Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cairns, Huntington, 1904-1985
Baltimore: Johns Hopkins Press, 1967
184 CAI l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zizek, Slavoz
Abstrak :
What do we know about Hegel? What do we know about Marx? What do we know about democracy and totalitarianism? Communism and psychoanalysis? What do we know that isn't a platitude that we've heard a thousand times or a self-satisfied certainty? Through his brilliant reading of Hegel, Slavoj Zizek,one of the most provocative and widely-read thinkers of our time, upends our traditional understanding, dynamites every cliché and undermines every conviction in order to clear the ground for new ways of answering these questions. When Lacan described Hegel as the most sublime hysteric, he was referring to the way that the hysteric asks questions because he experiences his own desire as if it were the Other's desire. In the dialectical process, the question asked of the Other is resolved through a reflexive turn in which the question begins to function as its own answer. We had made Hegel into the theorist of abstraction and reaction, but by reading Hegel with Lacan, Zizek unveils a Hegel of the concrete and of revolution, his own, and the one to come.
Cambridge: Polity, 2014
193 ZIZ m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Buchwalter
Abstrak :
This book, drawing on the expertise of distinguished Hegel scholars and internationally recognized political and social theorists, explicates the contribution both of Hegel himself and his "dialectical" method to the analysis and understanding of a wide range of topics associated with the concept of global justice, construed very broadly. These topics include universal human rights, cosmopolitanism, and cosmopolitan justice, transnationalism, international law, global interculturality, a global poverty, cosmopolitan citizenship, global governance, a global public sphere, a global ethos, and a global notion of collective self-identity. Attention is also accorded the value of Hegel’s account of mutual recognition for analysing themes in global justice, both as regards the politics of recognition at the global level and the conditions for a general account of relations of people and persons under conditions of globalization.
Heidelberg : Springer, 2012
e20400173
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, O.E.
Abstrak :
Berangkat dari konsepsi individu abstrak dari Hegel, telaah ini hendak menjumpakan konsepsi di atas dengan pandangan Kierkegaard tentang individu yang konkret. Roh dengan segala manifestasinya sebagaimana dijelaskan Hegel, mendapat jawaban kritis dari Kierkegaard dengan menekankan manusia konkret, yang bereksistensi, unik dan berada dalam proses perjuangan menuju hidup yang sejati. Roh dengan elaborasi sistematisnya bukanlah segala-galanya, dan tidak dapat menjelaskan seluruh masalah hidup yang benarbenar dialami, dihayati dan selalu menegangkan, mencemaskan dan terkadang menakutkan bahkan dapat membuat putus asa. Hidup adalah hidup yang konkret, dijumpai dan dihadapi dengan segala resiko yang tampak jelas dari ungkapan suasana batin dengan segala bentuk kegelisahannya. Hidup tidak dapat dikeluarkan dari situasi aktual dan lari ke dalam sistem dan teori-teori sistematis. Ringkasnya, individu itu bereksistensi sehingga hidupnya penuh dengan konflik dan problema. Sebelum memasuki perjumpaan kedua filsuf di atas, lebih dahulu akan diberikan penjelasan singkat atas telaah ini dalam bab pendahuluan. Kemudian, dalam bagian dua, titik tolak perjumpaan akan diuraikan dengan menjelaskan sistem filsafat Hegel dan Kierkegaard. Pada bagian berikut, diperlihatkan bagaimana seluruh elaborasi pemikiran Hegel berangkat untuk membenarkan konsep-konsep abstrak yang sekaligus menempatkan manusia dalam kerangka konsep yang jauh dari pengalaman hidup konkret. Dan bagian selanjutnya, sebagai jawaban atau perjumpaan kritis dengan Hegel, uraian manusia yang bereksistensi dengan segala masalah dan perjuangannya menuju hidup yang sejati dipaparkan. Akhirnya, sebagai penutup, diberikan sepintas rekapitulasi telaan dan sekaligus kontektualisasinya dengan situasi konkret di mana penulis hidup.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad
Abstrak :
George Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filosof yang lahir di Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770. Dalam perkembangan intelektual Hegel yakni; saat Ia menekuni spirit yang berhubungan dengan jiwa, tahap selanjutnya ketika ia mendalami dialektika yang berkaitan dengan logika, dan tahap terakhir saat ia menekuni konsep tentang negara sebagai puncaknya. Pemikiran Hegel tentang negara mengundang interpretasi yang berbeda dari berbagai kalangan. Ada kelompok yang menganggap pemikiran Hegel tentang negara inilah yang mengilhami lahirnya negara totaliter, sementara kelompok lain menganggap pemikiran Hegel tentang negara memberi acuan bagi berkembangnya negara liberal dan sosialis yang mewamai konsep negara modern. Untuk mengungkap pemikiran Hegel tentang negara, penulis mengawalinya dengan mengajukan dua buah pertanyaan penelitian: 1. Apa dan bagaimana pemikiran politik Hegel tentang negara? Dan 2. Apa pendapat para pemikir terhadap pemikiran Hegel tentang negara. Saat mendalami pemikiran Hegel tentang negara, penulis melakukan kajian terhadap tulisan Hegel ?The Philosophy of Right', dengan cara merangkum pemikiran yang menonjol dan menyederhanakannya. Hampir semua pemikir sepakat bahwa dalam karyanya inilah Hegel mengungkap pemikiran politiknya tentang negara. Para pemikir yang memberikan tafsiran tentang pemikiran Hegel tentang negara ; Fasisme atau Demokrasi adalah: Lorens Bagus, Adef Budiman, William Ebenstein, M. Judd Harmon, Eka Kumiawan, Franz Magnis Suseno, Frederick Mayer, Lee Cameron McDonald, Bertrand Russell, George H. Sabine, Henry J. Schmandt, dan Marsillam Simanjuntak. Negara bagi Hegel adalah suatu organisme yang mengaktualkan Ide etis dan pikiran objektif diatas bumi. Kesimpulan ini didasari oleh pandangan Hegel yang mengatakan, kedua alam (dari keduniaan dan alam kebenaran) ini berada pada posisi yang berbeda, tetapi keduanya berakar pada satu kesatuan yang tunggal, Ide. M. Judd Harmon adalah seorang pemikir politik yang paling moderat dalam menafsirkan pemikiran Hegel tentang negara. Bagi Harmon, pemikiran politik Hegel tentang negara tidaklah termasuk kategori fasis ataupun demokratis, tetapi ia berada diantara keduanya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
Abstrak :
Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984). Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15). Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek. Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku. Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak. Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal. Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus. Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa. Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut : 1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas. 2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek. 3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia. Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas. Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep. Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia. Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library