Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frankfurt am Main : Europaische Verlagsanstalt, 1968
Jer 914.3 Put d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan
ini bertujuan untuk mengetahui makna emansipasi wanita yang disampaikan R. A. Kartini pada
buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami emansipasi wanita yang
ada dalam pemikiran Kartini dan tidak terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasi makna emansipasi
wanita. Pada tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi hermeneutika Jurgen
Habermas. Habermas menyampaikan bahwa pemahaman dibagi menjadi tiga kelas ekspresi yakni bahasa
atau linguistik, tindakan atau kegiatan dan pengalaman. Data yang dikumpulkan penulis dilakukan dengan
mengolah dokumentasi, studi pustaka dan menelusuri data online. Sementara untuk analisis data, penulis
melakukan kategorisasi dan reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan. Penulis menguji keabsahan
data dengan menggunakan bahan referensi dan mengadakan member check. Hasil penelitian pada tulisan ini
adalah pemahaman emansipasi wanita dalam pemikiran R. A. Kartini yang tercantum pada buku Habis Gelap
Terbitlah Terang, memiliki dua keinginan. Bagi Kartini keinginannya sebagai perempuan adalah untuk bebas
dan mandiri. Lebih jelasnya adalah pertama, sebagai perempuan Kartini ingin diberi kesempatan mengenyam
pendidikan di bangku sekolah. Keinginan Kartini yang kedua adalah menolak adanya pernikahan poligami.
Kartini menulis untuk memperjuangkan emansipasi wanita. Pemikiran serta tindakan Kartini seperti ini
tidak dapat lepas dari latar belakangnya yang merupakan anak selir dan berasal dari golongan bangsawan.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah perjuangan untuk bebas mengenyam pendidikan bagi perempuan dan
penolakan atas pernikahan poligami. Dalam perjuangannya, Kartini menggunakan sastra sebagai alat untuk
mencapai hal tersebut. Pengalaman dan latar belakang Kartini sebagai anak selir menjadi alasan kuat dalam
memperjuangkan emansipasi wanita. Tidak hanya itu, adat Jawa yang terlalu mengekang perempuan pun
turut memotivasi Kartini untuk berjuang membebaskan diri atas nama perempuan."
384 JKKOM 3:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Dwi Prasetyo
"Skripsi ini membahas mengenai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP merupakan sistem kurikulum nasional yang diselenggarakan di setiap sekolah formal tingkat dasar dan menengah. Skripsi ini menelaah relevansi antara KTSP dengan Teori Komunikasi Jurgen Habermas. Serta kaitannya dengan permasalahan ideologi di dalam aspek pendidikan.

Abstract
This graduation project is about to explain KTSP. KTSP is a national curriculum that organized in level basic and elementary formal school. This graduation project is about to analyze relevance between KTSP and Habermas' theories of communication. And it's connection with problem of ideologies in aspect of education."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S222
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Borradori, Giovanna
Jakarta: Kompas, 2005
303.625 BOR f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
"Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung.
Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan.
Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi.

This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact.
Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent.
The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Anindia Alif Hexagraha
"ABSTRAK
Kepentingan publik merupakan klaim dengan dua sisi. Pemerintah kerap menggunakannya untuk menerapkan program perencanan ruang tanpa konsen dari masyarakat terdampak. Di sisi lainnya, masyarakat juga menggunakan dalil kepentingan publik untuk membela haknya yang terdampak. Gagasan keadilan spasial lahir dari tradisi intelektual yang memiliki kesadaran tinggi akan parahnya ketidakadilan di ruang-ruang urban dan demikian menuntut rekonsepsi radikal terhadap ruang, pemerintahan, dan penataan ruang. Tradisi intelektual yang paling berpengaruh dalam keadilan spasial adalah Ruang Publik dari Habermas, Hak atas Kota dari Harvey, dan Produksi Ruang dari Lefebvre yang menekankan pada partisipasi publik yang aktif dalam pembentukan kebijakan urban khususnya pelibatan dari kelompok yang termarjinalkan karena mengalami ketidaksetaraan yang diciptakan oleh kebijakan-kebijakan urban yang tidak berkeadilan.

ABSTRACT
The idea of public interest in spatial planning is two fold. The government often uses it to enforce spatial plan program without the consent of the affected groups. On the other hand, the affected groups also use it as their defense to protect their damaged rights. The idea of spatial justice is derived from progressive intellectual tradition that is highly aware of the severeness of injustice in urban spaces and hence demands radical reconception of spaces, governance, and spatial planning. Most influential intellectual tradition in spatial justice are Habermas lsquo Public Sphere, Harvey lsquo s Right to The City, and Lefebvre lsquo s Production of Space which emphasize on active public participation in urban policy making especially for the marginalized groups who experience exacerbated inequality the long standing urban policies have produced."
2017
S68827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerung, Rocky
"Teori kritis Jurgen Habermas merupakan suatub proyek teori yang memadukan analisis sosiologi dan kritik filosofi untuk menjelaskan susunan masyarakat kapitalis kontemporer, dan merancang sutau disain teori yang bertujuan mengemansipasikan susunan masyarakat yang dominatif itu.
Tesis yang ingin dipertahankan Habermas adalah bahwa emansipasi dimungkinkan karena di dalam wilayah praxis manusia, terdapat sutau jenis rasionalitas dalam tindakan komunikasi. Komunikasi selalu bertujuan mencapai pemahaman intersubyektif atas dasar konsensus rasional.
Di dalam perspektif studi Marxis. Teori kritis Habermas meneruskan tradisi penelitian Marxisme kultural (Cultural Marxism), yang mengarahkan perhatiannya pada problem bangunan atas (Superstructure). Perspektif ini merupakan kritik atas Maexisme Ortodoks yang bersifat mekanistik deterministik dan dogmatik.

Jurgen Habermas's critical theory is a theoretical project that combines sociological analysis and philosophical criticism to explain the structure of contemporary capitalist society, and design a theoretical design that aims to emancipate the dominative structure of society.
The thesis that Habermas wants to maintain is that emancipation is possible because in the area of human praxis, there is a type of rationality in the act of communication. Communication always aims to achieve an intersubjective understanding on the basis of rational consensus.
In the perspective of Marxist studies. Habermas's critical theory continues the tradition of cultural Marxism research (Cultural Marxism), which directs its attention to the problem of the superstructure. This perspective is a critique of Orthodox Maexism which is deterministic and dogmatic in nature."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S69956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bur Rasuanto
"Tema kajian disertasi ini adalah keadilan sosial, khususnya dua teori yang dikembangkan oleh John Rawls dan Jurgen Habermas. Keadilan sosial merupakan pokok bahasan fisafat politik atau moralitas politik, yaitu bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan dengan prinsip mengatur pembagian beban dan nikmat dari suatu kerjasama sosial yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara.
Penulisan disertasi ini dilatari kegelisahan lama yang diaktualkan oleh peristiwa historis luar biasa dan membawa pengaruh fundamental terhadap konstelasi dunia. Di bulan Agustus 1991 berjuta-juta orang di seluruh dunia termasuk kita di Indonesia menyaksikan dengan takjub runtuhnya negara Uni Soviet, satu dari dua negara adikuasa dunia. Sukar dipercaya bahwa negara berlandaskan ideologi tunggal Marxisme-Leninisme yang diklaim pendukungnya sebagai ideologi emansipatif dan universal, dengan organisasinya yang solid dan dikendalikan suatu kekuasaan pusat yang amat kuat dan canggih, secara dramatis mengalami disintragrasi, lenyap dari peta, tercerai-berai menjadi sekitar selusin negara baru berdiri sendiri-sendiri.
Peristiwa itu merupakan klimaks dari proses runtuhnya kekuasaan komunisme di Eropa Timur yang sepanjang sekitar 3/4 abad 20 sempat menguasai separuh dunia Keruntuhan kekuasaan komunisme itu sudah dimulai dari Polandia, Hongaria, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, Rumania hingga ke Yugoslavia. Keruntuhan itu diikuti disintegrasi negara Yugoslavia yang pecah berkeping-keping dengan masing-masing negara bagian berdiri sendiri, dan Cekoslovakia yang menjadi dua negara Ceko dan Slovakia. Sebaliknya Republik Demokrasi Jerman berintegrasi ke dalam Republik Federal Jerman sehingga dua Jerman yang ideologinya antagonistik kembali menjadi satu Jerman.
Bagi rezim-rezim otoriter dan para pendukungnya terjadinya drama sejarah itu ditekankan sebagai akibat dari gerakan glasnost (keterbukaan politik) dan prestroika (restrukturisasi ekonomi), gerakan reformasi yang dicetuskan Perdana Menteri Michael Gorbachev sejak ia memegang tampuk kekuasaan di Kremlin Maret 1985. Gerakan tersebut ditunjuk sebagai bukti betapa berbahayanya gagasan kebebasan dan demokrasi bagi kesatuan dan keselamatan bangsa, dan dijadikan alasan memperketat kontrol terhadap rakyat dan makin represif.
Tapi bagi para tokoh politik Barat dan pemikir liberal kejadian itu ditanggapi sebagai kemenangan Barat dalam Perang Dingin, bukti keunggulan faham demokrasi liberal atas demokrasi rakyat, keberhasilan sistem ekonomi pasar kapitalisme atas sistem ekonomi terpimpin sosialisme. Banyak di antaranya yang tanpa ragu menyimpulkan bahwa kini liberalisme telah menjadi ideologi tunggal dunia. Pernyataan The End of the Cold War Presiden George Bush, segera diikuti berbagai The End of lain: The End of Geography (Robert O'Brien) yang menggambarkan kemenangan kapitalisme internaional dan terintegrasinya ekonomi dunia; The End of the Nation State (Kenichi Ohmae) yang melihat batas-batas negara tidak lagi relevan; bahkan The End of History yang justru mengkhawatirkan apabila dunia hanya berideologi tunggal itu?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
D285
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Margi Saputro
"Skripsi ini membahas mengenai teori ranah publik Jürgen Habermas dan media komunikasi internet sebagai dua substansi yang dipandang mampu mewujudkan sebuah bentuk ruang diskursus baru yang komunikatif dan dapat menjangkau khalayak ramai. Degradasi sosial akibat progres ekonomi, yang menurut Habermas sedang terjadi di masyarakat ini, ia percaya telah membawa masyarakat kepada situasi dimana keterbukaan sosial telah tertutup oleh kontrol yang coba diimplementasikan oleh korporasi dan sistem kapitalisme. Hal tersebut meruntuhkan ranah publik yang oleh Habermas dipandang telah terbangun di abad ke-18. Internet sebagai sebuah media komunikasi massa yang memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi masuk menjadi nominasi sebagai pendukung pembangunan kembali ranah publik tersebut.

This thesis explains about Jürgen Habermas? theory of public sphere and internet, both as two substance that is capable of forming a new public sphere that is communicative and widely accessible to the mass. The social degradation because of economical progresswhich according to Habermas is happening right now in the societyis believed to be bringing the society to the situation where the used-to-be-open society is now being repressed by the control implemented by corporation and the capitalism system. Such thing has torn down the public sphere th that is been built in the 18century. Internet as a mass communication media that allowed high access is being nominated as the new accomodator to rebuilt the public sphere."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16083
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khatibul Umam Wiranu
"ABSTRAK
Klaim konsensus yang menjadi dasar kebijakan politik Orde Baru memunculkan berbagai persoalan, jika dikaitkan dengan nilai-nilai konsensus dalam perspektif Jürgen Habermas. Habermas mengandaikan konsensus dalam ruang tanpa paksaan dan dominasi yang membuat legitimasi konsensus Orde Baru patut dipertanyakan. Tiga peristiwa yang dianggap sebagai konsensus, yakni Sumpah Pemuda (1928), Pancasila (1945) dan Orde Baru (!966) mengandung asumsi atas kuatnya kepentingan kekuasaan dan pihak-pihak tertentu begitu besar mewarnai proses pengesahan konsensus tersebut. Redaksi Sumpah Pemuda (1928) yang menjadi referensi persatuan dan kesatuan bangsa, lahir dari sebuah pemikiran akan pentingnya menyatukan bangsa dibawah asumsi persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. Dilihat dari tujuannnya, hal tersebut memiliki efek besar pada terciptanya nasionalisme kebangsaan, khususnya untuk mengusir penjajah dan menjadi bangsa yang merdeka. Meski demikian, proses pengesahan redaksi Sumpah Pemuda sendiri terkesan sangat sederhana. Meskipun proses menuju kesepakatan redaksi Sumpah Pemuda bukanlah hal yang simpel dan sederhana, setelah didahului peredebatan panjang dengan mendengarkan berbagai pendapat elemen bangsa yang beraneka ragam. Dipandang dari paradigma komunikatif, konsensus Sumpah Pemuda merupakan bagian dari komunikasi politik. Momen tersebut juga bagian dari ruang publik politik dimaksud, dimana semua partisipan dalam ruang publik politik memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan diluar diri mereka. Bahkan dengan tegas, efek dari momen Sumpah Pemuda memunculkan semangat nasionalisme yang menjadi bekal dalam mengisi kemerdekaan. Kepentingan nasionalisme itu sendiri mewadahi ruang publik politik yang "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Konsensus kedua, yakni konsensus Pancasila, bersumber pada kehendak untuk menyatukan visi kebangsaan dibawah naungan satu ideologi, yakni Pancasila. Meski kalangan religius pada awalnya menentang dihapuskannya tujuh kata pada sila pertama Pancasila, namun dengan memahami keberatan dari kalangan non muslim, serta mempertimbangkan cita-cita kemerdekaan dan persatuan Indonesia, maka mereka sepakat Pancasila dengan lima sila yang dikenal sampai hari ini, sebagai dasar negara. Syarat-syarat konsensus yang digagas Habermas terpenuhi dalam proses menuju kesepakatan dasar negara ini. Sedangkan konsensus Orde Baru sangat jelas mengakomodasi kepentingan kekuasaan Orde Baru. Munculnya konsensus tersebut yang berdasar dari hasil Seminar Angkatan Darat II tahun 1966, menegaskan bahwa pihak-pihak yang merumuskan kebijakan kenegaraan tersebut adalah mereka yang termasuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Peserta seminar baik dari kalangan akademisi, aktivis, dan militer, terbukti dalam sejarah bahwa mereka adalah pendukung setia Orde Baru. Justifikasi etis dan politis yang menjadi prasyarat konsensus tidak dimiliki secara penuh, sehingga konsensus tersebut lebih bermakna ideologis ketimbang kepentingan untuk mewadahi aspirasi dan partisipasi rakyat secara utuh."
2007
T19486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library