Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darmanelly
"Memasuki abad ke 21 yang semakin maju, agar tetap eksis di tengah persaingan global yang sernakin ketat, sudah seharusnyalah bahwa pendekatan mutu layanan yang berorientasi pada pelanggan atau pasien menjadi strategi utama bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu langkah strategis yang digunakan adalah kerjasama lira, disamping peningkatan mutu secara terus menerus dan pengambilan keputusan berdasarkan data yang ada.
Puskesmas merupakan salah satu organisasi pelayanan kesehatan, mempunyai beban kerja 18 program pokok yang terbagi atas kegiatan-kegiatan, dikelola oleh seorang pemimpin bersama staf yang terdiri dari berbagai latar belakang.
Mengkoordinir individu yang terdiri dari berbagai latar belakang ini bukanlah pekerjaan mudah, agar setiap saat tidak terjadi konflik. Dalam studi ini dilakukan penelitian tentang analisis kerjasama tim di Puskesmas wilayah Kota Pontianak tahun 2000, untuk mendapatkan informasi tentang gambaran kerjasama tim dan hal-hal yang berperan dalam kerjasama tim tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan terhadap 4 (empat) Puskesmas dengan pengunjung terbanyak, dan 4 (empat) Puskesmas dengan pengunjung paling sedikit, dengan melibatkan 8 orang Kepala Puskesmas dan 1 orang Kepala Dinas melalui wawancara mendalam, dan 28 orang staf dari Puskesmas tadi melalui diskusi kelompok terarah.
Analsisa dan data yang terkumpul menunjukan bahwa gambaran kerjasama tim wilayah Kota Pontianak cukup baik, hal ini terlihat dari karateristik individu seperti jenis kelamin, suku bangsa dan jabatan tidak menjadi masalah dalam kerjasama tim, namun disisi lain karakteristik seperti umur, pendidikan, status perkawinan, dan lama kerja disamping dapat menunjang kerjasama tim, juga dapat menghambat kerjasama tim. Begitu juga dengan karateristik organisasi.
Hal-hal yang berperan dalam kerjasama tim berdasarkan variabel karakteristik organiosasi secara negatif antara lain, untuk Puskesmas besar (dan segi jumlah kunjungan dan tingginya kesibukan) menyebabkan berkurangnya intensitas interaksi, walaupun sudah semua Puskesmas mempunyai visi dan misi, tetapi tidak satupun balk staf maupun pimpinan yang tabu dan ingat isi dari visi dan misi tersebut. Sementara karateristik organisasi yang berperan secara positif yaitu, komunikasi secara informal yang berdampak lebih akrab, kepemimpinan secara demokrasi dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat, rasa tanggung jawab dalam bekerja yang memotivasi staf untuk bekerja lebih balk, adanya rasa kekeluargaan yang kuat sehingga walaupun ada konflik tetapi tidak menghambat kerjasama tim.
Berdasarkan hat tersebut diatas maka untuk membangun kerjasama tim yang tangguh diperlukan sating toleransi terhadap keragaman latar belakang anggota, memanfaatkan pertemuan-pertemuan formal untuk membahas hat-hat yang berkaitan dengan upaya perbaikan mute layanan kesehatan, selain itu mengadakan pertemuan informal seperti arisan atau anjang sana untuk meningkatkan kualitas hubungan antar anggota. Selanjutnya agar konflik tidak menghambat kerjasama tim, maka rasa kekeluargaan perlu dibina serta pihak Kepala Puskesmas cepat tanggap untuk menanganinya.
Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, diharapkan untuk melengkapi sarana komunikasi dan transportasi di Puskesmas karena sarana tersebut sangat menunjang kerjasama tim. Perlu penyegaran informasi tertang visi dan misi agar tim memiliki kesatuan tujuan dalam bekerja.

Analysis on Teamwork in Improving Puskesmas Service Quality in Pontianak City Area Year 2000 Entering the 21st century, to stay exist amid tight global competition, health service in Indonesia should be provided on the basis of customer or patient-oriented service that becomes a main strategy in Indonesia health service. One of strategic ways to use in the service is teamwork, other ways include continuous quality improvement and decision making based on the available data.
Puskesmas is one of health service organizations. It has 18 main tasks divided into programs and is managed by a chief assisted with staffs from various disciplines.
Coordinating these staffs with various backgrounds is not an easy task, particularly to prevent conflicts among them. This study examined teamwork in Puskesmas in Pontianak City area year 2000. It was aimed at obtaining information regarding description of teamwork and factors that affect such teamwork.
This study employed a qualitative research approach and was conducted in 4 (four) most-attended Puskesmas, and 4 (four) least-attended Puskesmas. It involved 8 chiefs of Puskesmas and 1 chief of local health department. Data were collected by means of in-depth interviews with the 8 chiefs of Puskesmas and 1 chief of local health department and focused group discussion with 28 staff members of the Puskesmas.
The analysis on the collected data shows that the description of teamwork in Puskesmas in Pontianak City area is good enough. Gender, ethnic group and position were not obstacles in the teamwork. However, age, education, marital status, and length of work as well as the organization characteristics seemed to be both supporting and hindering the teamwork.
Factors that seem to have negatively affected the teamwork based on the variables of organization characteristics among others are lack of intense interaction due to the size of Puskesmas or in larger Puskesmas (in terms of the number of visits and rate of service); although all Puskesmas had already set their vision and mission statements but none of the staffs nor the superiors were able to recall such statements. On the other hand, organization characteristic that seem to have positively affected the teamwork are informal communication that brings members closer to each other, democratic leadership that employs public-oriented service, work responsibility that motivates the staffs to do their jobs better, strong family hood that ties the members of the team despite present conflicts.
Based on such findings, to build a solid teamwork, tolerance over differences of members is required, formal meetings to discuss issues regarding improvement of health service quality are utilized, and informal meetings such as family gathering or home visits are encouraged to maintain and improve relationship among team members. To prevent conflict from developing, it is necessary to foster sense of family hood and chief of Puskesmas should be able to respond to any conflict immediately.
Chief of local health department of Pontianak City is suggested to provide communication and transportation equipment for Puskesmas that may support the teamwork. Reorientation program on vision and mission of puskesmas should be held so those members of team share one common goal in doing their job.
"
2000
T1545
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Jaya
"Pemberantasan dan pengobatan penyakit TB paru belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, diperkirakan ada 500.000 penderita baru setiap tahunnya dan 175.000 diantaranya akan meninggal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kemungkinan adanya hubungan antara faktor resiko lingkungan dengan terjadinya penyakit TB paru.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Barat dengan menggunakaan desain kasus kontrol. Sebagai responden diambil 79 orang penderita TB paru BTA (+), dengan jumlah yang sama juga diambil sebagai kontrol yang dipilih secara purposif dari 671 penderita tersangka yang terdaftar dalam registrasi TB Kabupaten. Keadaan ventilasi, kelembaban, pencahayaan sinar matahari dan konstruksi lantai yang berhubungan dengan rumah responden diobservasi sebagai faktor Iingkungan fisik, sedangkan data demografi diperoleh dari hasil interview oleh petugas Puskesmas yang telah dilatih. Data lingkungan fisik dan demografi diuji dengan menggunakan analisis univariat, bivariat dan mullivariat untuk mcnentukan dislribusi frekuensi, adanya hubungan dan kekuatan hubungan antara faktor lingkungan sebagai variabel bebas dan penderita TB paru BTA(+) sebagai variabel terikat.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa responden TB paru laki-laki dengan BTA(+) diperkirakan 2 kali lebih besar dari responden wanita. Dari mereka yang terkena TB paru BTA (+), 49,3% diantaranya berada pada usia produklif (25-44). Sekitar 30% dari responden yang terinfeksi TB adalah mareka yang berpendidikan rendah dan sedang (SDISLTP). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya kontak penularan serumah, ventilasi kamar tidur yang jelek dan kepadatan penghuni sekamar secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan terjadinya TB pare BTA positif, dengan nilai Odd Ratio 3,36 (p=0,035); 2,82 (p=0,001) dan 2,12 (0,028). Diantara faktor-faktor resiko lingkungan tersebut, analisis muitivarial menunjukkan bahwa ventilasi kamar tidur merupakan variabel yang paling kuat hubungannya dengan terjadinya penularan TB paru (OR = 1,63; p = 0,005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas udara dalam rumah ikut berperan terjadinya TB paru BTA (+)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Saptorini Rahmadhani
"Pelayanan yang bermutu adalah pelayanan yang efisien, efektif, tepat waktu dan tepat biaya dengan mengedepankan kepuasan serta keselamatan pasien. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama wajib memberikan pelayanan yang bermutu kepada pasien. Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat menunjukkan dari setiap dimensi mutu, unsur kecepatan pelayanan menjadi elemen ketidakpuasan paling tinggi. Perlu dilakukan upaya perbaikan waktu pelayanan rawat jalan di UPT Puskesmas Unit II Kecamatan Sumbawa dengan menggunakan metode Lean Six Sigma untuk mengidentifikasi dan meminimalisasi pemborosan. Penelitian ini merupakan operations research untuk memperbaiki pelayanan rawat jalan dengan penerapan metode lean six sigma melalui tahapan mendefinisi (define), mengukur (measure), menganalisa (analyze), memperbaiki (improve), dan mengendalikan (control) pada unit pelayanan rawat jalan. Hasil penelitian mendapatkan gambaran terjadinya penumpukan pasien dan lama waktu tunggu pelayanan rawat jalan di loket pendaftaran, ruang poli, ruang konsul dokter dan ruang pelayanan apotek yang merupakan hambatan (bottleneck) dalam proses pelayanan rawat jalan. Persentase value added pelayanan rawat jalan sebelum penerapan lean six sigma adalah sebesar 20,32% dan non value added sebesar 79,68%. Setelah penerapan lean six sigma nilai value added meningkat 33,19% dari sebelumnya menjadi 53.51%, dan non value added menurun 33,19% menjadi 46,49%. Ditemukan adanya delapan jenis pemborosan yang terjadi pada pelayanan rawat jalan, sebagian besar merupakan pemborosan over processing dan waiting. Waste banyak terjadi di ruang loket pendaftaran dan rekam medis serta ruangan konsul dokter. Sumber terjadinya pemborosan berdasarkan hasil analisis fishbone adalah man dikarenakan kurangnya kuantitas dan kualitas tenaga, beban kerja, kedisiplinan terhadap waktu kerja, serta kepatuhan petugas terhadap standar operasional prosedur (SOP). Usulan perbaikan disusun menggunakan lean tools seperti visual management, 5 S, Erorr Profing dan kaizen. Intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki lama waktu pelayanan adalah dengan cara melakukan penyederhanaan alur pelayanan rawat jalan, pembagian tugas beberapa tenaga yang diposisikan sebagai tenaga UKP dan tenaga UKM, menerapkan budaya 5 S, perbaikan dokumen berkas rekam medis serta melakukan relokasi penempatan ruangan sesuai standar Permenkes 75 tahun 2014.

Quality service is an efficient, effective, timely and costly service by prioritizing patient satisfaction and safety. Puskesmas as a first-rate health facility must provide quality services to patients. The results of the Community Satisfaction Index show that from every dimension of quality, the element of speed of service becomes the highest element of dissatisfaction. Efforts need to be made to improve the outpatient service time at Unit II UPT Puskesmas Sumbawa District by using the Lean Six Sigma method to identify and minimize waste. This research is an operations research to improve outpatient services by applying lean six sigma methods through the stages of defining, measuring, analyzing, improving, and controlling the outpatient service unit. The results of the study get a picture of the accumulation of patients and the length of time waiting for outpatient services at the registration counter, poly room, doctors consul room and pharmacy service room which are bottlenecks in the outpatient service process. The percentage of outpatient value added services before the implementation of lean six sigma was 20.32% and non value added was 79.68%. After the application of lean six sigma, the value added value increased 33.19% from the previous to 53.51%, and the non value added decreased 33.19% to 46.49%. It was found that there were eight types of waste that occurred in outpatient services, most of which were wasteful of over processing and waiting. Waste occurs a lot in the registration counters and medical records rooms and doctors office rooms. The source of waste based on the results of fishbone analysis is man due to lack of quantity and quality of labor, workload, discipline to work time, and compliance of officers to standard operating procedures (SOP). Proposed improvements are arranged using lean tools such as visual management, 5S, error profing and kaizen. The intervention to improve the length of service time is by simplifying the flow of outpatient services, the division of tasks of several staff who are positioned as UKP staff and UKM staff, applying the 5S culture, improving the medical record file documents and relocating the room according to the Permenkes 75 standard. year 2014."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library