Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purwanto
Abstrak :
The present of social facilities and public utility at real estate housing is an important component. Basically, government has published the rule to control implementation of social facilities development. The rule makes the developers of housing concerning to social facilities and public utility, which is needed by society. The intention of this study is to find out and to identify the constraints that are happened in social facility and public utility development process at real estate housing for middle to lower class by the private developer inappropriate to the needs that appear on case study object. To aim the purpose, this study identifies the factors that make social facility and public utility on study case object developed not following the rules; we also analyze social facilities and public utility development processes that are running. This analysis also touches the actors who have playing role in the development process that effect to the result housing social facilities and public utility development physically. The problems that happen in policy and control aspects can be known by comparing the rule with their implementation. To know perception, this study will explore dominant factors or issues in social facilities and public utility development process as the rule run. This study finds out that there are some problems in government and developer that occur in every single step connected with policy, control and perceptions aspects in such process. This study find out too that social facility and public utility development process can be run well if it is dependant on government support by creating clear policy including any punishment for all mistakes. Also, it is important to make clear the role of all stakeholders such as government, developer and society participation to create positive synergy in providing social facilities and public utility. Basically this study has proven that there are some problems that do not make social facility and public utility development process run well especially in middle and lower housing class that caused negative implication to the society.
Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam lingkungan perumahan sangatlah penting. Pada dasarnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Peraturan tersebut mengharuskan perusahaan pembangun perumahan dan pemda untuk menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dibutuhkan warganya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengidentifikasi dan menemukan kendala-kendala yang timbul dalam proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkaitan dengan aspek kebijakan, pengawasan, dan pengendalian serta pandangan pengembang dalam pengadaannya. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengidentifikasi proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum dari mulai tahap perencanaan sampai tahapan pengelolaan dan pemeliharaan dan mengidentifikasi peranan para aktor/pelaku dalam setiap proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum pada perumahan. Kendala yang terjadi berkaitan dengan aspek kebijakan, penyerahan, pengawasan dan pengendalian diketahui dengan membandingkan proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum sesuai dengan tahapan pengadaannya melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak di Pemerintah DKI Jakarta yang terkait dalam proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum dengan peraturan proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum di DKI Jakarta. Persepsi pengembang diketahui dengan meneliti faktor-faktor atau isu-isu dominan dalam pengadaan fasilitas sosial sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai kendala yang dialami baik oleh pengembang dan pemerintah daerah sendiri dan terjadi pada tiap tahapan proses pengadaan tersebut dalam kaitannya dengan aspek kebijakan, pengawasan dan pandangan/persepsi dalam proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelancaran proses pengadaan fasos sangat tergantung pada dukungan yang diberikan pemerintah melalui kebijakan, termasuk adanya sangsi yang tegas bagi tiap pelanggaran. Selain itu, penting sekali untuk memperjelas peran masing-masing pihak dan melaksanakannya secara konsisten dalam proses pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum baik itu pemda, pengembang dan partisipasi masyarakat sendiri sehingga dihasilkan sinergi yang bisa menciptakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang mencukupi baik kuantitas dan kualitasnya bagi kepentingan masyarakat banyak.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28756
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdurrazaq
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penuiisan ini adalah untuk mengetahui struktur dan tingkat perkembangan Kotamadya Cirebon sehubungan. dengan adanya peraeseram batas pada uilayah yang barsifat perkotaan, peralihan dan pedesaan dari tahun 1571 sampai dengan tahun 1983, Adapu.n kriteria untuk uilayah bsrsifat perkotaan , peralihan. dan pedesaan dibuat atas dasar klasifikasi dari beberapa faktor yang meliputi t kepadatan penduduk , persentase penduduk non tani , ksrapatan rumah tinggal , ksrapatan jalan aspal , kualitas bangunan. keberadaan bangunsn bertingkat , keberadaan fasiiitas jalan aspal, listrik, air minum, telepon, saiuran pembuangan air dan" persentase luas uilayah sudah dibangun, Dari uilayah bersifat perkotaan,"per alihan dan pedesaan tersebut dapat diketahui struktur kotanya, Oalam hal ini umumnya struktur kota-kcta besar pada dasrah dataran (seperti halnya Cirebon) tsrdiri dari bagian pusat usaha , bagiart kota yang terencana baik , bagian kota yang tidak ada perencanaan dan bagian kota dengan kehidupan pedesaan, Kemudian., akibat adanya pergeseran batas pada uilayah bersifat perkotaan , peralihan dan pedesaan selama periode 12 tahun akan mempengaruhi struktur dan tingkat perkembangan Kotamadya C-j^rebon. Dengan demikian masalah yang akan dibahas adalah : Dimanakah batas uilayah bersifat perkotaan, peralihan dan pedesaan dalam Kotamadya Cirebon pada tahun 1971 dan tahun 1983 ? Bagaimanakah struktur Kotamadya Cirebon sehubungan dengan batas uilayah tersebut ? Dimanakah terjadi pergeseran batas uilayah bersifat perkotaan , peralihan dan pedesaan dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1983 ? Kenapa ? Bagaimanakah tingkat perkembangan Kotamadya Cirebon sehubungan dengan pergeseran batas uilayah tersebut ? Untuk dapat menjauab permesalahan di atas , digunakan metode grid system (jaringan segi empat) untuk memudahkan penunjukan letak dan. batas suatu uilayah pada peta serta untuk menghitung luas dan jarak pada peta maupun untuk menunjang korelasi peta. Kesimpulan yang didapat adalah ; Ternyata batas-batas uilayah ber sifat oerkotaan , peralihan dan pedesaan pada tahun 1971 dan tahun 1983 didapati dalam Kotamadya Cirebon. Sehubungan dengan batas uilayah tersebut , struktur Kotamadya Cirebon pada tahun 1971 dan tahun 19B3 tidak berubah. Adapun yang Lerubah adalah pada luas bagian-bagian struktur kotanya. Selama periode 12 tahun itu di dapati 3 jenis pergeseran batas uilayah , yaitu dari peralihan ke perkotaan , dari pedesaan ke perkotaan dan dari pedesaan ke per alihan. Umumnya bergeser ke arah barat ., barat daya serta selatan. dalam batas administrasi Kotamadya Cirebon, Terjadinya pergeseran batas uilayah dikaranakan adanya faktor perubahan pada jumlah penduduk , jumlah penduduk non tani , jumlah rumah tinggal , luas tanah perumahan dan panjang jalan aspal. Dalam hal ini tingkatan pengaruh dari setiap faktor perubahan tersebut tidak sama terhadap ketiga jenis pergeseran batas uilayah di atas. Akhirnya sehubungan dengan pergeseran batas uilayah didapati 2 tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan tinggi terdapat pada uilayah bersifat perkotaan dan peralihan serta tingkat perkembangan rendah terdapat pada uilayah bersifat pedesaan,
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S33312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Izazi Mulya Putra
Abstrak :
Kawasan Kampung Tongkol sebagai bagian dari bentang Kawasan Wisata Sejarah Kota Tua merupakan bagian tengah dari kawasan Sunda Kelapa di bagian utara & Glodok di bagian selatan. Bentang yang berkisar 3 km itu memiliki banyak sekali titik destinasi wisata. Sayangnya, dengan begitu banyaknya destinasi wisata, fasilitas sosial & fasilitas umum pendukung aktivitas berwisata dinilai masih kurang. Pasalnya, Kawasan Wisata Kota Tua dinilai melemah karena pengunjung merasa lelah bergerak dari utara ke selatan atau sebaliknya tanpa adanya ruang jeda untuk beristirahat. R-Cade sebagai salah satu solusi, diharapkan mampu menjadi ruang peristirahatan sejenak sekaligus penyedia fasilitas umum & fasilitas sosial. Disamping tujuan tersebut, R-Cade juga ditujukan untuk menghubungkan komplek museum dekat Stasiun Kota Tua dengan Kawasan Kampung Tongkol, sebagai objek arsitektur yang berlikasi tepat di antara kedua kawasan ini.
Kampung Tongkol area as a part of the Kota Tua Historical Tourism Area landscape is the central part of the Sunda Kelapa region in the north & Glodok in the south. The span which is about 3 km has a lot of tourist destination points. Unfortunately, with so many tourist destinations, social facilities & public facilities supporting tourism activities are still considered lacking. Because the Kota Tua Tourism Area is considered weak because visitors feel tired of moving from north to south or vice versa without any space to rest. R-Cade as one of the solutions, is expected to become a resting place for a moment as well as a provider of public facilities & social facilities. Besides these objectives, R-Cade is also intended to connect the museum complex near Kota Tua Station with the Kampung Tongkol area, as an architectural object that is located right between these two regions.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
Abstrak :
Sebagai wilayah terdepan penyangga DKI Jakarta, Kotamadya Dati II Tangerang mempunyai beberapa fungsi, dan salah satu fungsi terpentingnya adalah sebagai wilayah pemukiman guna menampung sebagian dan kelebihan penduduk DKI Jakarta yang diperkirakan pada tahun 2000 akan berjumlah 23 juta jiwa sedangkan kemampuan maksimalnya adalah 12 juta jiwa. Berdasarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Daerah Tingkat I Jawa Barat maka wilayah yang diarahkan sebagai wilayah pemukiman di Kotamadya Dati II Tangerang adalah Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Cipondoh. Saat ini pada wilayah-wilayah tersebut telah terdapat beberapa lokasi perumahan. Salah satunya adalah Per umahan Modernland Cipondoh seluas 770 ha yang dibangun oleh pengembang swasta. Permasalahannya adalah: apakah perumahan yang ada di wilayah Kotamadya Tangerang telah memiliki fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang memadai sesuai dengan yang diamanatkan dalam perundang-undangan yang mengatur penyediaan fasos dan fasum yang harus ada dalam suatu perumahan; apakah fasos dan fasum yang tersedia cukup memadai bagi masyarakat penghuni perumahan. Untuk itu, penelitian ini berusaha menjawabnya dengan metodologi tertentu. Data dan informasi dikumpulkan dengan mempergunakan berbagai tehnik sekaligus. Penggalian data sekunder merupakan sumber utama dalam studi ini, dan data tersebut akan dianalisis dengan mengg unakan analisis isi (content analysis). Untuk mendukung keakuratan data yang dikumpulkan melalui analisis isi akan digunakan pula mekanisme cross check, melalui wawancara berstruktur dengan pejabat-pejabat daerah, para pemukim, para developer, dan pihak-pihak terkait lainnya. Dan studi ini dapat disimpulkan beberapa hal tentang penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial di Tangerang sebagai berikut: (1) Masih berorientasi tata ruang lama yang lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan kota Jakarta; (2) Tata ruang Tangerang kurang dapat menampung tuntutan dan perkembangan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk warganya; (3) Integrasi tata ruang dengan hinterlandnya kurang menjadi orientasi utama; (4) Kurang mengutamakan kualitas dalam mengembangkan fasos dan fasum disaxnping masih sedikit dari sudut kuantitas; (5) Kurang adanya koordinasi antar instansi dalam mengembangkan fasos dan fasurn tersebut; (6) Lemahnya penganggaran mandiri dalam pengelolaan fasos dan fasum; (7) Rendahnya akses masyarakat andil dalam pengelolaan fasos dan fasum. Adapun saran-sarannya adalah: (1) Pengembangan tata ruang baru ditindaklanjuti dengan action plan yang nyata dengan orientasi perkembangan internal kota Tangerang sendiri disamping hinterland-nya; (2) Integrasi tata ruang dengan Jakarta dilakukan sepanjang dilakukan dengan orientasi masa depan kota Tangerang sendiri; (3) Akomodasi tata ruang terhadap pegelolaan fasos dan fasum perlu ditingkatkan; (4) Kualitas dan kuantitas fasos dan fasum ditingkatkan; (5) Koordinasi antar intansi terkait dalam pengelolaan fasos dan fasum perlu ditingkatkan; (6) Pendanaan yang lebih mengutamakan visi dan mini pengelolaan fasos dan fasum; (7) Dibukanya akses masyarakat terhadap pengelolaan fasos dan fasum.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library