Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aria Sumanti
"ABSTRAK
Pendidikan menjadi bagian terpenting dalam menyiapkan generasi suatu bangsa. Keberhasilan suatu bangsa juga dapat diukur dari bagaimana pendidikan diselenggarakan. Jepang adalah salah satu negara di dunia yang memiliki reputasi baik dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Namun, dalam penyelenggaran pendidikan bukan berarti tidak terjadi masalah. Permasalahan yang menyangkut perilaku siswa juga masih terjadi di Jepang, salah satunya adalah futōkō atau ketidakhadiran siswa di sekolah dalam jangka waktu yang lama. Siswa yang tidak hadir di sekolah dalam jangka waktu lama akan menimbulkan dampak negatif, terutama dalam hal sosialisasi. Semakin banyaknya siswa yang tidak hadir di sekolah mengakibatkan keresahan para orangtua dan masyarakat, sehingga pemerintah dianggap penting untuk segera mengatasi permasalahan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Jepang melalui kementerian pendidikan merancang kebijakan yang dapat membantu siswa yang tidak hadir di sekolah agar tetap dapat mengenyam pendidikan. Selain pemerintah, pihak non profit organization atau NPO juga mengusahakan program untuk membantu para siswa tersebut. Salah satu program NPO yang mendapatkan perhatian pemerintah adalah
free-school, yaitu sekolah bagi siswa futōkō. Undang-undang terbaru yang
disahkan oleh pemerintah telah melegitimasi free-school sebagai salah satu bentuk sekolah yang dapat menyelenggarakan wajib belajar. Melalui undang-undang ini Jepang telah melakukan perubahan dalam sistem pendidikan dan semakin terbuka dengan sekolah-sekolah jenis baru pada era globalisasi.

ABSTRACT
Education is the most important part in preparing generation of a nation. The
success of a nation can also be measured on how education is organized. Japan is one of the countries in the world with good reputation in terms of education. However, it does not mean Japan has no problemin the delivery of education. Problems concerning student behaviour also happened in Japan, one of them is futōkō or the absence of students in school for long periods of time. Students who are absent in school for a long time will have a negative impact, especially in terms of socialization. The increasing number of students who are absent from school leads to anxiety among parents and the community, so the government is considered important to address the problem immediately. Japanese government through Ministry of Education Culture, Sport, Science and Technology (MEXT), designed policies to help students who are absent in school to continue receiving education. In addition to the government, non-profit organizations or NGOs also work on programs to help these students. One of the NPO programs that get government attention is free-school, which is a school for futōkō students. Recent legislation passed by the government has legitimized free-school as one form of school that can provide compulsory education. Through this law Japan has made changes in the education system and is increasingly open to schools of a new kind
in the era of globalization."
2018
T50040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fachri Aldrian Rasyid
"Kebijakan Free School Meal dijalankan oleh pemerintah Inggris sejak tahun 1870-an. Memasuki masa pandemi Covid-19 tahun 2020, kebijakan ini kembali diandalkan sebagian masyarakat. Namun, pemerintah memutuskan untuk mengakhirinya pada pertengahan masa pandemi. Hal ini menjadi kontroversi yang menimbulkan protes dari masyarakat. Dari berbagai pihak yang melakukan protes, hanya satu yang memperoleh respons pemerintah, yakni kampanye yang dilakukan oleh pemain sepak bola Marcus Rashford. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menggunakan teori komunikasi politik oleh Brian McNair dilengkapi dengan konsep elemen pesan, komunikator, dan sarana oleh Dan Nimmo untuk menjelaskan bagaimana ketiga elemen tersebut memiliki muatan politik yang mendorong keberhasilan kampanye media sosial yang dilakukan Rashford dalam meyakinkan pemerintah Inggris untuk mengubah kebijakan. Penelitian ini menemukan bahwa pesan Rashford mampu menyajikan data empiris dan bersifat solutif. Penelitian ini juga menemukan bahwa Rashford memiliki status, kredibilitas, dan daya tarik sebagai komunikator politik. Ia mampu memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat Inggris sehingga mampu memperoleh dukungan dari masyarakat. Rashford secara tepat memilih Twitter dan situs petisi online parlemen Inggris karena kedua sarana tersebut memiliki banyak pengguna, dapat dipercaya, dan sesuai dengan pesan yang disampaikan. Meskipun bukan merupakan satu-satunya alasan, kampanye media sosial yang dilakukan Rashford memiliki peranan yang penting dalam meyakinkan pemerintah Inggris untuk mengubah kebijakannya.

The Free School Meal policy has been implemented in the UK since the 1870s. During the 2020 Covid-19 pandemic, this policy is again relied on by some members of the public. But in the midst of the pandemic, the government decided to end the policy. This became a controversy and triggered protests from the public. Of the various parties who protested, only one received a meaningful government response, namely the protest and campaign carried out by football player Marcus Rashford. By using a qualitative approach, this research will use political communication theory by Brian McNair complemented by the concepts of message, communicator, and means by Dan Nimmo to explain how these three elements influence the success of Rashford’s social media campaign in convincing the English government to change its policy. This study found that Rashford's message had empirical data and was solution oriented. This study also found that Rashford has status, credibility, and appeal as a political communicator. His early life struggles enabled him to position himself as a commoner in general, thus further endearing himself to the masses. He also chose Twitter and the British Parliament’s online petition site as the means for his campaign because they are used by many people, believable, and compatible with his messages. Although it is not the only reason, Rashford's social media campaign played an important role in convincing the government to change its policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library