Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pustika Amalia Wahidiyat
"Latar belakang: Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan kelainan gen tunggal terbanyak di dunia, termasuk di Indonesia dengan frekuensi pembawa sifat thalassemia-~ 3-10% dan HbE 1-36%. Thalassemia-WIThE adalah bentuk heterozigot ganda paling sering ditemukan dengan gejala klinis bervariasi, dari asimtomatik sampai berat. Beberapa faktor pemodifikasi telah diketahui memengaruhi manifestasi klinis. Faktanya pasien dengan jenis mutasi sarna dapat memiliki manifestasi klinis berbeda. Hal itu menunjukkan ada faktor pemodifikasi lain yang memengaruhi derajat manifestasi klinis. Tujuan: Meneari faktor-faktor genetik yang memengaruhi manifestasi klinis, antara lain MGP: bg2, bgll dan bg 200 yang diduga berhubungan dengan meningkatnya produksi HbF dan memengaruhi variasi manifestasi klinis. Metode penelitian: Penelitian dilakukan dengan metode belah lintang pada pasien thalassemia-~IHbE yang berobat ke Divisi Hematologi-Onkologi Dept. IKA dan Dept. IPD, RSCM, Lembaga Biomolekular Eijkman Jakarta, serta rumah sakit lain sejak bulan Desember 2006 sampai dengan Oktober 2008. Tahap I mendapatkan 293 subjek, terdiri atas 63 subjek ringan (skor <4), 101 subjek intermedia (skor 4-7,5), dan 129 subjek herat (skor ~7,5). Seluruh subjek menjalani pemeriksaan hematologi termasuk indeks eritrosit, morfologi eritrosit, analisis Hb dan feritin serum. Tahap IT dilakukan pemeriksaan jenis mutasi thalassemia-~, termasuk delesi besar gen globin-~ (HPFH tipe delesi), dan jenis mutasi thalassemia-a (co-inheritance dengan thalassemia-a dan triplikasi rantai globin-a) pada 192 subjek kelompok ringan dan berat. Tahap m dilakukan pemeriksaan HPFH nondelesi (polimorfismeXmnI-Gy) dan SNPs: bg2, bg11 dan bg200 pada 187 subjek kelompok ringan dan berat dengan mutasi-~o dan _~+beJat mumi. Pemeriksaan SNPs dilakukan dengan teknik RDB dan teknik sekuensing langsung. Basil penelitian dan pembabasan: Hasil penelitian menunjukkan jenis mutasi thalassemia-~ bukan faktor yang memengaruhi manifestasi klinis, kecuali mutasi IVS 1- nt5 (jenis mutasi-~+bera~ yang berhubungan dengan manifestasi klinis berat (P<0,05). Delesi satu gen globin-a (3.7 kb) berhubungan dengan manifestasi klinis ringan, sedangkan polimorfisme XmnI-G'Y tidak memengaruhi manifestasi klinis. Dari 3 buah SNPs, hanya bg200 yang berhubungan dengan manifestasi klinis (RR: 4,15 (1,22 < RR < 14,17) danp
Lengkap +

Background: Thalassemia and hemoglobinopathy are the most common monogenic diseases in the world including Indonesia, with gene frequencies of ~-thalassemia 3-10% and for HbE 1-36%. Compund heterozygote ~-thalassemialHbE is one of the world's most common form, have a wide variation of clinical manifestations ranging from asymptomatic to transfusion-dependent. Several major modified genetic factors (MGP) which can influence the phenotype have been reported. The fact that patients with identical p-thalassemia mutations showed different clinical severity. This finding suggests that there are other MGP which contribute to the severity of the diseases. Purpose: To fmd ·several modifying gene factors including SNPs: bg2, bgll and bg200 which had tendency to increase HbF production and influences the clinical manifestations of p-thalassemialHbE. Materials and Methods: This was a cross sectional study to a total 293 subjects with pthalassemia/ HbE patients from Department of Child Health and Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo National Hospital, Eijkman Institute for Molecular Biology, Jakarta and other hospitals from December 2006 until October 2008. Phase I: Subjects were divided into mild (score <4, n=63), intermediate (score 4-7.S, n=101), and severe (score 2: 7.S, n= 129) using Thailand severity scoring. Hematological parameters including CBC, red cell indices and morphology, Hb analysis and serum ferritin were performed. Phase ll: 192 subj ects from mild and severe group were performed to characterize the ~thalassemia mutation, including large deletion of P-globin gene (deletion HPFH) and interaction of 0.thalassemia (deletion, non deletion a-thalassemia and a-globin gene triplication). Phase ill: XmnI-Gy polymorphisms and 3 SNPs: bg2, bgll and bg200 executed from 187 subjects of mild and severe groups with ~o - and ~~ -thalassemia mutation without any gene interaction. SNPs were performed by RDB and direct sequencing. Results: In this study types of p-thalassemia mutation are not the modifying factor contribute to the Clinical manifestation, except the · IVS I-ntS that correlate with severe clinical manifestations (p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1765
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azril Kimin
"ABSTRAK
Respons setiap Penderita TBC terhadap Isoniazid berbeda satu dengan yang lain Pada sebagian penderita proses metabolisme obat ini berlangsung cepat, dan pada sebagian penderita lama berlangsung lambat, perbedaan respons ini terutama disebabkan faktor keturunan. Perbedaan kecepatan metabolisme terhadap bangsa Indonesia telah diselidiki beberapa tahun lalu (1976) dibagian Farmakologi FKUI. Penelitian yang menggunakan urin individu-individu sebagai simple memperlihatkan adanya perbedaan proforsi fenotip aselitator pada suku Jawa, Sunda dan Minang. Penelitian ini dilakukan untuk melihatkan apakah perbedaan itu benar, dengan mengambil keluarga-keluarga sebagai objek penelitian, 15 keluarga dari masing-masing suku yang masih murni garis keturunannya ikut serta dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukan, tidak ada perbedaan hasil yang signifikan dengan hasil percobaan terdahulu.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1980
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinta Deviyanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Dalam rangka mencari bahan kontrasepsi pria yang ideal, penyuntikan TE (Testosterone Enanthate) dan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan hasil penekanan spermatogenesis yang berbeda antara pria bangsa Asia (azoospermia 90-100%) dan Kaukasia (azoospermia < 70%). Diduga ada dua faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil tersebut yaitu faktor genetik dan konsumsi makanan/ diet berbeda yang mempengaruhi kadar SHBG. Sebagai glikoprotein plasma homodimerik, SHBG memiliki kemampuan spesifik mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteon, testosteron dan estradiol) dan membawanya menuju ke jaringan target. Kadar SHBG normal dalam plasma adalah 10-73 nmol/L. Bila dihubungkan dengan proses spermatogenesis, kadar SHBG secara tidak langsung mungkin dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan merubah kadar testosteron babas yang bekerja menimbulkan efek umpan balik negatif melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. SHBG manusia dikode oleh suatu gen autosom tunggal yang memiliki dua alel kodominan yaitu alel normal dan alei varian. Alei SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12-13 (p12-13) dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC-)AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin (Asp327Asn) dan menyebabkan penambahan rantai karbohidrat atau N-linked glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Penambahan waktu paruh selanjutnya dianggap dapat mempengaruhi kadar SHBG. Penelitian sebelumnya terhadap SHBG manusia produk cDNA (complementary DNA) yang diekspresikan pada jamur Pichia pastoris menyebutkan bahwa SHBG yang mengalami deglikosilasi enzimatik menghasilkan kadar SHBG yang lebih rendah dibandingkan SHBG normal. Apakah SHBG varian seharusnya menghasilkan kadar SHBG yang Iebih besar, masih perlu diteliti. Melalui teknik SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electrophoresis), deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul berbeda yaitu 49,52 dan 56 kDa. Untuk mengetahui efektifitas penekanan spermatogenesis oleh bahan kontrasepsi hormonal TE dan D1VIPA, maka perlu diteliti kadar SHBG serta faktor yang dianggap turut mempengaruhi kadar SHBG tersebut (dalam hal ini adalah faktor genetik atau variasi fenotip SHBG).Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendeteksi variasi fenotip SHBG dan melihat kemungkinan pengaruhnya terhadap kadar SHBG pada populasi pria Indonesia dewasa sehat. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik SDS PAGE dan Western blot. Sedangkan pengukuran kadar SHBG dilakukan dengan teknik IRI/ IA (Immunoradiometric assay). Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10.
Hasil dan Kesimpulan : Dari total sampel serum pria Indonesia dewasa sehat yang dideteksi melalui SDS PAGE dan Western blot, tampak gambaran ekspresi gen SHBG yang terdiri dari dua jenis pola fenotip SHBG dengan berat molekul yang berbeda. Pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dijumpai sebanyak 61% (11 sampel serum), terdiri dari sub unit heavy dengan perkiraan berat molekul 51 kDa dan sub unit light dengan perkiraan berat molekul 46 kDa. Sedangkan pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) dijumpai sebanyak 39% (7 sampel serum), memiliki tambahan sub unit ketiga yaitu sub unit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Hasil perhitungan rata-rata kadar SHBG normal dan SHBG varian yang diperoleh dalam penelitian ini masing-masing adalah 42,24 nmolll dan 39,44 nmolll. Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10 menyimpulkan bahwa fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) temyata menghasilkan kadar SHBG yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) (pada tingkat signifikan 5%, 1 = 0,343 dengan P= 0,736, 2-tail test)."
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asriyani Abdullah
"Tingginya kasus TB paru di Indonesia meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur paru, termasuk Aspergillus spp. yang menyebabkan aspergilosis paru kronik (APK). Identifikasi Aspergillus sampai tingkat spesies perlu dilakukan karena setiap spesies memiliki kepekaan yang berbeda terhadap obat antijamur. Identifikasi fenotipik pada beberapa spesies yang berbeda mungkin identik, sehingga identifikasi molekuler diperlukan untuk memastikan identifikasi spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Aspergillus spp. yang diisolasi dari pasien diduga APK dan kepekaannya terhadap obat antijamur. Identifikasi dilakukan dengan metode fenotipik, dilanjutkan dengan uji kepekaan menggunakan metode difusi cakram. Isolat resisten dikonfirmasi dengan identifikasi molekuler menggunakan teknik PCR pada target daerah ITS rDNA dan gen BenA. Identifikasi fenotipik 49 isolat Aspergillus yang berasal dari 39 sputum pasien menunjukkan 25 (51%) isolat A. fumigatus, 17 (34,6%) isolat A. niger, enam (12,2%) isolat A. flavus dan satu (2%) isolat A. clavatus. Uji kepekaan menunjukkan 15 (30,6%) isolat resisten terhadap vorikonazol dan atau itrakonazol yang selanjutnya dikonfirmasi dengan identifikasi molekuler. Hasil sekuensing menunjukkan 11 (73,3%) isolat A. fumigatus, dua (13,3%) isolat A. flavus, satu (6,7%) isolat A. niger, dan satu (6,7%) isolat A. clavatus . Identifikasi fenotipik dan genotipk isolat resisten menunjukkan kesesuaian.

The increase number of pulmonary tuberculosis (PTB) can increase the risk to pulmonary fungal infections, including Aspergillus spp. that causes chronic pulmonary aspergillosis (CPA). Aspergillus identification to the species level is necessary because each species has a different sensitivity to antifungal agents. The phenotypic identification in some different species may be identical, therefore, the molecular method is recommended to confirm the species. The study aimed to identify Aspergillus isolated from suspected CPA patients and their susceptibility profile to antifungal drugs. Fungal identification was conducted by phenotypic method, while the susceptibility testing performed with disk-diffusion method. The resistant isolates were confirmed by molecular identification using PCR technique in the target area of the ITS rDNA region and BenA gene. The phenotypic identification of 49 Aspergillus isolated from 39 sputum sample showed 25 (51%) isolates of A. fumigatus, 17 (34,6%) isolates of A. niger, six isolates of A. flavus, and one (2%) isolate A. clavatus. The susceptibility testing showed 15 (30,6%) resistant isolates were resistant to voriconazole and or itraconazole which was further confirmed by molecular identification. The sequencing results obtained 11 (73,3%) isolates of A. fumigatus, two (13,3%) isolates of A. flavus, one (6,7%) isolate of A. niger, and one (6,7%) isolate A. clavatus. The results of phenotypic and molecular examinations showed the congruence of the results."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cyntia Wahyuningrum
"Penyakit Crohn (PC) merupakan penyakit inflamasi saluran cerna kronis, berupa kerusakan mukosa, dan inflamasi transmural pada jalur gastrointestinal. Fibrosis usus disebabkan oleh aktivasi dari respon sel mesenkimal ke berbagai mediator inflamasi yang memproduksi sel inflamasi dan sel imun. Salah satu mediator inflamasi adalah platelet-derived growth factor (PDGF). PDGF berperan penting dalam menstimulasi produksi, migrasi dan kelangsungan hidup miofibroblas. PDGF dimodulasi oleh ikatan protein ekstraseluler dan matriks molekul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi situs pentargetan PDGF sebagai informasi untuk penghantaran obat terapi fibrosis pada usus tikus dan manusia dengan metode Precision cut intestinal slices (PCIS) menggunakan PDGF. Teknik PCIS merupakan metode kultur secara ex vivo yang merepresentasikan kompleksitas organ manusia. Teknik PCIS digunakan untuk mempelajari proses multiseluler dimana irisan jaringan berisi semua sel dengan lingkungan alaminya. Interaksi interseluler dan matriks sel tetap utuh dalam irisan jaringan. Irisan dapat direproduksi dan dapat dibuat dengan ketebalan yang diinginkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa PDGF dengan konsentrasi 50 ng/ mL selama 48 jam tidak berpengaruh terhadap viabilitas dari irisan. Selain itu, PDGF juga berperan pada dediferensiasi sel otot polos dan modulasi fenotip sel otot polos di usus. Oleh karena itu, dapat ditentukan terapi pencegahan fibrosis pada usus tikus dan manusia yang berkaitan dengan anti PDGF.

Crohn's Disease (CD) is a chronic inflammatory bowel disease, characterized by mucosal damage, and transmural inflammation of the gastrointestinal tract. Intestinal fibrosis is caused by activation of mesenchymal cells in response to a variety of inflammatory mediators amongst others produced by inflammatory cells and immune cells. One of these (pro-fibrotic) mediators is platelet derived growth factor (PDGF). PDGF plays an important role in stimulating reproduction, migration and survival of myofibroblasts. PDGF also modulates extracellular binding proteins and matrix molecules. Aim of this study is to identification of targeting site which sensitive PDGF as information for drug delivery of fibrosis therapy in rat and human intestine by using PCIS (Precision-Cut Intestinal Slices). PCIS techniques is an ex vivo culture method that is able to represents the complexity multicellular, of an intact human organ. PCIS techniques are viable ex vivo explants of tissue with a reproducible, well defined thickness. They represent a mini-model of the organ under study and contain all cells of the tissue in their natural environment, leaving intercellular and cell-matrix interactions intact, and are therefore highly appropriate for studying multicellular processes. This research showed that PDGF 50ng/mL for 48 hours does not affect the viability of the slices. In the other hand, PDGF plays an dedifferentiation smooth muscle cells. Therefore, it can be determined for prevent fibrosis therapy in rat and human intestine with anti PDGF.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T49009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basri A. Gani
"Latar Belakang. Candida albicans (C. albicans) merupakan flora normal rongga mulut sebagai agen utama infeksi kandidiasis oral. Asap rokok dilaporkan sebagai salah satu faktor peningkatan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran cigarette smoke condensate (CSC) terhadap pembentukan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans isolat saliva. Metode Candida albicans isolat saliva perokok dikultur pada CHROM Agar dan disetarakan dengan Mc. Farland 0,5 (1 × 108 CFU/ml). Selanjutnya diuji potensi pembentukan biofilm berdasarkan optikal densitas spektrofotometri pada panjang gelombang 620 nm yang hasilnya dianalisis dengan one way anova. Sedangkan transisi perubahan morfologi sel C. albicans setelah disensitisasi dengan CSC kretek dan non-kretek diamati dengan mikroskop pada pembesaran 1000x. Hasil. Akititas CSC non kretek lebih kuat menginduksi pembentukan biofilm dibandingkan dengan CSC kretek, khususnya pada waktu 24, 48, dan 72 jam (p<0,05) dibandingkan masa inkubasi 12 jam, dengan korelasi yang sangat kuat (p<0,01), hal ini sejalan dengan profil massa biofilm yang diamati secara visual dengan mikroskop. Hasil tersebut sejalan dengan transisi perubahan morfologi C. albicans dari blastospora ke bentuk psudohypha dan hypha yang diinduksi dengan CSC non-kretek lebih baik dibandingkan dengan CSC kretek dan C. albicans isolat saliva (tanpa sensitisasi dengan CSC). Kesimpulan. CSC kretek dan non-kretek dapat meningkatkan pembentukan biofilm Candida albicans isolat saliva, sekaligus mempercepat perubahan transisi morfologi dari blastospora menjadi pseudohypha dan hypha.

Candida albicans (C. albicans) is a commensal of oral cavity and the main agent of oral candidiasis. Cigarette smoke is reported as predispose factors of biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans. This study to analyze the role of cigarette smoke condensate (CSC) on biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans saliva isolates. Candida albicans smoker saliva isolate is cultured on CHROM-Agar and synchronized with Mc. Farland 0.5 (1×108 CFU/ml). Biofilm assay based on spectrophotometric density at 620 nm wavelength and data analyzed by one way ANOVA. The biofilm mass and transition of morphological changes of C. albicans cells was observed by light microscope at 1000x magnification. Result study shown The CSC no-kretek strongly induced the formation of biofilms compared with CSC kretek, particularly at 24, 48, and 72 hours (P<0.05) compared to the 12-hour, correlation (P<0.01) in accordance with the biofilm mass observed by light microscope also consistent the transition of C. albicans morphological changes from blastospora to pseudohypha and hypha (P<0,05). CSC kretek and non-kretek could increase the biofilm formation of Candida albicans saliva isolates, simultaneously accelerating the morphological transition changes from blastospora to pseudohypha and hypha."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifudin
"Penelitian dilakukan untuk mengetahui variasi bunga Hibiscus rosa-sinensis L. bentuk crested di alam, serta hubungannya dengan ekspresi gen MADS-box. Sebanyak 200 sampel bunga crested diamati secara morfologi melalui pengukuran panjang staminal column, perhitungan perhiasan bunga, dan pengamatan visual permukaan luar ovarium. Sebanyak 137 sampel bunga crested diamati secara anatomi melalui pengamatan visual struktur internal ovarium. Hasil pengamatan morfologi dan anatomi menunjukkan tingginya variasi bunga H. rosa-sinensis bentuk crested. Salah satu karakter yang menentukan tingginya variasi bunga crested di alam adalah keberadaan petal tambahan yang diduga tumbuh di lokasi keberadaan stamen dan petal akibat gejala homeosis. Homeosis pada bunga crested diduga karena tidak terekspresikannya gen C yang merupakan salah satu kelas dari gen MADS-box. Untuk membuktikan dugaan tersebut, dilakukan pengamatan molekular melalui analisis gen MADS-box yang berperan dalam proses pembungaan. Dari kelima kelas gen MADS-box yang diamati, hanya gen C yang berhasil diamplifikasi. Hasil menunjukkan bahwa gen C terekspresi di semua bagian bunga crested. Berdasarkan hasil tersebut, homeosis pada bunga crested bukan disebabkan karena tidak terekpresikannya gen C. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat ekspresi tiap kelas gen MADS-box terhadap variasi bunga crested di alam.

The aim of this study is to know the variation of Hibiscus rosa-sinensis L. crested flower in nature, and to know its correlation against MADS-box gene expression. The study was conducted through morphological, anatomical, and molecular observation. Morphological sections were carried out on 200 samples of flowers by measuring the length of staminal column, counting the number of perianthium, and observing the external structure of ovaries. Anatomical sections were carried out on 137 samples of flowers by observing the internal structure of ovaries. The results showed that H. rosa-sinensis crested flower has a high variety in the shape of flower. Two main parts of crested flower that effecting its variety in nature are staminodium petaloid and stamen-petal intermediate that lied in the position of stamen and petal. This phenomenon is assumed as homeotic due to the absence of C gene expression that belong to MADS-box gene family. Based on molecular observation, AGAMOUS gene (MADS-box class C) expressed in all of crested flower parts, including staminodium petaloid and stamen-petal intermediate. This results is on contradiction with the assumption that homeosis in H. rosa-sinensis caused by the absence of gene C. Further research is needed to know the expression of others MADS-box class genes expression, including their level of expression in each parts of crested flower."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T52399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Sholihati
"Beberapa spesies ikan cupang Indonesia telah diketahui mengalami ancaman kepunahan, sehingga diperlukan upaya konservasi. Upaya konservasi membutuhkan informasi atau data dasar keragaman genetik, baik berupa genotip maupun fenotip. Informasi keragaman fenotip dapat diperoleh melalui studi morfometrik dan meristik. Studi morfometrik dan meristik dilakukan pada tiga spesies ikan cupang (B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi) dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan spesies pembanding B. imbellis dan B. splendens untuk memperoleh sebagian informasi mengenai keragaman fenotip ikan cupang Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya keragaman fenotip yang tinggi antarspesies baik berdasarkan studi morfometrik maupun meristik. Hasil lain yang diperoleh berupa hubungan kekerabatan antarspesies yang menunjukkan bahwa B. foerschi, B. pallifina, dan B. strohi memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan ketiga spesies tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan B. imbellis dan B. splendens berdasarkan studi morfometrik.

Some of the Betta species in Indonesia is under threat of extinction. Therefore, conservation is needed to prevent Betta extinction from their habitats. Information or data bases about genetic diversity, either genotype or phenotype are needed for conservation. Information about phenotypic diversity can be obtained by morphometric and meristic study. The morphometric and meristic of three Betta species (B. foerschi, B. pallifina, and B. strohi) from Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah and two other species (B. imbellis and B. splendens) are studied to obtain a part of data bases/information about phenotypic diversity of Betta fish in Indonesia. The results showed that there is significant phenotypic diversity interspecies. Furthermore, according to cluster analysis, B. foerschi, B. pallifina, and B. strohi are closely related to each other and have farther relationship with B. imbellis and B. splendens based on morphometric study.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57071
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lieke Koes Handayani
"Latar Belakang: SOPK dijumpai pada 5-20% perempuan usia reproduksi. AMH digunakan sebagai penanda SOPK karena pada penderita SOPK salah satu gejalanya adalah terjadinya anovuasi yang menyebabkan peningkatan kadar AMH. SOPK juga berkaitan dengan adanya resistensi insulin dan hiperandrogen yang berkorelasi dengan obesitas dan inflamsi kronik yang dapat menyebabkan risiko terjadinya sindrom metabolik.
Tujuan: Mengetahui hubungan peningkatan kadar AMH pada penderita SOPK dan fenotip SOPK dengan kejadian Sindrom Metabolik.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada penderita SOPK pada bulan Januari 2013 hingga Desember 2017. Data penderita SOPK yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dan dilakukan analisis statistik.
Hasil: Dari pengumpulan data Januari 2013 hingga Desember 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo didapati 109 kasus SOPK yang memenuhi kriteria inklusi. Penderita SOPK tesebut memiliki median kadar AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06) dan yang mengalami sindrom metabolik 21% dengan median kadar AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik (p=0.387). Sedangkan untuk fenotip yang terbanyak adalah fenotip 4 (OA dan PCOM) yaitu 41.3% dan yang mengalami sindrom metabolik terbanyak adalah fenotip 1 (OA+PCOM+HA)  sebanyak 56.5% dengan median kadar AMH  yang tertinggi sebesar 13.92ng/ml.
Kesimpulan: Kadar AMH pada penderita SOPK yang mengalami sindrom metabolik  trend nya lebih tinggi dibandingkan yang tidak sindrom metabolik. Fenotip 1 (OA+PCOM+HA) adalah kelompok fenotip yang paling banyak mengalami sindrom metabolik.

Background: PCOS is present in 5-20% women of reproductive age. AMH is used as a marker because one of the sign is anovulation that cause elevated AMH level. PCOS is also associated with the presence of insulin resistance and hyperandrogen that correlate with obesity and chronic inflammation that will increase the risk of metabolic syndrome.
Purpose: To evaluate the correlation between AMH level in PCOS patients with the incidence of Metabolic Syndrome.
Method: This research used cross sectional design with consecutive sampling. Data that fulfilled the inclusion criteria were collected and analyzed.
Result: Data collection from January 2013 to December 2017 at RSUPN Cipto Mangunkusumo found 109 cases of PCOS meet the inclusion criteria. Patients with PCOS have median level of AMH 7.10 ng/ml (3.11-34.06). Twenty one percent of the patient had metabolic syndrome with median level of AMH 7.21ng/ml (2.83-20.20) higher than non-metabolic syndrome (p = 0.387). The largest number of phenotypes on PCOS patients is phenotype 4 (OA and PCOM) which is 41.3%. Most metabolic syndrome is phenotype 1 (OA + PCOM + HA) as much as 56.5% with median highest AMH level of 13.92 ng/ml.
Conclusion: AMH levels in patients with PCOS who have metabolic syndrome are higher than non-metabolic syndrome. Phenotype 1 (OA + PCOM + HA) is a group of phenotypes with the most metabolic syndrome."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Mahardika
"

Latar belakang: Heterogenitas pasien endometriosis terkait presentasi fenotip klinisnya memerlukan standar pengambilan data. Saat ini belum ada standardisasi pengambilan data fenotip klinis pasien endometriosis di Indonesia. Translasi kuesioner klinis WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) (EPQ-S) ke dalam Bahasa Indonesia dan validasi kuesioner ini diperlukan untuk mengetahui apakah alat ini dapat digunakan di Indonesia sebagaimana telah digunakan di negara lain dan memastikan bahwa data yang dihasilkan akurat dan andal.

 

Tujuan: Untuk membuat sebuah standar pengambilan data fenotip klinis pasien endometriosis di Indonesia dan untuk mengetahui hasil terjemahan dan validitas kuesioner klinis WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) (EPQ-S) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

 

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode transkultural adaptasi. Uji validasi ini kuesioner EPHect EPQ-S dilakukan melalui proses forward-backward translation, harmonisasi oleh para expert, cognitive debriefing kepada target kuesoioner serta proofreading dan finalisasi oleh para expert. Penelitian dilakukan di RSCM selama 6 bulan yaitu Januari 2019 sampai Juli 2019.

 

Hasil: Translasi dan validasi isi kuesioner WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) Versi Indonesia memiliki 10 tahap termasuk proses persiapan, Forward Translation (translasi maju), proses rekonsiliasi, Backward Translation (translasi balik), review translasi balik, Proses Harmonisasi, proses Cognitive Debriefing, review hasil cognitive debriefing dan finalisasi, proses Proofreading dan laporan Final. Terdapat perbedaan budaya dari negara kuesioner asal termasuk obat-obatan yang tersedia di Indonesia, istilah-istilah medis yang lumrah di Negara asal namun asing di populasi Indonesia, dan penyajian suku ras yang tidak menggambarkan varian suku ras Indonesia.

 

Kesimpulan: Didapatkan kuesioner klinis WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) (EPQ-S) versi Bahasa Indonesia dengan isi sesuai kebutuhan pengguna di Indonesia dan dapat diaplikasikan di RSCM, dari 116 butir pertanyaan terdapat 21 butir pertanyaan dalam kuesioner yang harus terpimpin.

 


Background: The heterogeneity of endometriosis patients related to the presentation of clinical phenotypes requires standard data collection. At present there is no standardization of clinical phenotype data for endometriosis patients in Indonesia. Translation of the WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) clinical questionnaire (EPQ-S) into Indonesian language and the validation of this questionnaire is needed to find out whether this tool can be used in Indonesia as it has been used in other countries and ensure that the resulting data is accurate and reliable.

 

Objective: To create a standard for taking clinical phenotype data for endometriosis patients in Indonesia and to find out the translation results and the validity of the WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) clinical questionnaire (EPQ-S) that has been translated into Indonesian and has been accurate and reliable.

 

Method: This research was conducted with the transcultural adaptation method. This validation test EPHect EPQ-S questionnaire was carried out through a process of forward-backward translation, harmonization by experts, cognitive debriefing to questionnaire targets and proofreading and finalization by experts. The study was conducted at the RSCM for 6 months, namely January 2019 to July 2019.

 

Results: Translation and validation of the contents of the Indonesian version of the WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) questionnaire have 10 stages including the preparation process, Forward Translation, forward reconciliation process, Backward Translation, back translational review, Harmonization Process, Cognitive Debriefing process, reviewing cognitive debriefing and finalization results, Proofreading process and Final report. There are cultural differences from the country of origin of the questionnaire including medicines available in Indonesia, medical terms that are common in the country of origin but unfamiliar in Indonesian population, and the presentation of racial tribes that do not describe variants of Indonesian racial tribes.

 

Conclusion: The WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard) (EPQ-S) Indonesian version was obtained with contents according to the needs of users in Indonesia and can be applied at the RSCM, out of 116 questions there are 21 questions in the questionnaire that must be guided.

 

Keywords: Translation, Validation, WERF-EPHect Clinical Questionnaire (Standard), Clinical Phenotype, Endometriosis, Indonesia

 

"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>