Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Yuli Setianto
"Latar belakang. Fibrillasi atrium (AF) merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai terutama pada penderita stenosis mitral (MS). Atrium kanan mempunyai karakteristik anatomis tertentu yang menyebabkan halangan elektrofisiologis alamiah yang memungkinkan terjadinya sirkit reentry, schingga memudahkan timbulnya aritmia seperti halnya flutter atrium. Tujuan penclitian ini adalah untuk mengetahui apakah dimensi atrium kanan mempunyai peran yang lebih besar dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF pada penderita stenosis mitral dibanding dengan faktor lain. Metode dan hasil. Dilakukan penelitian secara potong lintang prospektif dengan menggunakan data base terhadap 42 penderita MS dominan yang dilakukan kateterisasi jantung dan/ valvuloplasti dengan balon (PTMC) antara bulan Juli s'd Descmber 1998 (selama 6 bulan). Tiga puluh penderita dimasukan dalam penelitian. Rasio laki-laki/ perempuan adalah 11/19, rerata umur 34,07 ± 11,58 tahun dengan rentang umur 16-64 tahun. Prosentase penderita AF sebanyak 46,7%. Penderita AF mempunyai umur yang lebih tua secara bermakna dibanding dengan penderita irama sinus (SR) (38,71 ±12,57 tahun vs 30,00 ± 9,18 tahun, p= 0,016). Kelas fungsional penderita AF lebih buruk secara bermakna dibanding kelompok SR (2,36 ± 0,50 vs 1,69 ± 0,60; p= 0,003). Fraksi ejeksi kelompok AF lebih rendah secara bermakna dibanding kelompok SR (54,12 + 10,71 % vs 68,69 t 6,50 %; p- 0,015). Kelompok AF mempunyai Cardio thoraccic ratio (CTR) lebih besar secara bermakna dibanding kelompok SR (62,64 ± 7,53 % vs 54,79 ± 5,32 %; p- 0,006). Area katup mitral dan gradien transmitral tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Sedang diameter akhir sistolik, diameter antero-posterior atrium kiri, luas permukaan atrium kanan, diameter medio-lateral atrium kanan, diameter supero inferior atrium kanan, dan volume atrium kanan lebih besar secara bermakna pada kelompok AF dibanding kelompok SR, (berurut-turut 3,264 ± 0,531 cm vs 2,649 ± 0,559 cm; p 0,005, 5,148 ± 1,025 cm vs 4,22 ±0,668 cm; p= 0,006, 3,997 ±0,927 cm vs 2,919 t0,785 cm; p- 0,000, 5,867 ± 0,666 cm vs 4,446 ± 0,738 cm; p= 0,002, 31,072±8,583 cm vs 17,488 ± 5,646 cm; p= 0,000, 52,435 ± 29,647 cm' vs 21,609 ± 11,517 cm'; p=0,001). Demikian pula tidak ada perbedaan bermakna dalam variabel hemodinanik di antara kedua kelompok AF dan SR. Dengan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan hanya luas permukaan atrium kanan yang berperan terhadap timbulnya AF. (p 0,0079; kocfisien regresi 0,407, OR= 1,503; CI 95% OR= 1,121 2,014) Kesimpulan. Pada penderita MS: Luas permukaan atrium kanan lebih berperan dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF dibanding dengan variabel lain termasuk dimensi atrium kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zul Efendi
"[Latar belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering terjadi
pasca bedah pintas arteri koroner. Peningkatan stress oksidatif, inflamasi, aktivitas
neurohormonal memiliki peran terhadap kejadian fibrilasi atrium pasca bedah
pintas arteri koroner. Berbagai strategi farmakologis seperti antiaritmia,
antiinflamasi, dan antioksidan sudah dipelajari untuk menurun risiko kejadian
fibrilasi atrium pasca bedah pintas arteri koroner namun kejadian fibrilasi atrium
masih tinggi. Allopurinol memiliki efek antioksidan, namun belum ada uji klinis
yang mempelajari efek allopurinol terhadap kejadian fibrilasi atrium. Penelitian
ini bertujuan untuk menilai efek allopurinol terhadap kejadian fibrilasi atrium
pasca bedah pintas arteri koroner
Metode : Uji klinis randomisasi tersamar ganda dilakukan di Rumah Sakit
Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) pada periode April ? Mei 2015.
Pasien BPAK on-pump elektif yang diseleksi secara consecutive sampling
kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok allopurinol dan
kelompok plasebo dengan randomisasi blok. Subyek diberikan allopurinol 600 mg
/ plasebo dosis tunggal sejak 1 hari sebelum operasi sampai hari ke-5 pasca
operasi. Dilakukan pengamatan kejadian fibrilasi atrium pasca operasi sampai
pasien pulang dari perawatan.
Hasil : Sebanyak 90 subyek diikutsertakan dalam penelitian, 45 subyek pada
masing-masing kelompok. Kejadiaan fibrilasi atrium lebih rendah secara
bermakna pada kelompok allopurinol (12 (26,7%) vs 22 (48,9%) p 0,030).
Kesimpulan : Pemberian allopurinol perioperatif menurunkan kejadian fibrilasi atrium pasca bedah pintas arteri koroner.;Background : Atrial fibrillation is the most common arrhythmias after coronary
artery bypass surgery. Increased oxidative stress, inflammation, neurohormonal
activity has a role on the incidence of atrial fibrillation after coronary artery
bypass surgery. Various pharmacological strategies such as antiarrhythmias, antiinflammatory,
and antioxidant have been studied to decrease atrial fibrillation
incident after coronary artery bypass surgery, but the incidence of atrial
fibrillation is still high. Allopurinol has antioxidant effects, but there was no
clinical trials that studied the effect of allopurinol on atrial fibrillation incidence.
The aim of this study to assess allopurinol effect on the atrial fibrillation incidence
after coronary artery bypass surgery.
Methods: A double-blind randomized clinical trial conducted at the National
Cardiovascular Center Harapan Kita in Jakarta from April to May 2015. Elective
on-pump CABG patients were selected by consecutive sampling then divided into
two groups: allopurinol and placebo groups with block randomization. Subjects
given allopurinol 600 mg / placebo single dose since 1 day before surgery until
the 5th day post-surgery. The incidence of atrial fibrillation was observed
postoperatively.
Results: A total of 90 subjects were included in the study, 45 subjects in each
group. Occurrence of atrial fibrillation was significantly lower in the allopurinol
group (12 (26.7%) vs 22 (48.9%) p 0,030).
Conclusion: Perioperative allopurinol reduced the incidence of atrial fibrillation after coronary artery bypass surgery., Background : Atrial fibrillation is the most common arrhythmias after coronary
artery bypass surgery. Increased oxidative stress, inflammation, neurohormonal
activity has a role on the incidence of atrial fibrillation after coronary artery
bypass surgery. Various pharmacological strategies such as antiarrhythmias, antiinflammatory,
and antioxidant have been studied to decrease atrial fibrillation
incident after coronary artery bypass surgery, but the incidence of atrial
fibrillation is still high. Allopurinol has antioxidant effects, but there was no
clinical trials that studied the effect of allopurinol on atrial fibrillation incidence.
The aim of this study to assess allopurinol effect on the atrial fibrillation incidence
after coronary artery bypass surgery.
Methods: A double-blind randomized clinical trial conducted at the National
Cardiovascular Center Harapan Kita in Jakarta from April to May 2015. Elective
on-pump CABG patients were selected by consecutive sampling then divided into
two groups: allopurinol and placebo groups with block randomization. Subjects
given allopurinol 600 mg / placebo single dose since 1 day before surgery until
the 5th day post-surgery. The incidence of atrial fibrillation was observed
postoperatively.
Results: A total of 90 subjects were included in the study, 45 subjects in each
group. Occurrence of atrial fibrillation was significantly lower in the allopurinol
group (12 (26.7%) vs 22 (48.9%) p 0,030).
Conclusion: Perioperative allopurinol reduced the incidence of atrial fibrillation after coronary artery bypass surgery.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husain Haikal
"Latar Belakang : Implantasi Alat Pacu Jantung Permanen APJP terusmengalami peningkatan. Kejadian Fibrilasi Atrium FA pada pasien pascapemasangan APJP dengan pemacuan dasar ventrikel dikarenakan adanyadisfungsi diastolik ventrikel kanan yang diikuti oleh disfungsi diastolik ventrikelkiri dan disinkroni ventrikel karena adanya Blok Berkas Cabang Kiri BBCKi .Kedua hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiridiikuti dengan gangguan pada atrium kiri dan timbul FA. Banyak prediktor yangdapat digunakan untuk menilai kejadian FA namun belum ada penelitian yangmenghubungkan pemeriksaan Elektrokardiogram EKG 12 sadapan yaitu denganinterval QT corrected QTc pacu menggunakan rumus Framingham dengankejadian FA pada pasien dengan APJP.
Tujuan : Mengetahui hubungan interval QTc pacu dengan kejadian FA danmenentukan nilai potong dari interval QTc pacu.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan diRumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK padasubyek yang menjalani pemasangan APJP pemacuan dasar ventrikel pada Januari2013 hingga Agustus 2014. Dilakukan perhitungan interval QTc pacumenggunakan rumus Framingham pada EKG 12 sadapan yang dilakukan satubulan setelah implantasi APJP.
Hasil Penelitian : Terdapat 75 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimana 15subjek mengalami FA 20 . Interval QTc pacu menggunakan rumusFramingham berkorelasi baik dengan kejadian FA. Nilai potong dari interval QTcpacu yang didapat adalah ge; 451,5 mdet, dimana nilai potong ini mempunyai risiko4,3 kali lipat kejadian FA.
Kesimpulan : Interval QTc pacu menggunakan rumus Framingham dapatdigunakan sebagai prediktor kejadian FA pada pasien yang menggunakan APJPdengan pemacuan dasar ventrikel.

Background : Implantation of Permanent Pacemaker PPM increasing in the lastdecades. Atrial fibrillation AF in patient using PPM with right ventricular basepacing developed because of the diastolic dysfunction of the right ventricle thatimpact the left ventricle and also ventricular dissynchrony in left ventricle due toLeft Bundle Branch Block LBBB . This abnormalities will impact to the leftatrial and induced atrial fibrillation. There are many predictors for AF but wehaven't found any study that correlate paced QT corrected paced QTc usingFramingham formula with the the risk of AF in patients implanted doublechamber or single chamber PPM under ventricular based pacing.
Aim : To determine the correlation between paced QTc with AF in patientimplanted PPM and determine cutoff value.
Methods : This is a case control study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita Hospital Jakarta with subjeks implantedPPM using double chamber or single chamber with ventricular based pacing fromJanuary 2013 until August 2014. The calculation of Paced QTc using framinghammethod.
Results : There are total 75 subyek in this study, 15 subject developed AF 20 .The Paced QTc using Framingham method was correlated well with AF. Thecutoff value of Paced QTc was ge 451.5 msec and the risk to develop AF was 4.3times.
Conclusion : Paced QTc can be used as a predictor of AF in patient with doublechamber or single chamber PPM with ventricular based pacing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55634
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Yuli Prianto
"Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien fibrilasi atrium (FA) yang mengalami gagal jantung akut. Pada pasien irama sinus, left atrial volume index (LAVI) dan heart rate variability (HRV) merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi kardiovaskular. Penelitian LAVI dan HRV pada pasien FA hingga saat ini belum konklusif.
Tujuan: Mengetahui hubungan LAVI dan HRV dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA
Metode: Studi kohort retrospektif dengan populasi terjangkau pasien dewasa FA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 yang berasal dari registri Optimal INR measures for Indonesians (OPTIMA). Data sekunder LAVI diukur dengan ekokardiografi dan parameter HRV terdiri dari standar deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive differences (RMSSD), rasio low frequency dan high frequency (LF/HF) diukur menggunakan alat HRV portabel. Pasien diikuti hingga 30 Januari 2023, luaran dinilai dengan melihat catatan medik atau melalui telepon.
Hasil: Dilakukan analisis pada 144 sampel. Proporsi kejadian gagal jantung akut sebesar 15,3%. Tidak terdapat hubungan antara SDNN dengan kejadian gagal jantung akut (RR 1,75; IK95% 0,260 – 11,779, p=0,565). Tidak terdapat hubungan antara LF/HF dengan kejadian gagal jantung akut (RR 2,865; IK 95% 0,765 – 10,732, p=0,118). Terdapat hubungan antara LAVI dengan kejadian gagal jantung akut (adjusted RR 2,501; IK 95% 1,003 – 6,236, p=0,049). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor perancu pada penelitian ini.
Kesimpulan: Peningkatan LAVI berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. HRV tidak berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA.

Background Morbidity and mortality rates increase in patients with atrial fibrillation (AF) who experience acute heart failure. In patients with sinus rhythm, left atrial volume index (LAVI) and heart rate variability (HRV) are strong predictors of cardiovascular complications. Research on LAVI and HRV in AF patients has so far not been conclusive.
Objectives: To determine the relationship between LAVI and HRV and the incidence of acute heart failure in AF patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted with an accessible population of adult AF patients at RSCM from January 1, 2020, to December 31, 2021, originating from the Optimal measures INR for Indonesians (OPTIMA) registry. LAVI was measured by echocardiography, and HRV parameters consist of the standard deviation of NN intervals (SDNN), the root mean square of successive differences (RMSSD), and the ratio of low frequency and high frequency (LF/HF) measured using a portable ECG device. Patients were followed until January 30, 2023, and outcomes were assessed by looking at medical records or by telephone.
Result: A total of 144 subjects were analysed. The proportion of acute heart failure is 15.3%. There was no relationship between SDNN and the incidence of acute heart failure (RR 1.75; 95% CI 0.260–11.779, p=0.565). There was no relationship between LF/HF and the incidence of acute heart failure (RR 2.865; 95% CI 0.765–10.732, p=0.118). There is a relationship between LAVI and the incidence of acute heart failure (adjusted RR 2.501; 95% CI 1.003–6.236, p = 0.049). DM and hypertension were confounding factors in this study.
Conclusion: The elevation of LAVI is associated with the incidence of acute heart failure in AF patients. HRV is not associated with the incidence of acute heart failure in AF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rasco Sandy
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (FA) awitan dini pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi yang sering terjadi. Aritmia ini merupakan fenomena sementara dan mayoritas pasien akan mengalami konversi ke irama sinus saat dipulangkan. Meskipun bersifat sementara, FA awitan baru pasca-BPAK berpotensi mengalami rekurensi sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang.
Tujuan. Mengetahui peran FA awitan baru pasca-BPAK dalam mempengaruhi kesintasan tiga tahun.
Metode. Studi dengan desain kohort retrospektif menggunakan analisis kesintasan yang meneliti 196 pasien yang menjalani BPAK di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2012 sampai Desember 2015. Eksklusi dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat FA sebelum operasi, menjalani operasi tanpa mesin pintas jantung-paru, dan yang meninggal dalam 30 hari pascaoperasi. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan ada tidaknya FA awitan baru pasca-BPAK, yang selanjutnya ditelusuri status kematiannya dalam tiga tahun sejak operasi. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia ≥60 tahun, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, gangguan ginjal, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR).
Hasil. Sebanyak 29,59% pasien mengalami FA awitan baru pasca-BPAK. Angka mortalitas tiga tahun pasien yang mengalami FA awitan baru pasca-BPAK baru lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalaminya (15,52% vs 3,62%). Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara signifikan menurunkan kesintasan tiga tahun (p=0,008; HR. Pada analisis multivariat, FA awitan dini pascaBPAK merupakan faktor independen terhadap penurunan kesintasan tiga tahun (adjusted HR 4,04; IK 95% 1,34-12,14).
Simpulan. Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara independen menurunkan kesintasan tiga tahun.

Background. New-onset atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting (CABG) is a common postoperative complication. This arrhytmia considered as temporary phenomenon which the majority are converted back to sinus rhythm when the patients discharged from the hospital. Despite its transience, those arrhythmia can recur and increasing the long term mortality.
Objective. To determine the role of new-onset atrial fibrillation after CABG on three year survival.
Method. This is a retrospective cohort study using survival analysis of patients who underwent coronary artery bypass grafting since January 2012 to December 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who had atrial fibrillation before surgery, who had surgery without cardiopulmonary bypass machine, and who died in 30 days after surgery were excluded. Subjects were divided into two category based of the presence of newonset atrial fibrillation after CABG and the mortality status was followed up until 3 years post-surgery. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients who had new-onset atrial fibrillation after CABG and Cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR).
Result. New-onset atrial fibrillation after CABG occurred in 29,59% patients. Patients with new-onset atrial fibrillation after CABG had higher three-year mortality (15,52% vs 3,62%). New-onset atrial fibrillation after CABG significantly decreased three-year survival (p=0,008; HR 4,42; 95% CI; 1,49-13,2). In multivariate analysis, it was concluded that new-onset atrial fibrillation after CABG was an independent factor of the three-year survival decline (adjusted HR 4,04; 95% CI; 1,34-12,14).
Conclusion. New-onset atrial fibrillation after CABG independently decreased the threeyear survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Larasati
"Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek.
Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah.
Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)).
Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA.

Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area.
Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fandi Ahmad
"Latar Belakang : Penyakit jantung katup khususnya katup mitral dengan etiologirematik sering berakhir dengan fibrilasi atrium FA. Stenosis mitral SM maupun regurgitasi mitral RM, ditambah dengan fibrosis atrium pada prosesrematik menyebabkan terjadinya remodeling struktural dan remodeling elektrisyang diduga berperan dalam timbulnya FA. Bedah reduksi atrium kiri pada pasienFA yang menjalani operasi katup mitral, merupakan prosedur yang relatifsederhana, tidak memakan waktu operasi yang lama, dan relatif murah yangdiduga memiliki pengaruh terhadap konversi irama.
Tujuan : Menilai pengaruh bedah reduksi atrium kiri terhadap konversi iramajangka pendek dan jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium dengan penyakitkatup mitral rematik yang menjalani pembedahan.
Metode : Telah dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien fibrilasi atriumdengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani operasi katup mitral selamaperiode Mei 2012 sampai dengan Mei 2016 di RS Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita. Tindakan bedah reduksi atrium kiri dalam hal ini menjadi variabelindependen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap konversi irama padapasien fibrilasi atrium dengan penyakit katup mitral rematik. Variabel dependenpada penelitian ini adalah konversi irama, yang dinilai melalui pengamatan jangkapendek dan jangka panjang.
Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 257 sampel, terdiri dari 131 orang yangmenjalani bedah reduksi dan 126 orang tanpa bedah reduksi. Pada kelompokbedah reduksi, didapatkan 42 subjek 32,1 yang mengalami konversi iramajangka pendek dan 37 subjek 28,2 yang mengalami konversi irama jangkapanjang. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang bermakna terhadap konversiirama jangka pendek yaitu bedah reduksi atrium kiri dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,98 dan nilai p=0,044 serta penggunaan penyekat beta dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,99 dan nilai p=0,047. Sementara variabel yang bermaknaterhadap konversi irama jangka panjang yaitu bedah reduksi atrium kiri denganOR 0,51 IK 95 0,28 ndash; 0,94 dan nilai p=0,031, penggunaan penyekat betadengan OR 0,53 IK 95 0,28 ndash; 0,98 dan nilai p=0,042, dan indeks volumeatrium kiri prabedah le;146 ml/m2 dengan OR 0,47 IK 95 0,26 ndash; 0,87 dan nilaip=0,017.
Kesimpulan : Bedah reduksi atrium kiri memiliki pengaruh terhadap konversiirama jangka pendek maupun jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium denganpenyakit katup mitral rematik yang menjalani pembedahan.

Background : Valvular heart disease, especially rheumatic mitral valve diseaseoften coexists with atrial fibrillation AF. Mitral stenosis MS and mitralregurgitation MR with atrial fibrosis because of rheumatic process, resulting instructural remodeling and electrical remodeling of left atrium which contribute foroccurence of AF. Left atrial reduction surgery with mitral valve correction issimple procedure, takes relatively short operation time, and quite inexpensive asan alternative treatment for AF in rheumatic mitral valve disease.
Objective : Assessing the effect of left atrial reduction for short term and longterm rhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
Method : We conducted a retrospective cohort study in atrial fibrillation patientswith rheumatic mitral valve disease who underwent mitral valve surgery duringthe period of May 2012 until May 2016 in the National Cardiovascular Center Harapan Kita. Left atrial reduction surgery became an independent variable whichexpected to have an influence on the rhythm conversion. The dependent variablewas the conversion of rhythm which was assessed through the observation in ashort term and long term.
Result : There were 257 subjects in this study, consisting of 131 subjects in theleft atrial reduction group and 126 subjects in the non left atrial reduction group.In left atrial reduction group, there were 42 subjects 32,1 with sinus rhythm inshort term observation and 37 subjects 28,2 with sinus rhythm during longterm observation. From multivariat analysis, the significant variable for the shortterm rhythm conversion were left atrial reduction with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,98 and p 0,044 and also beta blocker therapy with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,99 and p 0,047. While the significant variable for rhythm conversion in longterm were left atrial reduction with OR 0,51 CI 95 0,28 ndash 0,94 and p 0,031,beta blocker therapy with OR 0,53 CI 95 0,28 ndash 0,98 and p 0,042, and alsopre operation left atrial volume index le 146 ml m2 with OR 0,47 CI 95 0,26 ndash 0,87 and p 0,017.
Conclusion : Left atrial reduction has an effect for short term and long termrhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55635
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wibisono Firmanda
"Latar belakang: Penyakit katup mitral rematik akan menyebabkan remodeling struktural dan remodeling elektris pada atrium kiri, yang mengakibatkan perubahan irama sinus menjadi fibrilasi atrium (FA). Intervensi atrium kiri (IAK) berupa reduksi dinding posterior atrium kiri dan/atau isolasi apendiks atrium kiri pada bedah katup mitral rematik untuk mengurangi faktor substrat dan faktor pencetus FA dipikirkan mempunyai pengaruh terhadap konversi FA kembali ke irama sinus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh jangka pendek prosedur bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus pada pasien FA valvular.
Metode: Subjek penelitian adalah pasien FA dengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani prosedur bedah mitral dan/atau IAK pada bulan Januari 2012-Maret 2018. Karakteristik dasar, parameter ekokardiografi prabedah dan pascabedah, jenis tindakan operasi, dan irama elektrokardiogram (EKG) pasca operasi dikumpulk melalui data rekam medis pasien. Analisa statistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Terdapat 307 subjek yang terjaring dalam penelitian. Sebanyak 127 subjek masuk kedalam grup kontrol (bedah mitral) dan 180 subjek masuk kedalam grup intervensi (bedah mitral dengan IAK). Pada kelompok kontrol, 25 subjek (19,7%) mengalami konversi irama sinus sesaat pascabedah namun tidak terdapat subjek yang mengalami konversi irama sinus pada periode pengamatan selanjutnya. Pada kelompok intervensi terdapat 74 (41,1%), 10 (5,6%), 6 (3,3%), dan 4 (0,02%) subjek yang mengalami konversi irama sinus dalam periode segera pascabedah (p<0,001 dibandingkan grup kontrol), 1 minggu (p<0,01), 2 minggu (p<0,05) dan 4 minggu (p=0,142) pascabedah secara berurutan. Analisa multivariat menunjukkan bahwa IAK merupakan variabel yang secara independen berpengaruh terhadap konversi irama sinus sesaat pascabedah (RR 2,84; IK95% 1,68-4,83; p<0,001), namun tidak mempunyai pengaruh pada periode pengamatan selanjutnya.
Kesimpulan: Pengaruh bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus tampak pada periode sesaat pascabedah, namun tidak mempunyai pengaruh dalam periode pengamatan 1 minggu, 2 minggu dan 4 minggu pascabedah.

Background: Rheumatic mitral valve diseases caused structural and electrical remodeling in the left atrium, resulting rhythm change from sinus to atrial fibrillation (AF). Left atrial surgical interventions (LASI) which consist of reduction of LA posterior wall to modify AF substrate and/or left atrial appendage (LAA) exclusion to isolate AF triggers may have beneficial effects on rhythm conversion during rheumatic mitral valve surgery. This study aimed to evaluate the short term effects of combined rheumatic mitral valve surgery and LASI for sinus rhythm conversion in patients with valvular AF.
Methods: The subjects are AF patients with rheumatic mitral valve diseases undergoing mitral valve surgery from the period of January 2012-March 2018. Basic characteristics, preoperative and postoperative echocardiography parameters, surgical types, and ECG post-surgery were collected retrospectively from the patient's medical record. Statistical analysis were done using SPSS software.
Results: There were 307 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. They were divided into two groups: treatment group (combined mitral valve surgery plus LASI) consist of 180 patients, while control group (isolated mitral valve surgery) consist of 127 patients. In the control group, 25 (19.7%) subjects experienced sinus rhythm conversion immediately post-surgery, but no subjects maintained sinus rhythm conversion in the subsequent observation period (1-, 2-and 4-weeks post-surgery). While in the treatment group, there were 74 (41.1%), 10 (5.6%), 6 (3.3%), 4 (0.02%) subjects who experienced sinus rhythm conversion in the immediate (p<0.001 vs. control group), 1-week (p<0.01), 2-weeks (p<0.05) and 4-weeks (p=0.142) postoperative period, respectively. Multivariate analysis showed that LASI was an independent predictor of sinus rhythm conversion immediately post-surgery (RR: 2.84 95%CI 1.68-4.83; p<0.001), but not during the subsequent observations.
Conclusions: The effects of combined rheumatic mitral valve surgery with LASI on rhythm conversion of valvular AF was observed during immediate postoperative period, but it had no significant effects during 1-week, 2-weeks and 4-weeks postoperative observations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Dinar Putrinarita
"Latar Belakang: Isolasi vena pulmonalis merupakan strategi utama dalam tindakan ablasi fibrilasi atrium (FA). Namun, angka kekambuhan pasca ablasi FA masih signifikan. Substrat atrial seperti low voltage zone (LVZ) menggambarkan perubahan struktur dari atrium kiri. Low voltage zone berhubungan erat dengan kekambuhan pasca ablasi FA. Terdapat beberapa sistem skoring yang dapat memprediksi kekambuhan FA pasca ablasi FA yang menggunakan diameter atrium kiri, namun belum ada sistem skoring yang menggunakan indeks volume atrium kiri sebagai prediktor kekambuhan FA pasca ablasi. Skor ZAQ menggunakan IVAK MSCT, jenis kelamin perempuan dan usia ≥ 65 tahun untuk mempredikisi adanya LVZ.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ < 2 dibandingkan dengan ≥2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohor retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari pasien FA yang dilakukan isolasi vena pulmonalis pertama kali di RSJPDHK pada periode Januari 2015 sampai Agustus 2020. Dilakukan rekonstruksi IVAK dengan MSCT untuk menghitung skor ZAQ masing – masing pasien dan dilakukan evaluasi elektrokardiogram (EKG) 12 lead atau holter dalam waktu 3 sampai dengan 12 bulan pasca tindakan ablasi untuk melihat kekambuhan lambat.
Hasil: Terdapat 77 pasien ablasi FA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selama periode observasi, didapatkan 23 pasien (30%) yang mengalami kekambuhan lambat pasca ablasi. Dari hasil analisis regresi logistik multivariat, skor ZAQ bukan merupakan prediktor kekambuhan lambat pasca ablasi FA (OR 3.31; IK 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Yang menarik adalah kami menemukan dua variabel yang merupakan prediktor independen kekambuhan lambat pasca ablasi FA, yaitu IVAK MSCT ≥65.5 ml/m2 (OR 3.91; IK 95% 1.140-13.393; p=0.030) dan tipe FA non paroksismal (OR 5.00; IK 95% 1.552-16.150; p=0.007), sedangkan pemberian amiodarone pasca tindakan dapat memberikan efek protektif (OR 0.13; IK 95% 0.024-0.719, p=0.019).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ <2 dengan ≥2.

Background: Pulmonary vein isolation (PVI) is the main target for AF ablation. Unfortunately, the recurrence rate remains significant. Atrial substrate such as low voltage zones reflect the structural change of the left atrium. This LVZ is strongly associated with recurrence. There have been some scoring systems that predict AF reccurence after ablation using left atrial diameter, however there is no scoring system using left atrial volume index (LAVI) as a predictor for AF recurrence. ZAQ score employed MSCT LAVI, female sex, and age ≥ 65 years to predict the presence of LVZ.
Objective: This study aims to investigate the difference of late recurrence after AF ablation between ZAQ score <2 and ≥2.
Method: This study was a retrospective cohort study using secondary data collected from AF patients who underwent their first PVI during the period of January 2015 to August 2020 in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. LAVI reconstruction with MSCT was conducted to calculate ZAQ score of each patients. Twelve leads electrocardiogram (ECG) evaluation or Holter monitor within 3 to 12 months after ablation was conducted to evaluate late reccurence.
Result: There were 77 patients who met the inclusion and exclusion criteria. During the observation period, 23 patients (30%) experienced late recurrence post ablation. From multivariate logistic regression analysis, ZAQ score is not a predictor of late recurrence after AF ablation (OR 3.31; CI 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Interestingly, we found two variables which were independent predictors of late recurrence after AF ablation, i.e. MSCT LAVI ≥ 65.5 ml/m2 (OR 3.91; CI 95% 1.140-13.393; p=0.030) and non paroxysmal AF (OR 5.00; CI 95% 1.552-16.150; p=0.007), while amiodarone administration post-ablation had protective effect toward late recurrence (OR 0.13; CI 95% 0.024-0.719; p=0.019).
Conclusion: There was no difference in late recurrence after AF ablation between the ZAQ score group <2 and ≥2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jessica Putri Natalia
"Latar Belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui pada populasi dewasa di seluruh dunia. Penyakit jantung katup, terlepas dari kelainan irama yang menyertai, meningkatkan risiko tromboemboli, dan risiko ini meningkat signifikan dengan adanya fibrilasi atrium. Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi dan sering dipakai secara umum pada FA tanpa penyakit jantung katup untuk menilai stratifikasi resiko strok, namun kemampuan skor ini kurang baik pada populasi FA dengan penyakit jantung katup. Sampai saat ini, belum terdapat skor untuk memprediksi kejadian strok iskemik pada kelompok baik FA valvular EHRA tipe 1 maupun EHRA tipe 2.
Tujuan : Menilai prediktor klinis dan ekokardiografis yang dapat memprediksi kejadian strok iskemik dan merangkumnya menjadi sistem skor yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian strok iskemik pada pasien FA Valvular EHRA tipe 2.
Metode : Studi ini dilakukan secara kohort retrospektif pada 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Data diambil dari data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian strok iskemik setelah terdiagnosis selama periode Januari 2015 – Juli 2021.
Hasil : Strok iskemik terjadi pada 67 (9,6%) pasien dari total 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor risiko yang dapat menjadi prediktor kejadian strok iskemik; hipertensi (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), FEVKi <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), dan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Kesimpulan : Dari berbagai variabel (klinis, ekokardiografis, dan laboratoris) yang dinilai, tidak ditemukan variabel yang secara independen dapat menjadi prediktor strok iskemik iskemik pada FA valvular EHRA tipe 2.

Background : Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia in adults. Valvular heart diseases, despite the arrhythmic problems, increase the risk of thromboembolism, and this risk is even higher in those with associated atrial fibrillation. CHA2DS2-VASc has been validated and widely used to guide anticoagulation in non-valvular AF to reduce ischemic stroke risk, however CHA2DS2-VASc is modestly predictive for ischemic stroke in valvular AF. To date, there has been no validated score for stroke prediction in valvular AF, either EHRA type 1 or EHRA type 2.
Objective : To derive clinical and echocardiographic risk factors for ischemic stroke prediction and to formulate scoring system for AF with EHRA type 2 valvular heart disease(VHD).
Methods : This retrospective study enrolled 695 AF patients with EHRA type 2 VHD. The data were collected from medical record which include patients who met the inclusion criteria throughout January 2015 – July 2020. The primary outcome was ischemic stroke throughout observation period between January 2015 – July 2021.
Results : There were 67 ischemic stroke events (9,6%) out of 695 EHRA type 2 VHD AF patients. Logistic regression analysis demonstrated there was no significant risk factor to predict ischemic stroke; hypertension (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), left ventricular ejection fraction (LVEF) <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), and Glomerular Filtration Rate (GFR) <15 mL/min/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Conclusion : From all risk factors (clinical, echocardiographic, laboratory), there is no significant risk factor that is well-predictive for ischemic stroke incidence in EHRA type 2 VHD AF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>