Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldilla Stephanie Suwana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai skema dan landasan hukum investasi swasta di proyek Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus Indonesia termasuk hambatan dan peluang yang dihadapi sektor swasta untuk terlibat dalam proyek REDD+ di Indonesia. Metode penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa skema dan landasan hukum investasi swasta dalam proyek REDD+ di Indonesia adalah dengan memohon Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon (IUP RAP/PAN Karbon) ataupun Izin Penyelenggaraan Karbon dengan ataupun tanpa memperoleh terlebih dahulu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Hambatan yang dihadapi sektor swasta adalah ketidakjelasan terhadap hak atas karbon, ketidakberlakukan ataupun absennya ketentuan terkait pajak karbon dan perdagangan karbon, serta belum adanya insentif bagi sektor swasta yang berinvestasi di Proyek REDD+. Sedangkan, peluang bagi sektor swasta adalah restorasi ekosistem tidak terkena dampak moratorium penundaan izin baru dan merupakan salah satu sasaran strategis Kementerian Kehutanan untuk mencapai prioritas pembangunan serta sistem perizinan berbasis online.

ABSTRACT
This thesis explains about scheme and legal basis for private investment in Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus Project Indonesia. It further elaborates the obstacles and opportunities faced by private sector investing in the REDD+ project. In arranging this thesis, the writer uses typology of normative legal research. Based on the research, it is concluded that Carbon Storage License/Carbon Sequestration License (IUP RAP/PAN Karbon) or Forest Carbon License (Izin Penyelenggaraan Karbon) with or without applying initial Restoration Ecosystem License (IUPHHK-RE) are the scheme and legal basis for REDD+ project. Obstacles faced by private sector are uncertainty of carbon rights, absence of laws and regulations in relation to carbon tax and carbon trading scheme, and lack of incentive. Whilst, the opportunities are restoration ecosystems that are not affected by licenses moratorium and that one of the Ministry of Forestry’s strategic goal to achieve development priorities as well as online based licensing system."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri
"ABSTRAK
Salah satu penyebab emisi gas rumah kaca (GRK) adalah karena adanya deforestasi
dan degradasi hutan. Untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan
degradasi hutan maka muncul konsep Reducing Emission from Deforestation and
Forest Degradation (REDD+). Indonesia sebagai pemilik hutan yang relatif besar
telah aktif dalam berbagai program REDD+. Pelaksanaan program-program
tersebut membawa dampak kepada masyarakat adat. Untuk itu, masyarakat adat
perlu dilindungi. Perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat adat saat
ini belum cukup efektif untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat
dari dampak pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Masalahnya adalah ketidakjelasan
dan ketidakcukupan regulasi terkait masyarakat adat dan pelaksanaan REDD+ yang
memberikan perlindungan kepada masyarakat sesuai indikator pemenuhan dalam
REDD+ Social Safeguard.

ABSTRACT
One cause of greenhouse gas emissions (GHG) is due to deforestation and forest
degradation. To reduce emissions from deforestation and forest degradation,
emerge the concept of Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD +). Indonesia as a relatively large forest owners have been
active in a variety of REDD+ programs. Implementation of these programs have an
impact on indigenous peoples. To that end, indigenous people need to be protected.
Legal protection given to indigenous peoples today is not sufficiently effective to
provide protection to the indigenous peoples of the impact of the implementation
of REDD + in Indonesia. The problem is the vagueness and inadequacy of
regulations related to indigenous peoples and the implementation of REDD+ which
provides protection to the public according to the indicators in the fulfillment of
REDD+ Social Safeguard."
2016
S64816
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilianus Yakob Sese Tolo
"Abstract. The implementation of decentralization in Indonesia brings two-fold effects. On the one hand, it has given more autonomy for regions to organize and manage their governmental affairs. However, on the other hand, regional autonomy causes problems in society, such as increased corruption, money politics, and environmental damage. By using descriptive-qualitative approach, the author evaluated the implementation of forestry decentralization in Indonesia with research focus in Manggarai and Central Maluku districts. This study found that the implementation of forestry decentralization ignored community involvement thus brought negative consequences such as the increasing damage to forest ecosystems and the declining public welfare. Therefore, in order to bring benefits for forest conservation and welfare of the community, forestry decentralization needs to fortify community involvement.
Abstrak. Penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia telah membawa dampak yang mendua. Pada satu sisi, desentralisi telah memberi otonomi yang lebih luas kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan pemerintahan yang dimilikinya. Namun, di pihak lain, otonomi daerah justru telah menimbulkan masalah di dalam masyarakat, seperti meningkatnya korupsi, politik uang, dan kerusakan lingkungan. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, penulis mengevaluasi penyelenggaraan desentralisasi kehutanan di Indonesia dengan lokus penelitian di Indonesia Bagian Timur, khususnya kabupaten Manggarai dan Maluku Tengah. Penelitian ini menemukan bahwa penyelenggaraan desentralisasi kehutanan mengabaikan keterlibatan masyarakat sehingga membawa akibat negatif berupa meningkatnya kerusakan eksosistem hutan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, agar penyelenggaraan desentralisasi kehutanan membawa manfaat bagi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, perlu diupayakan fortifikasi peran masyarakat dalam desentralisasi kehutanan."
2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Marzuki
"Hutan mangrove merupalan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem taut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rentan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena species biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar.
Hutan mangrove di Indonesia saat ini tinggal 3,24 juta hektar (Yayasan Mangrove, 1993). Sulawesi Tengah salah satu propinsi yang memiliki luas hutan mangrove hanya 28.000 ha, namun ancaman untuk eksploitasi menjadi tambak dan kegiatan Iainnya cukup tinggi.
Hutan mangrove di Banawa Selatan yang luasnya 1167 hektar pada tahun 1973 dan pada tahun 1998 tersisa 167 hektar. Penurunan jumlah tersebut disebabkan beberapa faktor yakni :
  1. Konversi hutan mangrove
    Kawasan pesisir Banawa Selatan yang ditumbuhi oleh hutan mangrove telah di dikonversi menjadi tambak udang dan ikan bandeng.
  2. Areal Permukiman
    Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan akan areal permukiman.
  3. Sistem Pertanian
    Sistem pertanian yang dikembangkan di Banawa Selatan sangat variatif mulai dari perladangan berpindah, pertanian menetap, maupun pertanian tambak telah mendorong meningkatnya tekanan terhadap hutan mangrove.
  4. Pengelolaan tataguna lahan
    Pengelolaan tataguna lahan yang tidak memperhitungkan daya dukung dan kesesuaiannya, telah menyebabkan zona lindung pun telah berubah fungsi menjadi areal permukiman dan pertanian.
  5. Perubahan struktur mata pencaharian
    Perubahan struktur mata pencaharian dialami oleh etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde sebagai peladang dan nelayan tradisional menjadi petani tambak, menyebabkan degradasi hutan mangrove terus meningkat.
Kelima faktor tersebut menjadi dasar pertimbangan penulis melakukan penelitian dengan judul Perubahan Pofa Adaptasi Etnik Kaili Dalam Pengelolaan Mangrove, Studi kasus etnik Kalil Data dan Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah.
Maksud dilaksanakannya penelitian ini untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sain (M.Si) Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah urrtuk memperoleh gambaran kaitan antara perubahan pola adaptasi dan degradasi hutan mangrove, serta menghasilkan suatu konsep pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan di Banawa Selalan.
Gambaran hubungan perubahan pola adaptasi etnik Kaili dalam pengelolaan hutan mangrove di Banawa Selatan dan pola pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan sebagai berikut :
  1. Hubungan perubahan pola adaptasi dengan eksploitasi hutan mangrove. Eksploitasi hutan mangrove terjadi pada akhir tahun 1970-an dan mencapai puncaknya pada awal 1990-an, ini terjadi karena masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang mulai memanfaatkan hutan mangrove sebagai kawasan pemukiman dan areal tambak. Sementara bagi etnik Kaili hutan mangrove adalah kawasan yang terlarang untuk kegiatan pertanian dan permukiman, sebab ada nilai magis yang dikandungnya. Namun akibat proses interaksi dengan kaum migrant, lambat laun etnik Kaili mulai terlibat memanfaatkan hutan mangrove untuk pemukiman dan kegiatan pertanian tambak.
  2. Penabahan pola adaptasi terhadap perubahan fungsi hutan menjadi lahan permukiman.
    Konsepsi etnik Kaili Da'a dan Kaili Uncle yang memagiskan kawasan hutan mangrove untuk kegiatan permukiman berubah, bersamaan dengan masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang telah memanfaatkan hutan mangrove untuk perrnukiman tetapi tidak mengalami gangguan apa pun seperti wabah penyakit.
  3. Perubahan pola adaptasi terhadap sistem pertanian. Erik Kaili Da'a dan Kaili Linde adalah peladang dan nelayan tradisional yang cenderung menjauhi hutan mangrove sebagai csmber mata pencaharian.
    Perubahan terjadi saat ini peladang menjadi petani tambak, maka yang terjadi adalah sistem perladangan tebang-bakar ditransformasikan dalam kegiatan pertanian tambak.
  4. Perubahan pola adaptasi dengan pendapatan dan kesejahteraan.
    Berubahnya mata pencaharian dari peladang dan nelayan tradisional menyebabkan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan etnik Kalil Da'a dan Kaili Uncle pada sisi yang lain menjadi faktor penekan yang potensial terhadap eksploitasi hutan mangrove karena meningkatnya pendapatan akan meningkat pula akses modal terhadap hutan mangrove.
  5. Sistem Empang Parit sebagai bentuk pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.
    Berangkat dari empat fenomena yang tergambar di atas, maka penerapan sistem empang parit, yakni suatu model empang/tambak yang tetap mempertahankan ekosistem mangrove antara 30 -- 70 % peneliti yakin dapat mempertahankan ekosistem mangrove yang ada, serta dapat mempertahankan fungsi daya dukung dari hutan mangrove baik dari sudut fisik ekologis maupun dari fungsi sosial ekonominya.
Berdasarkan temuan tersebut maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Ekosistem hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian telah mengalami penurunan luasan dari 1167 hektar pada tahun 1973, tersisa 167 hektar pada tahun 1998.
  2. Perubahan lingkungan hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang dan bandeng oleh para migran merupakan salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde. Perubahan pola adaptasi tersebut dalam hal memanfaatkan hutan tidak hanya sebagai sumber bahan ramuan rumah tinggal, namun diolah menjadi areal tambak.
  3. Cara pandang dan persepsi tentang kawasan hutan mangrove yang tidak lagi magis, salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde dari menjauhi kawasan hutan mangrove menjadi memanfaatkan kawasan hutan mangrove untuk pemukiman.
  4. Perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kalil Unde juga terjadi pada sistem budidaya perladangan yang berpindah-pindah menjadi petani menetap baik pada sistem budidaya teresterial maupun pada sistem budidaya aquatik.
  5. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan menjadi faktor daya tarik bagi etnik lokal untuk memanfaatkan hutan mangrove yang berasal dari pembagian hak ulayat seluas 2 (dua) hektar, sebagai sumber pendapatan dan ekonomi keluarga.
  6. Untuk mencegah berlanjutnya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan yang tidak ramah lingkungan, maka penerapan sistem pengelolaan tambak yang ramah Iingkungan mendesak untuk dilaksanakan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan untuk :
  1. Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala perlu segera mendata kembali luas kawasan yang tersisa, selanjutnya mengeluarkan peraturan daerah tentang penetapan kawasan lindung pada kawasan yang tersisa tersebut.
  2. Segera menerapkan sistern budidaya empang parit (silvofishery) pada kawasan yang telah berubah menjadi areal tambak.
  3. Meningkatkan peran lembaga adat bagi masyarakat lokal setempat.
  4. Perlu dilakukan suatu studi antropologis yang Iebih komprehensif, terutama menyangkut nilai dan tradisi masyarakat setempat.

Change in Adaptation Patterns in Mangrove Management.Mangrove forest is a special forest ecosystem due to, mainly, its position as a transition zone between terresterial ecosystem and a marine ecosystem. Its special physical environmental conditions have caused the mangrove ecosystem to possess limited biodiversity. This ecosystem is very susceptible to the presence of external influences, especially since the biota species in the mangrove forest have limited tolerant changes from outside.
Mangrove forests in Indonesia currently cover 3,24 million hectares (Yayasan Mangove, 1993). Central Sulawesi is one of the provinces that has mangrove forests, about 28.000 hectares, but exploitation by conversion to fishponds and other activities is quite high.
South Banawa had 1167 hectares of mangrove, but when this research was conducted only 167 hectares remained. This decrease is due to some factors as follows :
  1. Conversion.
    The coastal area of South Banawa planted to mangrove forest has been changed into areas of milk fish and shrimp ponds.
  2. Settlement Area.
    Increasing population both naturally and by migration has led to an expansion of settlement area.
  3. Agriculture System.
    The agriculture system in South Banawa including shifting cultivation, permanent cultivation and fish pond culture, has led to increased pressure on the mangrove forest.
  4. Land Use Management.
    Land use management without concern for its carrying capacity has caused the alteration of protected areas into settlement and agriculture areas.
  5. The alteration of livelihood source structure.
    The conversion of the Kaili Da'a and Kalil Unde peoples from field farmer and traditional fishers to fish pond farmers has degraded the mangrove forest significantly.
This research was aimed at descriptively obtaining the relationship between change of adaptation patterns and mangrove forest degradation and to produce a concept of sustainable mangrove forest management for South Banawa. Changes in the adaptation patterns of the Kaili people in mangrove management can be described as follows :
  1. The relationship between changes of adaptation pattern with mangrove forest exploitation :
    The exploitation of mangrove forests has occurred since the end of the 1970's and reached its peak in the early of 1990's. This Is caused by the coming of Bug is, Toraja and Mandar people to South Banawa where they converted mangrove Forest into settlements and fish pond. For the Kalil people the mangrove forest was considered forbidden for any activity including agriculture and settlement However, through the interaction process between them and the newcomer groups they slowly have become involved in converting mangrove forests into settlement and fishpond areas.
  2. Change of adaptation pattern in the change of forest function into settlement area :
    The concept of Kalil Da'a and Kalil Untie people, who originally considered the mangrove forest as a forbidden zone, has changed simultaneously with the coming of Bugis, Toraja and Mandar ethnic groups to South Banawa. These newcomer groups have converted mangrove forests into settlement areas without ever experiencing any problems such as disease epidemics.
  3. Change of adaptation pattern in agriculture systems :
    Kaili Da'a and Kalil Untie people were farmers and traditional fishermen who tended to avoid the mangrove forests as their livelihood source but since they have been influenced by other ethnic groups, from they have converted cut-andbum farming to fishpond culture.
  4. Change of adaptation patterns with income and prosperity.
    Change of livelihood source from farming and traditional fishing has increased their income and prosperity but on the other hand this is a potential pressure factor on the existing mangrove forest.
  5. The application of the ditch-embankment (sllvofishery) system as one type of sustainable mangrove forest management.
    The application of the ditch-embankment system (a model of embankment that maintains 30-70 % of the original mangrove ecosystem) can preserve the existing mangrove ecosystem and its carrying capacity both ecologically or economically.
Based on the research result, it can be concluded that :
  1. Mangrove forest in the research field has decreased its width from 1167 hectares in 1973 into 167 hectares in 1998.
  2. Change of physic environment has caused Kalil Da'a and Kaili Untie people after their adaptation pattern from exploiting mangrove forest as housing materials to becoming fish farmers that converting mangrove forest into open fishpond areas.
  3. The new perspective and perception of Kaili Da'a and Kaili Untie people about the mangrove forest zone, i.e. that the mangrove forest has no magic value, again hs pushed them to convert mangrove forest to settlement areas.
  4. Their relationship with Bugis, Toraja, Mandar and Javanese people since 20 years ago has stimulated the conversions of their cultivation system into fish pond farming in the mangrove forest.
  5. The increase of income and prosperity of Kaili Da'a and Kaili Untie people has raised pressure to exploit the existing natural resource including mangrove forests.
  6. To prevent the exploitation of mangrove forest continuously both by migrants and by local peoples, sustainable mangrove forest management with a ditch-embankment should be applied.
Therefore some suggestions are :
  1. The local government (Donggala Regency) must resurvey existing areas of mangrove forest and then make a regional regulation about protecting this area.
  2. The ditch-embankment system should be applied immediately within fish pond areas.
  3. Increase the role of custom any institutions in the area.
  4. Conduct a comprehensive anthropology study, focused on the culture system, a specially on local environmental knowledge and practices.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Djuariah
"Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 menetapkan perlunya kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Namun degradasi hutan akibat berbagai aktlvitas legal maupun ilegal telah menyebabkan laju deforestasi + 2,8 juta ha/tahun selama kurun waktu 1997-2003 (Pusat Informasi Kehutanan, 2005). Di sisi lain pemanfaatan kawasan hutan yang berakibat pada pembukaan lahan hutan bagi kegiatan pertanian dan pernukiman semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk. Program rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah diwujudkan dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) pada tahun 2003 serta program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di luar Jawa dan Pengefolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa. Upaya rehabilitasi hutan di hutan lindung sebagai safah satu fungsi hutan yang diperuntukkan bagi kepentingan fungsi tata air, di pihak lain juga menjadi tumpuan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatannya. Guna mengintegrasikan kepentingan fungsi tata air dan pemanfaatan kawasan ofeh masyarakat di sekitar hutan lindung, maka permasalahan yang ditemui adalah bagaimana mengimplementasikan paradigma baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat di hutan lindung, dengan mencermati perangkat kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan, serta melakukan analisis dart sisi kelayakan proyek. Sehingga penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan guna mendukung PHBM di hutan lindung dan menilai kelayakan proyek terutama dari aspek kelembagaan dan aspek finansial pembuatan tanaman budidaya kopi yang diusuikan oleh masyarakat sebagai sumber pendapatan, dengan memperhatikan aspek tata air fungsi lindung di kawasan Hutan Lindung RPH Hanjawar Timur I, BKPH Sukanegara Utara, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Hasil indentifikasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat di Pulau Jawa, menunjukkan ketersediaan program dan peraturan baik di tingkat nasional/pusat, propinsi, dan kabupaten, yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Perum Perhutani dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peraturan dimaksud meliputi antara lain SK Menteri Kehutanan tentang HKm, Pedoman dan Evaluasl PHBM, Pedoman dan Petunjuk Teknis pengelolaan kawasan lindung dari Perum Perhutani, Pembentukan Kelompok Tani/Nelayan dan Tani/Hutan Propinsi Jawa Barat, Penunjukan Kader PHBM oleh ADM/KKPH Cianjur, dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Campaka Mulya. Dari analisis kebijakan dan kelayakan proyek yang dilakukan, ternyata walaupun dari aspek hukum sudah tersedia peraturan yang melandasi kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat di hutan lindung, namun dalam implementaslnya belum didukung oleh mekanisme perencanaan dan operasional di lapangan yang memadai. Mekanisme perencanaan pengelolaan hutan lindung yang melibatkan masyarakat sekitar hutan tergantung kepada kondisi spesifik di masing-masing lokasi hutan lindung, serta pemahaman masyarakat tentang fungsi lindung yang umumnya terbatas. Kelembagaan untuk mengelola hutan lindung bersama masyarakat yang sudah dibentuk di lokasi penelitian, belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena masih memerlukan peningkatan pemahaman masyarakat. Sehingga upaya penguatan kelerrrbagaan masih diperlukan melalui peningkatan kualitas sosialisasi/pendarnpingan dan perencanaan partisipatif, dengan meningkatkan kualitas penyuluhan dan koordinasi antar lembaga terkait di tingkat operasional. Penyuluhan diperlukan dalam aspek hukum dan aspek Iingkungan yang terkait dengan fungsi tata air. Sejalan dengan hal tersebut koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti dari unsur pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, perlu diupayakan. Berdasarkan aspek finansial dan ekonomi dalarn anallsis biaya manfaat untuk pengusahaan/penahaman tanaman kopi dengan pola tanam wanatani multistrata bersama jenis tanaman semusim (jagung) dan kayu-ka yuan pada hutan lindung di lokasi penelitian, layak untuk dilaksanakan terutama dengan memperhatikan aspek pasar dari harga kopi beras (hasil pengeringan. Dari aspek finansial maupun ekonomi, NPV untuk hasil kopi tanpa pengeringan bernilai positif pada tingkat infasi 7% dan 8%, dengan BCR > 1. Sec angkan dengan proses pengeringan NPV bare bernilai positif dengan BCR > 1 ketika harga kopi beras Rp.12.000, 00 untuk analisis financial dan Rp. 10.000, 00 untuk analisis ekonomi pada kedua tingkat Inflasi. Pengusahaan tanaman kopi mutu/strata bersama tanaman semusim dan kayu-kayuan selain layak secara finansial dan ekonoml, juga dapat mengintegrasikan kepentingan masyarakat dl sekitar hutan lindung dan keberlangsungan fungsi tata air. Kegiatan ini memberi hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan kawasan yang hanya didominasi oleh pohon kayu-kayuan saja, atau sebaliknya terjadi alih guna lahan hutan menjadl lahan pertanlan oleh masyarakat, Pengayaan tanaman di hutan lindung dengan jenis buah-buahan guna meningkatkan pendapatan petani dengan pengolahan tanah yang minimal, dapat pula dilakukan sesual kondisi tanah hutan. Untuk kelestarlan fungsi Iindung, penataan kawasan hutan lindung memerlukan penetapan blok pemanfaatan dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan hutan lindung tersebut. Sedangkan dari aspek finansial dan ekonomi diperlukan pula peningkatan informasi pasar kepada petani hutan baik untuk saprodi maupun produksi kopi dan hasil hutan non kayu lalnnya. Dari aspek soslal ekonomi, pemerataan kesempatan kepada warga Dena Campaka Mulya yang belum terlibat dalam pengelolaan hutan lindung, perlu diupayakan melalui sosialisasi dan pendampingan yang melibatkan lembaga desa secara partisipatif guna menghindarkan kecemburuan soslal yang akan mendorong tindakan a sosial."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library