Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mari Elka Pangestu
Abstrak :
Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah sebuah inisiatif di dalam Protokol Kyoto (PK) yang didesain untuk mitigasi emisi gasgas rumah kaca (GRK) yang dilakukan di negara-negara berkembang, sekaligus memfasilitasi negara-negara maju untuk memenuhi target penurunan emisinya. Instrumen CDM juga menyediakan berbagai insentif bagi negara-negara penandatangan PK seperti Indonesia. Selain meningkatkan kualitas lingkungan, negara-negara berkembang yang mengadopsi CDM dapat memperoleh manfaat-manfaat lain seperti transfer teknologi bersih, transfer keahlian, aliran masuk investasi asing, dan penghasilan dari penjualan karbon kredit atau Certified Emission Reductions (CERs), yang dihasilkan dari penurunan emisi. Indonesia memiliki potensi besar di dalam memperoleh manfaat-manfaat CDM. Pemerintah bersama Bank Dunia memperhitungkan potensi penurunan emisi GRK di Indonesia (tidak termasuk kehutanan) sebesar 25 juta ton CO2e per tahun, atau 125-300 juta ton CO2e selama periode komitmen pertama 2008-2012. Jumlah CERs yang diperhitungkan dari tujuh belas proyek CDM Indonesia yang terdaftar pada Executive Board (EB) sampai Oktober 2008 hanya sekitar 2,5 juta ton CO2e (2,5 juta CERs) per tahun. Dengan demikian terdapat kesenjangan yang sangat besar antara potensi dan perhitungan perolehan CERs. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan CDM di Indonesia lamban dan menganalisis apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh manfaat-manfaat CDM sudah optimum. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah guna memaksimalkan perolehan manfaat-manfaat dari CDM, terutama karena mandat PK atas pelaksanaan CDM komitmen pertama akan berakhir pada tahun 2012.
As an initiative within the UNFCC?s Kyoto Protocol, the Clean Development Mechanism (?CDM?) was designed to mitigate polluting emissions in developing countries as well as to facilitate developed countries meeting their green house gas (?GHG?) reduction targets. The CDM also provides several incentives for signatories to the Kyoto Protocol such as Indonesia. Beside improving the quality of their environment, developing countries that adopt the CDM gain benefits such as the transfer of ?clean? technologies, heightened skills and expertise, inward investment, and significant revenue from the sale of "carbon credits" (Certified Emission Reductions ? ?CER?s - which result from the reduction of polluting emissions). Indonesia holds significant potential with which to secure such benefits from the CDM. The Government of Indonesia ("GOI") and the World Bank together estimate that Indonesia has the potential to mitigate 125-300MM tons of emissions (excluding forestry) during the period 2008-2012, or 25 MM tons CO2e per annum. The number of CERs projected from the seventeen Indonesian projects registered with the Executive Board (?EB?) as of October 2008 is only 2.5MM tons of CO2 (or 25 MM CERs) per annum. Thus, there is a large gap between Indonesia?s potential and the CERs that are projected to be secured. This research identifies the factors that caused the progress in implementing the CDM in Indonesia to be slow and examines whether the efforts of the GOI have been optimum in securing the CDM?s benefits. In general this research aims to provide policy recommendations that will enable the GOI to maximise the benefits that can be secured, recommendations that have become urgent given that the current mandate of the CDM under the Kyoto Protocol will expire in 2012.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T25582
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrian Abqari
Abstrak :
Industri Minyak dan Gas merupakan salah satu industri dengan kontribusi penghasil emisi yang cukup signifikan bagi akumulasi gas rumah kaca. Salah satu gas yang cukup memberikan dampak buruk yang signifikan saat berada di atmosfer adalah gas Metana. Sebagai upaya dalam menimalisasi emisi gas Metana, industri minyak dan gas mulai melakukan program reduksi emisi, salah satunya dengan melakukan evaluasi terhadap nilai emisi pada fasilitas terkait. Emisi dapat diperkirakan dengan beberapa cara (dari banyak referensi), seperti Pendekatan Faktor Emisi Rata-Rata Tingkat Fasilitas, Pendekatan Faktor Emisi Rata-Rata Tingkat Peralatan, dan Pendekatan Dispersi Terbalik. Hasil rata-rata tingkat fasilitas lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat peralatan. Dari hasil perhitungan terdapat perbedaan sebesar 29% antara Rata-rata Pendekatan Faktor Emisi Tingkat Fasilitas vs. Rata-rata Faktor Emisi Tingkat Peralatan. Sedangkan metode dispersi terbalik akan memberikan hasil aktual kebocoran berdasarkan kegiatan pemantauan dan pengukuran nilai LEL yang dilakukan teknisi di lapangan. Namun pendekatan dispersi terbalik memerlukan data analisis total emisi fugitive yang lebih banyak dan perbaikan lebih lanjut agar menghasilkan estimasi yang lebih akurat. Setelah dilakukannya estimasi terhadap nilai emisi, perbaikan dapat diterapkan dengan memodifikasi peralatan sesuai Metode Teknologi Terbaik (Best Available Technique) dimana perkiraan efisiensi menghasilkan reduksi nilai emisi hingga hampir 100%. Namun penerapannya memerlukan analisis biaya dan manfaat lebih lanjut (total keuntungan-kerugian/harga karbon vs total investasi) karena nilai investasinya akan sangat tinggi. ......The oil and gas industry is one of the industries with a significant emission-producing contribution to the accumulation of greenhouse gases. One gas that has a significant negative impact when it is in the atmosphere is methane gas. As an effort to minimize methane gas emissions, the oil and gas industry has begun carrying out emission reduction programs, one of which is by evaluating the emission values at related facilities. Emissions can be estimated in several ways (from many references), such as the Facility Level Average Emission Factor Approach, the Equipment Level Average Emission Factor Approach, and the Reverse Dispersion Approach. The average facility level results are higher than the average equipment level. From the calculation results, there is a difference of 29% between the average Emission Factor Approach at Facility Level vs. Average Equipment Level Emission Factor. Meanwhile, the reverse dispersion method will provide actual leak results based on monitoring activities and measuring LEL values carried out by technicians in the field. However, the reverse dispersion approach requires more total fugitive emission analysis data and further improvements to produce more accurate estimation. After estimating the emission value, improvements can be implemented by modifying the equipment according to the Best Available Technique where the estimated efficiency results in a reduction of the emission value for almost 100%. However, its implementation requires further cost and benefit analysis (total profit-loss/carbon price vs total investment) because the investment value will be very high.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Untad Dharmawan
Abstrak :
Guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan berikut resiko lingkungan yang diakibatkannya, terhitung sejak tahun 1995 Pemerintah Indonesia mulai memasyarakatkan kebijakan pembukaan lahan tanba bakar (zero burning policy). Kemudian kebijakan tersebut dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan atau Lahan. Namun pada kenyataannya kebijakan tersebut sulit diterima oleh masyarakat. Biaya pembukaan lahan dengan cara-cara lain tersebut dirasakan sangat tinggi, sehingga memberatkan ekonomi masyarakat. Selain dari pada itu, pembakaran sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat sejak turun temurun, sehingga sulit dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut justru menimbulkan masalah baru berupa benturan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang ada. Salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan adalah mencoba menerapkan suatu kebijakan pembakaran terkendali (control burning) melalui tehnik pembakaran dengan sedikit asap (less smoke burning methode). Teknik tersebut pada dasarnya diangkat dari kebiasaan masyarakat penduduk asli (indigenous people) di Kalimantan yang dikombinasikan dengan pengalaman negara Jepang dalam penyiapan lahan menggunakan api (Saharjo, 1999). Namun teknik tersebut baru pernah diujicobakan pada lahan tanah mineral (belum pernah di lahan gambut). Padahal kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera selama ini sebagian besar berlokasi di kawasan gambut. Ciri khas kebakaran di kawasan gambut adalah kebakaran bawah (ground .fire) dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering .fire) dan merupakan tipe kebakaran yang paling berbahaya (Syaufina, 2002). Sehingga banyak hal yang masih menjadi pertanyaan dan keraguan bagi para peneliti, khususnya menyangkut efektivitas berikut besarnya dampak yang terjadi akibat pembakaran yang dilakukan dengan menerapkan teknik pembakaran dengan Sedikit Asap (Less Smoke Burning Methode) pada lahan tersebut. Tujuan utama penelitian ini adalah: mengetahui data emisi gas rumah kaca (GRK) akibat pembakaran hutan dan lahan gambut yang menerapkan Teknik Pembakaran Dengan Sedikit Asap (Less Smoke Burning Method). Sedangkan tujuan antaranya adalah: a) mengetahui faktor-faktor di lapangan yang berpengaruh pada emisi gas rumah kaca (GRK) akibat pembakaran hutan dan lahan gambut yang menerapkan Teknik Pembakaran Dengan Sedikit Asap (Less Smoke Burning Method): dan b) mempelajari dan mengkaji dampak pembakaran hutan dan lahan gambut yang menerapkan Teknik Pembakaran Dengan Sedikit Asap (Less Smoke Burning Method) pada komposisi dan strukrur vegetasi setelah pembakaran. Data dan informasi hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan masukan dan wacana dalam upaya penyusunan alternatif kebijakan (policy) di bidang pertanian dan kehutanan, khususnya kebijakan dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing) yang selama ini banyak mengalami hambatan dan benturan kepentingan dalam pelaksanaannya di lapangan. Penelitian bersifat eksperimen dan dilakukan pada lahan hutan Gambut Sekunder milik masyarakat setempat di Desa Pelalawan - Kecamatan Bunut - Kabupaten Pelalawan - Propinsi Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2001 dan dilanjutkan pada bulan April 2002. Melalui penelitian ini disimpulkan: pertama, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara beban emisi gas rumah kaca (GRK) hasil pembakaran lahan di areal gambut hemik dengan beban emisi di gambut saprik, baik gas N2O, CH4, CO maupun C02, yang menerapkan Teknik Pembakaran Derngan sedikil Asap (Less Smoke Burning Method); kedua, variabel karakteristik bahan bakar (bahan bakar tersedia, tebal bahan bakar dan kadar air bahan bakar), kondisi lingkungan (kelembaban udara relatif, kecepatan angin dan suhu udara) serta dalam muka air tanah berpengaruh pada beban emisi gas rumah kaca (GRK) N20, CH4, CO maupun CO2 hasil pembakaran lahan yang menerapkan Teknik Pembakaran Dengan Sedikit Asap (Less Smoke Burning Method),- dan ketiga, terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi akibat diterapkannya teknik pembakaran dengan sedikil asap (less smoke burning method) dalam penyiapan lahan gambut.
The Influence of Fire Usage in Land Preparation on Green House Gasses Emission (The Implementation of Less Smoke Burning Method on Peat Land Areas at Pelalawan Regency - Riau Province)Since 1995, The Government of Indonesia began to socialize The Zero Burning Policy. The purposes of this policy are to prevent the forest and land fire as well as environmental risk that follow it. The policy was strengthening with The Government Law No.4 12001 about The Environmental Damage and Pollution Control with Reference to Forest and Land Fire. The policy is hardly accepted by the community, on the contrary. Land clearing expenses using different methods are too expensive for the local people. Burning method has become a custom of Dayak Tribe. More over, burning is a central of the hole series on farming activity that really important influence the successful of farm yield (Dove, 1988), made it difficult to separate it from their daily life. Instead of its purposes, the policy released by tithe government has caused conflict with the community's culture, social and economy. One alternative solution that could be tried is applying a Controlled Burning Policy through Less Smoke Burning Method. Basically, the technique come from the custom of indigenous people in Kalimantan combined with Japanese experience in fire usage of land clearing (Saharjo, 1999). However, the technique were have only been applied on land of mineral soil (haven't been applied on land of peat land). Actually, the forest and land fire happened in Sumatera and Kalimantan mostly located on a peat land. The characteristics of peat land fire are ground fire with smoldering fire and it is the most dangerous type of fire (Syaufina, 2000). That's why many things is still questioned and doubtful for the researcher especially in effectivity and impact size from burning with Less Smoke Burning Method on that kind of land. The main goal of this research is to achieve green house gasses emission data from burning of forest and land that applied Less Smoke Burning Method. Another aim are: a. To identify influenced factors on the green house gasses from burning of forest and land that applied Less Smoke Burning Method, and b. To study the burning impact of forest and land that applied Less Smoke Burning Method on the structure and composition of vegetation. The result of the research's information and data will be expected to be made for input and discourse in case to effort to make the alternative policy in agriculture and forestry sectors, especially for the land clearing activities policy that experienced more obstacles and conflict of interest in the practice. The character of this research was experiment and performed on the land of secondary peat forest owned by local people at Pelalawan Village - Bunut Sub-District - Pelalawan Regency - Riau Province. The implementation of this research carried out on August until October 2001 and continued on April 2002. Through of this research, the conclusion are: first, there was no significant differences between load of green house gasses emission that resulted by burning on hemic peat land and sapric peat land, neither N20, CH4, CO nor CO2 that applied Less Smoke Burning Method; second, The fuel characteristic's variables (available fuel, fuel bed depth and water content of fuel), environmental condition's variables (relative humidity, speed of wind and ambient temperature) and soil water level influenced on load of green house gasses emission, either N20, CH4, CO or CO2 that applied Less Smoke Burning Method; third, There was structural and composition changes caused by burning applied Less Smoke Burning Method in peat land preparation. Burning that applied Less Smoke Burning Method caused the changes of vegetation's composition and structure.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Kuncara Sakti
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses degradasi sumberdaya hutan dalam dua dekade ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut-turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. Parahnya kondisi hutan Indonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela, pemberian ijin pemanfatan kayu hutan/IPKH oleh pemerintah daerah yang tidak terkontrol (Badan Planologi Kehutanan, 2003). Pada saat ini, dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dalam mengerem laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon-pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia. Meskipun melalui perundingan yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto, tepatnya pada hutan Juli 2004. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi peruhahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2.012. Indonesia akan mendapatkan keuntungan melalui mekanisme Clean Development Mechanism -CDM yang terdapat pada perjanjian tersebut. Clean Development Mechanism (CDM) di kehutanan ini lahir dari tuntutan terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut. CDM juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi dari negara maju kepada negara berkembang, sehingga CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa technology transfer, capacity building, peningkatan kualitas Iingkungan, serta peningkatan daya saing. Bentuk lain dari komitmen antara negara-negara pengikut Protokol Kyoto ini adalah jual-beli emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut namun sampai saat ini belum terbentuk. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional. RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi ton karbon. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint Implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$10 sampai US$30 per ton karbon. Indonesia bisa mendapatkan sedikitnya US$ 500 juta dari nilai reduksi karbon yang dijual melaui mekanisme CDM. Nilal keseluruhan di atas berasal pengelolaan hutan lestari sebesar US$ 50 juta dan US$ 350 juta berasal dari sektor energi. Dengan keikutsertaan ini maka konsekuensi sektor kehutanan terhadap penebangan liar menjadi sangat penting. Keberadaan luasan hutan sebagai jaminan pasokan karbon perlu terus terjaga. Secara tidak langsung sektor kehutanan mencegah terjadi kehilangan devisa akibat penebangan liar tersebut sebesar 30 triliun rupiah (Agus P Sari, Pelangi Indonesia). Untuk melihat dampak ekonomi dari mekanisme CDM khususnya di sektor kehutanan digunakan SAM (Social Accounting Matrix) atau di Indonesia sering disebut SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi). Dengan menggunanakan SNSE ini dapat diketahui perubahan perekonomian nasional akibat adanya suatu kegiatan perekonomian pada salah satu sektor tertentu. Perubahan tersebut dapat berdampak pada sektor-sektor yang terdapat dalam SNSE, yaitu faktor produksi, institusi dan sektor produksi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library