Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syifa Ahliya Aryani Budi
Abstrak :
Latar Belakang: Indonesia merupakan negara kepulauan yang berlokasi diantara dua benua dan dua samudera. Selain itu, Indonesia juga memiliki 129 gunung berapi. Kondisi ini tidak hanya menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya bencana alam. Bencana alam yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak korban yang harus diidentifikasi. Salah satu metode yang digunakan untuk identifikasi adalah analisis pada gigi geligi. Masing-masing gigi anterior dan posterior memiliki berbagai variasi morfologi yang dapat mengindikasikan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Tujuan: penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dimorfisme seksual berdasarkan analisis variasi morfologi gigi anterior dan posterior dan untuk mengetahui variasi mana yang menjadi karakteristik ras Mongoloid terutama pada populasi di Indonesia. Metode: Sampel terdiri dari 50 cetakan rahang atas dan bawah laki-laki dan 50 cetakan rahang atas dan bawah perempuan. Variasi morfologi yang dianalisis adalah wingin, shoveling, double shoveling, bushmen canine, ridge aksesori distal pada gigi kaninus, metacone, hypocone, Cusp of carabelli, variasi cusp lingual pada gigi premolar, jumlah cusp, protostylid, hypoconulid, enteconulid, dan metaconulid. Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) digunakan sebagai referensi untuk membandingkan prevalensi variasi morfologi pada cetakan rahang. Hasil: Persentase winging adalah 36% yang terdiri dari 16 laki-laki dan 20 perempuan. Persentase shoveling adalah 84% yang terdiri dari 38 laki-laki dan 46 perempuan. Double shoveling memiliki prevalensi 67% yang terdiri dari 33 laki-laki dan 34 perempuan. Persentase Bushmen canine adalah 26% yang terdiri dari 14 laki-laki dan 12 perempuan. Prevalensi dari Ridge aksesori distal gigi kaninus berjumlah 46% yang terdiri dari 22 laki-laki dan 24 perempuan. Prevalensi metacone adalah sebanyak 20% yang terdiri dari 10 laki-laki dan 10 perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid. ......Background: Indonesia is an archipelagic country which located between two continents and two oceans. Beside that Indonesia also has 129 volcanoes. This condition not only made Indonesia rich of natural resources but also increase the risk of natural disaster. Natural disaster cause many victims to be identified. One of the methods used for identification is tooth analyzing. Each anterior and posterior tooth has some various traits which are able to indicate whether a person is male or female. Objectives: This study is conducted to identify sexual dimorphism based on analysis of anterior and posterior non-metric dental crown traits and to know which traits that become the characteristic of Mongoloid race especially in Indonesian population. Methods: Samples consist of 50 dental casts male and 50 dental casts female. Dental crown traits being analyzed were winging, shoveling, double shoveling, bushmen canine, canine distal accessory ridge, metacone, hypocone, metaconule, Cusp of carabelli, lingual cusp variation, cusp number, protostylid, hypoconulid, enteconulid, and metaconulid. The Arizona State University Dental Anthropology System (ASUDAS) was used as reference to compare the prevalence of dental traits in dental casts. Results: The percentage of winging if 36% which consists of 16 males and 20 females. Shoveling percentage is 84% which consists of 38 males and 46 females. Double shoveling has 67% prevalence which consists of 33 males and 34 females. The percentage of Canine Mesial Ridge (Busmen Canine) is 26% which consists of 14 males and 12 females. The prevalence of Canine Distal Accessory Ridge is 46%, which consists of 22 males and 24 females. Metacone has 20% prevalence which consists of 10 males and 10 females. Hypocone has 90 % prevalence which consists of 47 males and 43 females. The prevalence of metaconule is 3% which consists of only dental cast male. Cusp perempuan. Prevalensi hypocone berjumlah 90% yang terdiri dari 47 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi metaconule kecil sekali yakni 3% yang terdiri dari 3 laki-laki. Prevalensi Cusp of carabelli sejumlah 12% yang terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan. Variasi cusp lingual pada gigi premolar sebanyak 18% yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan. Jumlah cusp memiliki tiga kategori: Prevalensi cusp berjumlah 4 pada laki-laki sebanyak 53,3% sedangkan pada perempuan sebanyak 46,7%. Prevalensi cusp berjumlah 5 pada laki-laki sebanyak 52,6% sedangkan pada perempuan sebanyak 47,4%. Prevalensi cusp berjumlah 6 pada laki-laki sebanyak 42,9% sedangkan pada perempuan sebanyak 57,1%. Frekuensi protostylid hanya sebanyak 6 yang terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan. Hypoconulid memiliki prevalensi 85% yang terdiri dari 42 laki-laki dan 43 perempuan. Prevalensi enteconulid sebanyak 27% yang terdiri dari 12 laki-laki dan 15 perempuan. Dan yang terakhir, metaconulid memiliki prevalensi sejumlah 22% yang terdiri dari 8 laki-laki dan 14 perempuan. Tes chi-square menggunakan SPSS 20 antara masing-masing variasi morfologi dan penentuan jenis kelamin menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Kesimpulan: Tidak ada variasi morfologi yang menunjukkan dimorfisme seksual dan variasi yang memiliki frekuensi paling tinggi pada ras mongoloid adalah hypocone dan hypoconulid.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Gusti Ariani
Abstrak :
Identifikasi jenis kelamin secara cepat, sensitif dan noninvasif penting dilakukan untuk mengetahui rasio jenis kelamin harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) sebagai upaya konservasi dari spesies yang terancam punah tersebut. Identifikasi jensi kelamin harimau sumatra pada penelitian ini dilakukan pada empat jenis sampel dengan total 55 sampel noninvasif dengan menargetkan marka gen amelogenin (AMEL) menggunakan primer AMEL-F/R dan gen sex-determining region Y (SRY) menggunakan primer (SRY-PTF/R). Penelitian bertujuan untuk menguji dan mengaplikasikan high resolution melting (HRM) realtime PCR untuk identifikasi jenis kelamin harimau sumatra, serta membandingkan metode tersebut dengan metode PCR konvensional dan elektroforesis. Berdasarkan hasil penelitian, 42 sampel dapat teridentifkasi melalui metode high resolution melting (HRM) realtime PCR dengan total tingkat keberhasilan identifikasi sebesar 76%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil identifikasi kedua metode pada sampel feses (P = 0,09), tulang dan kuku basah forensik (P = 0,6), rambut dan kulit BKSDA Aceh dan rambut BKSDA Bengkulu (P = 0,4), serta kulit dan rambut museum (P = 0,05), namun dengan persentase keberhasilan high resolution melting (HRM) realtime PCR yang lebih tinggi dari PCR konvensional, menjadikan metode high resolution melting (HRM) realtime PCR metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengidentifikasi jenis kelamin harimau sumatra dari sampel noninvasif. ......Rapid, sensitive and noninvasive sex identification is important to determine the sex ratio of the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) as a conservation effort of this endangered species. The current study was carried out on 4 types of samples with a total of 55 noninvasive samples targeting the amelogenin (AMEL) gene marker using AMEL-F/R primers and sex-determining region Y (SRY) gene using (SRY-PTF/R) primers. The aim of this study is to test and apply high resolution melting (HRM) realtime PCR for sex identification of Sumatran tigers, as well as to compare the method with conventional PCR and electrophoresis methods. Based on the study result, 42 samples could be identified through high resolution melting (HRM) realtime PCR method with a total identification success rate 76%. There is no significant difference from the results of the identification by both methods on faecal samples (P = 0,09), forensic bones and wet nails (P = 0,6) and Aceh BKSDA skin and hair and Bengkulu BKSDA hair (P = 0,4), as well as museum skin and hair (P = 0,05), but a higher success percentage of high resolution melting (HRM) realtime PCR than conventional PCR, making the HRM realtime PCR a more effective and efficient method to identify Sumatran tiger sex from noninvasive samples.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
Abstrak :
Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT. Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan. ......Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification. Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification. Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT. Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different. Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharlina Syafitri
Abstrak :
Latar Belakang: Amelogenin merupakan gen yang umum digunakan dalam identifikasi dimorfisme seksual, namun riset dan laporan kasus melaporkan adanya kegagalan dalam amplifikasi dikarenakan delesi pada AMELY. Tujuan: Menganalisis frekuensi delesi AMELY pada populasi pria di Indonesia. Metode: Pemeriksaan DNA dengan amplifikasi multipleks PCR menggunakan gen AMXY 1F/2R dan SRY. Hasil dan Kesimpulan: Satu dari 405 sampel penelitian mengalami delesi pada gen AMELY pada populasi di Indonesia. ...... Background: The Amelogenin gene represents the gender marker most widely used for human identification. However, some failures in sex-typing have been observed globally. Aim: In this study, we could approximate the population frequency of AMELY negative among Indonesian population. Methods: Multiplex PCR using primers AMXLY 1F/2R and SRY. Results and Summary: One of 405 sample are indicated as AMELY negative in an Indonesian Population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library