Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Berhadapan dengan sesuatu yang tidak diinginkan, cara yang paling efektif untuk terhindar darinya adalah dengan mengatakan tidak terhadapnya atau menolaknya. Pertanyaannya adalah: apakah ketidakinginan itu sudah final, tidak dapat ditawar-tawar lagi?, apakah penolakan adalah satu-satunya cara?, dan apakah penolakan adalah cara yang terbaik? Bagi mereka yang menjawab ya, maka problemnya sudah selesai, tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan lagi. Sedangkan bagi mereka yang menjawab tidak, maka pertanyaan yang masih bisa diajukan adalah: mengapa sesuatu tersebut tidak diinginkan, apa yang secara esensial ada pada sesuatu tersebut sehingga tidak diinginkan? Jawaban atas pertanyaan itulah yang disodorkan oleh Heidegger, sebuah pemahaman tentang esensi dari sesuatu tersebut. Berangkat dari pemahaman itu, maka ketidakinginan terhadap sesuatu tersebut yang berujung pada penolakan akan dipertanyakan kembali sehingga membuka peluang untuk adanya kemungkinan cara-cara yang lain dalam menghadapinya. Sesuatu tersebut adalah teknologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S16166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdalhaqq Bewley
Depok: Pustaka Adina, 2006
297.09 ABD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ryan Pratama
Abstrak :
Konsep metaverse mulai populer sejak Meta, induk perusahaan Facebook, mengumumkan kehadiran dunia virtual tersebut. Metaverse sendiri didefinisikan sebagai suatu ruang digital yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang secara virtual untuk berinteraksi satu sama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui realitas dan keberadaan dalam metaverse menurut kacamata Heidegger. Melalui fenomenologi Heidegger, peneliti ingin memberikan pemahaman bahwa metaverse berbeda dengan dunia sosial lain meskipun imersif, namun bukan berarti hal tersebut tidak dapat dikendalikan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan paradigma studi fenomenologi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa di kemudian hari prospek perkembangan metaverse masih besar, terutama dengan didukung oleh konsep big data. Semakin berkembangnya infrastruktur teknologi dan minat peneliti di bidang metaverse, diharapkan dapat meningkatkan jumlah studi ilmiah di ranah tersebut. Oleh karena itu, cara yang tepat dilakukan untuk ‘meng-Ada’ di metaverse serta menangani fenomena Das man dan enframing melalui teori Heidegger adalah dengan menerima teknologi baru tersebut secara tenang, namun tetap harus berhati-hati agar tidak jatuh terlalu dalam pada teknologi baru tersebut. Manusia masih tetap dapat otentik walau dalam dunia nyata maupun dunia metaverse. ......The concept of metaverse has become popular since Meta, Facebook's parent company, announced the presence of the virtual world. Metaverse itself is defined as a digital space where people virtually gather to interact with one another. This study aims to determine the reality and existence in the metaverse according to Heidegger's perspective. Through Heidegger's phenomenology, the researcher wants to provide an understanding that the metaverse is different from other social worlds although it is immersive, but that does not mean it cannot be controlled. The research method used is qualitative research with a phenomenological study paradigm. This study concludes that the prospects for the development of the metaverse are still great in the future, especially with the support of the big data concept. The development of technological infrastructure and the interest of researchers in the metaverse field is expected to increase the number of scientific studies in this area. Therefore, the right way to "Exist" in the metaverse and deal with the phenomenon of Das man and enframing through Heidegger's theory is to accept the new technology calmly but still have to be careful not to fall too deep into the new technology. Humans can still be authentic even in the real world and the metaverse world.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaidi Efatra
Abstrak :
ABSTRAK
Manusia sebagai poros penyelidikan guna menemukan kenyataan sesungguhnya mulai dari Plato hingga Descartes masih belum selesai. Realitas sesungguhnya, yang dinamakan dengan Ada (Being), setiap pemikir selalu berdialektika satu sama lainnya sehingga tidak pernah menemukan titik akhir dari sebuah sintesa utuh yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Titik persoalannya adalah karena berangkat dari perspektif esensial yang bersifat deskriptif-kategorial dalam menyelidiki Ada sehingga dikotomi subyek (manusia) dan Obyek (dunia) tidak bisa dielakkan. Baru kemudian pada Edmund Husserl mulai ada perubahan konseptual dalam mengatasi dikotomi tersebut. Melalui metode fenomenologi, Husserl menyelaraskan antara subyek dan Obyek dengan tidak ada pemisahan. Keduanya saling mengandaikan dalam memperoleh pengetahuan. Walaupun demikian, pada puncak penelitian, Husserl akhirnya masih melakukan diskriminasi terhadap obyek dalam konsep ego transendentalnya. Sehingga pencarian kenyataan yang hakiki melalui penyelidikan yang bersifat konseptual mulai dipertanyakan lagi. Kehadiran Kierkegaard ikut membawa perubahan yang mendasar, yaitu bahwa penelitian tentang esensi Ada yang selalu berangkat dari konsepsi-kategoris harus dibalik dengan penelitian yang menggunakan perspektif eksistensial. Being, tidak lagi dipahami sebagai Ada, tetapi Mengada. Artinya, manusia tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada, tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Dalam puncak memaknai Ada, bagi Kierkegaard, manusia dengan pilihan bebasnya harus melompat ke realitas e ketuhanan. Bagi Martin Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya. Perlu kemudian memberikan sudut pandang yang lain, yaitu eksistensial-ontologis dalam memaknai Ada. Eksistensial bertujuan meneropong kondisi manusia yang otentik, dan kemudian diselaraskan dengan temporalitas yang memberikan makna tentang keberadaan manusia dalam dunia. Karena kondisi Dasein yang paling mendasar adalah Ada-menuju-kematian secara eksistensial-ontologis, maka puncak totalitas Ada Dasein itu akhirnya ditemukan pada momen Kematian. Sebab pada momen ini adalah zenit totalitas Ada Dasein di satu sisi, dan momen berakhirnya eksistensi Dasein dalam dunia di sisi lain. Oleh karena itu, pada Heidegger, manusia sebagai pemberi makna pada Ada dalam memaknai dirinya dan dunia, yang berpuncak pada kematian. Namun manusia dalam memaknai dirinya dan dunia keseharian menghadapi dilema. Di satu sisi, pemaknaan Ada-nya yang otentik melalui Mengada-menuju-kematian selalu tidak stabil karena is selalu terlupa. Di sisi lain, karakter keseharian Dasein selalu bernuasa inotentik di mana Dasein tidak bisa lari darinya. Meskipun secara eksplisit dia sudah menyatakan diri sebagai Ada yang otentik, tetapi secara implisit, bekas-bekas inotentik masih melekat pada otentisitas tersebut. Sehingga keutuhan manusia eksistensial-ontologis yang otentik itu secara tidak langsung masih berwarna ganda
2007
T37417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Awal dan Akhir. Kehidupan manusia selalu berawal dan berakhir, begitulah kenyataan hakekat yang kita terima sebagai manusia. Berawal dari kelahiran yang begitu amat sangat dirayakan scbagai suatu kebahagiaan selepas penderitaan, Iayaknya pelangi setelah prahara hujan ataupun terang matahari pagi yang muncul setelah kegelapan malam, sebuah masa penuh dengan nuansa sukacita. Namun, hidup juga pasti akan berakhir. Akhir tersebut bernama kematian, yang selalu dipandang sebagai satu momen yang menjadi momok mengerikan, satu tilik dalam hidup yang membuat hidup menjadi hancur dan berakhir, sebuah masa penuh dengan nuansa dukacita. Martin Heidegger, dalam buku Being and Time, memberikan alternatif pemahaman yang berbeda terhadap problem kematian. Kematian bukanlah suatu hal yang sedemikian mengerikan, yang dengan sewenang-wenang merenggul nyawa dan mengakhiri begitu saja kehidupan manusia tanpa belas kasih, sehingga manusia kehilangan makna dirinya, yang berujung pada kehilangan ke-otentik-annya. Kematian, menurut Heidegger, seharusnya dipandang scbagai suatu kemungkinan unik dan tersendiri di antara berbagai kemungkinan dalam kehidupan. Kematian sebagai kemungkinan tersebut haruslah diterima manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, manusia akan menyadari dan menerima bahwa dirinya memiliki kemungkinan yang niscaya, yang mengakhiri kemungkinan-_kemungkinan lain. Kesadaran tersebut membuat manusia keluar dari kesehariannya, mencoba mencapai makna terdalam dirinya, dan kemudian mengantisipasi masa depan melalui perjalanan hidup yang bermakna, otentik. Akhirnya, kematian akan menjadi penutup yang manis dan momen selebrasi bagi cerita kehidupan manusia, bukan lagi dukacita, melainkan sebagai suatu pintu gerbang menuju ke ke-otentik-an manusia.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chi Hong Nguyen
Seoul : OMNES, 2019
350 OMNES 9:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budianastas Prastyatama
Abstrak :
When discussing Emily Dickinson’s sense of dwelling, one cannot help but relate it to Heidegger’s proposition of dwelling. While Dickinson emphasizes thepossibilities of life, this symposia essentially proposes dwelling in a Heideggerian sense. The relation between both ideas plays an important role in achieving in the realm of the material dwelling equal possibilities in the realm of the mind. Heidegger proposed that “dwelling” is the evidence of human existence, and that “building is really dwelling” through which it is humanity’s very act of being. While adwelling’s fundamental character is to spare and to preserve, arguing that “dwelling in (im)possibilities” truly asks a fundamental question of a building as both an object and an act, materially constructed and accomplished in the present time. It asks whether it is (im)possible that the act of building and the building itself still retain the character and role of preserving the primal fourfold of humanity’s existence through the materiality of a constructed building.This paper proposes a channel of possibilities to answer these questions through material studies with insights and knowledge in the realm of (building) construction, since it is through materials that a building is made possible to come into existence as a signifier of humankind. Material studies provide the possibilities for delivering the estranged conceptual dwelling into communion with the physical realities of modern humanity, reuniting it to the building.
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2017
UI-IJTECH 8:6 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library