Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mayang Sari
Abstrak :
Protein adalah salah satu unsur dalam makanan yang terdiri dari asamasam amino yang mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan belerang. Identifikasi protein selama ini dilakukan dengan menggunakan metode spektroskopi konvensional misalnya spektroskopi UV-Vis dan metode Kjeldhal. Kedua metode ini membutuhkan persiapan sampel yang lama dan rumit, serta biaya yang mahal. Hal ini karena harus dilakukan pemisahan protein dari makromolekul yang lain yang tidak diinginkan dalam analisa. Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan salah satu metode baku untuk mendeteksi struktur molekul senyawa melalui identifikasi gugus fungsi penyusun senyawa. Identifikasi protein dilakukan dengan menganalisa serapan gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared (FTIR). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi protein dengan FTIR, dan mengenali puncak dari protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ke-empat sampel (keju hewani, keju nabati, susu dan mentega) protein dapat dikenali dengan tiga peak yaitu amida III (1240-1265 cm-1) , amida IV (633-721 cm-1), dan amida VI (551-586 cm-1). Peak untuk amida III mewakili gugus CN stretching dan NH bending, amida IV mewakili gugus OCN bending dan amida VI mewakili gugus out-of plane NH bending. kadar protein relatif per karbonil untuk susu, keju hewani, keju nabati, dan mentega adalah 0,67, 1,37, 2,17, dan 1,70 dengan kadar protein 9,47 %, 19,08 %, 30,67 %, dan 24,03 %.
Protein is one of the elements in food which consists of amino acids that contain carbon, hydrogen, oxygen, nitrogen, and sulfur. Identification of the protein had been done using conventional spectroscopic methods such as UV-Vis spectroscopy and Kjeldhal methods. Preparation of the sample for both methods were long enough, complicated, and expensive. This was because had to do separation of proteins from other macromolecules that are not desirable in the analysis. FTIR Spectroscopy (Fourier Transform Infra Red) is one of the standard methods for detecting the molecular structure of compound through the identification of functional groups that make up the compound. Identification is done by analyzing the absorption of the functional protein by Fourier Transform Infrared (FTIR). The aims of the research are to identify protein by FTIR, and describe their peaks. The results of the research show that of four samples (cheese, vegetable cheese, milk, and butter), proteins can be identified by three peaks, that are amide III (1240-1265 cm-1), amide IV (633-721 cm-1), and amide VI (551-586 cm-1). Peak of the amide III represents the CN stretching and NH bending, amide group IV represents the OCN bending, and amide VI represents out-of plane NH bending. Protein relative levels per carbonyl for milk, cheese, vegetable cheese, and butter are 0.67, 1.37, 2.17, and 1.70 with a protein content of 9.47%, 19.08%, 30.67% , and 24.03%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S42221
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Luisa Prasetyo
Abstrak :
ABSTRAK
Di dalam jurnal ini kami mengajukan metode baru menggunakan metanol sebagai pengukur molekuler untuk menentukan konsentrasi gugus fungsi oksigen Ca pada dua adsorben karbon A 5 dan Carbopack F Metode ini berdasar pada adsorpsi metanol pada area hukum Henry dalam suhu ruangan Di area ini interaksi antara molekul metanol dan satu gugus fungsi direpresentasikan oleh konstanta Henry eksperimental K yang proporsional terhadap interaksi intrinsik antara molekul metanol dan satu gugus fungsi Ka dan juga Ca Penentuan Ka dilakukan dengan kalkulasi statistik mekanik dengan melakukan integrasi volume faktor Boltzmann Hasil kami menunjukkan bahwa Ca yang ditentukan dengan metode ini bisa dibandingkan dengan yang ditentukan dengan air sebagai pengukur molekuler dan hasil hasil ini selaras dengan hasil titrasi Boehm Untuk Carbopack F kami menemukan bahwa Ca yang ditentukan dengan metode ini memberikan hasil yang lebih realistis dibandingan dengan titrasi Boehm Metode ini cepat dan simpel untuk diimplementasikan dan dapat menjadi alternatif bagi titrasi Boehm khususnya untuk adsorben dengan konsentrasi gugus fungsi yang rendah
ABSTRACT
A new method using methanol as a molecular probe to determine the concentration of surface oxygen functional groups (Cα) on two carbon adsorbents: A5 and Carbopack F is proposed. The method is based on the adsorption of methanol in the Henry law region at ambient temperatures. In this region, the interaction between methanol and the surface is reflected in the experimental Henry constant (K), which is the product of the intrinsic interaction between a methanol molecule and one functional group (Kα) and the concentration of functional group (Cα). The parameter Kα is estimated with a statistical mechanical means by carrying out volume integration of the Boltzmann factor of methanol with a functional group. The results show that Cα determined with methanol for A5 is comparable to that determined with water as the molecular probe, reported in a previous work (Nguyen et al. 2013b), and these values are in good agreement with Boehm titration results. For Carbopack F, however, we found that Cα determined with our method is more realistic than the results obtained in the Boehm titration. The proposed method is fast and easy to implement, and it serves as an alternative to the Boehm titration technique, especially for adsorbents containing very low amount of functional groups.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S54296
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Della Rachma Tresnasari
Abstrak :
Hidroksiapatit HA dan ?-trikalsium fosfat TCP , yang merupakan fasa dari kalsium fosfat, memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dan struktur kimia yang sejenis dengan komponen anorganik pada tulang dan gigi. HA dan TCP berperan dalam pembentukan biphasic calcium phosphate BCP. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh variasi suhu dan atmosfer pemanasan terhadap morfologi, stuktur kristal, dan ikatan gugus fungsi dari serbuk kalsium fosfat. Pemanasan kalsium fosfat dilakukan pada suhu 800°C dan 900°C, masing-masing dalam udara ambien dan argon. Kalsium fosfat tanpa pemanasan digunakan sebagai pembanding. Pengujian yang dilakukan adalah pengamatan dengan Transmission Electron Microscopy TEM , pengujian X-Ray Diffraction XRD, Fourier Transform Infrared Spectroscopy FTIR, dan Differential Scanning Calorimetry DSC. Fasa HA dan TCP terbentuk pada suhu pemanasan 800°C dengan kedua kondisi atmosfer karena terjadi reduksi ikatan CO32-. Serbuk kalsium fosfat menunjukkan kristalinitas yang paling baik setelah mengalami pemanasan pada suhu 900 ?C dengan atmosfer argon. Pembentukan fasa ?TCP secara keseluruhan terjadi pada suhu 900°C pada kedua atmosfer karena terjadi pembentukan ikatan C-H dan C=O serta reduksi ikatan OH-. ......Hydroxyapatite HA and tricalcium phosphate TCP , which are the phases of calcium phosphate, have a good biocompatibility and similarity in chemical structure with inorganic components found in teeth and bones. HA and TCP have a role in forming biphasic calcium phosphate BSC. This research was aimed to identify the effects of using varied temperatures and atmospheres in heat treatment to study the morphology, crystalline structure, and bonds of functional group of calcium phosphate powder. The heat treatment of calcium phosphate was conducted at the temperature of 800°C and 900°C, both in ambient air and argon atmmospheres. As received calcium phosphate without heat treatment was used as comparison. The characterizations performed were Transmission Electron Microscopy TEM, X Ray Diffraction XRD, Fourier Transform Infrared Spectroscopy FTIR, and Differential Scanning Calorimetry DSC. The phases of HA and TCP were formed at the temperature of 800 C in both atmospheric conditions because of the reduction of CO32 bond. Calcium phosphate powder exhibited the highest crystallinity encountered at the temperature of 900°C in argon atmosphere. The form of TCP was occurred at 900 C in both atmospheric conditions because the forming of C H and C O bond along the reduction of OH bond.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Muzdalifah
Abstrak :
Kebanyakan permasalahan pencemaran air saat ini diakibatkan oleh adanya logam berat. Untuk itu diperlukan adsorben untuk mengurangi permasalahan pencemaran logam berat tersebut. Pada penelitian ini dibuat adsorben ion logam berbasis selulosa dengan gugus fungsional sulfonat. Selulosa terlebih dahulu di iradiasi menggunakan berkas elektron dengan variasi dosis 20, 30 dan 40 kGy. Kemudian dicangkokkan menggunakan metode prairadiasi ke monomer Glycidyl Methacrylate GMA dengan variasi konsentrasi 1 , 2,5 dan 5. Hasil optimum selulosa yang tercangkok GMA dimodifikasi menggunakan gugus fungsional sulfonat untuk diaplikasikan sebagai adsorben ion logam timbal. Hasil sintesis kopolimer selulosa-GMA-sulfonat dikarakterisasi dengan FTIR, DSC dan AAS. Diperoleh hasil dengan persen pencangkokkan selulosa-GMA efisien pada dosis 40 kGy dan konsentrasi monomer GMA sebesar 107.62. Sintesis selulosa-GMA-sulfonat optimum adalah pada suhu 80 C dengan konsentrasi 1N. Kapasitas adsorpsi ion logam timbal diperoleh sebesar 8,476 mg/g pada kondisi pH 7, waktu kontak 150 menit dan konsentrasi ion logam timbal 20 ppm. Isoterm adsorpsi yang sesuai untuk adsorben selulosa-GMA-sulfonat ialah model isoterm Langmuir dengan nilai regresi 0,974. Kinetika adsorpsi adsorben selulosa-GMA-sulfonat diperoleh mengikuti orde reaksi pertama. Berdasarkan hasil yang diperoleh, adsorben kopolimer selulosa GMA termodifikasi sulfonat dapat meningkatkan penyerapan ion logam timbal. ......Currently the most water pollution problems are caused by the heavy metals. Therefore, an adsorbent to reduce the problem of heavy metal pollution is needed. In this research, an adsorbent metal ion based on cellulose made with sulfonate functional group. First of all, the cellulose is being irradiated using the electron beam with a variation of irradiated dose 20, 30 and 40 kGy then being grafted using a pre irradiation method to Glycidyl Methacrylate monomer GMA with a variation of the concentration 1 , 2,5 and 5. The cellulose grafted GMA is modified using a sulfonate functional group in optimum conditions to be applied as a lead metal ion adsorbent. The result of copolymer synthesis of cellulose GMA sulfonate was charactherized with FTIR, DSC and AAS. The percent yield of efficient cellulose GMA irradiated with 40 kGy radiation doses and GMA monomer concentration was 107.62. The optimum condition of cellulose GMA sulfonate synthesis is at 80 C with 1N concentration. The present adsorption capacity of lead metal ion solution equal to 8,476 mg g, the required solution is needed to be at pH 7, 150 minutes contact time and with 20 ppm concentration of lead metal ions. An appropriate adsorption isotherm represented for cellulose GMA sulfonate adsorbent is Langmuir isotherm model with a regression value at 0.974. The adsorbent kinetics of cellulose GMA sulfonate adsorbents is obtained following the first order reaction. Based on the results, the modified cellulose GMA Sulphonate cellulose copolymer can increase the absorption of lead metal ions.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Caessar
Abstrak :
Studi ini menyelidiki fungsionalisasi gugus hidrofilik yang diinduksi oleh iradiasi gamma pada polietilen densitas tinggi yang didaur ulang (r-HDPE) sebagai coupling agent potensial untuk komposit polimer kayu (WPC). Dalam penelitian ini, r-HDPE diiradiasi dengan sinar gamma dari 0 hingga 200 kGy. Iradiasi gamma dilakukan dengan laju dosis 3 kGy/jam dalam lingkungan tertutup. Sampel yang diperoleh kemudian diuji menggunakan Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR), Kalorimetri pemindaian diferensial (DSC), dan Uji jatuh sessile untuk memahami perubahan fungsionalisasi, perubahan reaksi samping, dan perubahan sifat permukaan masing- masing. Selanjutnya, kerja adhesi (Wa), Koefisien Penyebaran (Sc), dan Energi Bebas Permukaan (SFE) dapat diukur dan dihitung berdasarkan data uji jatuh sessile yang diperoleh. Dari sini ditemukan bahwa sampel bubuk mengalami peningkatan fungsionalisasi yang lebih dibandingkan dengan sampel pelat, terutama pada puncak FTIR keton dan ester. Selain itu, sampel bubuk mengalami lebih sedikit reaksi samping dibandingkan dengan sampel pelat berdasarkan perubahan minimum yang terjadi pada DSC. Berdasarkan uji sessile drop, baik sampel serbuk maupun pelat mengalami penurunan sudut pembasahan. Dengan demikian, menunjukkan bahwa iradiasi gamma menurunkan sudut pembasahan karena fungsionalisasi gugus hidrofilik pada sampel. Hebatnya, sampel pelat mengalami adhesi kerja, koefisien penyebaran, dan energi bebas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan sampel bubuk. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kekasaran permukaan antar sampel. Sehingga menghasilkan perbedaan sudut pembasahan dan perhitungan. Terlepas dari itu, perhitungan menunjukkan bahwa pelat r-HDPE yang diiradiasi pada 50 kGy dengan SFE sebesar 50,55 mJ/m2 menunjukkan kinerja serupa dengan kayu (menggunakan 53 mJ/m2 sebagai referensi). Selain itu, pelat r-HDPE yang diiradiasi pada 150 dan 200 kGy menampilkan SFE terbaik masing-masing sebesar 68,76 dan 68,16 mJ/m2. Dengan demikian, penelitian ini membuktikan bahwa iradiasi gamma meningkatkan energi bebas permukaan dan kompatibilitas r-HDPE dengan serat kayu, terutama di atas 50 kGy. ......This study investigates the functionalization of hydrophilic groups induced by gamma irradiation on recycled high-density polyethylene (r-HDPE) as a potential coupling agent for wood polymer composites (WPC). Within this study, r-HDPE is irradiated with gamma-rays from 0 to 200 kGy. The gamma irradiation is conducted with a dosage rate of 3 kGy/hour within a closed environment. The obtained sample is then tested using Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR), Differential scanning calorimetry (DSC), and Sessile drop test in order to understand the changes in functionalization, changes in side-reaction, and changes in surface properties, respectively. Furthermore, work of adhesion (Wa), Spreading Coefficient (Sc), and Surface Free Energy (SFE) can be quantified and calculated based on the obtained sessile drop test data. From this, it is found that the powder sample experiences an increased functionalization compared to the plate sample, notably on ketone and ester FTIR peaks. Moreover, the powder sample experiences less side-reactions compared to the plate sample based on the minimum changes occurred in the DSC. Based on the sessile drop test, both of the powder and plate sample experiences a decrease in wetting angle. As such, showcasing that gamma irradiation decreases the wetting angle due to the functionalization of hydrophilic groups on the sample. Interestingly, the plate sample experiences more work adhesion, spreading coefficient, and surface free energy compared to the powder sample. This is due to the surface roughness difference between the sample. Thus, resulting in a difference in wetting angle and the following calculation. Regardless, the calculation showed that plate r-HDPE irradiated at 50 kGy with the SFE value of 50.55 mJ/m2 demonstrates similar performance with wood (using 53 mJ/m2 as reference). Moreover, plate r-HDPE irradiated at 150 and 200 kGy showcases the best SFE at 68.76 and 68.16 mJ/m2 respectively. With in mind, this study proofed that gamma irradiation increases the surface free energy and compatibility of r-HDPE with wood fibres, especially above 50 kGy.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafar Nur Azzis
Abstrak :
Telah dilakukan pemeriksaan hormon kortikosteron pada tikus betina (Rattus norvegicus) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron dalam urine selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon kortikosteron. Sampel urine dari sepuluh ekor tikus pada saat estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR. Diperoleh hasil 3 gugus fungsi spesifik dari kortikosteron pada masing-masing bilangan gelombangnya berturut-turut sebagai berikut alkohol (CH2OH) pada 3552 cm-1, hidroksil (OH) pada 3201 cm-1 dan metil (CH3) pada 1375 cm-1. Nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron diperoleh dan dibandingkan dengan nilai absorbansi keton (C=O), gugus fungsi spesifik dari kreatinin pada bilangan gelombang 1730 cm-1 yaitu 0,24 %. FTIR mampu mendeteksi konsentrasi kortikosteron saat estrus pada 2,00 % ± 0,50 % / % Cr dan saat non estrus pada 1,94 % ± 0,54 % / % Cr. Tidak terdapat perbedaan antara kortikosteron pada kondisi estrus dan non estrus. ......Research in determining corticosterone concentration on female rat (Rattus norvegicus) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of corticosterone's functional groups in urine during estrous cycles, and to verify the FTIR's capability in measuring corticosterone concentration in urine. Urine samples from ten females which were taken at estrus and non estrus determined by vaginal smear, analyzed by FTIR. The results indicated three specific functional groups of corticosterone in each successive wave numbers as follows: alcohol (CH2OH) at 3552 cm-1, hydroxyl (OH) at 3201 cm-1 and methyl (CH3) at 1375 cm-1. Absorbance value of specific functional groups of corticosterone are obtained and compared with absorbance values of ketone group (C = O), specific functional groups of creatinine in the wave number 1730 cm-1 which is 0.24%. FTIR can detection corticosterone concentration at estrus was 2.00 % ± 0.50 % /% Cr and in non-estrus was 1.94 % ± 0.54 % /% Cr. There was no difference between corticosterone in estrus and non-estrus condition.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43329
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Septian
Abstrak :
Telah dilakukan pemeriksaan hormon progesteron pada tikus betina (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik progesteron dalam darah selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon progesteron. Sampel darah dari sepuluh ekor tikus pada fase estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR dan radioimmunoassay (RIA). Nilai absorbansi dari gugus fungsi spesifik progesteron, yaitu keton (1724 cm-1), metil (1375 cm-1), dan metil-keton (1354 cm-1), dibandingkan dengan nilai absorbansi asam karboksilat (1425 cm-1) pada hemoglobin. Konsentrasi progesteron saat estrus melalui RIA dan FTIR berturut-turut adalah 17,593 ± 4,246 ng/ml dan 0,853 ± 0,310 %; saat diestrus adalah 76.218 ± 4.687 ng/ml dan 1,024 ± 0.268 %.
Research in determining progesterone concentration on female rat (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of progesterone?s functional groups in blood during estrous cycles, and to verify the FTIR?s capability in measuring progesterone concentration in blood. Blood samples from ten females which were taken at estrus and diestrus phases determined by vaginal smear, analyzed by FTIR and Radioimmunoassay (RIA). Absorbance values of progesterone's functional groups, such as ketone (1724 cm¬1), methyl (1375 cm-1), and methyl-ketone (1354 cm-1), were measured relatively to absorbance values of hemoglobin?s carboxylic acid (1425 cm-1). Progesterone concentration at estrus by RIA and FTIR are 17,593 ± 4,246 ng/ml and 0,853 ± 0,310 % respectively; at diestrus are 76.218 ng/ml and 1,024 ± 0.268 % respectively.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S825
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library