Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bartoven Vivit Nurdin
"ABSTRACT
This dissertation is about nagari reconstruction in a Malalo community seen from contestation and power
relation perspectives. Specifically, it is about the people of Malalo Singkarak, West Sumatra who
perceive, interpret, and respond to reality in which they live, and their manifestations in the reconstruction
of nagari in the momentum of regional autonomy policy. It focuses on the people strategies created and
developed inwardly and outwardly their Malalo?s social organization in forms of accommodation as well
as resistance, and involves various interests of the parts.
Back to nagari means back to their imagined identity, adat and Islam. The adat and religious leaders
considered that adat and Islam had been marginalized and ignored during village government era. In the
era, they did not have power and authority to run local government and make decision along with the
degradation of their charisma in the community. But, in nagari era they have had golden opportunity to
get back their power, influence and authority in making local government policy.
This dissertation has gotten significant influences from previous main researches such as Scott (1985),
Abu-Lughod (1990), and Tsing (1999). I have been much influenced by Scott?s symbolic obedience and
resistance, accommodation and resistance in the same time in temts of various interests. ?One is inside
and outside the state in the same time", Tsing said. Abu-Lughod has influencd me in her resistance arena
concept. l applied qualitative approach (Hammersley and Atkinson 1983) in this case study. Data
collecting was conducted through in-depth interviews and participation- observations.
This dissertation shows that reconstructing process involves contestation, negotiation, and compromises
indicated through the local leaders? strategies - accommodating or resisting - in confronting with various
situations among themselves as well as with State. The local elites are adat leaders, as well as religious or
local government leaders at the same time. It was sometimes hard to make separate those three one to
each other. The local elites are the linkage between local people and the State. On one hand they have
developed political issues through manipulating adat and religious doctrines, but on the other hand they
need state rhetoric to establish their authorities But, the elites are not solid, homogeneous groups without
frictions or conflicts. Accommodation and resistance have occurred at the crossing area of the local elites
themselves, and between them and the State.
In this research nagarf is read as one that contested to, struggled for, debated on, and utilized with
political interests. Some of the old features of the adat have been left away but some new things came up
through negotiation process between the local people and the States interests. lt is therefore nagari is not
a static, but dynamic construct in facing with concrete situations of interests. lt is the process of
negotiation and bargaining, interpretation and re-interpretation, and giving meaning that is called
contestation in this dissertation.
My approach in this dissertation is close to Tsin (1999), Scott (1985), and Abu-Lughod (1990). lt is
relevant with Scott?s symbolic obedience and resistance concepts. The different from Scott?s is that the..."
2006
D788
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Alexander Antonius Wattimewa
"ABSTRAK
Tulisan ini meruapakan sebuah kajian atas agama sebagai sebuah institusi kompleks yang tertanam dalam budaya sebuah masyarakat. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap makna agama dalam kaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia lainnya, seperti budaya, politik dan bahkan kepribadian manusia. Agama lahir dari kompleksitas tersebut, dan turut serta membentuk serta melestarikan kompleksitas yang ada."
Jakarta: The Ary Suta Center, 2019
330 ASCSM 45 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pangemanan, Diana Ribka
"ABSTRAK
Pembinaan hukum nasional masih sangat dipengaruhi oleh prinsip "legalitas" merupakan kenyataan yang menyebabkan banyak masalah-masalah sosial kemasyarakatan tidak terjangkau oleh hukum.
Salah satu masalah itu adalah "tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga" yang jika dipandang dari gaya stelsel hukum nasional, bukan suatu bentuk kejahatan (dalam bidang hukum pidana) dan bukan suatu perbuatan melanggar hukum (dalam bidang hukum perdata) karena tindak kekerasan ini memiliki ciri khas yakni "berbasis jender".
Para ahli hukum modern seperti Joanne Belknap dan Katharine T Bartlett yang tergolong kaum feminis barat mulai neninggalkan prinsip legalitas dan melakukan pembaharuan hukum dengan pusat perhatian pada "keluwesan" suatu perundang-undangan agar hukum dapat mengikuti dinamika masyarakat.
Dinamika gerakan perempuan dalam masyarakat mulai mempertanyakan seberapa jauh hukum dapat mengayomi hak-hak asasi perempuan dan mampukah hukum melindungi kaum perempuan dari perbuatan tindak kekerasan dalam keluarga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga tidak bisa ditindaki dengan KUHP saja atau Undang-undang Perkawinan saja karena faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan ini memiliki peranan yang kuat balk terhadap pelaku, korban dan penegak hukum mengenai kedudukan perempuan yang masih tersubordinasi dan terdiskriminasi oleh hukum.
Upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan penlu dilakukan dengan cara mensosialisasikan Deklarasi PBB tentang Penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan dan dibantu dengan pendekatan viktimologi dan kriminologi serta pendekatan hukum yang berperspektif perempuan.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Kurnia Ramadhani
"Studi fenomenologi ini mendeskripsikan dan memahami bagaimana kekerasan simbolik yang dipraktikkan di ranah online, lebih khususnya, pada aplikasi Instagram, yaitu aplikasi berbagi foto sekaligus media sosial. Para perempuan pengguna Instagram berisiko mengalami pelecehan dalam berbagai bentuk, seperti pengambilan dan publikasi foto tanpa izin, stereotip negatif sebagai objek seksual. Penelitian ini juga bertujuan untuk memahami hubungan antara kekuasaan gender dengan kekerasan simbolik, serta bagaimana resistensi terhadap dominasi laki-laki di Instagram terjadi, sehingga menciptakan ruang ketiga. Ruang ketiga adalah ruang di mana yang berkuasa dan yang dikuasai dapat bertemu dan saling menegosiasikan identitas. Penelitian ini lebih jauh berpendapat bahwa anonimitas merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kekerasan simbolik. Data yang diperoleh dari serangkaian wawancara dengan empat pengguna Instagram perempuan menghasilkan sebuah tema umum yang muncul dalam penelitian ini, bahwa perempuan yang mengalami pelecehan di instagram seringkali menganggap hal tersebut "normal", "wajar" dan "alamiah". Oleh karena itu, perpanjangan dari kekerasan simbolik yang terjadi terhadap perempuan mungkin dilanggengkan

The main aim of this phenomenological study is to explore, describe and understand the presence of symbolic violence that is being implemented in cyberspace, specifically, through the photo sharing application Instagram. Putting women users of Instagram at risk of being harassed in many forms -such as violation of consent, negative stereotypes and the notions of women as sexual objects-this research argues that it is important to analyze symbolic violence through the practice of online harassment since its subtle and non-visible ways of working do not allow us to understand its mechanisms completely. Drawing on real, narrative data obtained from a series of interviews with four women, this study also seeks to understand the interrelations of power relations in gender, and how symbolic violence could further manifest in resistance towards the male dominance over the cyberspace, thus creating a "third space", an "arena of contested identities". This research further argues that anonymity causes harassment, and suggests that the conventional wisdom of `it`s just social media` is at the heart of this problem. A common theme emerging from these narratives is that women who experience harassment in instagram often find it "normal", therefore permitting the existence and persistence of symbolic violence."
2015
S61002
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Ekananda Soenarto
"Makalah ini membahas hubungan kekuasaan dan dehumanisasi antara seorang sersan instruktur latihan dan seorang anggota baru dalam militer sebagaimana dijelaskan dalam lagu Psycho oleh Muse pada tahun 2015. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan kekuasaan dari kedua karakter dan membongkar konsep dehumanisasi dalam lagu tersebut, lalu menghubungkannya kepada kondisi dunia saat ini. Penelitian ini juga berdasa kepada kondisi terkini dimana banyak tentara kehilangan empati mereka setelah banyak melewati latihan dan peperangan. Maka dari itu, tujuan dari analisis ini adalah untuk menggali lebih banyak pemahaman mengenai bagaimana pelatihan dan peperangan mempengaruhi tentara. Karena itu, penelitian ini menerapkan teori analisis wacana kritis Van Dijk untuk memaparkan arti dari hubungan kekuasaan dan dehumanisasi yang terkandung di lirik dan video lagu tersebut. Analisis wacana menunjukkan bahwa hubungan kekuasaan antara sersan instruktur latihan dan anggota baru adalah metafora dari keserakahan manusia akan kekuatan/kekuasaan atas semua mahluk dengan cara apapun yang dibutuhkan, termasuk mengubah seseorang menjadi pembunuh gila. Lagu ini mengilustrasikan dehumanisasi dalam militer dimana urgensi
untuk melatih anggota baru menjadi mesin pembunuh menjadi lebih penting daripada memikirkan tentang kemanusiaan dan psikologi mereka. Makalah ini dapat mengurai propaganda dibalik pelatihan militer sebagaimana digambarkan di lagu. Maka dari itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk masyarakat sebagai pertimbangan untuk memeriksa sistem pelatihan militer, terutama di Amerika Serikat.

.This paper deals with the power relations and dehumanization between a drill sergeant and a recruit in the military as described in the hit song Psycho by Muse in 2015. This paper aims to explain the power relations of the two characters. Then, uncover the concept of dehumanization in the song, relating it to the current condition of the world. This research is also based on the current condition where many soldiers lost their
empathy after being exposed to training and war. Therefore, the purpose of this analysis is to gain more understanding regarding how training and war affects soldier. Accordingly, this study uses Van Dijk`s critical discourse analysis on the song in order to explain the meanings of power relation and dehumanization contained in the lyric and the video. The analysis on the discourse shows that the power relations between the drill sergeant and the recruit is a metaphor to human`s greed to gain more power over all beings by any means necessary, including turning someone into a psychotic killer. This song illustrates the dehumanization in the military where the urgency to train recruits until they become killing machines are far more important than concerning about their humanity and psychology. This paper could unravel the propaganda behind military training as depicted in the song. Therefore, the result could be used as reference for the society as consideration to inspect the military training system, especially in the U.S.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiza
"Kerap dianggap sebagai salah satu cara berkomunikasi, tak banyak yang menyadari bahwa humor juga ternyata erat kaitannya dengan ketidaksetaraan hubungan kekuasaan dalam hal gender. Dengan semakin cepatnya perkembangan media sosial sebagai alat komunikasi primer, saat ini mulai banyak orang mengekspresikan humor mereka melalui berbagai jenis media sosial yang ada. Ryan Higa dan Lilly Singh merupakan dua diantara banyak video blogger vlogger yang telah dikenal khalayak karena kumpulan video blog vlog bertema komedi yang mereka unggah di akun YouTube mereka masing-masing. Pada bagian analisis, konsep humor positif dan negatif dari Rod Martin digunakan untuk meneliti humor dari kedua vlogger tersebut. Dengan menggunakan analisis tekstual terhadap beberapa video yang mereka unggah, artikel ini mencoba menganalisis persamaan dan perbedaaan dari kedua vlogger dalam mengungkapkan humor positif dan negatif, serta bagaimana mereka menempatkan diri dalam hal hubungan kekuasaan gender. Hasil akhir menunjukkan bahwa kedua vlogger, terlepas dari gender mereka, ternyata mencoba mengevaluasi kembali konsep humor positif dan negatif dari Rod Martin.

Often be considered only as one of the strategies to communicate, not many people realize that humor can be imbedded with an imbalanced power relation in relation to gender. Moreover, with the rapid development of social media as a main tool for communication, multiple types of social media have been used for expressing humor. Ryan Higa and Lilly Singh are two out of many video bloggers vloggers who are famous because of their comedy video blogs vlogs in one of social media platforms, YouTube. In the analysis, positive and negative humor from Rod Martin is used as the main concept to examine the jokes from both vloggers. Using textual analysis of their vlogs, this article analyzes how both vloggers share similarities and differences in producing positive and negative humor and how they position themselves in gender power relation. The findings reveal that both vloggers, regardless their gender, re evaluate Martin rsquo s concept of positive and negative humor.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library