetap mengembangkan bisnisnya yang sudah barang tentu semakin melanggengkan ideologi kapitalisme.
Abstract
The focus of this study Is media imperialism within the dynamic of (Indonesian national television especially Trans TV. With Gramsci's theory hegemony i1 will be investigated how television could function an agent of counter hegemony against media imperialism that infiltrated television through its imported programs. To Develop of cultural identity is a strategy that has been practiced by Trans TV. This research is a qualitative research that uses data collecting technics are in depth interview and observation. The analysis of data collected were conducted through categorization and coding which was later systematically written imo illustrative narrative. The research findings show that Trans TV as a late comer among all national televisions has developed an in house production straightly (90%), with priority on local cultural identity. But it is difficult to agree that such an action is a counter hegemony against imported program particularly since Trans TV is still displaying imported movies through a special program called Bioskop Trans TV. Another is the role of Trans TV as a commercial television. so besides its function to provide educational programs for the society, it must also pay attention to the development of its business core which with inevitably sustain the so called capitalism ideology.
2009
T32482
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana orang Umalulu, mengkonstruksi identitas budaya mereka berkaitan dengan keagamaannya dalam menghadapi proses pendiskriminasian di sekeliling mereka. Pemeluk agama Marapu menjadi terdiskriminasi bukan karena identitas budaya yang melekat padanya, akan tetapi akibat pencitraan negatif terhadapnya. Kategori diskriminatif dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruk alamiah, melainkan suatu produk sejarah dan produk representasi. Kajian bertujuan mengungkapkan aspek-aspek yang berkaitan dengan representasi budaya dan masyarakat Umalulu, untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimana orang Umalulu telah direpresentasikan oleh orang-orang lain, dan bagaimana mereka telah menampilkan diri mereka sendiri kepada dunia luar. Identitas budaya adalah sesuatu yang dikonstruksi, untuk mengungkapkannya dalam penelitian ini saya merujuk pada konsep identitas (identity) dari Erik H. Erikson, yang melihat identitas sebagai suatu proses restrukturasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu, di mana seluruh identitas fragmenter yang dahulu diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diantisipasi. Penelitian kualitatif yang dilakukan, meliputi penelitian kepustakaan dan lapangan. Pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan terlibat dengan satuan analisisnya adalah penduduk kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa identitas budaya orang Umalulu merupakan hasil dari interaksi antara kekuatan-kekuatan dari ?luar? dengan praktek kehidupan yang dilandasi tatanan hidup mereka. Marapu adalah agama yang merupakan identitas budaya orang Umalulu, yang menjadi pedoman dasar atau nilai-nilai yang menata kehidupan mereka. Bagi orang Umalulu yang bukan pemeluk agama Marapu, ke-Marapu-an dianggap sebagai adat istiadat dari nenek moyang saja, dan bukan sebagai suatu keyakinan yang mereka peluk. Bagi orang Umalulu, beralih agama merupakan suatu kompromi, yaitu merupakan salah satu bentuk ?strategi perlindungan budaya? yang dapat meredam ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat. Budaya yang bersifat kompromistis ini diaktifkan melalui lembaga adat yang tetap selalu mengedepankan musyawarah dan memegang teguh konsep kebersamaan dan solidaritas.
ABSTRACT
This dissertation examines how the people of Umalulu construct their cultural identity associated with their religiosity to face discrimination process around them. Marapu religion to be discriminated not because of cultural identity attached to it, but due to their negative image. Discriminated category with all the attributes and roles attached to it is not a natural construct, but a product of history and product of representation. The study aims to reveal the aspects relating to the representation of Umalulu?s culture and society, to gain an understanding of how people of Umalulu been represented by others, and how they have represented themselves to the outside world. The point of view that considers cultural identity as something that is constructed, then to express it I refer to the Erik H. Erikson?s concept of identity, who see the identity as a process of restructuring all previous self-identification and description, where all the fragmented identity of the first processed with a view of the future anticipated. Conducted qualitative research, including literature and field research. Data collection through interviews and participant observation with the unit of analysis is the population of Umalulu district, East Sumba regency, Eastern Nusa Tenggara province. The research findings show that cultural identities of the Umalulu?s people are the result of the interaction between the forces of the "outside" the practice of life based on the order of their lives. Marapu is a religion which is the cultural identity of the person Umalulu, which became the basis of guidelines or values that organize their lives. Even for people who are not follow the Marapu religion, the Marapu's for those limited to the customs of ancestors only, and not as a faith they profess. For people of Umalulu, switching religion is a compromise, which is one form of "cultural protection strategy", which can reduce fear and aggression that arise between the individuals and society. The nature of this compromise culture is enabled through the traditional institutions that remain always puts deliberation and uphold the concept of togetherness and solidarity.
Depok: 2012
D1321
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Primadevi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak tinggal di lingkungan budaya lain terhadap identitas budaya siswa AFS Indonesia. Siswa program AFS yang tinggal di luar negeri selama satu tahun akan mengalami akulturasi psikologis. Akulturasi psikologis adalah perubahan budaya yang terjadi pada diri individu akibat kontak budaya yang berlangsung secara terus menerus antara dua budaya yang berbeda (Graves dalam Berry & Kim, 1988). Akulturasi dapat membawa berbagai perubahan yang salah satunya adalah perubahan identitas budaya (Liebkind, 1996b). Seorang remaja yang tinggal di lingkungan budaya asalnya saja dapat mengalami kebingungan identitas budaya (Phinney dalam Rice, 1996). Maka siswa AFS yang tinggal di lingkungan budaya lain diasumsikan akan mengalami dinamika identitas budaya yang lebih besar dan lebih kompleks karena semakin banyaknya pilihan perilaku budaya dan keinginan untuk conform dengan perilaku tersebut. Identitas budaya sendiri adalah imej individu terhadap nilai dan perilaku yang menjadi karakteristik budayanya, perasaannya mengenai karakteristik budaya dan pemahaman mengenai sejauh mana karakteristik budaya tersebut terefleksikan oleh dirinya (Ferdman, 1995). Identitas budaya juga bisa dikaitkan dengan evaluasi terhadap keanggotaannya dalam kelompok budaya tertentu. Karakterisitik budaya disini akan dilihat pada empat kategori besar yakni keluarga, sekolah, pergaulan sosial remaja dan kehidupan beragama. Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan menggunakan wawancara dan observasi. Subyek adalah 4 orang siswa AFS yang sudah kembali (retumee) dari Jepang dan Belgia dalam jangka waktu satu tahun, perempuan, berada dalam tahap remaja akhir (18-22 tahun) dan tinggal di Jakarta. Hasil analisis dan interpretasi menunjukkan bahwa berdasar bentuk budaya Fiske (dalam Triandis, 1994), semua subyek mempersepsi budaya asalnya sebagai budaya kolektivis. Sedangkan subyek yang ke Jepang mempersepsi budaya Jepang di tempat tinggalnya sebagai budaya kolektivis cenderung individualis dan subyek yang ke Belgia mempersepsi budaya Belgia ditempat tinggalnya sebagai budaya individualis. Perbedaan budaya tersebut membuat subyek semakin menyadari aspekaspek budaya asal dan budaya baru selama di luar negeri. Perbedaan tersebut membuat siswa mengevaluasi dan mengubah perilaku budayanya. Dalam hal ini, terdapat tiga pola perubahan identitas budaya siswa selama di luar negeri, yakni mempertahankan dan tidak mempertahankan identitas budaya asalnya serta mempertahankan identitas budaya asalnya dengan mengadopsi perilaku budaya barunya. Terjadinya pola perubahan ini bervariasi dari satu siswa ke siswa lain, tergantung dari latar belakang budaya siswa dan budaya baru yang ditemui siswa. Namun terdapat kecenderungan bahwa perubahan yang dilakukan selama di luar negeri adalah perubahan yang sejalan dengan budaya asal siswa. Selain itu ditemukan pula bahwa semua siswa tidak mempertahankan identitas budaya asalnya dalam hal kebiasaan hidup sehari-hari seperti kebiasaan mengucapkan salam. Secara keseluruhan, dinamika yang dialami subyek sangat besar mengingat perbedaan budaya yang ada dan kecenderungan subyek untuk selalu mengubah perasaan dan perilakunya setiap kali masuk ke dalam lingkungan budaya baru. Walaupun perilaku mereka berubah, namun siswa justru lebih merasa sebagai bagian dari budaya Indonesia dan bangga terhadap hal tersebut selama di luar negeri. Ini terlihat dari usaha subyek untuk membela nama baik Indonesia jika mereka mendengar berita-berita negatif mengenai Indonesia dan bangga menampilkan atraksi budaya Indonesia. Usia remaja ternyata adalah usia yang tepat untuk mengirimkan siswa ke luar negeri dalam rangka program pertukaran pelajar karena remaja senang mencoba hal-hal baru. Namun demikian, penyusunan program orientasi dan reorientasi dengan materi karakteristik budaya baru yang lebih spesifik serta pengaktifan peran konselor selama siswa di luar negeri disarankan untuk lebih ditingkatkan.
2002
S3082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Sharfina Ningtyas
Abstrak :
Istilah "gothic" telah ada sejak abad ke-4 setelah Masehi sebagai nama sebuah suku barbar di daerah Eropa Timur. Arti dari kata ?gothic? kemudian berkembang menjadi gaya arsitektur, aliran sastra, fashion dan genre musik seiring dengan perkembangan zaman. Kesemua aspek tersebut membentuk gothic sebagai budaya yang anti-mainstream. Perkembangan arti kata ?gothic? ini kemudian menimbulkan banyak representasi yang berbeda-beda dari setiap individu yang mengikuti budaya tersebut. Skripsi ini membahas representasi budaya gothic yang ditampilkan oleh grup musik gothic asal Jerman, Blutengel, melalui album mereka yang berjudul Monument. ......The term "Gothic" has been around since 4th century A.D as the name of a tribe of the barbarian, that lived in Eastern Europe. The meaning of the word "gothic" was later developed into a style of architecture, literature genre, fashion and music genre along with the development of the times. All these aspects made gothic as an anti-mainstream culture. The development of the meaning of the word "gothic" later made many different representations from every individual that follows the culture. This thesis discusses about the representation of Gothic culture that displayed by a gothic music group from Germany, Blutengel, through their album entitled "Monument".
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S60369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0253
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sayidatul Ummah
Abstrak :
Tesis ini membahas identitas keturunan Hadrami dalam naskah drama Fatimah (1938) karya Hoesin Bafagih yang ditengarai berupaya mendiskusikan wacana baru terhadap tanah air mereka (baru) yaitu Indonesia melalui konsep representasi (1990) dan identitas (1997) dari Stuart Hall serta konsep nation dari Anderson (1991). Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan adanya tarik ulur identitas budaya dan membongkar nasionalisme keturunan Hadrami yang direpresentasikan melalui tokoh dan penokohan. Hasil analisis membuktikan bahwa Fatimah (1938) mengandung propaganda kebangsaan dengan menunjukkan keberpihakannya pada narasi keindonesiaan dibandingkan kehadramian. Keberpihakan tersebut bisa dilihat melalui penanda dalam teks yang mendiskreditkan gagasan konservatif, eksklusif dan anti-nasionalis sejak awal hingga akhir cerita. Sementara itu, sikap teks yang terlihat mengedepankan kepentingan identitas etnik dengan cara melakukan otokritik, dibaca sebagai strategi yang digunakan teks untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa dengan tujuan mengubah kehadramian tradisional menjadi kehadramian yang berorientasi nasional, yakni dengan menyuguhkan gagasan progresif, inklusif dan nasionalis. Faktanya, strategi ini juga merupakan bagian dari cara teks untuk memperlihatkan bahwa Fatimah (1938) mewakili semangat zaman, di mana bangkitnya semangat keindonesiaan diawali dengan gagasan-gagasan yang bersifat etno-nasionalisme. Fatimah (1938) merupakan tonggak lahirnya identitas baru sebagai orang Indonesia berdarah Hadrami sekaligus “corong” bagi Persatuan Arab Indonesia (PAI). ......This research identifies Hadhrami descent in Fatimah play script by Hoesin Bafagih (1938). This playscript discusses new discourses of their homeland, Indonesia. This study employed the representation concept (1990) and the identity concept (1997) by Stuart Hall and the nation concept by Anderson (1991). This research investigates the tug-of-war of cultural identity and discovers Hadhrami descent's nationalism represented in the play's characters and characterizations. The research results prove that Fatimah (1938) contains national propaganda by presenting its alignment with Indonesian, not Hadhrami. The alignment is presented by textual signifiers that discredit conservative, exclusive, and anti-nationalist ideas from the beginning to the end of the story. Meanwhile, textual narration that prioritizes ethnic identity through self-criticism is interpreted as the text's strategy to grow national awareness to shift the Hadhrami traditions to national-oriented Hadhrami. This strategy is manifested by presenting progressive, inclusive, and nationalistic ideas. Furthermore, this strategy is the texts' method and shows that Fatimah (1938) represents the zest of times when ethnonationalism ideas initiate Indonesian spirits. Besides, Fatimah (1938) is the pioneer of a new identity as an Indonesian with Hadhrami blood and becomes a tool for the Indonesian Arab Union
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ach Hakiki
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tradisi kupatan lebaran yang dibawa diaspora Muslim Jawa ke Malaysia. Tradisi Kupatan merupakan tradisi yang ada pada umat Islam Jawa yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak untuk proses Islamisasi kala itu. Tradisi Kupatan dilaksanakan tujuh hari setelah hari Raya Idul Fitri, dalam bahasa Jawa ketupat atau kupat diartikan sebagai “Jharwa dhosok” yang juga berarti “ngaku Lepat” yakni seseorang harus mampu meminta maaf ketika melakukan suatu kesalahan. Dalam tradisi kupatan, ketupat menjadi hidangan utama, ketupat berbahan dasar beras, dibungkus dengan janur atau daun kelapa muda dengan bentuk persegi empat. Hadirnya tradisi kupatan di Malaysia karena dibawa oleh komunitas diaspora muslim Jawa, masyarakat lokal Malaysia menerima tradisi kupatan karena mereka memiliki beberapa kesamaan dalam tradisi, seperti bahasa, budaya, dan agama, oleh karena itu tradisi kupatan diterima dengan baik dan menghasilkan nilai-nilai positif bagi masyarakat lokal Malaysia. Pada perkembangannya tradisi kupatan lebaran muslim Jawa dalam diaspora muslim Jawa mengalami akulturasi, namun tidak mengubah hal yang bersifat esensial atau makna pada tradisi tersebut, terbukti bahwa tujuan diadakannya tradisi kupatan lebaran masih sesuai dengan makna dan tujuan awal. Tradisi kupatan lebaran diaspora muslim Jawa di Malaysia menjadi sebuah identitas tersendiri bagi diaspora muslim Jawa, karena masyarakat diaspora muslim lain tidak melakukan itu, dan mempunyai ciri khas yang berbeda. Penulis mengambil studi kasus tradisi kupatan lebaran dalam diaspora muslim Jawa di Malaysia untuk mengetahui bagaimana tradisi tersebut mengalamai akulturasi dan sejauh mana tradisi tersebut menjadi identitas bagi diaspora muslim Jawa di Malaysia. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan sumber data kepustakaan. Konsep yang digunakan adalah akulturasi budaya dan identitas budaya. ......This study aims to analyze the Eid kupatan tradition brought by the Javanese Muslim diaspora to Malaysia. The Kupatan tradition is a tradition that existed among Javanese Muslims which was introduced by Sunan Kalijaga during the Demak Kingdom for the Islamization process at that time. The Kupatan tradition is carried out seven days after Eid al-Fitr, in Javanese, ketupat or kupat is interpreted as "Jharwa dhosok" which also means "admit Lepat" that is, one must be able to apologize when one makes a mistake. In the kupatan tradition, ketupat is the main dish, a rice-based ketupat wrapped in janur or young coconut leaves in a rectangular shape. The presence of the kupatan tradition in Malaysia was brought about by the Javanese Muslim diaspora community, the local Malaysian community accepted the kupatan tradition because they have several similarities in tradition, such as language, culture and religion, therefore the kupatan tradition was well received and produced positive values for Malaysian local community. In its development, the Javanese Muslim Eid kupatan tradition in the Javanese Muslim diaspora has acculturated, but does not change essential things or the meaning of the tradition, it is evident that the purpose of holding the Eid Kupatan tradition is still in accordance with the original meaning and purpose. The tradition of Eid kupatan for the Javanese Muslim diaspora in Malaysia has become a separate identity for the Javanese Muslim diaspora, because other Muslim diaspora communities do not do that, and have different characteristics. The author takes a case study of the Eid kupatan tradition in the Javanese Muslim diaspora in Malaysia to find out how this tradition has acculturated and to what extent this tradition has become an identity for the Javanese Muslim diaspora in Malaysia. The author uses qualitative research methods, with library data sources. The concept used is cultural acculturation and cultural identity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Haryo Nugroho
Abstrak :
Di masa modern saat ini, kehidupan umat manusia tidak dapat dipisahkan dari fenomena diaspora. Diaspora merujuk kepada sekelompok manusia yang hidup di luar wilayah yang menjadi asal mereka, baik atas pilihan sukarela atapun keadaan memaksa. Etnis Maluku, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Asia Tenggara, memiliki banyak komunitas diaspora yang tersebar di Belanda. Jumlah mereka cukup signifikan dan menjadi salah satu komunitas terbesar diaspora asal Indonesia. Kepergian mereka meninggalkan tanah Maluku dapat dirunut sejak di bubarkannya tentara kolonal Belanda (KNIL) dan lahirnya Republik Maluku Selatan (RMS). Generasi pertama dari diaspora Maluku di Belanda umumnya terdiri dari keluarga mantan tentara KNIL yang tak ingin meleburkan diri ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berintegrasi pada masyarakat Indonesia di wilayah lain. Meski begitu, kedatangan mereka di negeri Belanda tidak mendapat sambutan hangat, baik dari pemerintah Belanda maupun masyarakatnya. Keberadaan mereka menarik untuk diketahui terlebih mereka juga tinggal secara eksklusif di sebuah kompleks khusus yang dikenal sebagai “Mollucan Quarter”. Identitas diri dari para diaspora Maluku yang tinggal di negeri Belanda juga berbeda-beda. Sejak masa lampau, manusia tidak dapat dipisahkan dari fenomena diaspora. Diaspora merupakan istilah yang merujuk kepada sekelompok manusia yang hidup di luar wilayah asal mereka. Tesis ini meneliti sekelompok etnis Maluku yang menjadi komunitas diaspora di negeri Belanda. Sekelompok etnis Maluku ini merupakan tentara Maluku anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang berpihak kepada Belanda melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam masa perang kemerdekaan (1945--1949). Keberadaan diaspora Maluku di Belanda yang telah beregenerasi ini menarik untuk diteliti terkait identitas kebudayaan yang dikembangkan, antara mempertahankan tradisi kebudayaan Maluku dan adaptasi dengan kebudayaan Belanda. Dengan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik wawancara jarak jauh melalui platform zoom, tesis ini memperoleh gambaran kehidupan hibrida yang dipresentasikan oleh komunitas diaspora Maluku di Belanda. ......In today's modern era, human life cannot be separated from the diaspora phenomenon. Diaspora refers to a group of people who live outside their native territory, either by voluntary choice or by coercion. Ethnic Maluku, as a part of Southeast Asian society, has many diaspora communities spread across the Netherlands. Their number is quite significant and is one of the largest diaspora communities from Indonesia. Their departure from the land of Maluku can be traced since the disbandment of the Dutch colonial army (KNIL) and the birth of the Republic of South Maluku (RMS). The first generation of the Moluccan diaspora in the Netherlands generally consisted of families of former KNIL soldiers who did not wish to integrate themselves into the Indonesian National Army (TNI) and integrate into Indonesian society in other areas. Even so, their arrival in the Netherlands did not receive a warm welcome, both from the Dutch government and the people. Their existence is interesting to know especially that they also live exclusively in a special complex known as the “Mollucan Quarter”. The identity of the Maluku diaspora living in the Netherlands is also different. Since ancient times, humans cannot be separated from the diaspora phenomenon. Diaspora is a term that refers to a group of people who live outside their territory of origin. This thesis examines a group of ethnic Moluccas who are a diaspora community in the Netherlands. This Moluccan ethnic group is a Moluccan soldier who is a member of the KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger or Royal Dutch East Indies Army) which sided with the Dutch against the Indonesian National Armed Forces (TNI) during the war for independence (1945-1949). The existence of the regenerated Moluccan diaspora in the Netherlands is interesting to study regarding the cultural identity developed, between maintaining Maluku cultural traditions and adaptation to Dutch culture. With qualitative research using remote interview techniques through the zoom platform, this thesis obtains a description of the hybrid life presented by the Maluku diaspora community in the Netherlands.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>