Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Galula, David
New York: N.Y. Praeger 4, 1964
355.425 GAL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Sapto
Abstrak :
Berbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata. Gerilya kola di Probolinggo tidak terpisahkan dari aksi militer Belanda tahun 1947. Arti penting jenis perlawanan gerilya kota tidaklah karena dampaknya di bidang politik, melainkan sebagai gejala yang khas dalam perang kemerdekaan. Gerilyawan mengadakan perlawanan di dalam kota yang justru menjadi konsentrasi kekuatan tentara musuh. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional. Studi ini berusaha mencari jawab atas masalah, mengapa pihak tentara memilih kota sebagai ajang perlawanan, bagaimana pihak tentara dapat bertahan di dalam kota yang diduduki musuh, bagaimana upaya pihak tentara untuk merealisasikan tujuan-tujuannya? Gerilya kota dapat dikatagorikan sebagai aksi Kolektif. Aksi kolektif ialah orang-orang yang bertindak secara bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Komponen-komponen yang terdapat dalam aksi kolektif, yaitu kepentingan bersama, organisasi, sumber daya, dan kesempatan. Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku. Aksi militer tanggal 21 Juli 1947 rnembawa perubahan tatanan politik. Kota Probolinggo tidak dapat dipertahankan dan diduduki Belanda. Gerilya kota di Probolinggo lahir sebeium munculnya strategi penjemuan atau perorongan (atrition trateg y). Sistem pertahanan linier TNI tidak berhasil menahan serbuan Brigade Marinir pada 21 Juli 1947, bergerak ke samping dan membentuk keiompok.-kelornpok perlawanan yang beroperasi dengan taktik gerilya, Operasi gerilya di dalam kota disebabkan dua faktor. Pertama, batalyon Abdoes Sjarif kewalahan dan tidak mampu menghadapi operasi militer Belanda. (1) Posisi Belanda di kota Probolinggo sangat kuat. Kota diduduki pasukan infanteri marinir yang terkenal berpengalaman dalam PD 11, ditambah pasukan KNIL, pasukan Tjakra, dan polisi. Kapal-kapal perang Belanda yang berada di pelabuhan senantiasa memberikan bantuan tembakan meriam ke darat, ke daerah-daerah yang dipandang kantong tentara Republik. Operasi gerilya di dalam kota untuk memecah konsentrasi dan kekuatan musuh, (2) Lemahnya jaringan intelejen. Operasi intelejen yang cenderung pasif; hanya sebagai pengumpul informasi, terbukti tidak banyak membantu dalam aksi militer Belanda. Gerilya kota diharapkan dapat memberikan informal yang eepat dan lengkap untuk kepentingan gerakan gerilya lainnya,(3) Moral anggota tentara merosot (kalap kaku). Serbuan Belanda yang cepat disertai perang urat syaraf, kekejaman yang disertai dengan mempertontonkan korban, serta gempuran yang terus menerus melemahkan moril pejuang TNI. (4) Pasukan Tjakra sebagai pembantu tentara Belanda ikut menghancurkan reputasi tentara Republik di mata rakyat. Jawaban gerilyawan terhadap berbagai upaya menjauhkan dukungan rakyat adalah dengan kontra teror, intimidasi, perusakan, dan lain-lain. Kedua, upaya menghancurkan organisasi orang-orang Cina, Pao An Tui (PAT), karena banyak anggota PAT bertindak sebagai mata-mata Belanda. Gerilyawan dapat bertahan dan melakukan operasi di dalam kota hingga perang usai dilatarbelakangi beberapa faktor. (1) Di kota kebencian terhadap penguasa asing secara historis jelas. Fenomena demikian memudahkan untuk melakukan mobolisasi selama perang gerilya. (2) Basis sosial gerilya terutama berasal dari priyayi, petani, dan pedagang. Priyayi mampu menempatkan diri dalam situasi yang berubah. Priyayi berusaha mengangkat kembali perannya yang pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda mengalami kemerosotan. Keterlibatan petani dan pedagang merupakan reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat. (3) Adanya pemimpin yang memiliki kemampuan mengatur siasat dan dapat diterima di kalangan pendukung gerakan. Sistem wehrkreise hakekatnya adalah memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bentuknya bervariasi. Kebutuhan logistik anggota diperoleh berkat partisipasi rakyat, berdagang, dan menggarap dengan sistem maro tanah negara yang terlantar. KTD berperan menggalang dukungan tenaga, simpatisan diorganisir dalam bentuk Pasukan Cadangan. Kebutuhan senjata dan amunisi diperoleh dengan merampas dan musuh dan rnempekerjakan petani di tangsi-tangsi militer. Sasaran yang berupa orang taktik operasi dinamakan tikam hilang dan perunduk. untuk menggalang dukungan selain dipergunakan cara propaganda, juga dengan kampanye bisik-bisik. Kerusuhan yang terjadi tanggal 31 Januari 1948 merupakan bukti kemampuan gerilyawan melakukan mobilisasi dan memprovokasi rakyat. Organisasi mencerminkan kelompok yang tertutup. Untuk mengetahui dunia luar banyak mempergunakan mata-mata, bantuan rakyat, dan penyamaran. Komunikasi penting menggunakan Sandi atau kode. Sistem perlindungan dapat dibedakan: perlindungan di dalam dan di luar rumah. Perlindungan di dalam rumah terdiri dari dari perlindungan di atap rumah dan perlindungan ruang bawah tanah (tuba-tabs). Perlindungan di luar rumah terdiri dari tiga model: rubah-rubah di sekitar halaman rumah, rubah-rubah di tebing sungai, dan rubah-rubah di sekitar kuburan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Pranaspati
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan teknologi membantu tumbuhnya usaha-usaha baru, salah satunya adalah bisnis-bisnis rintisan atau startup yang menandakan semakin banyaknya produk dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah ride hailing services seperti Gojek, Uber, dan Grab. Pada sisi lain, perkembangan teknologi ini memacu banyaknya informasi iklan dan pemasaran yang hanya akan merugikan konsumen dan juga pemasar atau perusahaan karena konsumen akan cenderung untuk menutup diri dari hal yang berbau pemasaran. Salah satu jawaban bagi para perusahaan untuk bersaing di masa ini adalah dengan menggunakan Guerrilla Marketing. Guerrilla Marketing adalah strategi pemasaran yang fokus terhadap hasil yang besar dengan biaya yang kecil. Penelitian ini akan menganalisis karakteristik daripada Guerrilla Marketing yaitu creativity, clarity, humour, dan surprise terhadap intensi word of mouth dengan credibility sebagai mediasi. Penelitian ini menggunakan studi kasus Grab Indonesia. Responden merupakan masyarakat yang pernah menggunakan jasa Grab selama 1 satu tahun terakhir. Metode pengolahan data menggunakan structural equation modeling SEM . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa creativity, surprise, humour, dan credibility memiliki pengaruh signifikan terhadap word of mouth. Credibility juga terbukti memediasi hubungan creativity, clarity. humour, dan surprise terhadap word of mouth dalam kasus Guerrilla Marketing yang dipakai oleh Grab Indonesia.
ABSTRACT
Everyday we could see new startups getting started with issues and problems on their hands that they are trying to solve. For example we have Grab, Gojek, and Uber competing to solve our transportation problem. On the other side, this rapid development of technology is bad for the people in a way that people are being bombarded with advertising materials everyday which eventually will make people to shut themselves from advertising. The solution for companies that want to stand out and grab people attention is by using Guerrilla Marketing. The basic concept of Guerrilla Marketing is a marketing strategy that focuses on high impact with low budget. This research will analyze the role of Guerrilla Marketing characteristic which are creativity, clarity, humour, and surprise towards word of mouth intention with credibility as mediating variable. This research will use Grab Indonesia as it rsquo s study case. The respondents are people who had been using Grab for at least a year. Structural equation modeling SEM is used to process the data. The results of this research shows that creativity, surprise, humour and credibility have positive effects on word of mouth intention while creativity, clarity, humour, and surprise also have positive effects on word of mouth by being mediated with credibility.
2017
S67672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Hadara
Abstrak :
Informasi tentang DI-TII Kahar Muzakkar yang beroperasi dan bergerilya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya, secara inplisit dan singkat, terdapat dalam tulisan SEM DAM XIV/HN (1964), Dinas Sejarah Militer TNI-AD (1979), Cornelis van Dijk (1983), Barbara Sillars Harvey (19B9), Anhar Gonggong (1992), dan M. Bahar Mattalioe (1994). Bagian terbesar dan utama dari tulisan mereka, secara spatial, masih terbatas di Sulawesi Selatan, atau memposisikan gerilyawan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara dalam kerangka pemberontakan DI-TlI Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Mengapa pemberontakan merembet ke Sulawesi Tenggara dan terkonsentrasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya serta bagaimana aktivitasnya di sana, belum dijelaskan secara tuntas dan memadai. Selain itu, tulisan mereka masih terfokus pada aspek latar belakang pemberontakan dengan tekanan utama diarahkan pada figur pemimpinnya, Kahar Muzakkar, serta fenomena gerilya darat. Bagaimana dampaknya, terutama perubahan mendadak dalam struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi, dan gerilya laut yang dijalankan kaum pemberontak, masih terabaikan. Selain mencoba mengatasi masalah tersebut, penelitian ini dilakukan pula sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi keinginan penulisan sejarah tanah air Indonesia yang sesungguhnya, yang mencoba menjelaskan peristiwa di darat dan di laut secara seimbang dan proporsional, sebagai konsekwensi logis dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara laut atau negara bahari terbesar di dunia. Ketersediaan sumber-sumber dalam bentuk arsip yang memadai dan dalam jumlah yang cukup besar, memungkinkan penggunaan metodologi (pendekatan) sejarah empiris dan individualis (Lloyd, 1993) dalam penelitian ini. Beberapa pendekatan dan teori yang menjadi rujukan untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, adalah pendekatan sea systems (Braudel, 1971) dan heartsea (Lapian, 1996) saduran dari heartland yang dikembangkan oleh Mackinder, pendekatan sosial budaya pesse (Gonggong, 1992) dan teori solidaritas mekanik Durkheim (Johnson, 1988), teori hubungan otoritas dan konflik sosial Dahrendorf (Johnson, 19B6), serta teori collective action yang dikembangkan Tilly (1978). Disimpulkan bahwa sejak mula hingga berakhirnya pemberontakan, Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai basis alternatif sesudah Sulawesi Selatan. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya insolidaritas dan desintegrasi pihak pemberontak di Sulawesi Selatan serta daya tarik geografi, ekonomi, sosial budaya, agama, sejarah, dan politik menjadi penyebab utama merembetnya pemberontakan ke Sulawesi Tenggara yang kemudian memperkuat posisinya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya. Dari aspek geografi, Sulawesi Tenggara memiliki hutan tropis yang sangat luas, morfologi bergunung dan berbukit-bukit dengan tingtingkat kepadatan penduduk yang relatif sangat kecil. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi perang gerilya. Sementara perairan Tiworo dan sekitarnya merupakan "laut inti" (heartsea) dalam "sistem laut" (sea systems) dan selat serta penghubung antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara. Penguasaan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya menjadi batu loncatan untuk menguasai seluruh daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara. Dari segi ekonomi, daratan Sulawesi Tenggara dan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya memiliki sumber daya alam yang sangat penting, umpamanya kopra, ratan, kayo, tambang nikel dan aspal yang didukung oleh tradisi pelayaran dan perdagangan di wilayah pesisir dan kepulauan. Dari aspek sosial budaya, lebih dari separuh kawasan (barat dan utara) perairan Tiworo didominasi oleh etnis Bugis-Makassar. Kehadiran gerilyawan dianggap sebagai "sekampung" (pesse) oleh mereka. Sementara dari aspek sejarah dan politik, terutama Kolaka, adalah pusat pergerakan pemuda pro kemerdekaan yang terhimpun dalam berbagai organisasi kelasykaran dan sebelum terintegrasi ke dalam wilayah Daerah (Swatantra) Sulawesi Tenggara, adalah bagian dari pemerintahan Afdeling Luwu dan basis Muhammadiyah dan PSII dua organisasi Islam yang mempunyai ikatan historis-kultural dengan pihak pemberontak. Selama pergolakan, berlangsung secara efektif permintaan uang dari rakyat, yang mereka namakan "sumbangan atau sokongan perjuangan" serta jenis pungutan lain, penguasaan sumber-sumber ekonomi terpenting, merekrut sumber daya manusia, berlangsung apa yang disebut "perdagangan gelap" (smokkel) dan berbagai fenomena gerilya laut misalnya penghadangan dan perampokan perahu, mobilitas antar pulau dan antar pelabuhan. Kehadiran gerilyawan berdampak terhadap perubahan mendadak struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi yang kemudian bermuara pada kemiskinan struktural dan kelaparan di desa-desa terpencil, seraya -- kendatipun tidak secara langsung -- menimbulkan gerilyawan liar anggota Pasukan Djihad Konawe (PDK), akan tetapi pasukan tersebut kemudian "dikoordinasi secara imperatif" (imperatively coordinated) oleh pihak pemerintah dan TNI untuk sama-sama menghadapi pemberontakan DI-TII atau sama-sama bertanggung jawab untuk ikut mengatasi masalah keamanan Sulawesi Tenggara. Tampaknya gerilyawan yang beroperasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya termasuk dalam kategori "gerakan kolektif" (collective action), kendatipun terdapat individu tertentu yang mempunyai perhatian dan kepentingan yang berbeda. Kehancuran total yang disebabkan oleh aktivitas gerilyawan selama lebih kurang 15 tahun, mendorong Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara mengajukan proposal rehabilitasi besar-besaran kepada Pemerintah Pusat pada tahun 1965, terutama ditujukan kepada wilayah-wilayah yang selama sepuluh tahun terakhir dilanda kekacauan. Akan tetapi gagasan rehabilitasi baru mulai terwujud melalui program resettlement desa dan transmigrasi sebagai main program lima tahun mendatang (1967-1971). Sejak itu mulailah dilakukan eksodus dan restrukturisasi besar-besaran ke daerah-daerah yang dilanda kekacauan, terutama kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T2328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library