Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Faris Syauqi
Abstrak :
Perkembangan teknologi merupakan sebuah bidang yang terus menerus berkembang. Salah satu contohnya dengan adanya sebuah konsep yang memisahkan arti dari dunia nyata dan dunia maya yaitu Metaverse. Metaverse merupakan suatu wadah interaksi dan sosialisasi dengan pengguna lainnya berupa ruang virtual reality. Konsep ruang ini kemudian memiliki keterikatan kuat dengan konsep ruang heterotopia yang disebutkan oleh Michel Foucault seperti kepemilikan aturan serta kualitas yang ruang. Pengalaman ruang dan aturan tersebut kemudian dapat dimanfaatkan terhadap sistem pariwisata yang terhalang oleh adanya pandemi COVID-19 yang membatasi ruang interaksi antar manusia dan tempat. Namun, apakah berwisata pada ruang Metaverse memberikan arti dan pengalaman yang sama dengan berwisata secara konvensional? Pada penulisan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran kualitas seperti apa yang dapat diimplementasikan dalam berwisata dalam ruang Metaverse. ......Technological development is a field that is constantly evolving. One example is the existence of a concept that separates the meaning of the real world and the virtual world, namely Metaverse. Metaverse is a place for interaction and socialization with other users in the form of virtual reality space. This concept of space then has a strong connection with the concept of heterotopian space mentioned by Michel Foucault such as the creations of rules and the qualities of space. The experience of space and rules can then be utilized for the tourism system which is hindered by the COVID-19 pandemic hence limits the space for interaction between people and places. However, does experiencing tourism in the Metaverse provide the same meaning and experience as travelling conventionally? In this paper, it is hoped that it can provide an overview of what qualities can be implemented by experiencing tourism in the Metaverse.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Rasyid
Abstrak :
Utopia hadir sebagai bagian dari ruang imajinasi yang mensimulasikan ruang ideal dengan latar belakang ketidaksempurnaan dalam realita.  Kehadiran utopia dilengkapi dengan heterotopia, sebuah bentuk aktualisasi tempat dengan karakter ideal.  Heterotopia digambarkan sebagai sebuah konsep ruang merujuk pada simulasi utopia dapat termanifestasi sebagai representasi sehingga kehadirannya terlihat nyata. Media film mampu menangkap konsep utopia dan heterotopia, lalu mentranslasikannya dalam bentuk gambar bergerak yang menggambarkan realitas yang beriringan dengan ruang dan waktu.  Kemampuan pada film tersebut kemudian memunculkan simulacra, sebuah situasi saat realitas yang dilihat di media adalah realitas semu.  Akibatnya, perbedaan antara bagian original (asli) dan copy (imitasi) menjadi samar dan batasnya memudar.  Implementasi yang hadir pada film adalah penonton dapat melihat ruang sebagai sebuah realita.  Tujuan studi ini adalah melihat konsep utopia dan heterotopia melalui melalui simulasi dan hubungan original dan copy dalam film The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe.  Film tersebut menghadirkan pada penonton sebuah ruang untuk masuk dan melarikan diri ke dalamnya sebagai sebuah ruang bersifat utopia.  Sehingga dari potensi tersebut, dapat terlihat bahwa peran media sangat besar dalam mencerminkan ide ruang utopia dalam simulacara.

 


Utopia exist as a part of imagination realm that simulated an ideal space with imperfect reality background.  The idea of utopia as an ideal space is also related to heterotopia, a space used to describe the idea of utopia.  Heterotopia can be seen as the physical form of utopia condition.  Utopia can be visualized through film as a media and can manifest the idea of utopia and heterotopia then translate it into a sequence of images that picture reality in different time and space.  The ability of film as a media to present utopia in a space is connected simulacra.  In media, simulacra often showed as a duplication of the reality and people believe what they see instead of the existing facts, or what it’s called as a fake reality.  As a result, the distinction between the original and the copy starts to blur.  The implementation that came with the result is, the viewer could see the space in film as a reality.  Because of the implementation, the purpose of this study is to capture the concept of utopia and heterotopia through the simulation and its relation to the original and the copy.  This study also shows how the media could reflect the idea of utopia in space and heterotopia inside simulacra.  This research leads to how The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe could reflect the idea of utopia within it spaces and how it copies the reality in real world and turns it into a simulation.

 

Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nawan Sumardiono
Abstrak :
Pandangan patriarki dalam norma heteronormatif menempatkan maskulinitas pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding femininitas. Akibatnya, laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin sering mendapatkan marginalisasi dan kriminalisasi yang membuat mereka kekurangan ruang aman untuk mengekspresikan diri. Studi ini mengeksplorasi Instagram sebagai ruang aman untuk mengekspresikan gender feminin bagi laki-laki gay karena memiliki karakteristik heterotopik. Michel Foucault mendeskripsikan heterotopia sebagai ruangan perbatasan antara distopia dan utopia, yaitu ruang berbeda/nondominan yang masih berhubungan dengan ruang dominan. Studi ini berargumen dalam ruang berbeda ini, laki-laki gay yang memiliki ekspresi gender tidak sesuai norma heteronormatif memperoleh rasa aman dari norma dominan untuk mengekspresikan diri dan memainkan peran tertentu. Menggunakan argumen Judith Butler tentang performativitas gender, studi ini akan menganalisis performa ekspresi gender laki-laki gay melalui tampilan karakter-karakter feminin di media sosial Instagram. Penelitian ini dilakukan dalam paradigma interpretif dengan strategi etnografi digital yang berfokus pada eksplorasi pengalaman hidup. Penelitian ini melibatkan subjek penelitian yang merupakan laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin dalam komunitas pecinta kontes kecantikan. Pengalaman marginalisasi yang laki-laki gay terima membuat mereka melakukan upaya aktif untuk membangun ruang aman mereka sendiri guna mengekspresikan femininitas. Maka berdasarkan studi ini, heterotopia bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan memerlukan upaya aktif penggunanya untuk membangun ruang sesuai kebutuhan personal. Sementara itu, performa femininitas mereka tampilkan dengan melakukan peniruan terhadap sosok idola. Tujuannya adalah supaya mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Maka, hal yang ingin mereka tiru pada dasarnya adalah penerimaan positif oleh kelompok dominan. Caranya dengan menampilkan ekspresi gender yang memiliki citra positif di masyarakat Indonesia dengan mengedepankan pertimbangan kekhasan lokal, seperti yang dilakukan oleh sosok idola mereka. Dalam studi ini, hubungan antara individu LGBTQ dengan sosok idola dijembatani oleh motivasi pribadi di mana mereka juga ingin memperoleh manfaat ekonomi. Dengan demikian, hubungan yang tercipta adalah parasitic relationship ......The patriarchal view in heteronormative norms places masculinity in a higher social position than femininity. As a result, gay men with feminine gender expression often get marginalized and criminalized which makes them lack a safe space to express themselves. This study explores Instagram as a safe space to express feminine gender for gay men because it has heterotopic characteristics. Michel Foucault describes heterotopia as a border space between dystopia and utopia, which is a different/non-dominant space that is still related to the dominant space. This study argues that in this different space, gay men whose gender expression does not conform to heteronormative norms gain a sense of security from the dominant norm to express themselves and play certain roles. Using Judith Butler's argument about gender performativity, this study analyzes the performance of gay men's gender expression through the display of feminine characters through Instagram. This research was conducted in an interpretive paradigm with a digital ethnographic strategy that focuses on exploring life experiences. This research involves research subjects who are gay men with feminine gender expressions in a beauty pageant lover community. The experience of marginalization that gay men get makes them make an active effort to build their own safe space to express their femininity. So based on this study, heterotopia is not something given, but requires the user's active effort to build a space according to personal needs. Meanwhile, their performance of femininity is displayed by imitating idol figures. The goal is to make them more easily accepted by society. So, what they want to emulate is basically positive acceptance by the dominant group. This is done by displaying gender expressions that have a positive image in Indonesian society by prioritizing local uniqueness considerations, as their idol figures do. In this study, the relationship between LGBTQ individuals and idols is bridged by personal motivations where they also want to obtain economic benefits. Thus, the relationship created is a parasitic relationship.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jefri
Abstrak :
Belakangan ini di Cilincing banyak muncul kegiatan yang memanfaatkan ruang-ruang kota yang kosong tanpa fungsi dominan pada waktu-waktu tertentu. Mereka melakukan kegiatan yang berbeda dari fungsi lingkungan sekitar, mereka menciptakan ruang heterotopia. Salah satu bentuk heterotopia adalah ruang-ruang yang tercipta akibat adanya kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang termasuk kelompok masyarakat yang dipinggirkan, termasuk yang dipinggirkan dalam memenuhi kebutuhan akan wisata. Saat ruang wisata heterotopia tercipta maka sebuah kebudayaan masyarakat kota yang baru akan tercipta. Kebudayaan ini memiliki potensi menciptakan konflik antara wisatawan jalanan tersebut dengan masyarakat lain yang memiliki kemampuan materi berwisata di ruang wisata-ruang wisata kota saat ini. Seperti menjawab kebutuhan masyarakat akan tempat wisata, Pemerintah DKI Jakarta sejak 2009 mencanangkan program wisata pesisir. Rumah si Pitung dan Masjid Al Alam yang terletak di Marunda adalah 2 tujuan wisata yang berada di Kecamatan Cilincing. Walaupun telah berjalan hingga 2 tahun namun ruang-ruang heterotopia pada jalan-jalan di sekitar wilayah Cilincing masih tetap muncul, sedangkan kawasan Marunda yang merupakan tujuan wisata hanya ramai dikunjungi wisatawan pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan fakta ini terlihat bahwa Marunda membutuhkan pengembangan yang akan menghidupkan perannya sebagai tujuan wisata bagi warga kota Jakarta, khususnya warga Cilincing yang sebagian berwisata dengan menciptakan ruang heterotopia di jalan-jalan. Dalam merancang kawasan Marunda ini maka hal pertama yang akan dilakukan adalah mencari satu konsep yang akan mengkaitkan antara ruang heterotopia, masyarakat marginal, Marunda, dan pesisir estuaria. Selanjutnya mencari preseden perancangan yang pernah dilakukan dengan kriteria : pesisir, wisata, dan dapat dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, dari analisis preseden akan diketahui masalah-masalah perancangan yang muncul pada kawasan sejenis dan bagaimana solusi perancangan yang dihasilkan. Setelah memperoleh konsep, mengulas preseden selanjutnya adalah analisis kawasan Marunda secara ilmu Perancangan Perkotaan namun tetap mengacu pada hasil dari preseden. Pada bagian terakhir dari dua buku tesis ini akan dihasilkan Panduan Rancang Kota Kawasan Marunda. ......Lately in Cilincing many emerging activities that utilize the empty city space which have no dominant function at certain times. They do different activities in that surrounding environment, they create heterotopia space. One form of heterotopia is a space that created as a result of the activities carried out by those belonging to marginalized groups, including those who marginalized in needs for recreation place, a tourism space. When those new tourism space created a new urban cultural also born. This new culture has the potential to create conflicts between tourist street with other people who have the material ability for travel to tourist space city at this time. Such as answering the needs of the community will be a tourist, The Jakarta administration since 2009 launched a program of coastal tourism. House of Pitung and Masjid Al Alam which located in Marunda are 2 tourist destination in the Cilincing. Although it has roled up to 2 years but the spaces heterotopia in the streets around the area Cilincing persists, while the Marunda area which is the only tourist destination visited by tourists at certain times. Based on this fact shows that Marunda need a development that will revive his role as a tourist destination for city residents, particularly people who partly create space travel with heterotopia in the streets. In designing this Marunda area so the first thing to do is look for one that will relate the concept of heterotopia space, marginal communities, Marunda, and coastal estuaries. Next look for precedents design ever undertaken by the criteria: the coast, tourism, and can be visited all levels of society, from the analysis of precedent will be known design problems that arise in similar areas and how the resulting design solutions. After getting the concept, further review is the analysis of precedent in science Marunda area of Urban Design and still refers to the outcome of the precedent. In the last part of this two Thesis books will be produced a Marunda Design Guidelines.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T29839
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Muhammad Arief Kurniawan
Abstrak :
Pemakaman adalah lahan yang difungsikan sebagai tempat penguburan jenazah. Akan tetapi di samping fungsinya yang sudah jelas, dalam kebudayaan Kristen Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, pandangan terhadap pemakaman sejatinya selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi pemakaman seringkali dicampurkan dengan fungsi ruang lain yang sama sekali tidak berkaitan. Fenomena tersebutlah yang disoroti oleh Foucault dalam teorinya mengenai ruang heterotopia (1967). Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian ini bermaksud untuk melihat ruang-ruang lain berdasarkan fenomena yang terdapat pada Pemakaman Belanda di Kebun Raya Bogor. Pemakaman tersebut menarik untuk dikaji menggunakan teori heterotopia Foucault karena letaknya yang relatif berbeda dari Pemakaman Belanda di Hindia-Belanda pada zamannya, yang umumnya terletak di lingkungan gereja atau di lahan terbuka. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa di Pemakaman Kebun Raya Bogor terdapat ruang-ruang lain pada pemakaman tersebut yang terwujud dalam tiga prinsip heteropologi, yaitu: adanya konsep ruang heterotopia krisis dan deviasi, perubahan fungsi pemakaman, dan penggabungan ruang-ruang lain yang tidak berkaitan. ......Cemetery is an area that designated as a place for burial of the dead body. However, despite its obvious function, in European Christian culture that lasted for centuries, the view of the cemetery was actually always changing, so that the function of the cemetery was often mixed with other completely unrelated functions of space. This phenomenon is highlighted by Foucault in his theory of heterotopia (1967). In this regard, this study intends to look at other spaces of phenomena found in the Dutch Cemetery in the Bogor Botanical Gardens. The cemetery is interesting to study using Foucault's heterotopia theory because of its relatively different location from the Dutch cemeteries in the Dutch East Indies at that time, which were generally located in churches or in open fields. Based on the results of the study, it was concluded that at the Bogor Botanical Gardens Cemetery there are other spaces in the cemetery which are manifested in three heteropological principles: the concept of space of heterotopia crisis and deviation, changes in the function of the cemetery, and the incorporation of other unrelated spaces.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Sabrina Atmanagara. author
Abstrak :
Heterotopia, sebuah konsep oleh Michel Foucault digambarkan sebagai ruang yang berbeda dan menciptakan ruang ilusi di dalam ruang nyata. Istilah heterotopia sering digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang mengganggu atau tidak cocok dengan lingkungan disekitarnya. Karakteristik heterotopia dapat ditemukan pada speakeasy. Speakeasy atau perusahaan minuman ilegal tersebar luas selama Prohibition Era pada 1920-an di Amerika Serikat. Karena pemerintah Amerika Serikat melarang konsumsi, produksi, dan distribusi alkohol, sifat underground dari speakeasy menciptakan lingkungan baru bagi orang bersosialisasi. Tidak ada identifikasi tempat-tempat ini, hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut untuk mendapatkan popularitas mereka. Ojs Tavern di Bandung adalah salah satu contoh penerapan heterotopia yang diungkapkan oleh Foucault. Makalah ini membahas bagaimana heterotopia dapat terbentuk pada speakeasy melalui wawancara dan observasi data. ......Heterotopia, a concept by Michel Foucault is described as a space that is different' and create an illusion space inside a real space. The term heterotopia often used to illustrate disturbance in the surrounding environment. The characteristic of Heterotopia can be found in speakeasy. Speakeasies or illegal drinking establishments were widespread during the Prohibition Era back in the 1920s in the United States of America. Since the US government banned the consumption, manufacture, and distribution of alcohol, the underground nature of the speakeasy created a new environment for people to drink and socialize. There is no identification of these places, solely relying on word of mouth to gain their popularity. Ojs Tavern in Bandung is an example of the displacement expressed by Foucault. This paper examines how heterotopia can be formed in a speakeasy bar, and the social constraints occur from the existence of a speakeasy bar in an urban settlement through interviews and data observations.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranny Monita
Abstrak :
Skripsi ini membahas ruang heterotopia (irisan dari elemen ruang nyata dan ruang utopia) sebagai alternatif ruang sosial yang terjadi di dalam ruang keseharian (everyday space) di Plaza Indonesia, sebuah pusat perbelanjaan elit yang berlokasi di pusat Jakarta. Pertama, Plaza Indonesia sebagai heterotopia of crisis merupakan salah satu bentuk selebrasi akan - kebebasan - kaum yang sebelumnya tak terlihat (marginal) diantara golongan-golongan yang mendominasi pada saat Plaza Indonesia pertama kali dibuka. Kedua, ruang keseharian di Plaza Indonesia yang - nyaman - (memanjakan seluruh panca indera individu yang berada di tempat tersebut) memberikan kesempatan kepada kegiatan lain yang sama sekali berbeda dari kegiatan - menyenangkan - (seperti bekerja) untuk dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan pada ruang heterotopia tersebut.Ketiga, penampilan masyarakat golongan kelas atas di Plaza Indonesia merupakan suatu bentuk realisasi fantasi utopia dan di saat yang sama keberadaan mereka di Plaza Indonesia (ruang keseharian yang nyata) juga menciptakan suatu persepsi ilusi sebagaimana - fantasi-fantasi - yang kita temui pada media komunikasi high class brand fesyen. Terakhir, heterotopia terbentuk akibat adanya - aksi - unjuk kekuasaan dari kaum - central - (yang berkuasa), sehingga memperlihatkan mana yang menjadi - central - dan mana yang termasuk ke dalam - other - . Namun pada heterotopia, permainan kekuasaan yang ditimbulkan oleh - central - tidak memadamkan kehadiran - other - (tidak seperti pemahaman ruang pada era klasik hingga era modernisme, di mana - central - memadamkan kehadiran - other - ). Ruang heterotopia pada Plaza Indonesia memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat suatu ruang yang terdiri dari jalinan - jejaring - antara elemen utopia (tidak nyata, mewakili prinsip ideal) serta elemen dystopia (nyata, berupa ruang secara materi, kebutuhan manusia yang terlihat dari kegiatan sehari-sehari). ......The Focus of this study is the application of Foucault's concept of heterotopia (created by the spatial imaginaries and material realities) as alternative social space of everyday space in Plaza Indonesia, an elite shopping center in the heart of Jakarta. First, Plaza Indonesia as heterotopia of crisis is a form of celebration of marginal's 'freedom' among the central group at its first time it's established. Second, everyday space in Plaza Indonesia is ordered and involved possibilities for transgression through the heterotopic juxtaposition of material practice of pleasure within and against site of work. Third, heterotopia space in Plaza Indonesia involves an utopian element which is represented by high society people's appearance that contrasted with real space which make the illusionary space looks real and at the same time make the real space (social space) looks as an illusion of fantasy which we see a lot in communication media in fashion industry. Last, heterotopia support the exercise of power role of the 'center' and the 'other'. Nevertheless, the power role of 'center' doesn't try to freeze the power role of 'other''unlike the power role which happened on classic to modernism era where presence of 'center' tried to freeze the presence of 'other'. These heterotopias founded in Plaza Indonesia show us that there's a space which marked by network of utopia and dystopia elements.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52285
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library