Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Ramadhani Pratama
"Reformasi Taika melahirkan perubahan dalam skala besar terhadap sistem pemerintahan Jepang. Salah satu perubahan dapat dilihat pada terbentuknya sistem pemerintahan Ritsuryo yang mendorong sentralisasi kekuasaan ke tangan kaisar dan penanaman nilai Konfusianisme kepada seluruh elemen pemerintah. Proses internalisasi nilai Konfusianisme dilakukan dengan cara menyebarkannya melalui institusi pendidikan. Dalam upaya mewujudkan idealisme tersebut, Gakuryo disusun sebagai undang-undang yang mengatur sistem pendidikan di bawah naungan Ritsuryo dan berbasis kepada ajaran Konfusiansime. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai sejarah terbentuknya Gakuryo dan mengidentifikasi nilai Konfusianisme seperti apa yang terkandung di dalam undang-undang Gakuryo untuk menghasilkan pejabat pemerintahan yang bermoral Konfusianisme. Penelitian ini menggunakan teori pendekatan sejarah konstitusional berupa analisis terhadap undang-undang Gakuryo dengan tujuan mengetahui nilai Konfusianisme yang terkandung dalam pembentukan sistem pendidikan yang ideal. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan isi dari undang-undang Gakuryo dan menganalisis setiap butir undangundang Gakuryo yang diidentifikasi mengandung nilai Konfusianisme. Data mengenai undang-undang Gakuryo diambil dari situs Yoro-Ryo Gendaigoyaku. Hasil dari penelitian ini adalah Gakuryo terbentuk bersama dengan perkembangan Ritsuryo dan isi dari Gakuryo merupakan adaptasi dari sistem pendidikan Dinasti Tang (kokushikan). Dalam Gakuryo butir ke-1 dan 5-13 tercantum kualifikasi pengajar dan kurikulum pendidikan berbasis Konfusianisme. Pada butir ke-3 dan 22 dapat diidentifikasi nilai Konfusianisme Li dan pada butir ke-4, 18, dan 19 diidentifikasi mengandung nilai Konfusianisme Filial Piety.

The Taika Reformation brought about significant changes to the Japanese government system. One of the changes can be observed in the establishment of the Ritsuryo government system, which aimed to centralize power in the hands of the emperor and instill Confucian values across all facets of the government. The process of internalizing Confucian values involved disseminating them through educational institutions. In an effort to realize these ideals, the Gakuryo was drafted as a law that regulated the education system under the Ritsuryo, based on Confucian teachings. This research aims to elucidate the history of the formation of the Gakuryo and identify the Confucian values embedded in the Gakuryo law to cultivate government officials with Confucian morals. The research utilizes the theory of constitutional history as an approach, involving an analysis of the Gakuryo law to understand the Confucian values shaping the ideal education system. The research methodology employed is qualitative with descriptive analysis, entailing a description of the Gakuryo law's contents and an analysis of each item identified as containing Confucian values. Data regarding the Gakuryo law were sourced from the Yoro-Ryo Gendaigoyaku website. The study's findings reveal that the Gakuryo was developed alongside the evolution of the Ritsuryo, and its content represents an adaptation of the education system from the Tang Dynasty (kokushikan). In Gakuryo, qualifications for teachers and an education curriculum based on Confucianism are mentioned in sections 1 and 5-13. Confucian values of Li are identified in sections 3 and 22, while values of Filial Piety are found in sections 4, 18, and 19.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Milka Dike Widianto
"ABSTRAK
Kasus bunuh diri di Korea Selatan masih menjadi salah satu masalah yang dominan. Akan tetapi di antara bunuh diri yang terjadi, lansia adalah kelompok umur yang melakukan jumlah bunuh diri terbesar di Korea Selatan. Hal ini dikarenakan adanya pergeseran dari nilai hyo dalam masyarakat Korea Selatan dan mempengaruhi kohesivitas sosial masyarakat. Tujuan penulisan jurnal ini adalah mencari kaitan dari pergeseran nilai hyo dalam institusi keluarga dan bagaimana pergeseran tersebut mempengaruhi tingkat bunuh diri lansia di Korea Selatan dan peran kohesivitias sosial dalam rupa institusi keluarga dan institusi sosial dalam mencegah bunuh diri lansia di Korea Selatan. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pengumpulan sumber data melalui studi kepustakaan. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pergeseran nilai hyo terhadap peningkatan bunuh diri lansia di Korea Selatan.

ABSTRACT
The case of suicide in South Korea still remains as one of its most dominant issues. But among the suicides that occurred, the elderly were the age group that had the largest number of suicide cases in South Korea. This is due to the shift of the hyo value in South Korean society and its effect to the social cohesiveness in society. The purpose of writing this journal is to look for a connection between the shift in the hyo value in the family institution and how this shift affects elderly suicide rate in South Korea and the role of social cohesion in the form of families and social institutions in preventing elderly suicide in South Korea. Method used in the writing of this paper is the descriptive qualitative and the method of collecting the data source is through the study of literature. The findings of this study indicate that there is a correlation between the shift in the hyo value against an increase of elderly suicide in South Korea."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Afrida Dwi Ulfa
"Film Pitutur 2 mengisahkan tentang seorang remaja yang berada dalam kondisi koma karena mengalami sebuah kecelakaan. Saat remaja tersebut terbaring koma, arwahnya keluar dan menemui seorang pria menggunakan blangkon yang kemudian mengalami perjalanan spiritual. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui makna yang terdapat dalam film Pitutur 2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dan teori hermeneutika Schleiermarcher. Data penelitian ini diperoleh dari transkripsi film, visualisasi berupa gambar, dan hasil wawancara dengan narasumber untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam. Berdasarkan teori tersebut tahapan penelitian dibagi menjadi dua yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam film Pitutur 2 terdapat sikap berbakti kepada orang tua yaitu membantu pekerjaan orang tua, mengamalkan apa yang sudah diajarkan oleh orang tua, dan mendengarkan orang tua ketika berbicara atau menasehati Penelitian ini memberikan kontribusi untuk memperluas pemahaman tentang peranan sebuah film untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada seluruh lapisan masyarakat.

Pitutur 2 tells the story of a teenager who is in a coma due to an accident. While in a comatose state, his spirit came out and met a man wearing traditional Javanese headgear called "blangkon." and embarks on a spiritual journey. This research is conducted to understand the meaning within the film Pitutur 2. The method used in this research is descriptive qualitative research and Schleiermarcher's hermeneutic theory. The research data includes film transcriptions, visualizations such as images, and interviews with informants to gain a deeper insights. Based on this theory, the research process is divided into two stages: grammatical interpretation and psychological interpretation. The results of this study indicate that in the film Pitutur 2, there is a sense of filial piety towards parents, such as helping them with their work, practicing what parents have taught, and listening to parents when talking or advising. This research contributes to broaden understanding of the role of a film for conveying moral messages to all levels of society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evina Wenly
"Sembahyang Cengbeng merupakan tradisi sembahyang ke kuburan leluhur karena telah dilakukan oleh masyarakat Tiongkok sejak dinasti Jin (265-420). Tradisi ini dilakukan pada bulan dua dan bulan tujuh penanggalan bulan (阴历), masyarakat Tionghoa akan pergi ke kuburan leluhur atau orang tua untuk membersihkan dan sembahyang kepada leluhur. Tradisi ini masih terus dilakukan karena adanya pengaruh ajaran Konfusius, yaitu ajaran bakti 孝dan keluarga 家. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna bakti dan kekeluargaan yang terdapat pada sembahyang Cengbeng di Singkawang. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Setelah pengumpulan data, hasil dari penelitian ini akan dianalisis dengan teori.

Cengbeng prayer is a tradition of praying to the ancestral graves because it has been carried out by Chinese people since the Jin dynasty (265-420). This tradition is carried out in the second and seventh months of the lunar calendar(阴历), Chinese people will go to the graves of their ancestors or parents to clean and pray to their ancestors. This tradition is still carried out because of the influence of Confucius teachings, namely the teachings of filial piety 孝 and kinship 家. This study aims to determine the meaning of devotion and kinship contained in the Cengbeng prayer tradition in Singkawang. The method used to conduct this research is a qualitative method with data collection techniques in the form of interviews. After collecting the data, the results of this study will be analyzed by theory."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Zein
"Di era di mana media global memegang peran penting dalam membentuk persepsi budaya, penggambaran komunitas Tionghoa di Hollywood sering menjadi subjek penelitian dan perdebatan. Selama beberapa dekade, representasi komunitas Tionghoa sering kali bergantung pada stereotip tertentu atau interpretasi dangkal terhadap nilai-nilai budaya mereka. Prinsip Konfusianisme tentang kesalehan anak (filial piety), yang menjadi dasar hubungan keluarga orang Tionghoa serta menekankan penghormatan, merupakan salah satu tema yang sering diangkat dalam film-film Hollywood yang berfokus pada keluarga Tionghoa-Amerika. Akan tetapi, filosofi yang rumit di balik prinip kesalehan anak ini sering kali terlalu disederhanakan dalam beberapa film, yang kemudian memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana media populer mampu menggambarkan kedalaman dari nilai budaya tersebut. Penelitian ini mengeksplorasi penggambaran kesalehan anak Konfusianisme dalam film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), dengan meneliti apakah film ini selaras dengan ajaran inti Konfusianisme atau justru memperkuat stereotip yang biasa terlihat di media Barat. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini menekankan bahwa penggambaran kesalehan anak dalam film ini menunjukkan kompleksitas ajaran Konfusianisme, di mana penyimpangan yang dilakukan Shang-Chi bukanlah semata-mata penolakan terhadap ajaran Konfusianisme, tetapi justru mencerminkan fleksibilitas dari ajaran Konfusianisme serta sifatnya yang multifaset sebagai kerangka budaya. Meskipun beberapa stereotip masih terlihat dari narasi film ini, namun penelitian ini menemukan bahwa film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) tetap berperan penting atas kontribusinya dalam merepresentasikan budaya Tionghoa di media Barat.

In the age where global media holds a pivotal role in shaping perceptions of culture, the portrayal of Chinese community in Hollywood remains a subject of scrutiny and debate. For decades, depictions of Chinese have often relied on certain stereotypes or surface-level interpretations of their cultural values. Confucian principle of filial piety, a cornerstone of Chinese familial relationships emphasizing respect, is one of the theme that is often explored in Hollywood films that centered around Chinese-American families. However, the intricate philosophy behind filial piety is frequently diluted in some films, raising questions about how well popular media captures the depth of this cultural value. This paper explores the portrayal of Confucian filial piety in Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), examining whether the film aligns with the core teachings of Confucianism or perpetuates stereotypes commonly seen in Western media. Using a qualitative approach, the study highlights the film's nuanced depiction of filial piety, suggesting that Shang-chi’s deviation in the film do not merely signify a rejection of Confucian teachings but rather reflect its flexibility and multifaceted nature as a cultural framework. While certain stereotypes persist in the narrative, this research finds that Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) remains notable for its contribution to representing Chinese culture in Western media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library