Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adinda Ayu Rafika Apriliani
Abstrak :
Kematian akibat penyakit ginjal meningkat 31,7 persen dalam 10 tahun terakhir. Khusus di Indonesia, penyakit ginjal merupakan penyebab kematian terbesar yang menempati urutan ke-10 menurut data WHO Country Health Profiles tahun 2012. Dalam melakukan penelitian obat alternatif baru, terdapat satu fase sebelum obat dievaluasi pada manusia yaitu praklinis. pengujian yang menggunakan hewan uji dengan kondisi patofisiologis dibuat semirip mungkin dengan manusia. Losartan adalah obat hipertensi yang juga digunakan sebagai obat off-label dalam terapi nefrotoksik. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk dapat menemukan metode pembentukan model hewan nefrotoksik yaitu pada hewan uji tikus, dan mengevaluasi efek terapi losartan pada hewan model nefrotoksik. Uji orientasi metode induksi nefrotoksik dilakukan pada 27 ekor tikus yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan yaitu normal, 3 kelompok variasi dosis Gentamisin (80, 100, dan 120 mg / kg BB / hari), dan 3 kelompok perlakuan. variasi dosis natrium diklofenak (10, 50, dan 100 mg / kg BB / hari) diberikan secara intraperitoneal selama 15 hari. Uji efektivitas sampel losartan, menggunakan 40 ekor tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu normal, kontrol negatif, dan 3 variasi dosis losartan (5, 10, dan 20 mg / kg BB / hari) diberikan secara oral selama 7 hari. . Pemberian Gentamisin dosis 2 dan 3 selama 5 hari secara signifikan meningkatkan kadar urea serum dan BUN (p <0,05). Sebaliknya pemberian natrium diklofenak tidak memberikan perbedaan yang bermakna (p> 0,05) pada parameter kadar kreatinin serum, urea, dan BUN. Selain itu, pemberian natrium diklofenak pada dosis 50 dan 100 mg / kg BB / hari menghasilkan efek toksik pada hewan uji tikus, yaitu menyebabkan kematian pada hewan uji dalam waktu kurang dari 5 hari. Pada hari ke 7 pemberian losartan tidak berbeda nyata pada parameter fungsi ginjal dan aktivitas antioksidan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Namun dari data yang diperoleh terjadi peningkatan parameter fungsi ginjal yaitu kadar kreatinin, urea, dan BUN serta peningkatan kadar SOD dan penurunan kadar MDA. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Gentamisin memiliki efek nefrotoksik yang lebih tinggi daripada natrium diklofenak, sehingga metode pembentukan hewan nefrotoksik terbaik adalah dengan menggunakan Gentamisin. Dosis dan durasi penggunaan terbaik adalah 120 mg / kg BB / hari selama 5 hari. Sedangkan pengaruh pemberian losartan tidak menunjukkan adanya efek terapeutik pada model hewan nefrotoksik. Deaths from kidney disease increased by 31.7 percent in the last 10 years. Especially in Indonesia, kidney disease is the biggest cause of death which ranks 10th according to data from the WHO Country Health Profiles in 2012. In conducting research on new alternative drugs, there is one phase before the drug is evaluated in humans, namely preclinical. tests using test animals with pathophysiological conditions are made as closely as possible to humans. Losartan is a hypertension drug that is also used as an off-label drug in nephrotoxic therapy. Therefore, this study is designed to be able to find a method of forming a nephrotoxic animal model, namely in rat test animals, and evaluate the effect of losartan therapy in nephrotoxic animal models. The orientation test of the nephrotoxic induction method was carried out on 27 rats which were divided into 7 treatment groups, namely normal, 3 groups of Gentamicin dose variations (80, 100, and 120 mg / kg BW / day), and 3 treatment groups. variations in the dose of diclofenac sodium (10, 50, and 100 mg / kg BW / day) were given intraperitoneally for 15 days. The losartan sample effectiveness test, using 40 Sprague-dawley rats divided into 5 treatment groups, namely normal, negative control, and 3 variations of losartan doses (5, 10, and 20 mg / kg BW / day) were given orally for 7 days. . Giving Gentamicin doses 2 and 3 for 5 days significantly increased serum urea and BUN levels (p <0.05). On the other hand, diclofenac sodium did not give a significant difference (p> 0.05) in the parameters of serum creatinine, urea, and BUN levels. In addition, the administration of diclofenac sodium at doses of 50 and 100 mg / kg BW / day resulted in a toxic effect in rat test animals, namely causing death in test animals in less than 5 days. On day 7, losartan was not significantly different in the parameters of renal function and antioxidant activity when compared to the negative control group. However, from the data obtained, there was an increase in renal function parameters, namely the levels of creatinine, urea, and BUN as well as an increase in SOD levels and a decrease in MDA levels. From these results it can be concluded that Gentamicin has a higher nephrotoxic effect than diclofenac sodium, so that the best nephrotoxic animal formation method is to use Gentamicin. The best dose and duration of use is 120 mg / kg BW / day for 5 days. Meanwhile, the effect of giving losartan did not show any therapeutic effect in the nephrotoxic animal model.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikry Dwi Anjan
Abstrak :
Daun angsana (Pterocarpus indicus Willd.) telah banyak digunakan secara empiris untuk mengobati sariawan, antibakteri dan penyakit ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efek nefroprotektif daun angsana pada tikus putih jantan yang diinduksi gentamisin ditinjau dari kadar urea dan kreatinin plasma yang keduanya merupakan parameter fungsi ginjal. Pada penelitian ini, digunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol normal (aquadest dan aqua p.i.), kelompok induksi (gentamisin 80mg/kg bb/hari i.p), dosis I (rebusan daun angsana 28,8 mg/kg bb/hari), dosis II (rebusan daun angsana 57,6 mg/kg bb/hari), dosis III (rebusan daun angsana 115,2 mg/kg bb/hari). Semua kelompok diberikan perlakuan selama 21 hari. Pada hari ke-15 diberikan injeksi gentamisin selama 7 hari. Pada hari ke-22, pengambilan darah dilakukan melalui sinus orbital. Kadar urea dan kreatinin diukur menggunakan metode berthelot untuk urea dan metode kolorimetri untuk kreatinin. Hasilnya menunjukan pemberian dosis III (rebusan daun angsana 115,2 mg/kg bb/hari) dapat menurunkan kadar urea dan kreatinin plasma serta memiliki perbedaan bermakna (p<0,05) dengan kelompok induksi sehingga dapat disimpulkan bahwa daun angsana dosis III (rebusan daun angsana 115,2 mg/kg bb/hari) memiliki potensi untuk mencegah kerusakan ginjal yang disebabkan oleh gentamisin. ......Angsana leaves (Pterocarpus indicus Willd.) has been widely used empirically for treat canker sore, antibacterial and kidney disease. This study aimed to demonstrate the scientific of nephroprotective effect from angsana leaf on male rats induced by gentamicin reviewed from urea and creatinine plasma levels were both parameters of renal function. In this study, thirty male rats strain Sprague Dawley divided into five treatment groups were normal control group (aquadest and aqua p.i.), induction group (80 mg/kg bw/day i.p ), dose I group (28.8 mg/kg bw/day), dose II group (57.6 mg/kg bw/day), dose III group (115.2 mg/kg bw/day). All groups were given treatment for 21 days. At the 15th day, the animals were given gentamicin injection for 7 days. At the 22th day, the blood was collected from sinus orbital. The urea and creatinine plasma levels were measured by berthelot method for urea and colorimetric method for creatinine. The result show dose III (115.2 mg/kg bw/day) was decreased urea and creatinine plasma levels also has significantly different (p<0,05) with induction group. So, stew angsana leaf dose III group (115.2 mg/kg bw/day) has potential to prevent kidney damage by gentamicin induced.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S63374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elphina Rolanda
Abstrak :
Penggunaan antibiotik dalam masyarakat sangat tinggi. Sampai saat ini, masih terdapat berbagai masalah yang ditimbulkan oleh penggunaan antibiotik. Gentamisin sulfat, antibiotik aminoglikosida dengan profil bioavailabilitas buruk dan efek samping, memerlukan jalan keluar untuk menjadikan antibiotik ini memiliki aktivitas lebih baik lagi dan aman. Liposom, sebagai karier pengantaran obat telah terbukti sukses meningkatkan aktivitas antibakteri banyak senyawa obat dari berbagai kelas antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi hambat minimum (KHM) larutan gentamisin sulfat terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 15,63 ppm dan terhadap Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa adalah 62,5 ppm. Konsentrasi bunuh minimum (KBM) larutan gentamisin sulfat terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 15,63 ppm dan terhadap Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa adalah 62,5 ppm sedangkan konsentrasi bunuh minimum suspensi liposom gentamisin sulfat terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 7,81 ppm dan terhadap Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa adalah 3,91 ppm. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa enkapsulasi liposom meningkatkan aktivitas antibakteri gentamisin sulfat terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 dan Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa.
The use of antibitotic in society is very high. Until this moment, there are various problem caused by the use of antibiotics. Gentamicin sulfate, an aminoglycoside antibiotic which has poor bioavailabily profe and side effect, requiring a way out to make it?s activity better and more safe. Liposome, as a carrier for drug delivery system, have been successfully improve the activity of many antibacteria compound from different classes of antibiotics. The result of this research shown that the the minimum inhibitory concentration (MIC) for gentamicin sulfate solution againts Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 is 15.63 ppm and 62.5 ppm when againts Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa. Minimum bactericidal concentration (MBC) for gentamicin sulfate solution againts Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 is 15.63 ppm and when againts Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa is 62.5 ppm while the minimum bactericidal concentration for gentamicin sulfate liposomal suspension againts Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 is 7.81 ppm and when againts Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa is 3.91 ppm. Thus, the conclusion that can be drawn is liposome encapsulation improved gentamicin sulfate?s antibacteria activity againts Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 and Multidrug Resistant Pseudomonas aeruginosa.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42116
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azra Fathiya Iskandar
Abstrak :
Latar Belakang: Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang disebabkan oleh organisme piogenik, salah satunya bakteri. Bakteri yang paling umum ditemukan sebagai penyebab osteomielitis adalah bakteri Staphylococcus aureus. Tatalaksana osteomielitis dilakukan dengan penggabungan antara tindakan bedah dan penggunaan antibiotik. Saat ini, mulai dikembangkan penggunaan antibiotik secara lokal karena adanya keterbatasan apabila diberikan secara sistemik. Bone graft digunakan sebagai material pembawa antibiotik dan menjadi alternatif dari penggunaan PMMA (Polymethylmethacrylate). Pembuatan biphasic kalsium sulfat dan kalsium fosfat bertujuan untuk mengatasi kekurangan masing-masing fasa. Tujuan: Mengetahui daya hambat antibakteri material gipsum-monetite pembawa gentamisin terhadap bakteri Staphylococcus aureus (ATCC 25923). Metode: Kemampuan daya hambat antibakteri diuji menggunakan metode Kirby-Bauer yaitu dengan menghitung zona inhibisi yang terbentuk di sekitar pelet. Terdapat 4 kelompok komposisi pelet biphasic gipsum-monetite yang digunakan, yaitu 100:0, 90:10, 80:20, dan 60:40. Pelet direndam dalam larutan gentamisin dan dilakukan pengujian pada media agar Mueller-Hinton. Zona inhibisi diukur setelah waktu inkubasi selama 24 dan 48 jam, serta penurunan zona antara kedua waktu tersebut. Selanjutnya, hasil tersebut akan diuji menggunakan uji statistik One-Way ANOVA dan T-Test Dependen. Hasil: Terbentuk zona inhibisi di sekitar pelet biphasic gipsum-monetite untuk seluruh kelompok. Berdasarkan hasil uji One Way ANOVA didapatkan adanya perbedaan yang tidak bermakna antar setiap kelompok komposisi terhadap zona inhibisi yang terbentuk setelah inkubasi 24 dan 48 jam. Sedangkan, berdasarkan hasil uji T-Test Dependen didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara zona inhibisi 24 dan 48 jam pada setiap kelompok. Kesimpulan: Pelet biphasic gipsum-monetite dapat digunakan sebagai material pembawa antibiotik dan tidak terdapat pengaruh antara komposisi gipsum dan monetite terhadap daya hambat antibakteri. Zona inhibisi yang terbentuk mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu inkubasi ......Background: Osteomyelitis is an inflammatory process caused by pyogenic organism, such as bacteria. The most common bacteria found as a cause of osteomyelitis is Staphylococcus aureus. The management of osteomyelitis is carried out by combining surgery and the use of antibiotics. Antibiotic is currently being developed for localised uses due to limitations when administered systemically. Bone graft is used as a carrier for antibiotics and as an alternative to PMMA (Polymethylmethacrylate). Preparation of biphasic calcium sulfate and calcium phosphate is used to overcome the deficiency of each phase. Objectives: Determine the antibacterial inhibition of gentamicin-carrying gypsum-monetite material against Staphylococcus aureus (ATCC 25923). Methods: The capability of antibacterial inhibition was tested using the Kirby-Bauer method by calculating the inhibition zones formed around the pellets. There were 4 groups of biphasic gypsum-monetite pellet used, 100:0, 90:10, 80:20 and 60:40 respectively. The pellets were soaked in gentamicin solution and tested on Mueller-Hinton agar media. The zone of inhibition was measured after 24 and 48 hours of incubation, including the decrease in the zone. Furthermore, these results will be tested using One-Way ANOVA statistical tests and Dependent T-Test. Results: Zone of inhibition were formed around the biphasic gypsum-monetite pellets for the entire group. Based on the results of the One Way ANOVA test, it was found that there was no significant difference between each composition group in the inhibition zone formed after 24 and 48 hours of incubation. Meanwhile, based on the results of the Dependent T-Test test, it was found that there was a significant difference between the 24 and 48 hour inhibition zones in each group. Conclusion: Biphasic gypsum-monetite pellets can be used as material for carrying antibiotics and there is no effect between the composition of gypsum and monetite on antibacterial inhibition. The inhibition zone formed decreased with increasing incubation time.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Komara
Abstrak :
Sebagian besar bakteri penyebab Infeksi saluran kemih (ISK) adalah bakteri gram negatif. Bakteri Gram negatif banyak yang telah resisten terhadap berbagai macam antibiotik, salah satunya terhadap antibiotik gentamisin dan kotrimoksazol. Kedua antibiotik ini termasuk antibiotik yang digunakan untuk mengatasi ISK akibat bakteri gram negatif. Menurunnya kepekaan obat ini menjadi salah satu kendala dalam penanggulangan ISK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menentukan pola kepekaan bakteri Gram negatif terhadap antibiotik gentamisin dan kotrimoksazol dari tahun 2001-2005. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan disain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder sebanyak 1522 sampel yang diteliti dengan kultur positif di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI dari Januari 2001 sampai Desember 2005 dan telah menjalani pemeriksaan resistensi berdasarkan National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS), terdiri dari: Escherichia coli 567 sampel, Enterobacter 153 sampel, Klebsiella pneumonia 407 sampel, Proteus mirabilis 137 sampel dan Pseudomonas aeruginosa 256 sampel. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai rata-rata kepekaan Escherichia coli terhadap gentamisin 78,4% dan kotrimoksazol 34%; nilai rata-rata kepekaan Enterobacter terhadap gentamisin 71,7% dan kotrimoksazol 36,3%; nilai rata-rata kepekaan Klebsiella pneumonia terhadap gentamisin 70% dan kotrimoksazol 50,6%; nilai rata-rata kepekaan Proteus mirabilis terhadap gentamisin 94,7% dan kotrimoksazol 43%; nilai rata-rata kepekaan Pseudomonas aeruginosa terhadap gentamisin 44,8% dan kotrimoksazol 29%. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa dari tahun 2001-2005 bakteri Gram negatif terhadap antibiotik kotrimoksazol cenderung telah resisten, sedangkan terhadap antibiotik gentamisin cenderung masih sensitif kecuali terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa yang telah resisten. ......Most of the bacteria causing urinary tract infection (UTI) is negative gram bacteria. Some of these bacteria are resistant to several antibiotics, including gentamycin and cotrimoxazole. Both of these antibiotics are used for treating UTI caused by negative gram bacteria. Decreasing sensitivity of these drugs being the obstacle in the management of UTI in Indonesia. This research is aimed to investigate the sensitivity pattern of the gram negative bacteria to gentamycin and cotrimoxazole from 2001 to 2005. The disain of this study was cross-sectional descriptive. This study was conducted by analyzing secondary data with 1522 positive culture samples from Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine University of Indonesia since January 2001 to December 2005 and had been checked for their resistance based on the National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) including 256 samples of Eschericia coli, 153 samples of Enterobacter, 407 samples of Klebsiella pneumonia, 137 samples of Proteus mirabilis, and 258 samples of Pseudomonas aeruginosa. Results of the analysis showed that sensitivity of Escherichia coli to gentamicin and cotrimoxazol were 78.4% and 34% respectively; sensitivity of Enterobacter to gentamicin and cotrimoxazol were 71.7% and 36.3% respectively; sensitivity of Klebsiella pneumonia to gentamicin and cotrimoxazol were 70% and 50.6% respectively; sensitivity of Proteus mirabilis to gentamicin and cotrimoxazol were 94.7% and 43% respectively; sensitivity of Pseudomonas aeruginosa to gentamicin and cotrimoxazol were 44.8% and 29% respectively. Based on that analysis, it can be concluded that from 2001-2005, negative Gram bacteria tend to resistant to be cotrimoxazole, meanwhile to gentamycin, it’s still effective, except to resistant Pseudomonas aeruginosa.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library