Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreas Prayuda Aprindo
Abstrak :
Perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditur atau perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur adalah melalui lembaga actio pauliana. Actio Pauliana dilakukan oleh kreditur untuk melindungi budel pailit dari perbuatan debitur yang tidak diwajibkan untuk dilakukannya atau dilarang sebelum putusan pailit diucapkan. Mengingat pentingnya penerapan actio pauliana sebagai instrument perlindungan bagi para kreditur maka, berdasarkan latar belakang penelitian ini menghasilkan tiga (3) permasalahan yang dibahas, yakni: 1) Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana 2). Bagaiamana perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana? 3). Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur? Adapun metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini yakni menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan field research. Berdasarkan penelitian hukum dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sistem pembuktian dalam actio pauliana adalah sistem pembuktian terbalik dimana dalam hal ini membebankan pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur yaitu debitur pailit apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam waktu sebelum putusan pailit diucapkan. Sebaliknya, jika kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator dengan membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut merugikan harta pailit. (2) Perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana yaitu kreditur mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan pailit yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur dan bagi pihak ketiga memberikannya hak untuk tampil sebagai Kreditur konkuren untuk mendapatkan hak-haknya. (3) Kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketidakjelasan pengadilan mana yang berwenang memutus perkara actio pauliana, pembuktiannya yang tidak sederhana, tidak adanya tolak ukur itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, legal standing kurator yang lemah, dan kemungkinan pengalihan aset ke pihak lain sehingga mempersulit kurator dalam melakukan pembuktian. ......The protection provided by law for creditors or debtor actions that can harm creditors is through the Pauliana Action Agency. Actio Pauliana is carried out by the creditor to protect the bankrupt bankrupt from the actions of the debtor that are not required to be carried out or prohibited before the bankruptcy decision is pronounced. Given the importance of implementing actio pauliana as an instrument of protection for creditors, based on the background of this study, three (3) issues were discussed, namely: 1) How can the system of proof for an act of a debtor be declared to fulfill the requirements for the validity of actio pauliana 2). How is the legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution? 3). What are Actio Pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors?The research method used in this research is using a normative juridical method which is descriptive analytical in that it is a legal research of literature which is carried out by examining legal materials, legal principles and legal regulations that are related to the subject matter. Data collection techniques were carried out by means of library research and field research.Based on legal research, it can be concluded as follows: (1) The evidentiary system in actio pauliana is a reversed evidentiary system which in this case imposes a burden of proof on the legal actions of the debtor, namely the bankrupt debtor if the debtor's legal actions were carried out before the bankruptcy decision was pronounced. Conversely, if the curator considers that the legal action is detrimental to the interests of creditors or bankrupt assets, then it is the curator who is obliged to prove by proving that the legal action is not obligatory to be carried out by them and the legal action is detrimental to the bankrupt assets. (2) Legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution, namely the creditor has the right to submit an cancellation to the court of legal actions carried out by the debtor before being declared bankrupt which results in losses for the creditor and for third parties gives him the right to appear as a concurrent creditor for get their rights. (3) Actio pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors is unclear which court has the authority to decide on the actio pauliana case, the evidence is not simple, there is no good faith benchmark in Law Number 37 of 2004, weak legal standing of curators, and the possibility of transferring assets to other parties, making it difficult for the curator to prove.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Sari Ujung
Abstrak :
Kurator memiliki peranan yang penting dalam suatu kepailitan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pasal 1 butir 5 Undangundang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam melaksanakan tugas pemberesan dan pengurusan harta pailit, Kurator harus independent dan tidak berpihak terhadap salah satu pihak. Akan tetapi dalam prakteknya tugas ini tidak mudah dan dapat dijalankan dengan mulus. Sulit sekali menjaga hubungan yang seimbang antara Kurator dengan Kreditor, Kurator dengan Debitor dan Kurator dengan Hakim Pengawas. Kurator dalam melaksanakan tugasnya harus dapat mendata/mengumpulkan harta Debitor, agar dapat membayarkan utang-utang Debitor terhadap para Kreditor. Dalam pelaksanaannya bisa saja Debitor tidak kooperatif, sehingga Kurator kesulitan menjalankan tugasnya. Kurator yang berpihak kepada Debitor dengan cara menutup-nutupi keberadaan harta pailit dapat berakibat tidak terbayarnya utang Debitor terhadap Kreditor. Kurator yang berpihak kepada Kreditor, sehingga dalam penjualan benda-benda harta pailit, tidak melelangnya dengan harta yang patut juga dapat merugikan Debitor.Independensi Kurator sangatlah penting dalam rangka pelaksanaan tugas Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit pada suatu kepailitan, agar tugasnya dapat terlaksana dengan baik. Akibat dari Kurator yang tidak independent adalah tidak tercapainya keadilan dalam suatu pemberesan dan pengurusan harta pailit yang menjadi tugas Kurator. Oleh sebab itu sebelum menerima penunjukannya sebagai Kurator dalam suatu kepailitan, Kurator harus mengukur kemampuannya apakah mampu mengurus dan membereskan harta pailit, memeriksa apakah ada benturan kepentingan dengan salah satu pihak dan yakin dapat bersikap adil terhadap setiap pihak.
Receiver plays a significant role in a bankruptcy proceeding for administration and settlement proceedings of the bankrupt estate. Section 5 of Article 1 of Law number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Moratorium stipulates that the Receiver shall mean the Probate Court or an individual appointed by court for the purpose of administration and settlement of the bankrupt-Debtor?s assets under supervision of the Supervisory Judge. In performing the settlement and administration process upon the bankrupt estate, the Receiver must be independent and not in favour of either party. However, in practice, this stand is not easily and not smoothly carried out. It is a very heavy task to keep in balance positions between the Receiver and Creditors, Receiver and Debtor, and Receiver and the Supervisory Judge. The Receiver, in performing its duties, must be able to collect/gather the Debtor?s assets for the purpose of repayment of the Debtor?s debts to Creditors. In practice, it is possible that the Debtor is not cooperative and as a consequence, the Receiver will deal with barriers in performing its duties. The Receiver that stands for the Debtor by way of concealing the existence of the bankrupt estate may cause the Debtor?s debts owed to Creditors being unpaid. Otherwise, the Receiver that stands for Creditors which, in the disposal of the bankrupt estate, does not auction any appropriate assets will also bring about loss towards Debtor. Independence of the Receiver is crucial for the performance of the Receiver?s duties in administering and settling the bankrupt estate in a bankruptcy proceeding, in order that the duties of the Receiver can be performed well. The consequence of the Receiver which is not independent may cause fairness in the settlement and administration proceedings of the bankrupt estate under the Receiver?s duties can not be attained. Therefore, before accepting its appointment as a Receiver under a bankrupt proceeding, the Receiver must be aware of its capabilities in administering and settling the bankrupt estate and to examine whether there will be conflict of interest with either party, and certain that being able to be fair towards parties.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24713
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Gaffar
Abstrak :
Kepailitan diharapkan menjadi upaya terakhir penyelesaian masalah utang-piutang yang dapat dilaksanakan dengan mudah, cepat dan efektif. Untuk itu Undang-Undang Kepailitan menggunakan lembaga lelang sebagai alternatif utama untuk penjualan (eksekusi) harta pailit. Di samping itu jika lelang tidak tercapai dimungkinkan dilakukan penjualan di bawah tangan oleh Kurator dengan izin Hakim Pengawas. Meskipun pada dasarnya lelang mempunyai asas-asas yang sangat tepat sebagai sarana penjualan harta pailit, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak selalu demikian. sehingga menimbulkan tambahan biaya yang akan membebani harta pailit. Jadi sering terjadi sudah beberapa kali dilelang, harta pailit, tidak terjual. Dalam hal jika sudah dilakukan lelang, tidak terjual juga, maka Undang-Undang Kepailitan memberikan alternatif penyelesaian dengan cara penjualan di bawah tangan, yang harus dengan izin Hakim Pengawas. Undang-Undang Kepailitan sendiri tidak memberikan kriteria apa dan bagaimana yang dimaksud dengan penjualan di bawah tangan. Sehingga dalam prakteknya, Kurator mencari jalan keluar sendiri, yang mana agar bisa diterima oleh Hakim Pengawas dengan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang ada. Yang dilakukan oleh Kurator untuk melakukan penjualan di bawah tangan didahului dengan melakukan penilaian atas harta pailit yang dilakukan oleh Penilai Independen, meminta persetujuan para Kreditor, sehingga akan didapat harga yang wajar.
Bankruptcy becomes significant problem in Indonesia as the monetary and economic crisis in 2008. Bankruptcy is expected to be a last resort debt-settlement issues that can be implemented easily, quickly and effectively. For that use the Bankruptcy Act as the main alternative auction institutions for bankruptcy asset sales. Besides, if the auction is not possible to be achieved unofficial public auction (direct sale) with the permission of the Supervisory Judge. Although basically the auction has principles that is appropriate as a means of bankruptcy asset sales, but its execution was not always so. Often there is an auction sale of the assets of bankrupt (bankruptcy assets execution) does not occur because there are no bids, or bidders only one person, resulting in additional costs which will burden the bankruptcy assets. This happens because the auction is not fully understood by society and the lack of dissemination of information about the auction. In case if you've done an auction, not sold as well, so by the Bankruptcy Act provide alternative solutions by way of sale unofficial public auction (direct sale) to the assets of bankrupt, which should be with the permission of the Supervisory Judge. Bankruptcy Act itself does not provide criteria for how and what is meant by the sale under the counter. Thus, in practice, the curator looking for a way out themselves, which in order to be accepted by the Supervisory Judge rules to not infringe existing legislation. Conducted by the curator to make direct sale preceded by conducting assessments of the bankruptcy assets conducted by the Independent Appraiser, requested approval of its creditors, which will get a fair price.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27421
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Mariam
Abstrak :
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitor dimasukkan dalam harta pailit sejak putusan tersebut dikeluarkan. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan (Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004). Pengurusan harta pailit dilakukan oleh kurator yang ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit oleh kurator bersifat seketika, berlaku saat itu juga terhitung sejak putusan pailit diucapkan. Salah satu tugas kurator dalam melakukan pengurusan harta pailit adalah penjualan harta tersebut. UUKPKPU dalam Pasal 185 mengintrodusir dua cara penjualan harta pailit (asset-aset debitor), menjual didepan umum dan dibawah tangan dengan izin hakim pengawas. Penjualan dibawah tangan harta pailit merupakan penjualan tanpa terlibatnya pejabat kantor lelang. Sedangkan pada dasarnya penjualan harta pailit harus dilakukan secara penjualan lelang. Salah satu dasar hukumnya lelang adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Sedangkan penjualan dibawah tangan tidak diatur jelas dalam UUKPKPU maupun di Undang-Undang lain dalam hal tata cara penjualan dibawah tangan itu sendiri. Kekosongan Hukum ini yang beresiko menimbulkan sengketa dikemudian hari atas kurator yang beritikad buruk. Tesis ini membahas mengenai kekosongan hukum yang terjadi pada UUKPKPU dalam hal penjualan dibawah tangan harta pailit dan upaya hukum yang ideal dalam menyelesaikan sengketa pengurusan harta pailit. ......Bankruptcy assets since the decision was issued. Bankruptcy covers the entire wealth of the debtor at the time of the declaration of bankruptcy pronounced the decision of as well as everything that is obtained during the bankruptcy (Article 21 of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment). Handling bankruptcy assets made by curators set out in the decision of the bankruptcy declaration. Implementation of the maintenance of bankruptcy assets by the curator is instantaneous, with immediate effect as from the bankruptcy decision is pronounced. One task of the curator in performing the maintenance of bankruptcy assets is the sale of such property. Law on Bankruptcy and Suspension of Payment Article 185 introduces two ways of selling bankruptcy assets (the debtor's assets), sold in public and under the arms with the permission of the supervisory judge. Sales under the hands of bankruptcy assets without the involvement of a sales office official auction. While basically the sale of bankruptcy assets must be made in auction sales. One of the legal basis auctions Minister of Finance Regulation No. 27 / PMK.06 / 2016 on Guidelines for the Implementation of the Auction. While sales are not regulated under the hands clearly in bankruptcy law and suspension of debt payments and in other Laws on the manner of sales under the hand itself. Emptiness This law is likely to cause a dispute later on curators who act in bad faith. This thesis discusses the legal vacuum that occurred on bankruptcy law and the postponement of debt payment obligations in terms of sales under the hands of bankruptcy assets and remedies are ideal in resolving disputes and the maintenance of bankruptcy assets.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariq Irsyad Maulana
Abstrak :

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan data pribadi sebagai kekayaan debitur pailit dan dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat pada Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative, sehingga penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Data pribadi adalah semua data yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diidentifikasi. Dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi dan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang menyimpan data pribadi masyarakat, mengakibatkan data pribadi memiliki nilai ekonomis yang memberikan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan yang menyimpan data. Apalagi saat ini belum terdapat perlindungan terkait data pribadi apabila perusahaan penghimpun dan/atau pengelola data tersebut dinyatakan pailit. Hasil penelitian menyarankan bahwa diperlukan perubahan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau menerbitkan undang-undang terkait perlindungan data pribadi; Membatasi penjualan data hanya sebatas pada data yang telah diolah atau dianalisis tanpa mengungkapkan data pribadi konsumen dan melarang penjualan data pribadi; Mengawal dan membatasi setiap praktik-praktik penjualan data yang dilakukan; Mendirikan ombudsman perlindungan data atau memberikan wewenang pada Ombudsman Republik Indonesia dalam rangka melindungi data pribadi konsumen.

 


The focus of this study discuss about the provisions of personal data as the asset of debtors and compared with the provisions in the United States. This study use normative juridical research methods, and use an approach to the laws and regulations and court decisions. Personal data is all data relating to individuals that are identified and can be identified. Due to the rapid development of technology and the increasing number of technology-based companies that collect personal data, resulting in personal data has an economic value that gave income to companies that collect data. Moreover, currently there are no protection related to personal data if the collecting companies and/or data managers are declared bankrupt. The results of the study suggest that changes to Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment or issuing laws related to personal data protection; Limiting data sales is limited to data that has been processed or analyzed without revealing consumer personal data and prohibits the sale of personal data; Supervise and limit any data sales practices that are carried out; Establish a data protection ombudsman or authorize the Ombudsman of the Republic of Indonesia in order to protect consumers personal data.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikael Jose Martin
Abstrak :
Pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun 2020 silam telah menyebabkan gejolak terhadap keadaan ekonomi dunia. Pandemi COVID-19 tersebut diikuti dengan kejadian-kejadian tak terduga lainnya seperti perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan keadaan ekonomi global tidak kunjung stabil. Tingkat kepailitan di berbagai belahan dunia dan tidak terkecuali di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan, perusahaan-perusahaan besar bangkrut akibat gejolak ekonomi global ini. Dewasa ini, Hak Kekayaan Intelektual semakin diperhitungkan sebagai sebuah kekayaan atau aset perusahaan yang memiliki nilai. Hal tersebut ditunjukan dalam keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan mengenai Hak Kekayaan Intelektual sebagai objek jaminan utang. Perusahaan-perusahaan yang memiliki hak kekayaan intelektual sebagai asetnya tentu tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi global yang mungkin akan semakin parah di tahun-tahun kedepan. Hal ini menimbulkan masalah apabila perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya mengalami Kepailitan. Bagaimana jika ada lisensi terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang mereka miliki sedangkan Hak Kekayaan Intelektual tersebut menjadi Harta Pailit dan berstatus objek sengketa. Apa akibatnya terhadap pihak-pihak yang memiliki lisensi atas Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Melalui penelitian ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang akan timbul jika benar hal tersebut terjadi. ......The COVID-19 pandemic that occurred in 2020 has caused turmoil in the world economy. The COVID-19 pandemic was followed by other unexpected events such as the Russia-Ukraine war which caused the global economy to remain unstable. Bankruptcy rates in various parts of the world including Indonesia has experienced a significant increase, large companies went bankrupt as a result of this global economic turmoil. Today, Intellectual Property Rights are increasingly considered as a company's property or assets that have value. This is shown in the seriousness of Indonesian government in implementing policies regarding Intellectual Property Rights as objects of debt guarantees. Companies that have intellectual property rights as their assets are certainly not free from the effects of the global economic crisis which could get worse in the coming years. This creates a problem if these companies eventually go bankrupt. What if there is a license to their Intellectual Property Rights while the Intellectual Property Rights becomes a Bankruptcy Asset and in a status of dispute object. What are the consequences for the parties who have licenses for these Intellectual Property Rights. Through this research, these problems will be analized should this matter eventually occur.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annysa Ayu Putri
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai transparansi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Adapun transparansi tersebut merupakan kewajiban hukum yang secara tersirat diamanatkan oleh Undang-Undang Kepailita dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu juga merupakan kewajiban yang diatur di dalam Standar Profesi Kurator. Penulis akan membahas transparansi kurator dan akibat hukum apabila transparansi tersebut tidak diterapkan, dengan meninjaunya dari suatu Putusan No. 07/G.Lain-Lain/2015/PN.Niaga.SBY Kemudian, penulis akan membahas apakah Surat Edaran Mahkamah Agung no. 2 tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparasi Penanganan Perkara Kepailitan di Pengadilan SEMA No. 2 Tahun 2016 dapat menjawab ketidaktransparanan yang terjadi para prakteknya. Pada akhirnya penulis memperoleh kesimpulan bahwa apabila transparansi tidak diterapkan oleh Kurator selaku pihak yang menguasai dan memiliki informasi mengenai harta pailit, akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kreditor. Dan SEMA No. 2 Tahun 2016 tersebut dalam pengaturannya berusaha menjawab permasalahan transparansi yang ada, namun tidak menyeluruh, bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan baru. ...... This thesis is discussing about transparency of a trustee in the management and settlement of bankruptcy assets. Trustee 39 s obligation to be transparent is implicitly mandated by Law no. 2 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Settlement Obligation. Moreover, trustee obligation to be transparent is regulated under trustee of professional standard. In this thesis, the writer will discuss trustee obligation and the legal consequences, whether the transparency is applied by the trustee, by reviewing The Court Decision Number 07 G.Lain Lain 2015 PN.Niaga.SBY. Subsequently, the writer will discuss whether the Circular Letter of Supreme Court No. 2 of 2016 concerning The Improvement of Efficiency and Transparency in Handling Bankruptcy Case in The Court can resolve lack of transparency which happen in practices. Eventually, the writer come to the conclusion that if the trustee as a party that controls and has all the information regarding bankruptcy assets, doesn 39 t apply transparency, it will lead into legal uncertainty for the creditors. In regards to this, Circular Letter of Supreme Court No.2 of 2016 in its regulation is trying to solve transparency problems that exist, however it doesn 39 t solve thoroughly, even potentially will raise new problems.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Ridha Kinasih
Abstrak :
Merek merupakan suatu ‘tanda’ yang membedakan suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Peran suatu merek sangat penting dalam menunjang pendapatan pelaku usaha terhadap kelangsungan kegiatan usahanya. Merek yang didaftarkan oleh pemiliknya akan melahirkan suatu hak atas merek, yang terklasifikasi ke dalam kelompok hukum kekayaan absolut atau hak kebendaan berupa benda bergerak tak berwujud, sehingga hak atas merek yang sudah didaftarkan akan dilindungi oleh hukum. Terbuka kemungkinan bahwa pemilik merek mengalami kepailitan yang dinyatakan melalui putusan pengadilan niaga. Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, merek yang dimiliki oleh pemilik merek, yang kemudian menjadi debitor pailit sekaligus, dapat dimungkinkan tergolong ke dalam harta pailit yang menjadi jaminan pembayaran utangnya kepada para kreditornya, sehingga harta pailit tersebut menjadi di bawah pengampuan seorang kurator. Proses kepailitan dapat diikuti dengan tahap pemberesan harta pailit yang ditujukan sebagai penguangan aktiva untuk tujuan pembayaran atau pelunasan utang, yang dapat dilakukan secara penjualan di muka umum saja atau dapat pula dilanjutkan dengan penjualan di bawah tangan. Hak atas merek, sebagaimana termasuk ke dalam kelompok hak kebendaan berupa benda tak berwujud, memiliki nilai yang dapat meningkatkan nilai harta pailit debitor. Akan tetapi, sifat hak atas merek yang tidak berwujud tersebut, mempersulit kurator ataupun pihak calon pembeli merek untuk menentukan harga wajar dari merek tersebut dalam hal akan dilakukan pemberesan. Dengan demikian, diperlukan mekanisme penilaian oleh penilai publik terhadap merek atas harta pailit debitor untuk kepentingan tahap pemberesan harta pailit. Penulis mengambil contoh kasus-kasus aktual, yaitu kasus kepailitan yang dialami oleh AstroTurf LLC dan Polaroid Corporation. Dari kasus-kasus tersebut, penulis akan menganalisis keabsahan dan pengalihan merek sebagai harta pailit, proses penilaiannya, dan manfaat yang didapatkan oleh debitor pailit dengan dilakukannya penilaian terhadap merek yang bersangkutan. ......Trademark is a ‘sign that distinguish goods and/or services produced by a person or a legal entity in a market of goods and/or services. The role of a trademark is very significant in supporting business’ income and for the continuity of its business activities. A trademark that is registered by the owner will bring forth a trademark right, which is classified under property law in the form of intangible assets, therefore the trademark rights will be protected by law. There is a possibility that the trademark owner runs into bankruptcy, which is declared through commercial court decision. Thus, based on Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, a trademark owned by the owner, who later becomes a bankrupt debtor at the same time, may be classified as a bankruptcy asset which is a guarantee for payment of its debts to its creditor, therefore the bankruptcy asset will be under supervision of a trustee. The process of bankruptcy can be followed by the stage of liquidation, which is intended as the cashing out of the assets for the purpose of debt repayment, which can be done by auction only or be continued with underhand sales. The trademark right, as included in the category of property law in the form of intangible assets, has a value that can increase the value of the debtor’s bankruptcy assets. However, the intangible nature of such rights makes it difficult for the trustee or the prospective buyer of the trademark, to determine the fair price of the trademark in a liquidation process scenario. The author takes examples of actual cases; the bankruptcy ran to by AstroTurf LLC and Polaroid Corporation. From these cases, the authors will analyze the legality and transfer of the trademark as bankruptcy assets, the appraisal process, and the benefits obtained by conducting a trademark valuation practice.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilinda Theresia
Abstrak :
Koperasi Pandawa Mandiri Group berdasarkan Putusan Nomor 37/Pdt-Sus-PKPU/2017/PN Niaga Jkt.Pst dinyatakan Pailit. Kemudian, dalam Putusan Nomor 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk Salman Nuryanto selaku pemilik Koperasi Pandawa juga divonis oleh Majelis Hakim telah melakukan tindak Pidana dan Majelis Hakim juga memutuskan bahwa seluruh barang bukti yang disita oleh penyidik yang merupakan bagian boedel pailit, disita dan dirampas untuk negara. Sebagai bagian dari penelitian yuridis normatif, penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum harta pailit debitor dalam hal terjadinya sita pidana terhadap kepailitan oleh pengadilan. Dirampasnya benda yang merupakan bagian dari boedel pailit yang akan digunakan untuk melakukan pelunasan piutang para kreditor menimbulkan pertentangan. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini, para kreditor tidak dijamin haknya untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya sementara para kreditor merupakan pihak yang paling berhak untuk mendapatkan pelunasan piutang dari kekayaan yang dimiliki oleh debitor. Seharusnya, perlu dipertimbangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak lain terhadap suatu benda hasil kejahatan sebelum memutuskan melakukan sita dan merampas untuk negara atas harta pailit atau benda-benda hasil kejahatan tersebut.
Koperasi Pandawa Mandiri Group based on Decision Number 37/Pdt-Sus-PKPU/2017/PN Niaga Jkt.Pst was declared bankrupt. Then, in Decision Number 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk Salman Nuryanto as the owner of the Koperasi Pandawa was also sentenced by the Panel of Judges for committing a Criminal Act and the Panel of Judges also decided that all evidence seized by investigators who were part of the bankruptcy proceedings, confiscated and confiscated for the country. As part of normative juridical research, this paper discusses the legal position of the debtor's bankrupt assets in the event of a seizure of bankruptcy by the court. The seizure of objects that are part of the bankruptcy loan that will be used to settle creditors' debts has caused conflict. It can be concluded that in this case, the creditors are not guaranteed the right to get the repayment of their receivables while the creditors are the party most entitled to get the payment of debts from the wealth owned by the debtor. Supposedly, it is necessary to consider the rights possessed by other parties to an object resulting from a crime before deciding to seize and confiscate for the state the bankrupt assets or objects resulting from the crime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T55059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
Abstrak :
Skripsi ini meninjau mengenai status kepemilikan dari satuan rumah susun yang dijual melalui perjanjian pengikatan jual beli PPJB. Permasalahan terjadi ketika penjual dijatuhi putusan pailit dan penyerahan secara yuridis belum dilaksanakan. Pokok pembahasan skripsi ini berkisar pada proses peralihan hak milik atas satuan rumah susun dari penjual ke pihak pembeli satuan rumah susun, status hukum perjanjian pengikatan jual beli PPJB atas satuan rumah susun yang sudah dibayar lunas dan satuan rumah susun telah dikuasai pembeli dan pertimbangan hakim dalam putusan No. 06/ Plw/ Pailit/ 2015/ PN.Niaga.Sby jo No. 20 /Pailit/ 2011/ PN.Niaga.Sby. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peralihan kepemilikan atas satuan rumah susun terjadi setelah dilakukan penyerahan secara yuridis yakni melalui pembuatan Akta Jual Beli menurut penjelasan pasal 44 ayat 1 UU No 20 Tahun 2011 sedangkan PPJB merupakan perjanjian jual beli dengan sifat obligatoir-konsensual yang tunduk pada KUHPerdata sehingga baru mengatur mengenai hak dan kewajiban di antara para pihak. Dengan adanya kepailitan yang dialami oleh pihak penjual, satuan rumah susun meskipun telah dibayar lunas dan diserahkan secara nyata kepada pembeli masih termasuk ke dalam harta pailit penjual.
This thesis views the ownership status of condominium units of which were sold through Preliminary Sales Agreements PSA . Issues regarding such matter existed when the Seller declared Bankrupt yet the juridical transfers of the units have not been made. The core studies of this thesis include condominium units transfer of ownership process, legal status of the PSA of the condominium units whereas the prices have been fully paid and the units have been physically handed over, and the considerations by the decision under the registration number 06 Plw Pailit 2015 PN.Niaga.Sby jo No. 20 Pailit 2011 PN.Niaga.Sby. Research method used within this thesis is the juridical normative method with secondary data sources. Such research shown that the juridical transfer of units made final the ownership transfer of respective units which takes form in the making of Sales Deed SD as how it is governed in the elucidation of Article 44 verse 1 Law Number 20 Year 2011. Whilst PSA on the other hand is merely a sales agreement with the nature of obligatory consensual which is subject to the Indonesian Civil Code ICC rulings, therefore it only settles both parties rsquo rights and duties. The bankrupt state of the seller caused each condominium units, thus their prices have been fully paid and physically handed over to the buyers, subject to the seller rsquo s bankrupt property.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66359
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>