Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Singh, Karan
New York: Oxfords University Press, 2003
133 SIN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kottak, Conrad Phillip
New York: McGraw-Hill, 2012
306 KOT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ranto Gunawan
Bandung: Ink Media, 2006
291.7 RAN m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Oliver, Lauren, 1982-, (author.)
New York: NY Harper, 2016
813.6 OLI r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Universitas Nasional
050 PFH 1 (1991) I
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Fitriani
Abstrak :
As the international society continue to witness varying forms of threats to humanity, the concept of human security as introduced by the state has constantly been challenged for its inadequacy to capture and address the realities of human insecurity. The silver lining of this situation, however, relies on how those mainstream ideas of human securities are continuously contested and redefined through the medium of art. Through the use of alternative public and transnational space, art represents sincere aspirations of the people and facilitate them to realize their vision of their own-and others-in)securities, beyond the imaginary, yet powerful, wall of sovereignty which serve the national and rational interests of the powerful actors.
Departemen Hubungen Internasional Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Ongkowidjaja
Abstrak :
ABSTRAK
Melalui penulisan tesis ini pada dasarnya penulis mencoba menemukan pnnsip-prinsip yang mendasari adanya kebutuhan akan hak-hak azasi manusia. Bagaimana keterkaitan antara konsep gambaran manusia dengan tuntutan-tuntutan atau hak-hak azasi itu? Dan bagaimana menempatkan hak azasi manusia di dalam konteks yang sesuai? Jawaban terhadap masalah itulah yang hendak dikemukakan lewat tesis ini.

Dalam hipotesis penulis berasumsi bahwa setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sama-sama memiliki hak untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Namun demikian, terdapat konsep yang berbeda-beda mengenai gambaran apa yang dimaksud dengan ?manusia seutuhnya?. Karena perbedaan persepsi tentang gambaran manusia seutuhnya, maka mengakibatkan tuntutan akan hak-hak azasi yang berbeda pula. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa ada keterkaitan erat antara konsep citra manusia dengan tuntutan hak azasi manusia.

Pertama-tama penulis memperlihatkan prinsip Hukum Kodrat sebagai dasar legitimasi hak-hak azasi manusia khususnya lewat pemahaman John Locke. Hukum Kodrat dipandang identik dengan hukum alam dan merupakan hukum moral bagi manusia untuk mengetahui tentang yang adil dan yang tidak. Bagi John Locke Hukum kodrat adalah perintah dari Tuhan, karena itu bersifat mengiat manusia. Tuhan mempunyai kuasa untuk mewajibkan manusia melakukannya. Hukum kodrat hanya bisa dipengerti oleh makhluk rasional.

Menurut Locke manusia secara kodrati bersifat rasional, sehingga terdapat keselarasan antara hukum kodrat dan rasio manusia. Sekali manusia dilahirkan ia memiliki kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan itu sendiri. Semua manusia yang dilahirkan memiliki derajat yang sama, sehingga tidak boleh saling merugikan. Jadi, gambaran manusia yang seutuhnya adalah manusia yang dapat menikmati hidup dan benda-benda yang menjadi miliknya, sesuai dengan usaha dan masing-masing individu.

Dalam rangka itu, maka tuntutan hak yang dibutuhkan adalah hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak atas milik pribadi. Dan hak azasi itu diperoleh berdasarkan pemberian dari Tuhan.

Kedua penulis memperlihatkan prinsip utilitarianisme sebagai dasar dalam pembemtukan hak azasi manusia, khususnya lewat pemahaman John Stuart Mill. Utilitarianisme sendiri dimengerti sebagai suatu pemahaman yang menekankan aspek kegunaan atau manfaat bagi John Stuart Mill di dalam kesenangan-kesenangan ada perbedaan-perbedaan kualitatif intrinsik. Patokan untuk melihat perbedaan kwalitatif intrinsik ini mengacu pada cita-cita tentang manusia, di mana manusia melakukan kesenangan itu dalam rangka atau berguna untuk mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya sebagai manusia.

John Stuart Mill memahami bahwa manusia dilahirkan bukan dalam keadaan yang utuh - sempuma. Karena itu ia membutuhkan sarana untuk berkembang dan menyempumakan dirinya sebagai manusia. Masing-masing manusia memiliki perbedaan watak, dan karena keunikan inilah maka manusia membutuhkan keleluasaan untuk berkembang ke arah jadi dirinya. Di sini terdapat aspek individualitas. Pola dasarnya manusia dilahirkan makhluk rasional, maka kebahagiaan terletak pada kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi.

Untuk itu perlu ada jaminan akan kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi, kebebasan untuk bertindak sesuai dengan pendapatnya, sejauh tidak merugikan orang lain - di dalam rangka idividualitasnya. Selanjutnya dibutuhkan batas-batas wewenang masyarakat atas individu. Dalam hal ini pada dasarnya hak azasi manusia diperoleh berdasarkan solidaritas manusia yang hidup di dalam suatu masyarakat.

Ketiga, penulis memperlihatkan suatu pemahaman yang didasarkan pada filsafat Eksistensial-humanistik, yaitu suatu pemahaman yang menekankan adanya atau kehadiran atau eksistensi manusia yang memiliki values baik pada dirinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan semesta. Untuk itu penulis berusaha memaparkan pendekatan psikologis eksistensiat-humanistik Abraham Maslow.

Bagi Abraham Maslow manusia bereksistensi di dunia yang tidak kosong karena ada banyak individu di dalamnya. Manusia memiliki nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat hierarkhis dan ia pun memiliki potensi-potensi alamiah, serta kemampuan untuk berkembang secara psikolagls. Setiap individu pada dasarnya dapat mengembangkan dirinya semaksimal mungkin ke arah aktualisasi diri.

Menurutnya manusia yang seutuhnya adalah manusia yang sudah mencapai taraf teraktualisasikan dirinya. Karena konsep manusia yang seutuhnya adalah manusia yang mengaktualisasikan din secara maksimai, maka ada prakondisiprakondisi yang dibutuhkan (dapat dilihat sebagai hak azasi) individu yang harus tercipta dalam suatu masyarakat. Prakondisi-prakandisi itu adalah Kemerdekaan untuk berbicara, Kemerdekaan untuk melakukan apa saja - sejauh tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, adanya nilai-nilai atau prinsip yang beriaku atau diyakini dan dijamin, seperti keadilan, kejujuran, ketertiban, kewajaran. Dengan demikian prakondisiprakondisi yang dapat dilihat sebagai HAM dalam bahasa hukum adalah hak-hak yang tercipta atas dasar kreativitas manusia.

Melalui penelusuran ini, maka penulis menyimpulkan secara induktif bahwa pertama, terdapat prinsip-prinsip yang mendasar timbulnya kebutuhan akan HAM, yaitu prinsip Hukum Kodrat, di mana HAM diperoleh berdasarkan pemberian Tuhan; prinsip utilitarianisme, di mana HAM diperoleh berdasarkan pengakuan antar manusia yang sating berbagi dan bekeija sama atau salidaritas manusia; prinsip eksistensial humanistik, di mana HAM diperoleh melalui krativitas manusia yang bereksistensi di dalam zaman. Kedua, Terdapat kaitan yang sangat erat antara gambaran mansuia dengan hak-hak yang dibutuhkannya. Melalui kesimpulan itu, maka muncul kesimpulan ketiga bahwa gambaran-gambaran tentang manusia pada zaman dan budaya tertentu berbeda. Karena itu muncullah hak-hak yang bersifat umum dan hak-hak yang bersifat khusus. Dengan demikian HAM dapat ditempatkan dalam konteksnya dengan mempbrhatikan aspek universal dan regional.

Berkenaan dengan situasi aktual yang sedang terjadi di Indoensia, maka penulis menekankan betapa penting HAM yang didasari dengan konsep gambaran yang jelas tentang siapa manusia. HAM dilihat menjadi suatu sistem nilai atau etika di dalam menggunakan kekuasaan. HAM juga menjadi suatu etika di dalam membangun bangsa dan negara atau di dalam menyusun strategi kebudayaan itu sendiri.

1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdan Lamato
Abstrak :
Tulisan ini menganalisis peran Humanity & Inclusion (H&I) dalam proses sosialisasi norma Convention on Rights of Persons with Disabilities (CRPD) di Indonesia. Dengan menggunakan metode process tracing, penulis mengaplikasikan konsepsi mengenai norma internasional dalam melihat bagaimana peran H&I dalam proses sosialisasi norma HAM disabilitas di Indonesia berdasarkan teori sosialisasi norma internasional oleh Risse & Ropp (2013) yang terdiri dari lima fase. Dalam setiap fase, penulis menganalisis kondisi domestik yang melatari serta mekanisme sosialisasi norma oleh H&I. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa H&I baru mulai berperan dalam sosialisasi norma CRPD pada fase tactical concession dengan mekanisme peningkatan kapasitas dan persuasi mengingat kondisi domestik Indonesia yang cenderung represif terhadap isu disabilitas. Pada fase selanjutnya yaitu prescriptive status, dengan kondisi domestik Indonesia yang telah memberikan ruang bagi isu-isu HAM, H&I menggunakan tiga mekanisme utama yakni peningkatan kapasitas, persuasi, dan pemberian insentif. Selanjutnya, tesis ini menemukan bahwa peran H&I tidak berlanjut pada fase rule-consistent behavior menimbang masih adanya ketidaksesuaian antara perilaku Indonesia dengan norma CRPD.
This paper delves on investigating the role of Humanity & Inclusion (H&I) in the process of socialization of the Convention on Rights of Persons with Disabilities (CRPD) as human rights norm in Indonesia. By using process-tracing method, the author applied framework of international human right norm in elaborating the role of H&I in socializing disability human rights norms in Indonesia based on the theory of international norm socialization by Risse & Ropp (2013) which consists of five phases. In each phase, the author analyzes the underlying domestic conditions and the norm socialization mechanism by H&I. The result shows that H&I begun to contribute in socialization of CRPD in tactical concession phase with two mechanisms, i.e. capacity building and persuasion; considering Indonesias domestic condition during the phase that tended to be repressive towards disability issues. In the next phase, prescriptive status, as Indonesias domestic conditions began to provide space for human rights issues, H&I implements three mechanisms, i.e. capacity building, persuasion, and incentives. Further, the author finds that H&Is role does not progress to the rule-consistent behavior phase considering that Indonesia does not fully comply with the norm.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T52902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>