Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zilfia Mutia Ranny
Abstrak :
Furosemid merupakan obat diuretik kuat yang memiliki sifat hidrofobik. Formulasi dari obat hidrofobik untuk pemberian secara oral ini merupakan tantangan karena memiliki kelarutan dan disolusi yang buruk. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi dan mengetahui peningkatan kelarutan dari mikrokapsul furosemid menggunakan polimer hidrofilik maltodekstrin DE 10-15. Metode mikroenkapsulasi yang digunakan yaitu semprot kering. Pada penelitian ini perbandingan bobot yang digunakan antara furosemidmaltodekstrin adalah 1:1, 1:2, dan 1:4. Polimer hidrofilik seperti polivinilpirolidon (PVP) dan hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) juga digunakan pada formula untuk membandingkan hasil mikrokapsul furosemid-maltodekstrin DE 10-15. Perbandingan bobot furosemid terhadap PVP dan HPMC masing-masing adalah 1:1. Mikrokapsul furosemid ini dikarakterisasi meliputi uji morfologi, distribusi ukuran partikel, uji perolehan kembali, efisiensi penjerapan, penentuan uji kelarutan, analisis termal menggunakan differential scanning calorimetry, dan difraksi sinar-X. Hasil karakterisasi menunjukkan mikrokapsul furosemid yang dihasilkan memiliki morfologi partikel yang berbentuk bulat sampai tidak beraturan dengan distribusi ukuran partikel berkisar 5,47 ? 17,09 μm. Persentase efisiensi furosemid yang terjerap dalam mikrokapsul berkisar 88,21 ? 111,91%. Pada hasil analisis DSC dan XRD menunjukkan mikrokapsul furosemid mengalami transformasi dari bentuk kristal ke bentuk amorf. Hasil uji kelarutan furosemid dalam mikrokapsul menunjukkan peningkatan daripada senyawa furosemid murni.
Furosemid, a loop diuretic drug is a hydrophobic drug which is poorly soluble in water. The formulation of hydrophobic drug for oral drug delivery is challenging due to poor solubility and poor dissolution of this drug. The primary goal of this study was to characterize and to improve solubility of furosemid by microencapsulation with certain maltodextrin DE 10-15 using spray drying technique. In current research, three weight ratio of furosemide to maltodextrin DE 10-15 being used are 1:1, 1:2, and 1:4. Hydrophillic polymer such as polyvinyl pyrrolidone (PVP) and hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) also were used to compare microcapsules of furosemide with maltodextrin DE 10-15. Weight ratio both PVP and HPMC being used are 1:1. Furosemide microcapsules was characterized in terms of morphology, particle size distribution, recovery factor, entrapment efficiency, dissolution test, thermal analysis using differential scanning calorimetry, and X-ray diffraction. The result of characterization showed that the morphology of spray dried microcapsules were in spherical to irregular shape and the particles size range was about 5,47 ? 17,09 μm. Furosemide was incorporated into the microcapsules with entrapment efficiency of range between 88,21 ? 111,91%. The results of thermal analysis using differential scanning calorimetry and X-Ray diffraction showed that furosemide transformed from the crystalline state to amorphous state. From the prepared microcapsules results have shown that solubility has been improved from its spray dried microcapsules in comparison to pure furosemide.
Depok: [Universitas Indonesia, ], 2011
S33206
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aini
Abstrak :
Jamu merupakan obat tradisional Indonesia. Peraturan pemerintah menyatakan bahwa di dalam jamu tidak diperbolehkan terkandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi berkhasiat obat. Namun pada kenyataannya masih terdapat jamu-jamu yang mengandung bahan berkhasiat obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Bisakodil, Furosemid dan Sibutramin HCl dalam jamu pelangsing. Identifikasi dilakukan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Densitometri dengan eluen metanol – amonia pekat (100:1,5) dan eluen etil asetat, didukung dengan spektrum serapan dari masing-masing bercak yang mempunyai harga Rf yang sama dengan pembanding. Masing-masing obat ditotolkan sebanyak 2 μl pada lempeng KLT. Batas deteksi Bisakodil dengan volume penotolan 2 μl adalah 0,0447 μg, Furosemid adalah 0,0203 μg, dan Sibutramin HCl adalah 0,1256 μg. Dari hasil identifikasi terhadap sepuluh sampel jamu, ternyata tidak satu pun sampel jamu tersebut yang mengandung Bisakodil, Furosemid, maupun Sibutramin HCl.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlika Harinda
Abstrak :
ABSTRACT
Pasien rawat inap ICU sering ditemui dengan keadaan balans cairan akumuatif positif. Hal ini dapat menjadi penanda biologis sekaligus faktor risiko perburukan gagal fungsi organ dan kematian. Untuk itu, koreksi balans cairan utamanya pada pasien dengan urin output berkurang diperlukan. Furosemid merupakan agen diuretik pilihan. Akan tetapi, furosemid dapat menyebabkan abnormalitas elektrolit. Atas dasar itu, dilakukan studi analisis komparatif antara perubahan kadar elektrolit dan pH serum terhadap penggunaan furosemid pada pasien balans cairan akumulatif positif di ICU. Dengan desain penelitian kohort retrospektif, diperoleh 222 sampel rekam medik RSCM melalui metode consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan kadar elektrolit dan pH serum dimasukkan dalam tabel kemudian dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan kadar elektrolit dan pH serum dengan penggunaan furosemid pada pasien balans positif di ICU (p>0,05). Furosemid dapat menyebabkan penurunan kadar elektrolit dan fluktuasi pH pada pengukuran 0, 24, 48, dan 72 jam pasca pemberian. Hal ini dapat terjadi akibat adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap retensi Na+-K+-Cl- pada urin yang terjadi sebagai efek kerja dari furosemid. Hal ini kemudian dikompensasi dengan retensi H+ yang menyebabkan fluktuasi pada pH. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi secara statistik tidak berbeda bermakna.ICU
ABSTRACT
hospitalized patients are often found with positive accumulative fluid balances. This can be a biological marker as well as a risk factor for worsening organ function failure and death so that correction of fluid balance is necessary. However, as one of preferred diuretic agent, furosemide can cause electrolyte abnormalities. This retrospective cohort study was carried out to analyze difference between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage in patients with positive accumulative fluid balance in intensive care. Data collected from 222 medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital obtained by consecutive sampling. The use of furosemide and changes in serum electrolyte levels and pH data were analyzed using independent T-test. The results show that there are no significance differences between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage (p> 0.05). A decrease in electrolyte levels on 0, 24, 48, and 72 hours after furosemide use measurements can occur due to body's compensation mechanism for urinary Na+-K+-Cl- retention as main effect of furosemide. This plasma electrolyte repletion is compensated by plasma H+ retention and the fluctuation of pH occurred. Even so, changes that occur statistically have no significance.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Maya Oktaviani
Abstrak :
ABSTRAK
Penggunaan bersama furosemid dengan ekstrak etanol 70% daun kumis kucing (Orthosiphonis stamineus Benth.) menyebabkan interaksi farmakokinetik yang dapat mengubah kadar furosemid dalam plasma. Kemiripan mekanisme antara keduanya memungkinkan terjadinya interaksi yang menimbulkan efek sinergis melalui penghambatan reabsorbsi natrium dalam nefron. Penelitian ini bertujuan mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun kumis kucing terhadap parameter farmakokinetik furosemid pada tikus putih jantan. Delapan belas ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan berat sekitar 200 gram dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal yang diberikan CMC 1%, kelompok furosemid yang diberikan suspensi furosemid dosis 7,2 mg/200 g BB, dan kelompok kombinasi yang diberikan suspensi ekstrak etanol 70% daun kumis kucing 700 mg/kg BB selama 4 hari yang dilanjutkan dengan pemberian suspensi furosemid 7,2 mg/200 g BB. Pada hari ke-4 perlakuan dilakukan pengambilan darah melalui sinus orbital mata tikus dan dianalisis kadar furosemid dalam plasma menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol 70% daun kumis kucing meningkatkan parameter farmakokinetik furosemid pada Cpmaks, dan Area Under Curve (AUC) (P < 0,05). Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% daun kumis kucing meningkatkan parameter farmakokinetik furosemid pada tikus putih jantan.
ABSTRACT
The combinations of furosemide and 70% ethanolic extract of kumis kucing leaves (Orthosiphonis stamineus Benth.) cause pharmacokinetic interactions that can alter levels in plasma. Similarities between the mechanisms of both allows the interaction that causes a synergistic effect through inhibition of sodium reabsorption in the nephron. This study aimed to observed the effect of 70% ethanolic extract of kumis kucing leaves on the pharmacokinetic parameters of furosemid in male white rats. Eighteen Sprague Dawley male rats were divided into 3 groups, which are normal control group was given only 1% CMC, furosemide group was given 7,2 mg/200 g bw suspension of furosemide, and combinations group was given 700 mg/kg bw suspension of 70% ethanolic extract of kumis kucing leaves for 4 days followed by the given a suspension of furosemide 7,2 mg/200 g bw. On the 4th day of treatment performed orbital sinus blood sampling on the eyes of rats and analyzed the levels of furosemide in plasma using High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The results showed 70% ethanolic extract of kumis kucing leaves improve pharmacokinetic parameters of furosemide on Cpmaks, and Area Under the Curve (AUC) (P < 0,05). The conclusion is the 70% ethanolic extract of kumis kucing leaves improve the pharmacokinetic parameters of furosemide on white male rats.
2016
S65176
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Az Zahra Nurjaman
Abstrak :
Asetosal sebagai obat antiplatelet mudah terhidrolisis menjadi asam salisilat setelah pemberian oral. Pemantauan asam salisilat sebagai metabolit utama dalam plasma bersama asetosal sebagai senyawa induk dapat dilakukan melalui studi farmakokinetika. Sebelum melakukan studi farmakokinetika, metode bioanalisis harus tervalidasi. Salah satu parameter validasi metode bioanalisis adalah uji stabilitas jangka panjang secara in vitro di dalam plasma. Akan tetapi, uji tersebut tidak menggambarkan kondisi stabilitas in vivo karena adanya proses metabolisme obat di dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stabilitas in vivo incurred sample stability asetosal dan asam salisilat dalam plasma 6 subjek sehat pada hari ke-7, 14 dan 25 pada fase Cmax dan fase eliminasi. Analisis asetosal dan asam salisilat dilakukan terhadap 6 subjek sehat yang mengkonsumsi tablet asetosal 80 mg. Pengambilan darah subjek dilakukan sebanyak 12 titik pada beberapa interval waktu hingga jam ke-24. Kondisi kromatografi optimum yang digunakan adalah kolom C18 Waters, Reliant ? 5 m, 250 mm x 4,6 mm ; suhu kolom 35oC; fase gerak asetonitril ?? dapar fosfat pH 2,5 35 : 65 v/v ; laju alir 1,0 mL/menit; detektor UV-Vis; panjang gelombang 230 nm; dan furosemid sebagai baku dalam. Hasil incurred sample stability untuk asetosal dan asam salisilat sampai hari ke-25 pada 6 subjek menunjukkan stabilitas yang memenuhi persyaratan EMEA bioanalytical guideline tahun 2011 yaitu nilai diff tidak lebih dari 20. ......Acetosal as an antiplatelet drugs is rapidly hydrolyzed to salicylic acid after oral administration. Monitoring salicylic acid as the main metabolite in plasma together with acetosal as a parent compound can be performed through pharmacokinetics studies. Before pharmacokinetics studies, the method of bioanalysis should be validated. One of the validation parameters of the bioanalytical methods is long term stability test of in vitro in plasma. However, the analysis can t describe in vivo stability condition due to the metabolism of drugs in the body. This study aims to analyze the in vivo stability incurred sample stability of acetosal and salicylic acid in plasma on days 7, 14 and 25 in the Cmax phase and elimination phase. Acetosal and salicylic acid analysis were performed on 6 healthy subjects who consumed 80 mg acetosal tablets. Blood sampling on the subjects will be taken in 12 points at several times for to 24 hours. The optimum chromatographic conditions that used were C18 columns Waters, Reliant 5 m, 250 mm x 4.6 mm column temperature 35oC mobile phase was acetonitrile phosphate buffer pH 2.5 35 65 v v flow rate was 1.0 mL min UV Vis detector at wavelength of 230 nm and furosemide as internal standard. The diff values of acetosal and salicylic acid incurred sample stability until day 25 on 6 subjects not more than 20 , which fulfilled the acceptance criteria of validation method based on EMEA Bioanalytical Guideline 2011.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olvi Aderine
Abstrak :
Furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat yang mempunyai sifat praktis tidak larut dalam air. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pelarutan furosemid tersebut dalam air dengan cara-cara tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan laju larutnya furosemid menggunakan sistem dispersi padat dengan maltodekstrin DE 10-15 sebagai pembawa. Dispersi padat dibuat dengan metode penguapan pelarut dengan perbandingan berat furosemid dan maltodekstrin DE 10-15 adalah 1:3, 1:6, 1:9, dan 1:10; serta campuran fisik yang dibuat dengan perbandingan serupa dispersi padat. Uji laju melarutnya furosemid dilakukan dengan menggunakan alat magnetic stirrer dengan kecepatan 50 rpm pada suhu 250C±20C selama 60 menit. Dispersi padat yang dihasilkan dikarakterisasi sebagai berikut: uji laju melarut, difraksi sinar-X (XRD), differential scanning calorimetry (DSC), spektrofotometri inframerah, scanning electron microscopy (SEM), dan analisis ukuran partikel (PSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju melarut dispersi padat lebih baik daripada campuran fisik dan furosemid murni. Perbandingan bahan pada dispersi padat yang mempunyai laju melarut terbaik adalah 1:6 dengan peningkatan 1,25 kali lebih besar daripada furosemid murni.
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ], 2010
S33191
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prieta Adriane
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang. Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok. Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok. Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan. ......Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction. Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups.  Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups. Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Ayu Larasati
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang berpotensi untuk menjadi obat diuretik selain dari obat sintetis yang ada saat ini. Namun belum diteliti secara preklinis bagaimana interaksi dari obat herbal dan obat sintetis yang memiliki khasiat yang sama dalam hal ini sebagai diuretik apabila diminum secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun kumis kucing terhadap efek diuretik furosemid pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Penelitian dilakukan pada 30 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu kontrol, ekstrak, furosemid, dan dua kelompok dosis kombinasi antara ekstrak dan furosemid. kelompok diberi perlakuan berupa pemberian ekstrak selama 4 hari kemudian pada hari ke-4 ditambah pemberian furosemid . pengukuran volume urin dilakukan pada hari ke-4, tekanan darah pada hari ke-0 dan ke-4 menggunakan pengukur tekanan dara non invasive CODA, serta pengukuran kadar natrium dan kalium pada hari ke-5 pada urin 24 jam menggunakan spektrofotometer serapan atom. Kemudian, hasil dianalisis menggunakan SPSS dan hasil analisis statistic menunjukan bahwa pada pengukuran volume urin jam ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, kadar natrium, dan tekanan darah sistol terdapat perbedaan secara bermakna antara kelompok kombinasi dengan kelompok kontrol, ekstrak, dan furosemid (α < 0,05) dan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kombinasi 1 (dosis ekstrak 700 mg/kg bb ditambah furosemid 7,2 mg/kg BB) dan kombinasi 2 (dosis ekstrak 350 mg/kg bb ditambah furosemid 7,2 mg/kg BB) (α < 0,05)
ABSTRACT
Indonesia has many kinds of biodiversity that may become a potential drug that has diuretic effect besides synthetic drugs. But there is no preclinic research about interaction between herbal drug and synthetic drug who have same effect as a diuretic drugs and are consumed together. This study aimed to find out the effect of 70% ethanol extract of kumis kucing leaves to diuretic effect of furosemide in white male rats from Sprague Dawley strain. Thirty white male rats divided into five group of six animals each were used and administrative orally for 4 days with CMC 0,5% as control, furosemide, kumis kucing leaves extract, and the rest of the groups are for combination of furosemide and extract. Urine volume is measured in the fourth day, blood pressure is measured on the day before treatment and on the fourth day using CODA non-invasive blood pressure measurement, and, and the level of sodium and potassium are measured the day after urine volume measurement using atom spectrophotometer and the obtained data is processed by SPSS. Statistic analysis results show that there are significantly difference (α < 0,05) on 1st, 2nd, 3rd, 4th, 5th, 6th hour urine volume, sodium levels, and systole blood pressure between control, furosemide, and extract group to 1st combination group (contain 700 mg/kg bw extract and 7,2 mg/200g bw furosemide) and 2nd combination group (contain 350 mg/kg bw extract and 7,2 mg/200g bw furosemide). There is significantly difference between 1st combination group to 2nd combination group (α < 0,05).
2016
S64411
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library