Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miller, Chris H.
St Louis: Mosby Elsevies, 2010
617.6 MIL i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stilp, Richard H.
Singapore: Delmar Publishers, 1997
616.025 STI e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
D. Wardhana Hasanuddin Suraadiningrat
Abstrak :
Penelitian ini memusatkan perhatian pada segi perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan bahan beracun dan berbahaya (SPKB3). Bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi bahan yang mempunyai golongan tabiat corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (termasuk explosive), dan toxic. SPKB3 adalah bagian dari pengelolaan B3, sekaligus juga bagian dari sistem pengelolaan lingkungan dan keselamatan, kesehatan kerja (K3). Ia juga unsur pelengkap serangkaian upaya pencegahan pencemaran lingkungan sehari-hari. Suatu kedaruratan B3 dapat terjadi baik akibat suatu kecelakaan, peperangan, maupun akibat terorisme yang melibatkan B3. Suatu kedaruratan B3 dapat meningkat menjadi suatu bencana. Karena itu ia dianggap suatu ancaman baik terhadap K3, lingkungan, maupun keamanan negara.

Berbagai peristiwa kedaruratan B3 telah mengakibatkan kerugian jiwa dan jasmani yang sangat besar baik pada manusia maupun hewan dan unsur lingkungan lainnya.

Pada dasarnya kerugian yang lebih besar terhadap lingkungan yang dapat terjadi akibat kecelakaan atau terorisme dapat dicegah apabila ditanggulangi dengan cepat dan sangkil (effective). Hal ini dapat tercapai apabila pihak pengelola lingkungan, baik pemerintah, masyarakat industri maupun masyarakat luas di sekitar suatu tempat kejadian perkara (TKP) sudah memiliki kesiagaan dan kemampuan penanggulangan yang memadai. Serangkaian upaya kesiagaan dan penanggulangan kedaruratan B3 ini dapat menjadi lebih sangkil dan mangkus (efficient) apabila dikelola dengan pendekatan sistemik yaitu dalam suatu SPKB3. Dalam rangka mendukung kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan di bidang pencegahan dan perusakan lingkungan, berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa telah menunjukkan kesungguhan upaya meningkatkan kinerja SPK83-nya. Salah satu kunci penting sistem ini adalah penyusunan dan pelaksanaan rencana pengelolaan kedaruratan B3 (RPKB3) baik pada taraf antarabangsa (international), nasional (national) maupun taraf yang lebih rendah. Untuk memastikan kesangkilan sistemnya, mereka juga menetapkan dan memberlakukan berbagai peraturan, bakuan (standard) SPKB3, termasuk bakuan perencanaannya, dan berbagai pedoman pendukungnya. Berbagai peraturan, bakuan, dan pedoman itu berlaku sebagai perangkat kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan untuk diterapkan oleh pemerintah, masyarakat industri dan masyarakat luas.

Di Indonesia, kewajiban atas pengadaan suatu SPKB3 bagi tiap pengelola kegiatan yang melibatkan B3 dilandasi berbagai peraturan perundang-undangan seperti PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 74 Tahun 2001. Namun, peraturan perundang-undangan itu tidak menetapkan persyaratan atas unsur-unsur suatu SPKB3 dan RPKB3 sehingga tidak memastikan tersedianya landasan yang kuat bagi suatu SPKB3 yang sangkil. Selain itu, sampai saat berita ini diturunkan, tidak terdapat bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mempunyai suatu RPKB3 baik yang bertaraf provinsial mau pun nasional. Ketiadaan suatu RPKB3 tidak memastikan kejelasan susunan dan wacana operasi suatu SPKB3, termasuk segi penyertaan peran masyarakat. Karena itu, hal ini juga tidak memastikan kesiagaan NKRI untuk menghadapi berbagai kemungkinan ancaman dari berbagai sumber yang melibatkan B3 terhadap lingkungan dan pertahanan negara.

Bertolak dari keadaan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan, peneliti memilih permasalahan pengelolaan kedaruratan B3 nasional sebagai bahan penelitiannya. Penelitian ini secara umum bertujuan mendukung penyempurnaan SPKB3 nasional, dan secara menjenis (specific) bertujuan: (1) memperoleh pendapat para pakar lingkungan mengenai beberapa segi penting SPKB3 nasional; (2) menetapkan pokok-pokok penting suatu RPKB3 yang layak dan sangkil berdasarkan pengalaman negara-negara maju dan pedoman/konvensi antarabangsa, dan (3) menetapkan taraf penting tiap pokok RPKB3 berdasarkan perannya dalam mencapai kesangkilan operasinya dengan mempertimbangkan rona lingkungan umum NKRI dan keadaan sumberdaya pendukungnya dewasa ini. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai: (1 ) gambaran mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di Indonesia pada masa penelitian; (2) gambaran.mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di beberapa wilayah hukum lain yang dikenal lebih maju pada masa penelitian; (3) bahan masukan bagi pembuat kebijakan mengenai beberapa segi penting yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan atau penyempurnaan rencana SPKB3; (4) bahan dasar suatu bakuan RPKB3 yang selayak-layaknya, baik untuk digunakan langsung mau pun untuk disempurnakan lebih lanjut; dan (5) maklumat (information) tambahan dalam kaidah ilmu pengetahuan.

Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas metode kajian dokumen (desktop/documentation review) dan pendapat pakar (expert opinion). Perinciannya: (1) metode sigi (survey) untuk memperoleh pendapat pakar atas beberapa segi penting SPKB3 dengan perangkat berupa senarai pertanyaan (questionnaire): (2) metode kajian dokumen untuk menetapkan pokok-pokok penting RPKB3 dengan perangkat telaah wacana (conceptual analysis), serta analogi dan pendapat pakar dalam penyusunan strukturnya; (3) metode pendapat pakar untuk penetapan taraf penting pokok-pokok RPKB3 nasional dengan perangkat senarai pertanyaan dan prosedur Analytic Hierarchy Process (AHP). Data yang diperoleh diolah dengan operasi statistikal sederhana. Ada pun data yang diperoleh dengan prosedur AHP diolah dengan perangkat lunak (software) khusus.

Responden atau pakar lingkungan dan K3 yang dipilih untuk berperanserta dalam penelitian ini berasal dari: (1) berbagai lembaga pemerintah yang dianggap terkait dengan SPKB3 pada taraf nasional, provinsial dan lokal; (2) kalangan praktisi dari berbagai jenis industri; (3) kalangan pakar (konsultan dan pengajar perguruan tinggi). Jumlah responden yang direncanakan sebanyak 99 orang - digolongkan sebagai kelompok umum - untuk penelitian mengenai beberapa segi penting SPKB3, 23 orang di antaranya - digolongkan sebagai kelompok khusus - dipilih sebagai responden penelitian mengenai taraf penting pokok-pokok RPKB3. Selain itu, pakar lingkungan yang menjadi narasumber dalam menentukan struktur atau susunan pokok RPKB3 bakuan, dipilih sebanyak 3 orang- digolongkan sebagai tim kecil - yang diketahui peneliti masing-masing mempunyai pengalaman praktikal yang memadai baik dalam sistem pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan K3, mau pun pengelolaan kedaruratan B3. Ketiga anggota tim kecil itu masing-masing berasal dari lembaga negara (regulator), lembaga konsultansi (consultant), dan lembaga industrial swasta (practician).

Senarai pertanyaan diujicobakan lebih dahulu sebelum disebarkan secara resmi kepada seluruh responden yang telah ditentukan. Dari 99 responden kelompok umum, 82 di antaranya mengembalikan senarai pertanyaan. Ke-23 orang responden kelompok khusus mengembalikan senarai pertanyaan khusus. Namun, hanya 15 responden yang memenuhi batas inconsistency rate yang ditetapkan bagi jawaban responden dalam penelitian ini, yaitu 0, 15. Prosedur AHP memberikan pedoman batas inconsistency rate ≤ 0,1 . Toleransi batas maksimum inconsistency rate pada penelitian ini didasarkan pada kelangkaan pakar, keterbatasan dana, ketersediaan waktu sangkil, dan segi-segi operasional penelitian.

Hasil penelitian atas beberapa segi penting mengenai sistem pengelolaan kedaruratan B3 nasional, di antaranya, menunjukkan bahwa:
1. suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam kaidah sistem pengelolaan lingkungan;
2. unsur perencanaan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai peran sangat tinggi dalam menentukan kesangkilan operasinya apabila dilaksanakan;
3. suatu bakuan (standard) nasional bagi sistem dan perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan B3 yang berlaku secara nasional sudah sangat dibutuhkan pada saat ini;
4. suatu pusat operasi pengelolaan kedaruratan B3 bertaraf nasional sangat dibutuhkan di Indonesia saat ini;
5. sungguh pun telah ada lembaga nasional yang berperan sebagai suatu pusat operasi bencana, yaitu BaKorNas PBP, ternyata taraf popularitasnya sangat rendah;
6. suatu bakuan kecakapan sumberdaya manusia dan kurikulum pelatihannya yang berlaku secara nasional sangat diperlukan untuk menjamin peran serta tiap orang yang ditugaskan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 secara sangkil dan sesuai dengan peran dan tugasnya;
7. penyertaan peran masyarakat dalam sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai landasan hukum yang kuat di Indonesia dan sangat dianjurkan pelaksanaannya sebagaimana dicontohkan di berbagai negara maju seperti negara-negara anggota Komisi Eropa, Amerika Serikat dan Kanada.

Hasil penelitian ini mengenai penetapan pokok penting suatu RKB3 yang layak menyimpukan bahwa suatu rencana sistem pengelolaan kedaruratan B3 pada umumnya mempunyai unsur berupa pokok-pokok ketentuan mengenai perencanaan pra-kedaruratan, organisasi dan pengelolaan sumberdaya, pengelolaan operasi kedaruratan lapangan, pengelolaan pasca-kedaruratan, serta perbaikan dan penyempurnaan sistem. Ada pun pokok perencanaan yang paling penting sehingga ketentuan-ketentuannya perlu ditetapkan secara seksama dan terperinci dalam rencana pengelolaan kedaruratan B3 nasional di Indonesia, menurut hasil penelitian ini, adalah pokok mengenai pengelolaan operasi kedaruratan lapangan. Hal ini berbeda dengan rencana nasional di wilayah hukum rujukan penelitian ini yang lebih memperinci ketentuan-ketentuan mengenai struktur organisasional dan pengelolaan sumberdayanya.
National Hazardous Materials Emergency Management System (A Study on System Planning Criteria)This research focuses on the planning aspect of a hazardous materials emergency management system. In the context of this research, a hazardous material is defined as a material or substance possessing one or more of the following characteristics: corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (including explosive), and toxic. A hazardous materials emergency management system is part of hazardous materials management and environmental, health & safety management systems as well. It is also a supplement to the normal measures for pollution prevention. A hazardous materials emergency may be resulted from an accident, warfare, or terrorism involving hazardous materials. It may lead to a disaster. Therefore, it is considered a sort of threat to occupational safety & health, the environment, and national security.

Various hazardous material emergency events have resulted in significant impacts, both psychologically and physically, on either human or animals and materials emergency management. The absence of such a plan does not ensure the clarity of the operational concept and arrangements of a system, including the community involvement arrangement. Therefore, this also does not ensure the country's preparedness to respond to any possible threats involving hazardous materials from any sources to the country's environment and security.

Based on the abovementioned situation, and in order to meet the community right and obligation to participate in environmental management, the author has taken the national hazardous materials emergency management issue as the object of this research. The overall objective of this research is supporting the national hazardous materials emergency management system improvement and specifically: (1) gaining the environmental experts' opinion on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system; (2) identifying the essential components of an appropriate and effective hazardous materials emergency management plan based on the experience of some of the developed countries and international conventions / guidelines; and (3) assessing the relative importance of each essential component of the plan based on its role in determining the effectiveness of its implementation by taking into accounts the common environmental setting and the currently available resources in Indonesia.

It is hoped that the results of the research will be useful as: (1) a source of basic information on the current national hazardous materials emergency management planning status in Indonesia; (2) a description on national plans in the other jurisdictions known to be proved more effective; (3) inputs to policy makers in developing and or improving hazardous materials emergency management plans; (4) a basis for developing an appropriate standard for hazardous materials emergency management plan by either adoption or adaptation; and (5) additional information in the context of science.

The principal methods used in this research comprised desktop/documentation review and survey. Here are the details (1) survey method was used to collect expert opinions on some important aspects of the current national hazardous materials emergency management system through questionnaire instrument; (2) documentation review method was used to identify the essential elements of a hazardous materials emergency management plan or planning criteria through conceptual analysis, continued with expert opinion on establishing the structure of the plan; (3) survey method was used again to obtain professional judgment on the relative importance of the principal elements of a national plan through questionnaire instrument under the procedure of Analytic Hierarchy Process (AHP). The collected data were processed with simple statistical operations A special software was used to process the data obtained under the AHP procedure.

The respondents in this research were selected to represent groups of (I) various government institutions related to hazardous materials emergency management system at national, provincial and local levels; (2) practiclans from various types of industry; (3) experts in environmental, health & safety management from consulting firms and universities. The number of designated respondents was 99 - categorized as the general group - in the survey for some critical aspects of hazardous materials emergency management system, 23 of which were - categorized as the specialized group - selected to participate in the assessment of the relative importance of the system elements. In addition to the research advisor, 3 respondents - known by the author to possess practical experience in either environmental, health & safety, or hazardous materials management systems - selected to participate in developing the structure of the system planning criteria. Each of the small team members consecutively represented a government institution (regulator), a consulting firm (consultant), and a private industrial company (practicion).

The last draft of the questionnaires was first tried out by a selected respondent prior to the final release to the designated respondents. 82 out of the 99 respondents in the general group returned the responded questionnaires. The entire 23 respondents in the special group returned the responded questionnaires completely. However, only 15 respondents have their judgment met the inconsistency rate standard set out in this research, which is 0. l5. The standard maximum limits under AHP procedure is normally 0. 1. The author set out a higher tolerance to the inconsistency rate limit in this research by considering the scarcity of the hazardous materials emergency management experts in the country, available fund, available effective time, and operational aspect of the research.

The results of the research on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system indicate that:
1. The existence of a hazardous materials emergency management system ranked extremely high in the context of environmental management system;
2. The planning component in a national hazardous materials emergency management system is extremely important in determining the effectiveness of an emergency operation when implemented properly;
3. The current need for a national standard for hazardous materials emergency management system and its planning is extremely high;
4. An operational center (focal point) for hazardous materials emergency management is extremely required within a national system;
5. Although there is a government institution already established to serve as a focal point for disaster response at the national level, namely BaKorNas PBP, its popularity is extremely low;
6. A nation-wide standard for personnel qualifications and training curricula is extremely needed to ensure that each personnel assigned to a hazardous materials emergency management system is competent and able to participate effectively in accordance to his/her designated roles;
7. The involvement of the communities' roles in hazardous materials emergency management systems has a strong legal basis in Indonesia as it does in European Union's countries, the US, and Canada, but, the mechanisms or procedures for its implementation are still to be established and promoted.

According to this research, a hazardous materials emergency management system typically consists of provisions for pre-emergency planning organization and resources management, field emergency operations management procedures, post-emergency management, and system correction and/or improvement In addition, the field operations management procedures is judged to have the highest relative importance so that the provisions of the element should be specified more intensively than the other elements within the national plan in Indonesia. On the contrary, the most intensively detailed element within a national plan in the reference jurisdictions is the organizational structure and resources management.
2003
T11163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Retna Komara
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) pasca akreditasi JCI di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2014. Fokus penelitian ini adalah implementasi kebijakan pengelolaan B3 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan stuktur birokrasi. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berdasarkan data dari laporan ronde manajemen dimana banyak temuan-temuan pengelolaan B3 di lapangan pasca akreditasi JCI yang tidak sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan dalam kebijakan pengelolaan B3 dan juga dilihat dari data Unit K3RS dimana terjadi beberapa insiden yang dilaporkan terkait dengan pengelolaan B3 pasca akreditasi JCI. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi tak berstruktur dan telaah dokumen. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan B3 pasca akreditasi JCI di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo belum berjalan dengan baik. Pada faktor komunikasi: Transmisi yang kurang maksimal, ketidakjelasan kebijakan dimana secara isi yang belum lengkap dan penyampaiannya ke lapangan belum optimal serta pelaksanaan kebijakan yang belum konsisten. Selanjutnya, pada faktor sumber daya: SDM, fasilitas dan anggaran masih belum memadai. Pada faktor disposisi implementor yang juga belum baik, para pelaksana kebijakan secara umum kurang cukup kuat memiliki komitmen untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 ini. Terakhir faktor struktur birokrasi: Mekanisme pelaksanaan, koordinasi dan monitoring yang belum berjalan efektif. ......This study was conducted to analyze the implementation of hazardous materials management's policy after JCI accreditation in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 2014. Focus of this research is the implementation of hazardous materials management's policy and factors that influence it, namely communication, resources, disposition and structure bureaucracy. Issues raised in this research report are based on data from the management rounds where many findings in the field of management of hazardous materials after JCI accreditation is not in accordance with the procedures set out in the hazardous materials management's policy is also seen from the data of K3RS unit where there is some incident were reported to be associated with the hazardous materials management's policy after JCI accreditation. This research method is qualitative with data collection techniques using in-depth interviews, observation and unstructured document review. Selection of informants using purposive sampling technique. Analysis of the data in this study using content analysis. The results showed that the implementation of hazardous materials management's policy after JCI accreditation in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo not going well. In the communication factor: Transmission less than the maximum, where policy uncertainty is incomplete contents and its delivery to the field is not optimal and the implementation of policies that have not been consistent. Furthermore, the factor of resources: human resources, facilities and budgets are not sufficient. At the implementor disposition factors that also have not been good, the policy implementers generally have less commitment to perform strong enough to support the implementation of this hazardous materials management's policy. Last, bureaucratic structure factor: Mechanism implementation, monitoring and coordination made that have not been effective.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S57386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharti
Abstrak :
Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja antara lain pemaparan bahan kimia menjadi panting di Indonesia terutama dalam hubungan dengan proses Industrialisasi yang kian meningkat, Proses Industrialisasi mengakibatkan interaksi antara Pekerja dengan Bahan Kimia. Upaya pengendalian pemaparan bahan kimia umumnya ditempuh dengan cara pemantauan lingkungan dan pemantauan biologik. Namun dalam penelitian ini penilaian pemaparan bahan kimia terhadap Pekerja laboratorium menggunakan perhitungan matematis (generic model) dari U.S. Environmental Protection Agency (EPA ,I989) sebagai gambaran awal dari keadaan Pekerja dalam rangka perlindungan kesehatan Pekerja . Penelitian ini bertujuan uniuk mengetahui Identifikasi dan Proses Pemaparan bahan kimia pada Pekerja laboratorium Bidang Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Palembang . Menurut Informasi dan Pedoman Penilaian Pemaparan yang dipublikasikan EPA , faktor- faktor yang mempengaruhi pemaparan pada Pekerja laboratorium antara lain Sumber Bahan Kimia , Proses Pemaparan dan Pekerja yang terpapar. Metode penelitian ini adalah Diskriptik Analitik , dengan jumlah Responden (Pekerja) 31 orang yang berasal dari Bidang Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Palembang . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sumber bahaya adalah sifat mudah terbakar,mudau meledak dan sifat korosif J iritant dari bahan kimia yang banyak digunakan dalam analisa laboratorium Bidang Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya dengan rute pemaparan tunggal atau kombinasi inhalasi, dermal, dan ingesti. Hasil perhitungan generik model bahan kimia yang masuk dalam tubuh relatif masih aman karena konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam analisa laboratorium kecil ( 0,002 mgll - 2,5 mg/l ) sehingga bahan kimia yang intake kedalam tubuh Pekerja juga kecil. Agar program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat terlaksana diharapkan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan mengimplementasikan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja antara lain adanya Tim K3, penyediaan Alat Pelindung diri (APD) yang sesuai, pemeliharaan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan dan peningkatan kualitas pemeriksaan kesehatan Pekerja Daftar bacaan : 33 ( 1980 - 2002 )
Risk Assessment Exposure Chemical Substances to Laboratory Worker in Food Testing Sector and Hazardous Materials Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Palembang 2001The problem Occupational Health and Safety among the other exposure with chemical substances became important in Indonesian with the relation Industry process increased. The control effort exposure chemical substances always in path way at environment monitoring and biologic monitoring . In this research exposure assessment chemical substances to laboratory worker use calculation equation generic model from US. EPA ( 1989 ) as the first step to see healths condition to protect health worker Food testing sector and hazardous material Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Palembang . This research purpose to know identify and exposure assessment chemical material to laboratory worker food testing sector and hazardous materials Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Palembang . According information and guidance exposure assessment which EPA publication, the factors which influence exposure to laboratory worker among others chemical material source , exposure process and and exposure have by the workers. The method of this research are descriptive Analitic with totally 31 respondence that came from food testing sector and hazardous materials with path way exposure are inhalation, dermal and ingestion. The result generic model calculation that chemical substances intakes to body relatively still safe because chemical substances's concentration are use in laboratory analysis was little ( 0,002mg!! - 2,5 mg/1 ) there fore chemical substances intake to body worker little too. In other to Program Occupational Health and Safety can carried out Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan to implementation Occupational Safety and Health Management Sistem with makes K3 team, prepare personal protection equipment , protect the work's environtment in other regulation and increase the quality of the health worker . Reference : 33 ( 1980 - 2002 )
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 10786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Aji Saputra
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai peran Badan POM terhadap upaya perlindungan konsumen produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Produk kosmetik yang aman harus memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Bahan yang digunakan untuk kosmetik haruslah bahan yang memenuhi ketentuan mutu dan keamanan sehingga tidak membahayakan konsumen, sesuai dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Badan POM sebagai badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif atau dikenal pula dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan aspek hukum dalam perlindungan konsumen produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Hasil dari penelitian ini menyarankan adanya koordinasi Badan POM dan pemerintah, khususnya dengan instansi Direktorat Bea dan Cukai, Polisi dan Pengadilan, dengan menerapkan prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam upaya perlindungan hukum konsumen terhadap produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Selain itu, harus lebih konsisten dan tegas dalam menerapkan ketentuan hukum yang berlaku agar penerapan sanksi dapat memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.
ABSTRACT
This thesis discusses the role of drugs and food examiner department to safeguard consumer cosmetic products containing hazardous materials. Safe cosmetic products must meet the provisions of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection and Law No. 36 of 2009 on Health, as well as other legislation related. The materials used for cosmetic ingredients must comply with quality and safety that does not harm the consumer, in accordance with regulations issued by drugs and food examiner department as a body tasked to oversee food and drug trafficking. This study uses a normative or also known as legal research literature. This study is also referred to as fieldwork descriptive as it aims to describe aspects of consumer protection laws in cosmetic products that contain hazardous materials. The results of this study suggest the existence of coordination drugs and food examiner department and the government, particularly the office of the Directorate of Customs and Excise, the Police and the Courts, by applying the principles of coordination, integration, and synchronization in the consumer legal safeguards against cosmetic products that contain hazardous materials. Furthermore, it should be consistently and decisively in implementing the provisions of applicable law that sanctions can provide a deterrent effect to businesses that commit violations.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fajrul Choir
Abstrak :
Dalam pemberantasan perdagangan ilegal narkoba transnasional diperlukan adanya kerjasama dari para penegak hukum di tiap negara. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang perbatasannya melintang luas baik darat dan laut sehingga rentan untuk dijadikan jalur perdagangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Polis Di Raja Malaysia (PDRM) bekerjasama di bawah sebuah nota kesepahaman yaitu Memorandum of Understanding on Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances, Precursors, Hazardous Materials and Enchancement of Police Cooperation. MoU tersebut memiliki masa aktif sejak pengesahannya di tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Penelitian dilakukan secara kualitatif deskriptif untuk menggambarkan efektivitas implementasi kerjasama antara POLRI dan PDRM di bawah MoU beserta hambatannya. Dengan menggunakan teori Neoliberal Institusional dalam kaitannya dengan ilmu kepolisian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama melalui MoU tersebut efektif dalam pertukaran informasi dan penyelidikan mengenai jaringan-jaringan narkoba yang saling terlibat di dua negara. Terdapat hambatan internal dan eksternal dalam implementasinya. Hambatan internal yaitu tumpang tindihnya kepentingan instansi dalam negeri. Hambatan eksternal yaitu komunikasi dengan PDRM, kurangnya koordinasi dengan pihak PDRM dan satuan regional menyebabkan informasi masih memiliki kekurangan detil. Oleh karena itu, hambatan tersebut dapat menjadi evaluasi dan acuan untuk kerjasama selanjutnya yang akan dilakukan oleh POLRI dan PDRM. ......In order to combat illicit trafficking in narcotic drugs, cooperation between law enforcement in countries involved is necessary. Indonesia and Malaysia shared vast land and sea borders and the borders can be used as a trade route. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) and Polis Di Raja Malaysia (PDRM) signed on a cooperation to combat illicit trafficking of narcotic drugs through Memorandum of Understanding on Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Psychotropic Substances, Precursors, Hazardous Materials and Enchancement of Police Cooperation, the MoU is valid since 2005 to 2010. This research uses descriptive qualitative method to describe the implementation and obstacles of the MoU. Neoliberal Institutional theory is used in relation to police science. The results of this research showed that the cooperation through the MoU was effective in exchanging information and investigating drug syndicate that were involved in two countries. However, there are internal and external obstacles in its implementation. The internal obstacles are overlapping agencies interests. External obstacles namely communication with PDRM, the lacking coordination with PDRM and its regional units causes the undetailed information. Therefore, these obstacles can be utilized as an evaluation and reference for further cooperation to be carried out between POLRI and PDRM.
Jakarta: Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library