Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"Malnutrisi merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien luka bakar berat. Malnutrisi meningkatkan risiko infeksi, lama rawat, terhambatnya penyembuhan luka sehingga mortalitas meningkat. Glutamin merupakan nutrien spesifik yang berperan dalam penyembuhan luka. Tujuan penulisan serial kasus adalah dilaporkannya peran terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan malnutrisi yang mendapat glutamin. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 18,5-41% luas permukaan tubuh (LPT) disebabkan api dan bahan kimia dengan rentang usia 18−64 tahun. Berdasarkan rekomendasi ESPEN pada pasien dengan luka bakar >20% LPT, dosis glutamin enteral yang diberikan adalah 0,3-0,5 g/kg BB/hari. Asupan energi pasien selama perawatan 11-54 kkal/kg BB/hari, protein 0,2-2,4 g/kg BB/hari, lemak 6-28%, karbohidrat 52-70%, glutamin 0,02-0,2 g/kg BB/hari. Selama perawatan, hitung total limfosit (TLC) meningkat pada 2 dari 4 pasien dan terdapat perbaikan kapasitas fungsional pada 3 pasien. Peran glutamin pada pasien luka bakar yang mengalami malnutrisi belum dapat dinilai karena dosis yang diberikan kurang dari rekomendasi, namun tampak peningkatan TLC dan perbaikan kapasitas fungsional setelah pemberian nutrisi.

Malnutrition is the most common problem in severe burns patients. Malnutrition increases the risk of infection, length of stay, inhibits the healing process so increasing mortality. Glutamine is a specific nutrient that plays a role in wound healing. This case series was aimed to report the role of nutritional medical therapy in patients with severe burns with malnutrition who received glutamine. These case series analyzed four of 18-64 years old patients with severe fire and chemical burns, II-III degree, 18,5-41% of body surface area (BSA). According to ESPEN, the dose of enteral glutamine in burns patients >20% BSA is 0,3-0,5 g /kg BW/day. Energy intake of patients during treatment was 11-54 kcal /kg BW/day, protein 0,2-2,4 g /kg BW/day, fat 6-28%, carbohydrates 52-70%, glutamine 0,02-0,2 g /kg BW/day. During treatment, the total lymphocyte count (TLC) increased in 2 of 4 patients and there was an improvement in functional capacity in 3 patients. The role of glutamine in burn patients who have suffered malnutrition cannot yet be assessed because the dose given is less than the recommendation, but glutamine supplementation may be associated with an increase of TLC and improvement functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Dyah Puspitasari
"Penyakit demam berdarah dengue masih menjadi permasalahan kesehatan global, dan merupakan penyakit yang endemik di lebih dari 100 negara. Mengetahui efek dari mutasi pada virus sangat penting pada prosesmdesain dan pengembangan obat. Pada penelitian ini, mutasi dan pengaruhnya dianalisis pada NS5 virus dengue dengan menggunakan protein kode 3P8Z sebagai sekuens utama. Berdasarkan hasil analisis mutasi terjadi pada sekuen NS5 virus dengue serotipe 3. Glutamin menjadi metionin pada posisi 10 dan treonin menjadi isoleusin pada posisi 55. Residu yang termutasi merupakan bagian dari domain SAdenosyl-L-Methionine-Dependent Methyltransferase (IPR029063), adanya mutasi diprediksikan dapat mengganggu fungsi protein.
Berdasarkan hasil penambatan molekul, dari 100 senyawa terbaik hanya 17 senyawa antiviral yang terpilih. Pada penelitian ini penentuan ligan terbaik tidak hanya berdasarkan hasil penambatan molekul, tetapi juga melalui tahapan prediksi ADMET (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi dan Toksisitas),bioavailabilitas serta efek ligan terhadap kesehatan. Terdapat 3 ligan terbaik yang dapat diusulkan sebagai kandidat antiviral pada virus dengue yaitu UNQ15038, UNQ16938 dan UNQ14727. Studi simulasi dinamika molekuler menunjukkan bahwa kompleks protein-ligan stabil pada temperatur 310 K dan 312 K. Kompleks paling stabil terdapat pada kompleks protein 3P8Z dengan ligan UNQ15038.

Dengue fever is still a major health problem, which is endemic in more than 100 countries. Information about the effects of the virus mutation is important in drug design and development. In this research, the mutations and their effects were analyzed in NS5 dengue virus by using 3P8Z protein as the main sequence. The result of mutation analysis showed that mutation occurs in NS5 of DENV serotype 3. Glutamine mutates into methionine at position 10 and threonine mutates into isoleucine at position 55. These residues are part of the domain named S-Adenosyl-L-Methionine-Dependent Methyltransferase (IPR029063). The wildtype and mutant residue have the different properties, which can disturb this domain and abolish its function.
Based on the result of molecular docking simulation, from 100 best compounds only 17 compounds werenselected. Determination of the best ligand not only based on molecular docking simulation but also analyze the ADMET (absorption, distribution, metabolism, excretion, and toxicity), bioavailability and health effect of the ligands. There are three best ligands that can be proposed as antiviral candidates, the ligands are UNQ15038, UNQ16948 and UNQ14727. Molecular dynamics simulation study showed that the protein-ligand complexes are stable at temperature 310 K and 312 K. The most stable complex is the protein 3P8Z with ligand UNQ15038."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Good growth of tolypothrix scytonemoides (Gardner) Geitler was observed in low concentrations of NPK fertilizer, single superphospate and urea...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jellyca Anton
"Glutamin merupakan asam amino yang berperan penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sel tertentu, di antaranya adalah proliferasi sel limfosit. Penurunan kadar glutamin plasma terjadi pada hewan coba dengan kanker, yang berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi glutamin dapat mencegah terjadinya mukositis oral akibat radiasi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di Departemen Radioterapi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap total lymphocyte count TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Dari total 52 subjek yang mengikuti penelitian ini, didapatkan median usia 50,50 18-62 tahun dan 63,46 adalah subjek laki-laki. Nasofaring merupakan lokasi kanker tersering. Sekitar 70 subjek berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Status gizi sebagian besar subjek masih tergolong normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Meskipun demikian, beberapa data dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai adanya masalah nutrisi yang dialami pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Data tersebut antara lain lebih dari 60 subjek memiliki asupan kalori dan protein harian yang kurang, kemudian didapatkan juga kadar glutamin plasma semua subjek yang sangat rendah, dengan rerata 7,77 3,32 ?mol/l. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses penyakit kanker, lokasi pertumbuhan kanker, efek samping terapi, serta kebutuhan yang sangat tinggi akan glutamin untuk fungsi fisiologis tubuh.

Glutamin is an amino acid that plays an important role in maintaining the homeostasis of many cells, including the proliferation of lymphocytes. A decrease in plasma glutamine level was observed in rats with cancer, which could increase the susceptibility to infection. Several studies showed that glutamine supplementation could prevent oral mucositis induced by radiation, so this could increase the quality of life of head and neck cancer patients receiving radiotherapy. This cross sectional study conducted at Radiotherapy Department, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, aimed to investigate the correlations of plasma glutamin level with total lymphocyte count TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. A total of 52 subjects participated in this study, with median age 50,50 18 62 years old and 63,46 subjects were male. Nasopharynx was the most common site affected. About 70 subjects were at stage IV cancer and receiving a combination of radiotherapy and chemotherapy. Most of the subjects had a normal nutritional status according to body mass index BMI.
The results of this study showed no correlations of plasma glutamine level with TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. However, data from this study revealed nutritional problems that happened in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. These data include more than 60 of subjects had below normal limit daily calorie and protein intakes, and the plasma glutamine level of all subjects was very low, with mean 7,77 3,32 mol l. Several factors predicted to be the cause of these problems are the process of the disease, cancer growth location, side effects of therapy, as well as a high need of glutamine for physiological functions of the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primayudha Dirgatama
"Latar Belakang: Salah satu tata laksana revaskularisasi pada Penyakit jantung koroner (PJK) adalah bedah pintas arteri koroner (BPAK). Salah satu teknik BPAK menggunakan mesin pintas jantung paru (PJP) yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi sehingga terjadi penurunan tahanan vaskular sistemik (TVS) sehingga meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Glutamin adalah asam amino non esensial yang dapat menjadi esensial kondisional pada keadaan kritis dan memiliki peran membantu regulasi tonus endotel.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain penelitian kohort retrospektif. Sampel dipilih secara metode consecutive sampling dan metode randomisasi blok. Variabel-variabel yang diperiksa dilakukan uji normalitas. Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan variabel dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik Mann-Whitney test.
Hasil: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian glutamin preoperasi pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK mengalami penurunan TVS pada jam keenam pascaoperasi (p = 0,04) namun mengalami peningkatan curah jantung pada jam keenam (p = 0,015). Hasil pada jam ke-24 TVS pascaoperasi juga mengalami penurunan namun terlihat signifikan bila melihat faktor perancu -844,9+27,8 (ejeksi fraksi praoperasi)+0,4 (Kadar Glutamin Praoperasi)+14 (Umur) Adjusted R square = 21,9%. Curah jantung jam ke-24 pascaoperasi mengalami peningkatan secara signifikan tanpa melihat variabel perancu (p = 0,037) maupun dengan melihat variabel perancu umur (p = 0,003) dan FE praoprasi (p = 0,006) (adjusted r quare = 23,6%).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi menyebabkan penurunan TVS disertai dengan peningkatan curah jantung pada pemantauan jam keenam dan jam ke-24.

Background: Coronary Artery Bypass Graft (CABG) is one of revascularization treatment in coronary artery disease patient. The most common CABG technique uses a cardiopulmonary bypass (CPB) machine which can cause an inflammatory reaction resulting in a decrease in systemic vascular resistance (SVR) thereby increasing mortality and morbidity. Glutamine is a non-essential amino acid that can become conditionally essential in critical situations such as systemic inflammatory respose syndrome (SIRS) and has a role in assisting the regulation of endothelial tone.
Methods: This study is an analytic observational study with a retrospective cohort study design. Samples were selected by consecutive sampling method and block randomization method. The variables examined were tested for normality. Variables with normal distribution were analyzed statistically by independent t-test, while variables with abnormal distribution were analyzed by Mann-Whitney test. Each confounding variables then put together and analyzed statistically with multivariate approach.
Results: Based on the results of the study, it can be concluded that preoperative administration of glutamine in patients with coronary heart disease with low ejection fraction (EF) who underwent CABG experienced a decrease in SVR at the sixth postoperative hour (p = 0.04) but increased cardiac output at the sixth hour (p = 0.015). The results at 24 hours postoperative also shows decreased SVR but were significant when looking at its confounding factors for preoperative EF (p = 0.001), preoperative glutamine levels (p = 0.01), and age (p = 0.013) (adjusted r square = 21.9%). Cardiac output at 24 hours postoperatively increased significantly regardless of confounding variables (p = 0.037) or by looking at its confounding factor; age (p = 0.003) and preoperative EF (p = 0.006) (adjusted r square = 23.6%).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can decrease SVR and increase cardiac output in 6 hours and 24 hours observation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library