Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Pemilu yang demokratis tercermin dalam electoral laws dan electoral process-nya dan MK mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah suatu ketentuan mengenai electoral laws demokratis atau tidak melalui uji konstitusi UU pemilu terhadap UUD 1945, sedangkan mengenai electoral process MK berperan melalui peradilan perselisihan hasil pemilu.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Inezia Al Kahfi
Abstrak :
Penelitian ini membahas partisipasi politik jemaah Salafi di DKI Jakarta pada Pemilihan Presiden 2019. Penelitian ini menggunakan konsep ideologi dan teori partisipasi politik. Penelitian ini menjelaskan Islam dengan pemahaman para salaf yaitu generasi terbaik umat Islam sebagai ideologi yang dapat mempengaruhi tindakan politik jemaah Salafi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam untuk memperoleh data primer serta data sekunder melalui buku, artikel jurnal, dan media daring. Temuan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa ustaz Salafi yang membolehkan jemaah untuk mengikuti pemilihan umum dengan membawakan dalil agama. Peneliti juga menemukan jemaah Salafi yang berpartisipasi dalam Pemilihan Presiden 2019. Bahkan terdapat ustaz yang menganjurkan jemaah untuk memilih dalam pemilihan umum dibandingkan tidak memilih. Jemaah Salafi menilai pada saat Pemilihan Presiden 2019 terjadi polarisasi dalam masyarakat menjadi dua kubu. Dalam memilih di antara kedua calon, jemaah tidak hanya memperhatikan profil calon presiden saja melainkan juga memperhatikan pendukung dari calon presiden yang akan dipilih. Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih calon presiden yang mayoritas pendukungnya adalah muslim, yaitu Prabowo Subianto. Jemaah Salafi juga menerima hasil akhir suara dan menekankan untuk tetap taat kepada presiden terpilih yang memimpin pemerintahan, selama bukan untuk melanggar syariat agama. ......This study discusses the political participation of Salafi in DKI Jakarta in the 2019 Presidential Election. This study uses the concept of ideology and political participation theory. This study explains Islam with the understanding of the salaf, namely the best generation of Muslims as an ideology that can influence the political actions of Salafi congregation. This study uses a qualitative method by conducting in-depth interviews to obtain primary and secondary data through books, journal articles, and online media. The findings of this study are that there are several Salafi ustadh who allow congregations to take part in general elections by presenting religious arguments. The researcher also found Salafi congregation participating in the 2019 Presidential Election. There were even ustadh who suggested the congregation to vote in general elections instead of not voting. The Salafi congregation views that during the 2019 Presidential Election there was polarization in society into two camps. In choosing between the two candidates, the congregation does not only pay attention to the profile of the presidential candidate but also pays attention to the supporters of the presidential candidate to be elected. They have a tendency to vote for a presidential candidate whose majority of supporters are Muslims, namely Prabowo Subianto. The Salafi congregation also accept the final results and an appeal to remain obedient to the elected president who leads the government, as long as it does not violate religious law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Tri Lestari
Abstrak :
Indonesia tengah mempersiapkan penyelenggaraan pemilu tahun 2024 secara serentak. Keikutsertaan dalam Pemilu menjadikan partai politik eksis secara hukum dan secara politik. Agar dapat ditetapkan menjadi peserta pemilu tahun 2024, partai politik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 173 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan pasal tersebut telah beberapa kali dilakukan uji materil hingga yang terakhir melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konstitusionalitas kebijakan verifikasi dan akibat hukumnya terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Bentuk penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memerlukan jenis data sekunder dengan hasil penelitian bersifat deskriptif preskriptif analitis disertai perbandingan beberapa negara sebagai komparasi. Hasilnya adalah konstitusionalitas kebijakan verifikasi partai politik menjadi peserta pemilu mengalami perubahan yang bergantung pada penafsiran dan pemaknaan bagaimana kebijakan itu diterapkan. Mahkamah Konstitusi dalam yurisprudensinya pernah mengatakan bahwa pentingnya verifikasi faktual terhadap partai politik yakni sebagai bentuk keadilan terhadap semua peserta pemilu, dan merupakan desain penyederhanaan partai politik. Namun melalui putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi menilai perspektif keadilan secara berbeda yakni perlakuan yang sama terhadap sesuatu yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang berbeda harus diterapkan dalam mekanisme verifikasi dan akibat covid-19 yang menguras keuangan negara sehingga verifikasi faktual tidak perlu dilakukan untuk partai politik parlemen. Akibat hukum putusan yang diskriminasi tersebut secara tidak langsung berakibat terhadap ruang kebebasan berserikat dan berkumpul. Kebijakan verifikasi yang bersifat diskriminasi dan menguntungkan pihak tertentu, secara tidak langsung juga menghalangi tumbuhnya generasi baru dari manifestasi kebebasan berserikat berkumpul yang berakibat matinya demokrasi. Verifikasi partai politik nyatanya tidak berdampak langsung terhadap penyederhanaan partai politik. Oleh karenanya, jumlah partai politik menjadi peserta pemilu maupun diparlemen harusnya bukan menjadi persoalan. Dibutuhkan desain persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu untuk menjadi lesson learned dari beberapa negara sebagai sebuah metode perbandingan setidaknya memberikan pengalaman bahwa banyak alternatif solusi yang bisa diadopsi dan diadaptasikan dinegara sendiri. ......Indonesia is currently preparing to simultaneously hold the 2024 elections. Participation in elections makes political parties exist legally and politically. In order to be declared participants in the 2024 election, political parties must meet the requirements in Article 173 of Law No. 7 of 2017 concerning General Elections. The provisions of this article have been subject to judicial review several times, until the last one was through the decision of the Constitutional Court Number 55/PUU-XVIII/2020. This study aims to describe the constitutionality of the verification policy and its legal consequences for freedom of association and assembly. The form of this research is doctrinal research which requires secondary data types with the results of the research being descriptive-analytical, accompanied by a comparison of several countries as a comparison. The result is that the constitutionality of the policy on verifying political parties to participate in elections undergoes changes depending on the interpretation and meaning of how the policy is implemented. The Constitutional Court in its jurisprudence has said that the importance of factual verification of political parties is as a form of justice for all election participants, and is a simplification design for political parties. However, through decision Number 55/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court assessed the perspective of justice differently, namely equal treatment of the same thing and different treatment of something different must be applied in the verification mechanism and due to Covid-19 which drains state finances so that verification factual need not be done for parliamentary political parties. The legal consequence of this discriminatory decision indirectly affects the space for freedom of association and assembly. The verification policy which is discriminatory in nature and benefits certain parties, indirectly also hinders the growth of a new generation of manifestations of freedom of association which results in the death of democracy. Verification of political parties also does not have a direct impact on the simplification of political parties. Therefore, the number of political parties participating in elections or parliament should not be a problem. It requires the design of the requirements for political parties to participate in elections to become lessons learned from several countries as a comparative method, at least to provide experience that there are many alternative solutions that can be adopted and adapted in their own countries.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Maradona
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang dinamika politik yang terjadi di Timur Tengah dan Palestina, dimulai ketika lahirnya HAMAS hingga kemenangan HAMAS pada Pemilu Legislatif di Palestina pada tahun 2006. Pasca berdirinya Negara Israel muncul organisasi-organisasi pergerakan yang menentang berdirinya Negara tersebut. Dialog-dialog yang diadakan antara Pemerintah Otoritas Palestina dengan Israel yang tidak menemui titik terang meyebabkan lahirlah HAMAS. HAMAS kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Politik dengan mengikuti Pemilu pada tahun 2006. Kemenangan HAMAS pada pemilu tersebut menyebabkan terjadinya dinamika politik baru di Palestina, baik di dalam maupun luar negeri Palestina.
This script talking about study on politic dynamics in Middle East and Palestine, start from HAMAS was born until victory of HAMAS in egislative Elections in Palestine 2006. After the exist of Israel appear organization movement which denied the existing of that country. The authority government of Palestine and Israel made the dialogue but there is no dealing between them which caused the appearance of HAMAS. Soon HAMAS become a politics party and join as a participant in General Election 2006. The victory of HAMAS on the election caused new politics dynamics in Palestine in inside or outside the country.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S13396
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azhar
Abstrak :
Sebagai salah satu provinsi Usmaniyah, Irak memiliki posisi penting dalam sejarah Islam yang berada pada pusat pertemuan empat sejarah besar. Pertama, di selatan, kawasan gurun yang rawan terhadap serbuan suku-suku Najd ketika muncul gerakan Wahabi. Kedua, di utara dan timur, Iran Syi?ah selama empat abad menjadi pesaing utama Usmaniyah. Ketiga, di barat dan barat laut, Gurun Suriah dan kelompok Negara-negara Levant yang membentuk Suriah Raya merupakan musuh utama yang pada abad ke-20 melanjutkan pertentangan lama antara Abbasiyah (Irak) dan Umayah (Suriah). Keempat, di utara dan barat laut Baghdad, wilayah Kurdi menempati perbatasan dengan Turki, patron Irak selama hampir empat abad. Posisi strategis inilah ? disamping kekayaan minyaknya ? kemudian menyebabkan Irak selalu dalam gelombang pergantian peradaban dan kekuasaan. Setelah dalam kekuasaan Sumeria, Akadia, Babylonia, Asiria, dan Persia, kawasan Mesopotamia ini kemudian diperintah dan dikuasai oleh peradaban Islam. Pada masa peradaban Islam inilah, Irak membangun eksistensinya hingga saat ini. Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Utsmani adalah representasi peradaban Islam yang kemudian banyak mengakar dalam tradisi dan peradaban kawasan sepanjang sungai Tigris dan Euphrat ini. Konflik sektarian ? yang merupakan warisan sejarah dari peradaban Islam ? hingga kini berlajut di Irak. Konflik Sunni dan Syi?ah ini menemukan momentumnya setelah pintu demokrasi terbuka lebar beberapa saat setelah Saddam Hussein tumbang dari kekuasaannya. Kelompok Syi?ah yang sempat terpinggirkan pada periode Saddam Hussein ini, kini kembali muncul ke permukaan dengan meraih suara mayoritas pada pemilu 30 Januari 2005. Sebagai kelompok yang pernah mendominasi pada periode Saddam Hussein, kelompok Sunni-pun menolak hasil pemilu dan menumbuhkan akar konflik baru dalam sejarah modern Irak.
As one of Ottoman Governorate, Iraq is important position in Islamic history for center of four the big history. First, in south, desert area which gristle to incursion of Najd when emerging Wahabi movement. Second, in north and east, Syi'ah Iran during four centuries becomes the especial competitor to Ottoman Dynasty. Third, in west and northwest, Suriah Desert and Nations of Levant is forming Great Suriah represent the archenemy which is on twentieth century continuing the old opposition between Abbasiyah (Iraq) and Umayyah (Suriah). Fourth, in northwest and north of Baghdad, Kurdi occupied the frontier by Turkey, patron Iraq during four centuries. This strategic position - beside oil properties - is caused Iraq in wave of civilization and power. After in Sumeria power, Akadia, Babylonia, Asiria, and Persian, this Mesopotamia area is governed by Islamic civilization. On Islamic civilization period, Iraq developed up to now. Umayyah Dynasty, Abbasiyah Dynasty, and Ottoman Dynasty is represented of Islamic civilization which is growing on tradition as long as Tigris and Euphrat rivers. Sectarian conflict - representing of Islamic civilization ? have continued in Iraq up to now. Conflict of Sunni and Syi'ah group find its momentum after democracy door opened wide a few moments after Saddam Hussein fall down from its power. Group Syi'ah which have time to be pulled over Saddam Hussein period, nowadays return to emerge to surface reached folly voice the majority of election on 30 January 2005. As a group which has dominated in Saddam Hussein period, Sunni group was refuse result of general election and grow the new conflict root in recent history of Iraq.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This qualitative study specifies some spin doctor's strategies in 2009 Indonesian general election, that in many forms mislead voters from the truths and realities. It reviewed several theses and articles which focus on strategies and phenomenon uproar in the elections, such as creating pseudoo images and events, or deceptive political advertising. 'Theory-based generalization' approach was used in this research, as well as secondary qualitative analyses. If the Machiavellian's view of political communication keeps practicing, it argues that Indonesian people will be more apathy to give its political participation and thus endanger democracy. Finally, it proposes political parties and presidential candidates to practice more ethical ways and smarter strategy to lure its constituences, rather than using 'machiavelli-way'
Jakarta: Research Centre Centre for Excellence in Communication,
380 EXP
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliansyah
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada pemenuhan hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum. Anggota TNI dan POLRI dilarang memilih dalam pemilihan umum, sementara UUD 45 menjamin hak untuk memilih dalam pemilihan umum bagi semua warga negara Indonesia (yang sudah berusia 18 tahun atau lebih) dan dalam prinsip hak asasi manusia, hak memilih merupakan hak setiap individu sebagai warga negara. Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut: (a) Mengapa terjadi pelarangan hak untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri? (b) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum?, (c) Bagaimana persepsi anggota TNI dan Polri dalam menyikapi hak memilih mereka? (d) Bagaimana Hak memilih anggota TNI dan Polri dalam perspektif hak asasi manusia?, dan (e) Apa yang sepatutnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah dalam pemenuhan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri pada pemilihan umum? Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan historis dan deskriptif,, dilakukukan dengan penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Informan berasal dari anggota TNI, Polri dan masyarakat sipil, sedangkan narasumber dipilih dari dari kalangan TNI dan Polri, peneliti, akademisi, anggota DPR, dan praktisi hak asasi manusia. Janis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Dengan menggunakan purposive sampling dan wawancara terfokus. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: a) Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dalam pemilihan terjadi mulai pemilu ke-2, yaitu pemilu tahun 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, pemilu 1997 dan pemilu 1999, sebagai konsekuensi atas diangkatnya perwakilan TNI dan Polri dalam legislatif; b) Persepsi masyarakat dan persepsi anggota TNI dan Polri terhadap hak memilih anggota TNI dan Pohi beragam, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai argumen; c) Dalam perspektif hak asasi manusia bahwa hak memilih anggota TNI dan Polri adalah hak asasi individu TNI dan Polri sebagai warga negara yang harus diberikan. Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan UUD 45. Hasil penelitian menyarankan bahwa: a) Perlu merevisi undang-undang yang membatasi hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dan menyiapkan mekanismelperaturan pelaksananya; b) Perlu mempercepat proses reformasi TNI dan Polri; c) Perlu regulasi tegas untuk mencegah pemanfaatan hierarki komando yang mengarahkan orientasi politik anggota TNI.; dan d) perlu diberikan pendidikan politik, demokrasi, hukum dan hak asasi menusia yang balk kepada anggota TNI dan Polri. ...... General elections as a tool for community to provide their political rights to vote and elected which conducted in a direct, general, free, and secret manner. As arranged in article 22E paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraphs (1), (2) and (3) of Human Rights Law 1999, article 25 of International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR). The right to vote and elected as a rights for Indonesia citizens without any discrimination, according to regulation in article 27 paragraph (1) and article 281 paragraph (2) of National Constitution 1945. Although, in Indonesia has law which limitate the right to vote for military and police officials as follows: article 145 of Law No. 12 Year 2003 on General Elections for House of Representative and Regional People's Representative Council, article 102 of Law No. 23 Year 2003 on Regional Government, article 28 paragraph 2 of Law No. 2 Year 2002 of Indonesia Police, article 39 paragraph 4 Law No. 34 Year 2004 on Indonesia Military. Based on that, hoisted questions as follows: (a) why it has restrictions on the right to vote for military and police officials? (b) how the community perceptions on the right to vote for military and police officials? (c) how the military and police officials perceptions in order to response their right to vote? (d) how the right to vote for military and police officials in human rights perspective? (e) what should House of Representative perform as legislative agency and government as executive agency in regulate of the right to vote for military and police officials in general elections? This research has using qualitative descriptive type which conducted by library and field research. The informants are from military officials, police officials and civil community, subsequently the resources elected from military, police, researchers, academicians, house of representative members, and human rights practitioners. The type of data which used is composed from secondary and primary data which obtained by using sampling purposive and focus interview. According to this research could be summarized that: a) Limitations of the right vote for military and police officials in general election started from second general elections in 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 and 2004. That limitations as consequence on elected as House of Representative members from military and police officials; b) a variety of community perception on the right to vote for military and police officials, there are some agree and disagree with many reasons; c) diverse military and police view on the right to vote, there are some agree and disagree with many reasons; d) in human rights perspective that the right to vote for military and police officials as individual rights also a citizens that have to given. The limitations of the right to vote for military and police officials aligned with article 22E paragraph (2), article 27 paragraph (1), article 28 paragraph (1) and article 281 paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraph (1), (2) and (3) of Human Rights Law No. 39 Year 1999, and article 25 of 1CCPR. Therefore, it needed efforts to response the right to vote for military and police officials are: a) the right to vote for military and police officials should arranged immediately in a policy which prepared by government; b) to process shortly of military and police reforms and to prepare clear and legal regulations; c) to put attention on welfare from military and police officials; d) should have stern regulations to prevent using of commando hierarchy which deliver to the political orientation for military and police officials; e) to give a good political, democracy, legal and human rights education for military and police officials.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Julianto Salomo Parluhutan
Abstrak :
ABSTRAK
Di era reformasi, pemilihan umum (pemilu) adalah wujud nyata demokrasi yang memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih dan terkhusus untuk dipilih sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dalam setiap pemilu hak seseorang untuk dipilih tersebut harus memenuhi persyaratan aturan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukumnya. Hal yang  menjadi perhatian adalah syarat yang ditetapkan tersebut seringkali dipersoalkan konstitusionalitasnya maupun kekuatan mengikatnya akibat bertolak belakang substansi peraturannya secara hierarki perundang-undangan. Permasalahan yang menjadi kajian penulis adalah bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif atau pejabat publik yang dipilih pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan bagaimanakah akibat hukum peraturan yang melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara serta melarang mantan narapidana korupsi untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum sebagai calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum terkait dengan hak asasi manusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstitusionalitas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara hierarki melanggar ketentuan yang diatur Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai peraturan yang lebih tinggi. PKPU sebagai aturan pelaksana tidak dapat mengatur ketentuan yang bertentangan daripada yang telah diatur oleh undang-undang. Kekuatan mengikat pasal yang mengatur pembatasan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai syarat yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian menunjukkan bahwa alasan mengapa persyaratan mengenai hak mantan narapidana untuk dipilih dalam pemilu senantiasa berulang dilakukan judicial review ialah karena pembentuk undang-undang tidak tegas memasukkan 4 (empat) alasan inkonstitusional bersyarat yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk diatur dalam norma undang-undang, dan pembentuk undang-undang hanya mencantumkan sebagian dari yang dipersyaratkan Mahkamah Konstitusi ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga pengujian undang-undang terhadap syarat mantan narapidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum akan selalu terulang setiap hendak ada pemilihan umum. Penulis merekomendasikan agar pembentuk undang-undang tegas memasukkan seluruh ketentuan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan menitikberatkan kepada penelitian kepustakaan.
ABSTRACT
In the era of electoral reform is a sign of democracy that is realized with the right of a person to choose and specifically to be chosen as a constitutional right of citizens to participate in government. However, in each election, the right of a person to be elected must fulfill the rule requirements based on legislation as their legal basis. However, the stipulated conditions are often questioned in terms of their constitutionality and binding power due to the contrary of the hierarchical substance of the rules of legislation. The problem that the author studies is What are the legal consequences of PKPU No. 20 of 2018 after the Decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 and how is the constitutionality of the right of former corruption inmates to participate in general elections. The results showed that PKPU No. 20 of 2018 in a hierarchy violates the provisions regulated by law no. 7 of 2017 as a higher regulation. PKPU as an implementing rule cannot regulate contradictory provisions rather than those regulated by law. The constitutionality of the rights of ex-prisoners of corruption, none of the laws and regulations can prevent it considering that the decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 has permitted it. Research shows that the reason why the requirements regarding the rights of ex-prisoners to be elected in elections are repeated in a judicial review because the legislators do not explicitly include 4 conditional unconstitutional reasons given by the Constitutional Court to regulate the law and the legislators only list part of the norm based on the rules given by the Constitutional Court so that when the requirements of the Constitutional Court are only partially included in the norm or in the explanatory section of the law, testing of the law against the conditions of ex-prisoners to participate in general elections will always repeat every period of a large election democracy. This study uses a normative juridical method with a statutory approach and focuses on library research.
2020
T55038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahruni Hasna Ramadhan
Abstrak :
Indonesia baru saja menyelesaikan Pemilu 2004, sebagai Pemilu ke sembilan terhitung sejak Indonesia merdeka. Hal menarik dari Pemilu 2004 adalah karena selain sistem Pemilu baru dan kompleks, pemilih juga tidak hanya memilih partai tetapi juga memilih langsung calon anggota legislatif dan DPD untuk mewakilinya di badan legislatif. Selain itu melalui Pemilu 2004 masyarakat Indonesia untuk pertama kalinya memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memperkenalkan sistem dan metode pemilihan yang baru di dalam Pemilu 2004. Mengingat pentingnya menyebarkan informasi yang komprehensif tentang seluk beluk Pemilu 2004, Komisi PemiIihan Umum (KPU) sebagai badan penyelenggara Pemilu menyusun kebijakan sosialisasi melalui Keputusan KPU Nomor 623 Tentang Informasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih. Tujuan kebijakan KPU adalah untuk menyebarkan informasi mengenai tata cara teknis penyelenggaraan Pemilu dan menyebarluaskan informasi mengenai alasan, tujuan dan cara penyelenggaraan Pemilu. Sasaran kebijakan KPU tersebut adalah; (1) untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang tata cara teknis penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum, babas, rahasia, jujur, adil dan beradab; (2) menumbuhkan kesadaran pemilih akan hak dan kewajiban sebagai warga negara; (3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Pemilu; (4) meningkatkan kemampuan pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan dan strategi yang telah dilakukan KPU dalam melaksanakan sosialisasi Pemilu 2004. Sasaran sosialisasi Pemilu 2004 adalah masyarakat, khususnya pemilih. Berkaitan dengan itu, agen-agen sosialisasi yang ada di tengah-tengah masyarakat memegang peranan yang cukup signifikan dalam menyalurkan pesan-pesan politik yang ingin disampaikan oleh KPU. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan KPU dan strategi sosialisasi yang dilakukan oleh KPU, di dalam studi ini digunakan teori sosialisasi politik dan kampanye sosial. Kerangka social campaign menjelaskan bahwa KPU melakukan dua strategi utama dalam menyebarkan informasi Pemilu, yaitu; strategi above the line dan below the line, selain itu KPU bekerja sama dengan OMS dan LSM untuk melakukan sosialisasi tatap muka dengan semua kelompok sasaran. KPU juga menggunakan fasilitas website www.kpu.go.id, untuk menginformasikan semua kegiatan dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan KPU untuk melaksanakan Pemilu 2004. Sosialisasi Pemilu 2004 dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap I adalah sosialisasi tentang sistem barn di dalam Pemilu 2004, pentingnya P4B, serta pencitraan terhadap KPU. Tahap II merupakan tahap menyebarkan informasi tentang agenda Pemilu yaitu penyelenggaraan Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April, dan pengenalan profil para peserta Pemilu 2004. Pada tahap ini KPU mencetak ribuan poster, leaflet dan brosur tentang tata cara memilih. Tahap III adalah sosialisasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran I dan II. Di dalam tahap ini, KPU kembali mengajak pemilih untuk mendaftarkan diri di dalam P4B yang diperpanjang waktunya. Sosialisasi para calon Pilpres juga dilakukan melalui poster, leaflet dan stiker. Selain itu, dalam Pilpres putaran I dan II, KPU dibantu oleh IFES menyelenggarakan debat terbuka antar calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam melakukan ketiga tahap sosialisasi tersebut KPU melakukan sinergi dengan berbagai organisasi masyarakat, lembaga internasional LSM, serta media massa. Kelompok-kelompok tersebut membantu proses pendidikan pemilih, baik melalui cara pelatihan-pelatihan maupun simulasi tata cara teknis pemilihan. Pencapaian KPU adalah tingkat awareness masyarakat sebagai akibat dari sosialisasi Pemilu 2004 melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Survey yang dilakukan IFES membuktikan bahwa 96,9% responden mengetahui informasi Pemilu dari televisi dan 42,4% dari radio. 68,0% mengetahui dari poster dan 51% dari spanduk, sisanya sebesar 46,6% dari surat kabar. Selain itu, persepsi masyarakat tentang KPU juga cukup baik, 90% cukup puas dengan kinerja KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 dan 74% percaya bahwa tidak ada korupsi di tubuh KPU, sementara 19% percaya ada korupsi. 82 % percaya bahwa KPU bersifat transparan, jujur dan independen dan 12% tidak percaya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>