Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Continued geographic expansion of dengue viruses and their mosquito vectors has seen the magnitude and frequency of epidemic dengue/​dengue hemorrhagic fever (DF/​DHF) increase dramatically. Recent exciting research on dengue has resulted in major advances in our understanding of all aspects of the biology of these viruses, and this updated second edition brings together leading research and clinical scientists to review dengue virus biology, epidemiology, entomology, therapeutics, vaccinology and clinical management.
Wallingford, Oxfordshire, UK : CABI, 2014
616.918 52 DEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ambar Wahdini
Abstrak :
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan Indonesia, hal ini tampak dari kenyataan yang ada dan terjadinya KLB DBD pada tahun 2004. DKI Jakarta merupakan daerah endemis bagi penyakit Demam Berdarah. Selalu terjadi peningkatan kasus tiap tahunnya untuk penyakit DBD di DKI Jakarta yakni 114.656 penderita pada tahun 2006 menjadi 124.811 penderita di penghujung tahun 2007. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari Dinkes Propinsi DKI Jakarta diketahui bahwa ada satu wilayah yang memiliki jumlah kasus terendah pada tahun 2006 hingga Februari 2008 bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah tersebut adalah Jakarta Pusat dengan jumlah jumlah angka kesakitan pada tahun 2006 sebesar 3150 kasus. Untuk tahun 2007 jumlah kasusnya hanya mencapai 3849 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 hanya sampai bulan Februari jumlahnya sebesar 447 kasus. Puskesmas sebagai unit pelaksana kegiatan program maka penting untuk melihat bagaimana pelaksanaan kegiatan program P2DBD di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang yang memiliki jumlah kasus yang rendah dalam tiga tahun terakhir agar dapat dijadikan contoh bagi wilayah lain yang jumlah kasusnya selalu meningkat. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan penelitian berupa gambaran pelaksanaan kegiatan program P2DBD tahun 2007. Kegiatan P2DBD terdiri dari penyuluhan, PSN, PJB, PE dan pengasapan. Penyuluhan berkaitan dengan DBD lebih sering dilakukan oleh jumantik saat kegiatan PSN. Kegiatan PSN yang harus dilakukan oleh warga masih belum dilaksanakan secara serentak. Hanya wilayah yang akan dilakukan pengawasan saja yang melakukan PSN. Namun tingginya semangat kerja dari petugas puskesmas dan jumantik menyebabkan pelaksanaan PSN dapat berjalan dengan baik. Kegiatan PJB dilakukan oleh jumantik berbarengan dengan kegiatan PSN yaitu setiap Jumat mulai pukul 09.00 hingga selesai. Jika ada kasus yang dilaporkan ke Puskesmas Kecamatan Tanah Abang maka petugas akan menghubungi jumantik untuk melakukan PE saat itu juga. Kegiatan PE tidak hanya mengunjungi rumah penderita saja namun juga 20 rumah di sekitarnya untuk diperiksa jentik dan penderita panas lainnya. Dari hasil PE yang berstatus positif maka akan ditindaklanjuti dengan pengasapan. Sebelum pengasapan dilakukan, koordinator menginformasikan pada RW dan RT setempat bahwa wilayahnya akan dilakukan pengasapan. Cakupan ABJ di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang telah memenuhi standard (≥ 95%) yaitu 99,7% pada tahun 2007 dan 98,6% untuk tahun 2008. Sedangkan untuk kegiatan PE, respon time yang dilakukan puskesmas kecamatan selalu memenuhi 1x24 jam kecuali jika ada laporan di hari sabtu atau minggu. Darr i247 kasus hanya dilakukan PE sebanyak 242 kasus. Untuk kegiatan fogging, jarak waktu antara pelaporan hasil PE (+) dengan pelaksanaan fogging adalah 2 hari. Dari 242 kasus yang dilakukan PE hanya 137 yang berstatus PE (+) dan dilakukan pengasapan. Namun yang berhasil difogging 2 siklus hanya sebesar 197 sikus dari yang seharusnya 274 siklus. Adapun saran untuk PKM Tanah Abang diantaranya adalah mengadakan pelatihan baik untuk petugas puskesmas maupun jumantik agar dapat meningkatkan kualifikasi yang dimilikinya; dan menambah pengadaan untuk sarana yang sudah tidak nummdapat digunakan serta pemeliharaan untuk sarana yang masih dapat diperbaiki. Selain itu pihak puskesmas kelurahan juga harus memperbaharui sistem pelaporan yang mewajibkan jumantik untuk melaporkan kegiatan ke PKL kemudian ke PKM; serta meningkatkan koordinasi dengan PKM dan Kelurahan dalam hal pengawasan setiap kegiatan P2DBD. Sedangkan untuk pihak kelurahan harus meningkatkan koordinasi dengan RW dan RT serta puskesmas dalam hal pengawasan kegiatan P2DBD; meningkatkan sosialisasi kepada warga berkaitan dengan kegiatan P2DBD; serta mengadakan kegiatan yang dapat melibatkan kerjasama warga dan petugas puskesmas untuk ikut mensukseskan P2DBD seperti lomba pencarian jentik antar Kelurahan.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hamdan Yuwaafii
Abstrak :
Saat ini pemberantasan vektor di tekankan pada pemberantasan biologis antara lain menggunakan Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) untuk menghindari efek samping larvasida. Penggunaan Bti dalam memberantas vektor demam berdarah dengue (DBD), yaitu Ae. aegypti, masih dalam tahap laboratorium sehingga penelitian mengenai efektivitas Bti di lapangan perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam pemberantasan Ae. aegypti di Kelurahan Cempaka Putih Barat, sebagai salah satu kelurahan dengan insidens DBD yang tinggi. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan single-larval method. Data diambil pada tanggal 28 Maret dan 25 April 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa house index (HI) menurun dari 19% menjadi 10%, container index (CI) menurun dari 10,32% menjadi 4,37%, breteau index (BI) menurun dari 26 menjadi 11. Berdasarkan uji McNemar diketahui bahwa penurunan tersebut bermakna, namun tidak dapat dikatakan bahwa Bti efektif memberantas Ae. aegypti, karena tidak semua container mendapatkan Bti. Jumlah container positif dari seluruh container yang mendapatkan Bti mengalami penurunan setelah pemberian Bti namun tidak bermakna. Disimpulkan bahwa Bti tidak efektif dalam memberantas Ae. aegypti di Kelurahan Cempaka Putih Barat.
Nowadays, vector control is emphasized to biological agent like Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) to avoid negative effect of insecticide. The using of Bti to control dengue hemorrhagic fever's (DHF) vector, Ae. aegypti, has only been conducted in laboratorium, so further research on the effectiveness of Bti to control Ae. aegypti in the domestic environment is needed. The aim of this study was to test the effectiveness of Bti in controlling Ae. aegypti in Kelurahan Cempaka Putih Barat, one of the district with highest DHF incidence in Jakarta. This method of this is experimental design using single-larval method. The data was collected on March 28th 2010 and April 25th 2010. The result showed that house index (HI) decreased from 19% to 10%, container index (CI) decreased from 10,32% to 4,37%, and breteau index (BI) decreased from 26 to 11. According to the McNemar test, this result was stastically significant, but it does not show that Bti is effective in controlling Ae. aegypti because there are some containers that did not get Bti. The number of positif containers from all containers that got Bti slightly decreased after treatment, but it is not significant. In conclusion, Bti is not effective in controlling Ae. aegypti in Kelurahan Cempaka Putih Barat.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soroy Lardo
Abstrak :
ABSTRAK
The immune response of dengue fever/dengue hemorrhagic fever is a series of immunopathogenesis processes starting from viral infection to the target on monocytes and macrophages. It may consequently cause a cascade of viremia in the circulation that stimulates the afferent, efferent, and effector mechanism by the interaction of the humoral and complement system. The cascade results in inflammatory substance that will affect capillary permeability and activate coagulation factors leading to further effects on endothelial level. The mechanism involving pathogenesis of DHF/DSS is still vague. So far, a theory of heterologous infection has been developed, which explains that on second infection, there is subneutralization that induce viral replication. The autoimmune mechanism development leads to the better understanding of DHF. It also explains the autoimmune response of the viral infection, which consists of molecular mimicry, bystander activation and viral persistence. The development of the autoimmune pathomechanism is related to the role of autoantibody and endothelial dysfunction that may have role in worsening DHF.
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rohmah
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang evaluasi implementasi clinical pathway pada penyakit Dengue Hemorrhagic Fever anak di RSUP Fatmawati tahun 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan evaluasi input, proses, dan outcome implementasi clinical pathway pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever anak serta mengetahui hambatannya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitat if dengan menggunakan operational research dengan metode observasi, wawancara mendalam dan terstruktur. Hasil penelitian didapatkan pengisian clinical pathway pada pasien DHF anak bulan Januari-Juni 2016 sebesar 55,15%. Format clinical pathway DHF anak sudah ringkas dan jelas namun belum lengkap dengan kriteria hasil. Belum optimalnya sosialisasi SPO, edukasi clinical pathway, serta imbalan dan sanksi. Formulir clinical pathway selalu tersedia di ruang rawat inap. Terdapat beberapa masalah dalam proses implementasi clinical pathway yaitu tidak adanya pengisian clinical pathway di IGD atau ruang lain, belum optimalnya kolaborasi antar tenaga kesehatan, belum adanya monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kepatuhan dan kelengkapan pengisian clinical pathway. Evaluasi outcome dari implementasi clinical pathway DHF anak yaitu terdapat variasi pada lama hari rawat 12%, pemeriksaan penunjang DTL, Urine, Feses 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, pemeriksaan CXR RLD 55%, gizi 35%, pengobatan parasetamol 40% dan IVFD 2%. ......This research discusses the evaluation of clinical pathways implementation in children's Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease at RSUP Fatmawati in 2016. This research aims to get input evaluation, process, and outcomes clinical pathways implementation in children's DHF disease and the obstacle. This is a quantitat ive and qualitative research that usen operational research with observation methodology, in-depth and structured interviews. The result shows that clinical pathways admission filling with patient in children?s DHF disease 55.15% in January-June 2016. Clinical pathway's form in children?s DHF disease are concise and clear but no outcome criteria. SPO?s socialization, clinical pathways educating, reward, and punishment are not optimum. Clinical pathway's form are always available at inpatient unit. There are some problems in the process of clinical pathways implemention, there is no filling clinical pathways in the ER (Emergency Room) or the other room, the lack of collaboration among health proffesional, no monitoring and evaluation to improve compliance and completeness of clinical pathways. Outcome evaluation of clinical pathways implementation in children's DHF are variations of length of stay 12%, DTL, Urine, Feses investigation 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, CXR RLD 55%, nutrition 35%, parasetamol treatment 40% and IVFD 2%.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S66588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Hafiah Halidha Nilanda
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang ditandai dengan pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan pada otak. Penyebab tersering stroke hemoragik adalah hipertensi. Selain itu penyebab lainnya seperti diabetes melitus dan obesitas dapat menjadi penyulit keadaan klinis pasien. Stroke hemoragik dan beberapa penyulit akan menyebabkan disfungsi neurologis dan disfungsi motorik, yang keduanya akan menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Penurunan asupan nutrisi dapat disebabkan penurunan kapasitas fungsional dan gangguan proses menelan atau disfagia. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas hidup menurun serta risiko serangan stroke berulang. Terapi medik gizi klinis berperan memberi nutrisi optimal, membatasai natrium, mengontrol glukosa darah dan mengatasi defisiensi mikronutrien. Metode:Serial kasus ini terdiri dari empat kasus stroke hemoragik pada pasien perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 50 ndash;65 tahun, dengan penyulit seperti disfagia, penurunan kesadaran, dan perdarahan GIT, disertai penyakit penyerta yaitu Hipertensi dan DM tipe 2. Kasus pertama dan kedua mengalami gejala disfagia dan membutuhkan dukungan nutrisi melalui jalur enteral. Kasus ketiga terdapat penurunan asupan makanan karena penurunan kapasitas fungsional yang terjadi. Kasus keempat mengalami penurunan kesadaran dan perdarahan saluran cerna serta membutuhkan dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral. Keempat pasien memiliki indeks massa tubuh obes 1. Masalah nutrisi yang dihadapi keempat pasien ini adalah asupan makro dan mikronutrien yang tidak optimal, jalur pemberian nutrisi, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi selama sakit. Terapi medik gizi klinik diberikan sesuai rekomendasi stroke hemoragik ddengan hipertensi dan DM tipe 2. Hasil :Kasus pertama hingga kasus ketiga mengalami perbaikan keadaan klinis, antara lain peningkatan kemampuan menelan, perbaikan tekanan darah, kadar glukosa, dan kapasitas fungsional. Kasus keempat meninggal dunia pada hari perawatan ke-8 akibat edema paru dan gagal jantung. Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang diberikan dapat membantu keadaan klinis dan kapasitas fungsional pada pasien stroke hemoragik dengan Hipertensi dan DM tipe 2.
ABSTRACT<>br> Background Hemorrhagic stroke is a cerebrovascular disease characterized by rupture of blood vessels resulting in bleeding in the brain. The most common cause of hemorrhagic stroke is hypertension. In addition, other causes such as diabetes mellitus and obesity could worsening the patient's clinical situation. Hemorrhagic strokes and some complications will cause neurologic dysfunction and motoric dysfunction, both of which will lead to a decrease in nutrient intake. Decreased nutritional intake could caused due to decreased functional capacity and impaired ingestion or dysphagia. Inadequate nutrition can lead to decreased quality of life as well as the risk of recurrent stroke. Medical clinical nutrition therapy plays an optimal role in nutrition, restricting sodium, controlling blood glucose and overcoming micronutrient deficiencies. Methods This case series consists of four cases of hemorrhagic stroke in female and male patients with age range 50-65 years, with complications such as dysphagia, consciousness derivation, and gastrointestinal bleeding, accompanied by comorbidities susch as Hypertension and type 2 DM. The first and second cases have symptoms of dysphagia and require nutritional support through the enteral route. The third case there is a decrease in food intake due to decreased functional capacity that occurs. The fourth case has consciousness derivation and gastrointestinal bleeding that requires support of enteral and parenteral nutritions. All of patients had obesity 1 body mass index. Nutritional problems faced by these four patients were unoptimal macro and micronutrient intake, nutritional pathways, unfulfilled nutritional needs during illness. Medical clinical nutrition therapy is given as recommended by hemorrhagic stroke with hypertension and type 2 diabetes mellitus Result The first case to the third case has improved clinical conditions, including increased ability to swallow, improvement of blood pressure, glucose levels, and functional capacity. The fourth case died on the 8th day of treatment due to pulmonary edema and heart failure. Conclusion Clinical nutrition therapy provided could improved clinical and functional capacity in hemorrhagic stroke patients with hypertension and type 2 DM.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
Abstrak :
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan demam dan perdarahan. Selain itu terdapat efusi pleura yang diduga karena peningkatan permeabilitas vaskular. Berdasarkan tanda tersebut, diduga disfungsi endotel memegang peranan dalam patogenesis demam berdarah dengue. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pada demam berdarah dengue terjadi disfungsi endotel dengan memeriksa kadar sVCAM-1, von Willebrand factor dan petanda aktivasi koagulasi yaitu D dimer. Di samping itu ingin diketahui apakah ada hubungan antara petanda disfungsi endotel dengan beratnya penyakit. Desain penelitian ini potong lintang, kelompok kasus terdiri atas 31 penderita DBD dan kelompok kontrol terdiri atas 30 penderita demam bukan DBD. Kadar sVCAM-1 diperiksa dengan cara ELISA, vWF dengan cara enzyme linked fluorescent assay (ELFA) dan D-dimer dengan cara sandwich enzyme immunoassay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar sVCAM-1 pada kelompok DBD dan kelompok kontrol berturut-turut adalah 1323 ng/mL dan 1003 ng/mL, sedangkan simpang bakunya berturut-turut 545 ng/mL dan 576 ng/mL. Rerata kadar vWF pada kelompok DBD dan kontrol berturut-turut 284% dan 327%, dengan simpang baku berturut-turut 130% dan 141%. Kadar sVCAM-1 tidak berkorelasi dengan jumlah trombosit, kadar albumin, kadar D dimer dan beratnya penyakit. Terdapat korelasi lemah antara kadar vWF dengan D dimer dan beratnya penyakit. ( r = 0,472 dan r = -0,450). Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sVCAM-1, vWF dan D dimer menunjukkan bahwa pada DBD terjadi disfungsi endotel. Namun tidak ada hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit.
Endothelial Dysfunction in Dengue Hemorhagic Fever. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is characterized by fever, bleeding, and pleural effusion which may be caused by increased vascular permeability. Based on these findings it is assumed that endothelial dysfunction plays a role in the pathogenesis of DHF. The aims of this study was to know whether endothelial dysfunction occurs in DHF by measuring sVCAM-1, vWF, and D dimer. The relationship between endothelial dysfunction and severity of the disease would also be analyzed. This was a cross sectional study which involved 31 DHF patients and 30 non DHF fever patients as control group. The level of sVCAM-1 was determined by ELISA method, vWF by enzyme linked fluorescent assay , and D dimer by sandwich enzyme immunoassay. The results indicated that mean of sVCAM-1 level in DHF group and control group were 1323 ng/mL and 1003 ng/mL, while standard deviation (SD) were 545 ng/mL and 576 ng/mL respectively. The mean of vWF level in DHF group and control group were 284% and 327%, with SD 130% and 141% respectively. The level of sVCAM-1 did not correlate with platelet count, albumin level, D dimer level and severity of disease. There was a weak correlation between vWF level with D dimer and severity of disease ( r = 0,472 and r = -0,450 ). Conclusion: The results of this study indicate that endothelial dysfunction occurs in DHF, but there is no correlation between sVCAM-1 with severity of disease, only a weak correlation between vWF with D dimer and severity of disease is found.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aspas Aslim
Abstrak :
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Jawa Barat pada tahun 1995 terjadi 3140 kasus DBD dengan Cale Fatality Rate (CFR) 3,9%. Di Kabupaten Indramayu setama 5 tahun terakhir (1992 - 1996), jumlah kasus DBD makin tinggi dan wilayah endemis DBD makin luas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerawanan DBD di Kabupaten Indramayu, serta mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhinya. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dibuat rencana pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan DBD dilakukan dengan memetakan wilayah endemis DBD tahun 1992-1996 dan menguji hubungan antara kerawanan DBD dengan kepadatan penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah kerawanan DBD menyebar menyusuri jaringan jalan propinsi, yang kemudian diikuti dengan penyebaran di sepanjang jalan kabupaten. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara kerawanan DBD dengan mobilitas penduduk. Dengan uji X2 terbukti bahwa kepadatan penduduk berhubungan secara bermakna. dengan tingkat kerawanan DBD. Ditinjau dari segi pelayanan kesehatan, terlihat bahwa pelayanan promotif dan preventif (fogging, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk) untuk mengendalikan DBD masih belum memadai. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan justru setelah terjadi suatu kasus DBD, sehingga tidak berfungsi sebagai tindakan promotif dan preventif. Disimpulkan bahwa 1). tingkat kerawanan DBD di Kabupaten Indramayu tahun 1992-1996 semakin meningkat, meskipun masih ada 68 desa yang selama 5 tahun tersebut tetap berstatus sebagai desa potensial DBD; 2). tingkat kerawanan DBD berhubungan dengan mobilitas dan kepadatan penduduk; dan 3). upaya promotif dan preventif belum dilaksanakan secara memadai, sehingga tidak menghasilkan efek promotif dan preventif. Disarankan untuk mengupayakan pengendalian DBD dengan 3 strategi utama yaitu 1). meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat akan masalah DBD 2). meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan vektor DBD, terutama melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk; dan 3). memanfaatkan berbagai institusi kemasyarakatan yang ada untuk menggerakkan masyarakat dalam pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu. Sebagai langkah tindak lanjut akan dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Menyampaikan hasil analisis yang telah dilakukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Indramayu. 2. Membuat rencana kerja operasional yang rinci, serta mengusulkannya kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Indramayu. 3. Meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap DBD dengan memanfaatkan berbagai jalur komuikasi, yaitu radio daerah, dan pertemuan-pertemuan lintas sektoral atau R.apat Koordinasi Kabupaten yang dilaksanakan pada setiap tanggal 17. 4. Mengintensifkan dan memperluas cakupan fogging masal sebelum masa penularan (SMP) di semua desa endemis. 5. Melakukan abatisasi nasal setiap tiga bulan sekali di semua desa. 6. Mengintensifkan pelaksanaan fogging fokus segera setelah dilaporkan adanya kasus DBD. ......Assessment of Dengue Hemorrhagic Fever's Endemicity at the Village Level in Indramayu District 1992-1996 and Development of Strategy and Plan of Action for Controlling Dengue Hemorrhagic Fever in Indramayu DistrictDengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the public health problems in Indonesia. In 1995, there was 3140 DHF cases in West Java with the case fatality rate of 3.9%. During the last 5 years (1992-1996) there was an increased case in Indramayu District, as well as a wider endemic areas. This study aimed to assess the endemic of DHF in Indramayu District, and identify its potential related factors. Based on the results, a strategy and plan of action for controlling DHF in Indramayu District will be developed. It was found that the endemic areas spread out along the province road, and followed by its spread along the district road. This result indicated that the people's mobility had some association with the DHF's endemic. The X2 tests showed a significant association between the DHF's endemic and the population density. Through a qualitative assessment, it was also found that promotive and preventive measures (fogging, abatisation, vector control) were not applied adequately, so that their function as promotive and preventive measures were not met. It was concluded that 1). during 1992-1996 the DHF's endemic in Indramayu District was worse; 2). the DHF's endemic associated with the people's mobility and population density; and 3). promotive and preventive measures for controlling DHF's vector were not applied adequately. It was suggested to control DHF in Indramayu District through 3 main strategies, i.e. 1). to improve the community's knowledge and awareness on DHF; 2). to improve community participation in controlling DHF's vector, and 3). to use any community's institution in controlling DHF. Several follow up activities were planned to be done: 1. To report the result of this assessment to the governmental head of Indramayu District (Bupati). 2. To make a detail and comprehensive plan of action for controlling DHF in Indramayu District. 3. To improve the community's knowledge and awareness on DHF by using any means of communication such as district's radio and regular monthly intersectoral coordination meeting. 4. To intensify and extensity mass fogging in all endemic areas. 5. To do a mass abatisation in all villages. 6. To intensify focal fogging soon after a DHF case is reported.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Djamilus Djamil
Abstrak :
Penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan. Ditinjau dari penyebaran kasusnya, distribusi DBD semakin meluas pada wilayah kecamatan perifer, khususnya pada daerah industri dan pemukiman baru seiring dengan semakin tingginya mobilitas di kawasan tersebut. Pada tahun 1990 ditemukan 68 kasus di 12 (52,2%) kecamatan, tahun 1995 ditemukan 106 kasus di 21 (91,3%) kecamatan dan masih sering terjadi KLBDBD. Tahun 1995 KLB-DBD menempati urutan pertama dari wabah yang terjadi di Kabupaten Bekasi dan terjadi di 11 (47,8%) kecamatan, 36 (15,2%) desa. (Profil Kes )1996). Pelaksanaaan surveilans-DBD telah dimulai sejak tahun 1985 dan lebih efektif pada tahun 1991. Tahun 1995 dikembangkan sistem kewaspadaan dini melalui kegiatan surveilans. Desain penelitian ini adalah kualitatif, suatu type study observasional dengan rancangan cross sectional, tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran dan permasalahan dalam pelaksanaan sistem kewaspadaan dini DBD. Hasil penelitian ini menunjukkan 8 (15,1%) puskesmas yang telah melaksanakan surveilans dengan status baik, 11 (20,8%) dengan status sedang dan 34 (64,1%) masih dalam status jelek. Dari variabel-variabel yang berpengaruh pada surveilans, kualitas pengelola surveilans DBD di Kabupaten Bekasi masih rendah dalam tingkat pengetahuan, sedangkan sarana dan biaya masih dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Namun tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara status surveilans dengan endemisitas DBD daerah, p value = 0,24. Kualitas upaya penanggulangan DBD seluruh puskesmas masih jelek dan variabel yang berpengaruh pada upaya penanggulangan DBD adalah sebagai berikut : baru 1 (4,8%) Pokjanal-DBD dan 6 (4,2%) Pokja-DBD yang dibentuk serta keberadaan kader masyarakat yang cukup potensial. Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan dini DBD, puskesmas perlu meningkatkan pengetahuan, pembinaan dan keterampilan petugas, alur pelaporan yang lebih sederhana dan pendelegasian tugas ke puskesmas baik dana maupun logistik. Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Madya Bekasi perlu melakukan pendekatan dengan Bupati dan Walikota dengan membentuk dan mengaktifkan Pokjanal, Pokja DBD dan mengaktifkan tenaga kader masyarakat serta koordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Kepala Rumah Sakit, terutama yang berbatasan langsung dengan Kabupaten/Kota Madya Bekasi. Daftar kepustakaan : 38 (1988 - 1997)
Evaluation of the Activities of the Early Alertness System for the Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) at Bekasi Regency, West Java Province in 1991-1995DHF is still a health problem. Reviewed based on its case dissemination, its distribution is expanding more and more in the region of peripheral sub district, especially in the industrial estate and new settlement in line with the in-creasing mobility within those areas. In 1990, there were 68 cases within 12 (52,2%) sub districts, 106 cases within 21 (91,3%) sub districts in 1995. DHF out-break is frequently occurred. In 1995, DHF outbreak has a ranked first among outbreak occurred in the area and it occurred within 11 (47,8%) sub districts and 36 (15,2%) villages. (Profil Kes.Bekasi,1996). Implementation of DHF surveillance was started in 1985 and in 1991 it is more effectively. Early alertness system through surveillance activity was developed in 1995. This study design is a qualitative, observational study with cross sectional design, its objective was to obtain a description and problems encountered in the implementation of DHF surveillance. Result of study showed that 8 (15,1%) of the public health center have implemented DHF surveillance with the good status, some 11 {20,8%) with intermediate status and 34 (64,1%) are in the bad status. Of the variables affecting the surveillance status, quality of the DUE surveillance managers are low and suprastructure, and funds are still managed by the Regency Health Services. There is no significant relationship between surveillance status with the DHF endemicity of the region, p value = 0,24. The quality of the DHF preventive measure in all of the public health centers are low and influential variable on the DHF preventive measure is the following : just 1 (4,8%) "Pokjanal DBD" and 6 (4,2%) "Pokja DBD" (DHF Working Group) those are established and the existence of enough potential society cadre. To improve the DHF early alertness system, the public health center does necessary to increase the knowledge, establishment and staff qualification, to simplify reporting path-ways and delegate the authority to the public health center in allocating fund and logistic. The Regency and Municipality Health Services in Bekasi need to approaches both Regent and Major to establish and activate the "Pokjanal-DBD", "Pokja-DBD" and coordinate it with the chief of the hospital, especially in the areas directly in the border of both Regency/Municipality of Bekasi. Bibliography : 38 (1988 - 1997).
Universitas Indonesia, 1997
T1410
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>