Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felicia Deasy
Abstrak :
Filariasis limfatik disebabkan cacing nematoda dari superfamili Filarioidea dan ditularkan nyamuk. WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis dengan strategi pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan DEC 6mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan masal selama 5 tahun dalam menurunkan prevalensi hingga kurang dari 1% di Pulau Alor, NTT, sebagai daerah endemis filariasis Brugia timori. Peneliti menggunakan data sekunder dari desain studi eksperimental berupa prevalensi penderita filariasis sebelum dan setelah masa pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengobatan selama 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi infeksi filaria. Disimpulkan bahwa metode pengobatan filariasis dengan kombinasi DEC dan albendazol terbukti mampu memenuhi target eliminasi filariasis WHO. ......Lymphatic filariasis is caused by nematodes from superfamily of Filaroidea, with mosquito as its vector. Yearly medication based on the community treatment of risked population using DEC 6mg/kg and albendazol 400 mg is the strategy set by WHO. This research is proposed to know the success of 5 years mass treatment run in Alor Island, NTT, an endemic area for filariasis Brugia timori, to decrease the prevalency of filariasis until less than 1%. This research uses secondary data from the experimental study design in form of prevalency of people with filariasis before and after the medication. The result shows the five-year-medication with DEC and albendazol succeeds in decreasing the prevalence of filarial infection. The medication method of filariasis using the combination of DEC and albendazol is proved to fulfill the target set by WHO to eliminate filariasis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09047fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Assyifa Gita Firdaus
Abstrak :
Indonesia adalah negara endemisitas filariasis yang tinggi (13.032 kasus pada tahun 2015) dan Papua Barat adalah provinsi tertinggi ketiga dengan filariasis (1.244 kasus). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat global yang harus dihilangkan melalui pemberian obat massal (MDA) dengan memberikan diethylcarbamazine citrate (DEC) dan albendazole, dosis tunggal, setahun sekali dalam lima tahun berturut-turut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi cakupan MDA di Papua Barat pada 2015 dan untuk menganalisis hubungan antara tingkat endemisitas filariasis dan cakupan MDA. Sebuah studi cross-sectional dilakukan dengan menggunakan data peserta MDA yang telah direkam oleh Dinas Kesehatan Papua Barat (total sampling) pada tahun 2015. Data tersebut mencakup jumlah total populasi yang mengonsumsi obat MDA, populasi target dan total populasi di setiap kabupaten Papua Barat. Target cakupan MDA yang ditentukan oleh WHO adalah> 65% dari total populasi dan> 85% dari populasi yang ditargetkan. Hasil menunjukkan bahwa cakupan MDA di Papua Barat pada 2015 per total populasi adalah 35% dan per populasi target adalah 45,2%, tidak mencapai target WHO. Tingkat endemisitas filariasis dikaitkan dengan cakupan MDA; per total populasi (chi-square p <0,001) dan per populasi yang ditargetkan (chi-square p <0,001). Area dengan tingkat endemisitas filariasis yang lebih rendah memiliki persentase cakupan MDA yang lebih rendah daripada area dengan tingkat endemisitas filariasis yang lebih tinggi.
Indonesia is a country of high filariasis endemicity (13,032 cases in 2015) and West Papua is the third highest province with filariasis (1,244 cases). The World Health Organization (WHO) states filariasis as a global public health problem that must be eliminated through mass drug administration (MDA) by giving diethylcarbamazine citrate (DEC) and albendazole, a single dose, once a year in five consecutive years. This study aims to evaluate the scope of MDA in West Papua in 2015 and to analyze the relationship between the degree of endemicity of filariasis and MDA coverage. A cross-sectional study was conducted using MDA participant data that was recorded by the West Papua Health Office (total sampling) in 2015. The data includes the total population taking MDA drugs, the target population and the total population in each district of West Papua. The MDA coverage target determined by WHO is> 65% of the total population and> 85% of the targeted population. The results show that MDA coverage in West Papua in 2015 per total population was 35% and per target population was 45.2%, not reaching the WHO target. The degree of filariasis endemicity is associated with MDA coverage; per total population (chi-square p <0.001) and per targeted population (chi-square p <0.001). Areas with lower levels of filariasis endemicity have lower MDA coverage percentages than areas with higher levels of filariasis endemicity.
Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Nur Arifa
Abstrak :
Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA. Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu. Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama. ......Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known. Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA. Results:  A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points. Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library