Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
Tri Kuntoro
Abstrak :
Upaya hukum penyelesaisan kredit perbankan bermasalah berupa eksekusi barang jaminan berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 224 HIR/256 Rbg, Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 dan perikatan lainnya yang dibuat antara bank dengan pemilik barang jaminan atau penanggung hutang, dalam praktik belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena adanya kendala dan faktor-faktor penghambat, baik yang datang dari unsur manusia yang terlibat maupun unsur ketidakpastian dari ketentuan hukum yang mengaturnya.
Penggunaan lembaga penyanderaan (gijzeling) yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg diharapkan dapat menjadi salah satu sarana dalam upaya penyelesaian kredit perbankan bermasalah, tetapi ternyata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2/1964 tanggal 22-01-1964 dan Nomor 4 tahun 1975 tanggal 1-12-1975 ketentuan-ketentuan tersebut telah dinyatakan dihapus dan tidak diberlakukan lagi dengan alasan bertentangan dengan perikemanusiaan. Ditinjau dari asas Lax Superior derogat legi inferiors, Surat Edaran Mahkamah Agung yang berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Surat Edaran tersebut tidak dapat menghapus ataupun tidak memberlakukan ketentuan HIR dan Rbg yang merupakan peraturan yang sederajat Algement Maatregel van Bestuur dan ordonansi yang menurut tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini setingkat dengan undang-undang.
Dari segi kriteria orang yang disandera, mengacu pada bunyi Pasal 209 ayat (1) HIR dan Pasal 242 ayat (1) Rbg, penyanderaan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila karena yang dikenakan adalah orang miskin yang tidak ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi keputusan pengadilan, tetapi dari segi kemanfaatannya bagi masyarakat substansi lembaga penyanderaan dikaitkan dengan Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang menjamin adanya Justitie Protectiva dan Justitia Vindicativa penyanderaan terhadap debitor yang tidak beritikad baik tidak bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. Diberlakukannya kembali ketentuan hukum mengenai penyanderaan akan membantu penyelesaian kredit perbankan bermasalah karena akan berfungsi selaku sarana social control sekaligus social engineering terhadap perilaku debitor dan kreditor.
Agar lembaga penyanderaan dapat menjadi sarana yang efektif dalam upaya penyelesaian kredit perbankan bermasalah, perlu diadakan reformasi ketentuan yang mengatur terutama mengenai objek yang dapat dikenakan.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Budi Suroso
Abstrak :
Penerimaan negara dan sektor pajak dalam Anggaran Penenerimaan dan Belanja Negara, terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak tersebut, sistem pemungutan pajak, administrasi pajak maupun penyempurnaan dan penegakan hukum pajak terus dilakukan. Komitmen untuk meningkatkan penerimaan pajak tersebut diawali dengan reformasi hukum pajak pada tahun 1983 yang merubah sistem pemungutan pajak di Indonesia dari Official Assessment menjadi Self Assessment.
Sistem pemungutan pajak Self Assessment memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Di lain pihak sistem ini juga membutuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas. Salah satu bentuk penegakan hukum tersebut adalah dalam bentuk pemeriksaan yaitu untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak, dan apabila diketahui bahwa wajib pajak masih kurang dalam membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan surat ketetapan pajak. Praduk surat ketetapan pajak tersebut antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang menimbulkan kewajiban kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan. Apabila sampai dengan jatuh tempo wajib pajak tidak membayar kewajibannya tersebut akan menimbulkan hutang pajak yang harus dilakukan proses penagihan oleh aparat pajak.
Landasan hukum penagihan pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentag Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000. Proses penagihan pada dasarnya merupakan upaya hukum untuk memaksa wajib pajak agar membayar utang pajaknya. Lembaga penyanderaan (gijzeling) merupakan bagian dari upaya penagihan pajak dengan surat paksa.
Lembaga penyanderaan pada dasarnya sudah dikenal dalam lapangan hukum perdata sebagai upaya paksa agar debitur (pihak yang berutang) melaksanakan kewajibannya kepada kreditur (pihak yang berpiutang) Sedangkan dalam hukum pajak lembaga sandera dikenakan terhadap wajib pajak yang memliki utang pajak dalam jumlah tertentu yang tidak atau tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi utang pajaknya. Dalam hukum pajak ketentuan mengenai penyanderaan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 2000. Penerapan lembaga sandera pada awalnya tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan hak asasi manusia, yaitu dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975. Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 yang menghidupkan kembali lembaga penyanderaan (gyseling), Direktorat Jenderal Pajak menerapakan penyanderaan sebagai upaya dalam melaksanakan penagihan pajak. Lembaga penyanderaan merupakan bentuk penegakan hukum (law enforcement) dibidang perpajakan yang diharapkan dapat berjalan efektif dan berdampak pada pencairan tunggakan pajak.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18930
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bobby Ardian Putra
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis peran seksi penagihan dalam meningkatkan penerimaan pajak KPP Pratama Jakarta Tambora melalui tindakan penagihan pajak aktif berupa penyitaan harta kekayaan yang didahului dengan pemblokiran serta penyanderaan (gijzeling) wajib pajak. Tujuan penelitian ini untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi jurusita pajak dalam pelaksanaan penyitaan harta kekayaan dan pelaksanaan penyanderaan wajib pajak serta upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode penelitian kualitatif berupa studi dokumen, wawancara, dan observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kendala internal maupun eksternal serta diperlukan perbaikan secara sistem dan peraturan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan serta efek jera kepada wajib pajak.
......The research analyzes the role of collection division in raising tax revenues at STO Jakarta Tambora through active tax collection action in the form of confiscation of property that preceded the blocking and hostage (gijzeling) taxpayer. The research objective is to identify the problems faced by tax bailiff in the implementation of confiscation and execution of hostages the taxpayer as well as efforts have been made in addressing the issue. The research is a case study with qualitative research methods such as the study of documents, interviews, and field observations. The results show that there are internal and external constraints as well as the necessary improvements and regulatory systems so as to improve compliance and the deterrent effect to taxpayers.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Husni Mubarok
Abstrak :
Kajian ini berusaha menganalisis peran aktor individu dalam negosiasi pembebasan sandera (hostage crisis negotiation) pada kasus penculikan dua wartawan Indonesia bernama Meutya Hafid dan Budiyanto oleh Faksi Tentara Mujahidin Irak tahun 2005. Dengan menggunakan teori Interpersonal Communication dan Negotiation, kerangka The Legitimacy Issue dan Relational Development serta metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Kajian ini berusaha menjelaskan keberhasilan negosiasi pembebasan sandera oleh aktor individu yakni mantan Presiden RI ke-empat K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keberhasilan ini dipengaruhi oleh faktor kemampuan komunikasi interpersonal Gus Dur sebagai negosiator. Analisis kajian ini menunjukkan upaya negosiasi pembebasan sandera oleh Gus Dur yang memiliki kapabilitas lebih dalam negosiasi dengan membangun relasi dan legitimasi terhadap penyandera. Dengan demikian upaya operasi negosiasi pembebasan sandera kasus dua wartawan nasional Indonesia berhasil dibebaskan.
......This study attempts to analyse the role of individual actors in hostage crisis negotiations in the kidnapping case of two Indonesian journalists named Meutya Hafid and Budiyanto by the Iraqi Mujahideen Army Faction in 2005. Using the theory of Interpersonal Communication and Negotiation, the framework of The Legitimacy Issue and Relational Development and qualitative research methods with a deductive approach. This study seeks to explain the success of the negotiation for the release of hostages by individual actors, He is the fourth former President of the Republic of Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). This success was influenced by Gus Dur's interpersonal communication skills as a negotiator. The analysis of this study shows that Gus Dur's efforts to negotiate the release of hostages are more capable in negotiating by building relationships and legitimacy against the hostages. Thus, the negotiation operation for the release of the hostages in the case of two Indonesian national journalists was successfully released
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Zulpakar Yauri Marwandana
Abstrak :
ABSTRAK
Warga Negara Indonesia WNI pada tahun 2016 telah diculik dan disandera berulang kali oleh kelompok teroris Abu Sayyaf di kawasan maritim. Pemerintah RI telah melakukan berbagai upaya dalam membebaskan WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf. Upaya-upaya Pemerintah RI tersebut adalah melakukan negosiasi kepada Abu Sayyaf dan juga melakukan kerjasama terhadap berbagai pihak, baik pemeritah atau non pemerintah. Upaya-upaya tersebut merupakan strategi yang diterapkan oleh Pemerintah RI dalam membebaskan WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf. Studi ini mencoba untuk memberi gambaran strategi Pemerintah RI dalam menanggulangi kasus penculikan dan penyanderaan oleh kelompok teroris, khususnya Abu Sayyaf. Studi ini juga memberikan penjelasan mengenai penculikan dan penyanderaan sebagai sebuah aksi teror dan ancaman terhadap Pemerintah RI.
ABSTRACT
In 2016, Indonesian Citizens has been kidnapped and held hostage repeatedly Abu Sayyaf terrorist in maritime area. The Government of Indonesia has made various efforts to free the citizens who held hostage by Abu Sayyaf Group. The efforts of Indonesia Government is negotiating to Abu Sayyaf Group and is also cooperation of various parties, both government or non government. These efforts is the strategy adopted by The Government of Indonesia in freeing Indonenesia Citizens who were held hostageby Abu Sayyaf Group. This study tries to illustrate The Indonesia Government strategy to cope cases of kidnapping and hostage taking by terrorist groups, and also provides an explanation of kidnapping and hostage taking as an act of terror and also pose a threat to The Government of Indonesia.
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Simanjuntak, Evelyn Laura Monica
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai bagaimana perbedaan implementasi kebijakan penyanderaan gijzeling dalam Hukum Pajak dan Hukum Perdata. Adapun parameter yang digunakan diambil dari Teori Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn yaitu ukuran dan tujuan kebijakan sumber kebijakan komunikasi antar organisasi terkait ciri ciri atau sifat instansi pelaksana sikap para pelaksana dan lingkungan ekonomi sosial dan politik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kuantitatif. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa implementasi penyanderaan dalam hukum pajak maupun dalam hukum perdata sudah cukup baik jika dinilai dari parameter yang digunakan Van Meter dan Van Horn Meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan diantaranya adalah sarana yang digunakan dalam proses pelaksanaan penyanderaan gijzeling yaitu sarana yang digunakan dalam hukum pajak belum sepenuhnya sesuai dengan Undang Undang.
......This research isaimed to examinethe differences between implementation of gijzeling policy in Tax Law and in Civil Law. This research uses the parameters of Implementation Policy Theory from Van Meter and Van Horn which is standards and purpouse of policy source of policy communication between related organization charateristic of implementor behaviour of impolementor and economic social and politic environtment. This is a descriptive research with quantitative method. The result of this research is the implementaionof the policy both in the tax law and in civil law is good viewed from Van Meter and Van Horn parameter. Eventhough there are several differences between both policy such as facilities that used in the implementation process The facilities used in Tax Policy is has not been entirely in accordance with the Tax Law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61365
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library