Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raka Darmawan
Abstrak :
Prancis saat ini menjadi negara di Eropa yang memiliki keberagaman di dalamnya, mulai dari agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini disebabkan salah satunya oleh kedatangan para imigran dan orang asing, khususnya saat periode Pasca-Perang Dunia Kedua. Alasan awal kedatangan imigran adalah faktor ekonomi atau pekerjaan. Dalam menangani mobilisasi penduduk ini, Prancis memberlakukan kebijakan-kebijakan imigrasi yang beragam yang tertuang pada situs Kementerian Dalam Negeri dan Seberang Lautan. Oleh karena itu, perlu diketahui bentuk kebijakan imigrasi di Prancis. Penelitian ini kemudian berfokus pada kebijakan imigrasi pemerintahan François Hollande dan Emmanuel Macron berdasarkan perbedaan poros politik mereka. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan isi kebijakan imigrasi antara pemerintahan Hollande dan Macron. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kebijakan imigrasi kedua pemerintahan selama lima tahun menjabat. Untuk menemukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif oleh Iosifides dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough dan konsep ideologi politik oleh D. Parenteau dan I. Parenteau. Hasil temuan dari penelitian ini adalah orientasi kiri dari Hollande menghasilkan kebijakan imigrasi yang pro-masyarakat (imigran), sedangkan orientasi tengah Macron lebih memperketat kebijakannya terhadap masyarakat asing. ......France is a country in Europe that embraces diversity in terms of religion, race, and ethnicity in its society. The arrival of migrants and foreigners, especially in the post-Second World War period contributed to France’s current demographic landscape. In dealing with the influx of population, France has adopted various immigration policies, as stated on the website of the Ministry of the Interior and Overseas, but has not significantly improved the current situation. As the immigration issue has continuously become prominent in French society, this research takes on comparing the policies carried by the governments of François Hollande and Emmanuel Macron on the issue while also taking into account their different political axes. Thus, the purpose of this study is to analyze the political discourses embedded in the immigration policies between the Hollande and Macron administrations. This research makes use of available sources from the immigration policies of both governments during their five years in office. The data was collected by employing qualitative research methods by Iosifides combined with critical discourse analysis theory by Norman Fairclough and the concept of political ideology by D. Parenteau and I. Parenteau. The findings of this research suggest that Hollande's leftist orientation contributed to his pro-people (immigrants) immigration policy, while Macron's center orientation attempted to tighten the immigration policy towards foreigners.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Revinda Syahniza Renata
Abstrak :
Kekerasan rumah tangga merupakan isu yang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Prancis, kekerasan rumah tangga disebut sebagai violence conjugale, yaitu kekerasan yang terjadi pada pasangan yang telah resmi di mata hukum ataupun belum. Biasanya, kekerasan tersebut dialami oleh perempuan. Kekerasan rumah tangga di Prancis tidak hanya berdampak pada keamanan masyarakat, tetapi juga pada perekonomian negara. Pada 2010, berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Évaluation économique des violences conjugales en France (Penilaian ekonomi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Prancis) diketahui bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga di Prancis mencapai 2,472 miliar euro per tahun. Sebagai Presiden yang menjabat pada periode 2012-2017, François Hollande berjanji untuk menangani isu-isu gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan, secara lebih serius dan berkomitmen untuk melindungi para perempuan di Prancis pada kampanyenya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar upaya Presiden François Holland dalam memenuhi janji kampanyenya terkait perlindungan terhadap perempuan dan kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan di masa pemerintahannya untuk mengatasi tingginya angka kekerasan rumah tangga di Prancis serta melihat apakah kebijakan tersebut sudah mencapai sasarannya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan teori yang digunakan adalah analisis kebijakan milik William Dunn, khususnya analisis retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Francois Holande telah berusaha menepati janji pemilunya, di antaranya adalah dengan meratifikasi Konvensi Istanbul pada 2014 dan mengesahkan undang-undang 4 Agustus (La Loi de 4 Aôut) tahun 2014 beserta kebijakan-kebijakan kesetaraan gender yang mencakup usaha untuk mengurangi jumlah angka kekerasan terhadap perempuan. Namun, berdasarkan data pada tahun 2012-2017, penerapan kebijakan tersebut tidak terlalu berhasil dalam menurunkan angka kematian akibat kasus kekerasan rumah tangga secara signifikan. Nyatanya, angka korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam ranah domestik, masih bersifat fluktuatif. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat di Prancis untuk lebih peduli terhadap masalah kekerasan rumah tangga dengan cara melapor kepada pihak yang berwenang. ......Domestic violence is an issue that can be found in various parts of the world. In France, domestic violence is referred to as the violence conjugale, which is violence that occurs to partners who are legal or not. Usually, this violence is experienced by women. Domestic violence in France has an impact not only on the security of the society but also on the country's economy. In 2010, based on the results of a study with the title of Évaluation économique des violences conjugales en France (Economic assessment of domestic violence in France), the losses caused by domestic violence in France reached 2.472 billion euros per year. François Hollande, as The President who served in the 2012-2017 period, during the presidential campaign promised to take gender issues, including violence against women, more serious and committed to protecting women in France. This study aims to see how much effort President Francois Holland has made in fulfilling his campaign commitments regarding the protection of women and what policies have been issued during his presidential reign to solve the high number of victims of domestic violence in France and to see whether these policies have achieved their goals. In this research, the method used is a qualitative method and the theory used is William Dunn's policy analysis, particularly the retrospective analysis. The result shows that President Francois Hollande attempted to keep his election commitments, by ratifying the Istanbul Convention in 2014 and passing the law of August 4 (La Loi de 4 Aôut) in 2014 along with gender equality policies that include efforts to reduce the number of rates of violence against women. However, based on data for 2012-2017, the implementation of this policy was not very successful in reducing the mortality rate, caused by domestic violence, significantly. The number of victims of violence against women, especially in the domestic domain, is still fluctuating. Nevertheless, these policies have succeeded in increasing the awareness and consciousness of the society of France to be more concerned about the problem of domestic violence by speaking up and reporting to the authorities.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Destiana
Abstrak :
Homoseksualitas di Prancis dianggap sebagai salah satu bentuk kehidupan berpasangan di Prancis dengan adanya pengakuan resmi dari pemerintah melalui legalisasi pernikahan sesama jenis. Kebijakan terkait homoseksualitas terus berkembang di Prancis seiring dengan perkembangan zaman. Kebijakan pelarangan kaum homoseksual di Prancis sebagai pendonor darah dikeluarkan pertama kali pada tahun 1983 yang didorong oleh terjadinya epidemi HIV di Prancis pada masa itu. Pada perkembangan terbaru, masyarakat Prancis dapat menjadi pendonor darah terlepas dari apapun orientasi seksualnya terhitung sejak 16 Maret 2022. Dengan adanya kebijakan ini, kaum homoseksual di Prancis diharapkan dapat mendonorkan darahnya tanpa mengalami diskriminasi berdasarkan orientasi seksualnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan membahas bagaimana peran kaum homoseksual di Prancis terhadap penghapusan diskriminasi yang dialami oleh kaum homoseksual pada kebijakan donor darah di Prancis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif oleh Hammarberg, Kirkman, dan de Lacey (2016), konsep kebijakan publik oleh Gerston (2014), serta teori kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia oleh Beyrer (2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan kebijakan donor darah bagi kaum homoseksual dilatarbelakangi oleh kebutuhan darah di Prancis dan bukan sebagai bentuk penerimaan terhadap keberadaan komunitas homoseksual di Prancis. ......Homosexuality in France is considered as one form of couple life in France with official recognition from the government through the legalization of same-sex marriage. Policies related to homosexuality continue to develop in France as time passed by. French Government issued a ban on homosexuals in France from eligibility to donate blood in 1983 due to the HIV epidemic that had happened in France during that time. After that, public policies related to blood donations for homosexuals continue to develop. In the latest development, people in France can donate their blood regardless of their sexual orientations started from March 16, 2022. After this policy has been legalized, it is hoped that homosexuals in France can donate blood without experiencing discrimination based on their sexual orientation. This research will discuss how the role of homosexuals in France in eliminating discrimination experienced by homosexuals in the blood donation policy in France.This study examines the role of homosexual community in France in affecting the elimination of discrimination in blood donation activities experienced by homosexuals in France. By using qualitative methods, public policy concept by Larry N. Gerston (2014), and public health and human rights theory by Chris Beyrer (2014), it is found that the blood donation policy of the French Government was based on the needs of blood and not a reflection of the acceptance of the existence of the homosexual community in France.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Imanina
Abstrak :
Pada periode Januari 2015 hingga Desember 2016, terjadi peristiwa yang disebut sebagai “krisis pengungsi Eropa” atas kasus sekitar 2,5 juta yang mengajukan suaka di negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Prancis melakukan pembongkaran kamp pengungsian di Calais dengan dalih keamanan negara. Pembongkaran ini dilakukan dengan tujuan untukmengurangi jumlah pengungsi yang hendak menyeberang ke Inggris. Penelitian ini membahas dampak dari pembongkaran kamp pengungsi Calais terhadap hubungan keamanan Prancis-Inggris. Metode sejarah digunakan dalam artikel ini dengan menggunakan metodologi analisis wacana kritis dari Norman Fairclough. Permasalah pengungsi di Calais, latar belakang partai pendukung penguasa di Prancis saat itu dan dalih pembongkaran kamp pengungsi di Calais menjadi perdebatan baik di dalam negeri Prancis maupun dengan pemerintah Inggris. Di antara ke tiga aspek tersebut, ternyata aspek latar belakang partai pendukung penguasa di Prancis saat itu yang paling dominan dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Pengaruh tersebut memicu kedua pemerintahan untuk mengubah kebijakan yang ada dengan kebijakan yang baru untuk mengurangi krisis kemanusiaan yang ada di Calais walaupun kedua partai penguasa yang ada di Prancis dan Inggris berbeda. ......From January 2015 to December 2016, the "European refugee crisis" saw around 2.5 million people apply for asylum in EU countries. The French government dismantled the refugee camp in Calais under the pretext of state security. This demolition was carried out with the aim of reducing the number of refugees who wanted to cross into the UK. This research discusses the impact of the dismantling of the Calais refugee camp on French-British security relations. The historical method is used in this article using Norman Fairclough's critical discourse analysis methodology. The refugee problem in Calais, the background of the ruling party in France at the time and the pretext for dismantling the refugee camp in Calais were debated both within France and with the British government. Among these three aspects, it turned out that the background aspect of the ruling party in France at that time was the most dominant compared to the other two aspects. This influence triggered the two governments to change the existing policy with a new policy to reduce the humanitarian crisis in Calais even though the two ruling parties in France and Britain were different.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firdania Iryanti
Abstrak :
Sebagai negara yang meregulasi praktik prostitusi, Prancis memiliki serangkaian kebijakan dan masalah seputar legalitas Pekerja Seks Komesial (PSK). Setelah penandatangan konvensi PBB (mengenai eksploitasi manusia) pada tahun 1949, Prancis resmi menjadi negara abolisionis yang melarang praktik muncikari dan transaksi seksual berbayar yang melibatkan pihak ketiga. Larangan ini kemudian yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Penelitian ini membandingkan kebijakan mengenai regulasi praktik prostitusi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan masa pemerintahan François Hollande dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa keputusan Sarkozy untuk mengimplementasikan la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) pada tahun 2003 menimbulkan masalah karena PSK menjadi pihak yang dikriminalisasi. Di sisi lain, keputusan Hollande untuk menghapus kebijakan Sarkozy dan menerapkan la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée juga tidak menyelesaikan masalah karena mengkriminalisasi pelanggan jasa prostitusi. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa Sarkozy dan Hollande memiliki pendekatan berbeda dalam menanggulangi masalah prostitusi, namun tujuan akhir dari keduanya adalah untuk menghapus budaya prostitusi di Prancis secara bertahap. ......As a state that regulates prostitution, France has a set of policies and problems on the legalities of commercial sex workers (CSWs). After ratifying a UN convention (on abolishing slavery and human trafficking) in 1949, France banned pimping activities and third-party sexual transactions, thus officially becoming an abolitionist state. This ban became the precedent for regulations made by the Nicolas Sarkozy and François Hollande administration respectively. This research compares the regulations on prostitution by both administrations using qualitative method and literature review. This research shows that Sarkozy’s decision to implement la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) in 2003 was problematic as it criminalises CSWs. On the other hand, Hollande’s decision to reverse Sarkozy’s policy and enact la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée also fails to offer a solution as it instead criminalises patrons of prostitution. Finally, this research proves that although both Sarkozy and Hollande have different approaches to curb prostitution, their goal is to gradually suppress prostitution culture in France.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library