Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Alfons Ken Billyarta
"Latar Belakang: Dibandingkan negara lain, tidak banyak jumlah tindakan trakeostomi yang dilakukan pada anak di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan terbatasnya informasi terkait karakteristik dan luaran dari anak yang menjalani tindakan trakeostomi. Berbagai karakteristik yang dimiliki anak dapat menjadi faktor risiko mortalitas ketika dalam status trakeostomi. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 98 subjek berusia >2 bulan hingga ≤18 tahun yang menjalani trakeostomi pada Januari 2020-Oktober 2023 melalui rekam medis RSCM. Hasil: Kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah 21,4%. Sebagian besar anak yang menjalani trakeostomi berada di usia 2 bulan hingga 5 tahun (55,1%), laki-laki (59,2%), gizi baik (57,1%), imunokompeten (81,6%), indikasi terbagi merata antara obstruksi saluran napas dengan penggunaan ventilator berkepanjangan (50%), tidak mengalami komplikasi (67,3%), dan memiliki komorbid (77,6%). Pada analisis multivariat, faktor risiko yang memiliki hubungan signifikan terhadap mortalitas anak dengan trakeostomi adalah gizi kurang (p=0,013; AOR 6,901; IK95%=1,492-31,920), gizi berlebih (p=0,025; AOR 9,623; IK95%=1,336-69,324), mengalami komplikasi (p <0,001; AOR 28,737; IK95%=6,248-132,174), dan memiliki komorbid (p=0.030; AOR 9,518; IK95%=1.247-72.621). Kesimpulan: Angka kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi sebesar 21,4%. Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah status gizi kurang, gizi berlebih, mengalami komplikasi, dan memiliki komorbid.

Introduction: Compared to other countries, there are not many tracheostomy procedures performed on children in Indonesia. This results in limited information regarding the characteristics and outcomes of children who undergo tracheostomy procedures. Various characteristics of children can be a risk factor for mortality when in tracheostomy status. Method: Cross sectional study was conducted on 98 subjects aged >2 months to ≤18 years who underwent tracheostomy from January 2020-October 2023 through the medical records of RSCM. Results: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21,4%. Most children who underwent tracheostomy were aged 2 months to 5 years (55,1%), male (59,2%), well-nourished (57,1%), immunocompetent (81,6%), indications were evenly distributed between airway obstruction with prolonged ventilator (50%), not experiencing complications (67,3%), and having comorbidities (77,6%). In multivariate analysis, risk factors that had significant relationship mortality in children with tracheostomy were undernutrition (p=0,013; AOR 6,901; 95%CI=1,492-31,920), overnutrition (p=0,025; AOR 9,623; 95%CI=1,336-69,324), experienced complications (p<0,001; AOR 28,737; 95%CI=6,248-132,174), and had comorbidities (p=0,030; AOR 9,518; 95%CI=1,247-72,621). Conclusion: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21.4%. Risk factors that contribute to the incidence of mortality in children with tracheostomy are malnutrition, overnutrition, experiencing complications, and had comorbidities."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuca Zarry
"Latar belakang. Pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian anak dan menjadi penyebab anak dirawat inap di negara berkembang. Faktor risiko pneumonia berulang pada anak di negara berkembang sampai saat ini belum diidentifikasi. Penenttuan terapi pada anak dengan pneumonia berulang merupakan tantangan tersendiri sehingga membutuhkan kecermatan dalam anamnesis ke arah faktor risiko dan riwayat penyakit yang mendalam sehingga tata laksana dapat dilakukan secara cepat dan akurat.
Tujuan. Mengetahui faktor- faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia berulang pada anak.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada 237 pasien dengan diagnosis pneumonia berusia 6 bulan-18 tahun yang dirawat di RSCM pada tahun 2022. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang terbukti menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi (PR 1,594; IK 95% 1,214-2,092; p=0,001), pajanan asap rokok (PR 1,549; IK 95% 1,158-2,073; p=0,003), dan tidak ASI eksklusif PR 1,390 (IK 95% 1,006- 1,921 p=0,045). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumonia berulang adalah prematuritas, penyakit jantung bawaan, riwayat penyakit alergi, tinggal di kawasan padat pemukiman penduduk, konsumsi obat anti epilepsi, imunodefisiensi, obesitas, dan status imunisasi.
Kesimpulan. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi, pajanan asap rokok, dan tidak ASI eksklusif.

Background. Pneumonia is the leading cause of childhood mortality and the most common reason for hospitalization among children living in developing countries. The risk factors for recurrent pneumonia in children in developing countries remain poorly understood. The treatment of children with recurrent pneumonia remains challenging, and therefore accuracy in history taking in the evaluation of risk factors and disease history is warranted to ensure quick and accurate treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors of recurrent pneumonia in children.
Methods. This cross-sectional study included 237 children between ages 6 months and 18 years old treated in RSCM for pneumonia during the year 2022. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. Risk factors that were found to be associated with recurrent pneumonia were aspiration syndrome (PR 1.594; IK 95% 1.214-2.092; p=0.001), smoke exposure (PR 1.594; 95% CI 1.158-2.073; p=0.003), and absence of exclusive breastfeeding PR 1.390 (IK 95% 1.006-1.921 p=0.045). Meanwhile prematurity, congenital heart disease, history of allergic diseases, overcrowding, anti-epileptic drug consumption, immunodeficiency, obesity, and incomplete immunization were not found to be associated with recurrent pneumonia.
Results. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. The most detected risk factors for recurrent pneumonia were aspiration syndrome, smoke exposure, and not given exclusive breastfeeding.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joanna Erin Hanrahan
"Latar belakang. Terdapat 5 domain keterampilan yang harus dicapai sesuai dengan kelompok usia anak. Apabila tidak dicapai hingga melebihi batasan usia yang seharusnya, anak dikatakan mengalami keterlambatan perkembangan. Keterampilan motorik kasar merupakan domain perkembangan dengan tingkat perhatian orang tua tertinggi, sebab keterampilan motorik kasar merupakan penentu otonomi seorang anak. Penelitian mengenai faktor risiko dibuat untuk menyusun strategi intervensi pencegahan keterlambatan perkembangan.
Tujuan. (1) Mengetahui faktor risiko yang signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan. (2) Mengetahui pengaruh antar masing-masing faktor risiko.
Metode penelitian. Desain penelitian menggunakan kasus dan kontrol. Data diperoleh melalui data primer hasil penilaian keterampilan motorik kasar yang divalidasi oleh pembimbing dan wawancara orang tua pasien yang ada di Poli Kiara RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Pondok Pinang. Anak dengan keterampilan motorik kasar terlambat dimasukkan dalam kelompok kasus dan dilakukan matching usia untuk memperoleh kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2018. Faktor-faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dilakukan analisis terhadap 63 anak dengan motorik kasar terlambat dan 63 anak dengan motorik kasar normal. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan keterlambatan motorik kasar pada anak, yaitu asfiksia perinatal (P=0,004 ; OR=5,714 ; IK 95%=1,553-21,026), prematuritas (P=0,009 ; OR=3,949 ; IK 95%=1,347-11,574), berat badan lahir rendah (P=0,011 ; OR=3,511 ; IK 95%=1,281-9,625), dan mikrosefali (P<0,001 ; OR=5,128 ; IK 95%=2,332-11,280). Setelah dilakukan analisis multivariat, mikrosefali (aOR=4,613 ; IK 95%=2,023-10,521) dan prematuritas (aOR=3,668 ; IK 95%=1,153-11,673) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak.
Kesimpulan. Mikrosefali dan prematuritas (usia gestasi < 37 minggu) merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan.

Introduction. There are 5 domains of development that has to be accomplished by a child. If a child fails to master a skill according to his age group, he is said to have a delayed development. Gross motor is one of the domain with the highest parental concern as mastering gross motor is an important factor that determine the autonomy of a child. This study is made to arrange a strategic intervention on the prevention of delayed development.
Objectives. (1) To determine the significant risk factors for gross motor delay in children age 6-24 months old. (2) To determine the association between risk factors.
Methods. Case control study design was used. Data was obtained from direct assessment of gross motor skill (validated by supervisor) and parents’ interview in Cipto Mangunkusumo National Hospital and Pondok Pinang. Children with gross motor delay were categorized as the case group and age matching from this group was used to obtain the control group. Data was collected from February until July 2018. Bivariate and multivariate analysis on risk factors were done to find the significant risk factors and predictor factors for gross motor delay.
Results. 63 children with gross motor delay and 63 children with normal gross motor development were being analyzed. Significant risk factors for gross motor delay were perinatal asphyxia (P=0.004 ; OR=5.714 ; CI 95%=1.553-21.026), prematurity (P=0.009 ; OR=3.949 ; CI 95%=1.347-11.574), low birth weight (P=0.011 ; OR=3.511 ; CI 95%=1.281-9.625), and microcephaly (P<0.001 ; OR=5.128 ; CI 95%=2.332-11.280). After multivariate analysis, microcephaly (aOR=4.613 ; CI 95%=2.023-10.521) and prematurity (aOR=3.668 ; CI 95%=1.153-11.673) were the predictor factors for gross motor delay.
Conclusion. Microcephaly and prematurity (gestation age < 37 weeks) are the predictor factors for gross motor delay in children age 6-24 months old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azzam Rabbani
"Profesi guru dianggap sebagai profesi terhormat yang menjalankan tugas mulia untuk membimbing dan melindungi anak selama proses pendidikan. Sayangnya, seorang guru yang telah dipercaya untuk menjalankan tugas penting tersebut justru dapat melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap siswa seringkali melibatkan penggunaan grooming untuk dapat memanipulasi siswa ke dalam tindakan seksual dan mempertahankan kerahasiaan. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko anak terhadap guru yang menggunakan grooming untuk melakukan kekerasan seksual. Studi ini menggunakan analisis data sekunder dari 40 kasus berita yang bersumber dari media daring di Indonesia selama periode Januari 2016 hingga Mei 2021. Penulis melakukan criminal profiling untuk menggambarkan profil guru pelaku kekerasan seksual, profil siswa yang menjadi korban, metode grooming yang digunakan pelaku, dan bentuk kekerasan seksual. Analisis bivariat juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara beberapa variabel independen dengan metode grooming dan tingkat kekerasan seksual sebagai variabel dependen. Hasil profiling kemudian dimasukkan ke dalam kerangka kerja Social Ecological Model SEM) untuk mengidentifikasi faktor risiko anak. Studi ini menemukan bahwa guru dapat menggunakan pemberian perhatian, pemberian suap, atau penggunaan paksaan sebagai metode grooming. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa jenis sekolah korban dan intensitas kekerasan seksual grooming. Jenis kelamin korban, jenjang pendidikan korban, dan jumlah korban memiliki hubungan signifikan dengan tingkat kekerasan seksual. Selain itu, faktor risiko anak terhadap kekerasan seksual oleh guru dapat diidentifikasi dari keempat tingkat SEM, yang dalam studi ini berupa individu, hubungan (dengan guru dan keluarga), komunitas (sekolah), dan masyarakat (kebijakan pendidikan dan konstruksi sosial anak).

Teacher is considered as an honorable profession that carries out a noble task to guide and protect children during the educational process. Unfortunately, a teacher who has been trusted to carry out this important task on the contrary can commit sexual abuse against children. Teacher sexual misconduct against students often involves the use of grooming to manipulate students into sexual acts and maintain secrecy. The purpose of this study was to identify the child risk factors against teachers who use grooming to commit sexual abuse. This study uses secondary data analysis from 40 news cases sourced from online media in Indonesia during the period of January 2016 to May 2021. The author conducts criminal profiling to describe the profiles of teachers who perpetrate sexual abuse, profiles of students who being victimized, grooming methods used by perpetrators, and forms of sexual abuse. Bivariate analysis was also conducted to determine the relationship between several independent variables with the grooming method and the level of sexual abuse as the dependent variable. The results of the profiling are then applied into the Social Ecological Model (SEM) framework to identify child risk factors. This study found that teachers may use attention giving, bribery, or the use of coercion as grooming methods. The crosstabulation results show that the type of school of the victim and the intensity of sexual abuse have a significant relationship with the grooming method. The sex of the victim, victim’s education level, and the number of victims have a significant relationship with the level of sexual abuse. In addition, child risk factors for teacher sexual misconduct can be identified from the four levels of the SEM, which in this study are individual, relationship (with teachers and families), community (school), and society (education policy and social construction of childhood)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maghffira Maura R. A. Dunda
"Epilepsi masih menjadi masalah neurologis pada anak, dengan pertambahan kasus sebesar 75%-80% setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Sudah terdapat banyak pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang tersedia. Sayangnya, mencapai 30% pasien anak yang menjalani pengobatan tidak mencapai bebas kejang, dan berkembang menjadi epilepsi dengan kejang tidak terkontrol, atau disebut dengan epilepsi intraktabel. Perjalanan pengobatan sangat penting pada keadaan epilepsi anak usia di bawah tiga tahun, yang masih dalam masa perkembangan otak, namun belum banyak penelitian yang melihat evolusi faktor risiko dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel. Penelitian ini melihat perubahan atau evolusi faktor risiko pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun pada 3 lokasi penelitian di Jakarta, dengan melakukan studi kasus-kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi peran evolusi faktor risiko untuk memprediksi epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun. Penelitian dilakukan secara retrospektif, menggunakan data sekunder, dengan melihat rekam medis pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun yang diperoleh dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, RS Puri Cinere Depok, dan Klinik Anakku Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan. Total subjek sebanyak 102 rekam medis pasien, dengan perbandingan kasus:kontrol yaitu 1:1. Hasil analisis pearson chi-square memperoleh 3 evolusi faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian epilepsi intraktabel, yaitu: evolusi kelumpuhan motorik kasar (p<0,001; OR 7,86; IK95% 3,142-19,659); evolusi status neurologis (p<0,001; OR 9,84; IK95% 3,934-24,614); dan evolusi gelombang epileptiform EEG (p<0,001; OR 23,25; IK95% 7,657-70,599). Evolusi tipe kejang menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil analisis multivariat kemudian menunjukkan bahwa evolusi gelombang epileptiform EEG baik/buruk memiliki peran paling kuat dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel (p<0,001; OR 0,075; IK95% 0,022-0,253). Evolusi gelombang epileptiform EEG buruk merupakan faktor prediktor epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun yang paling berpengaruh.

Epilepsy is still a neurological problem among children, with an increase in cases of 75% -80% annually in developing countries. There are already many choices of Anti-Epileptic Drugs (AED) available. Unfortunately, up to 30% of pediatric patients who undergo treatment do not achieve seizure-free, and develop epilepsy with uncontrolled seizures, also known as intractable epilepsy. The course of treatment is very important in the epilepsy of children under three years of age, who are still in the process of brain development, but not many studies have looked at the evolution of risk factors in predicting the incidence of intractable epilepsy. This study looked at changes or evolution of risk factors for epilepsy patients under three years of age in 3 study locations in Jakarta, by conducting a case-control study. The objective of this research is to Identified the evolution of risk factors role in predicting intractable epilepsy in children under three years of age. The study was conducted retrospectively, using secondary data, by looking at the medical records of epilepsy children under three years of age obtained from RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta, Puri Cinere Hospital Depok, and Klinik Anakku Pondok Pinang Center, South Jakarta. The total subjects were 102 patient medical records, with a case: control ratio of 1: 1. The results of the Pearson chi-square analysis obtained three significant evolution of risk factors for the incidence of intractable epilepsy, namely: the evolution of gross motor paralysis (p<0.001; OR 7.86; 95% CI 3.142-19.659); evolution of neurological status (p<0.001; OR 9.84; CI95% 3,934-24.614); and EEG epileptiform wave evolution (p<0.001; OR 23.25; IK95% 7,657-70,599). The evolution of seizure types showed no significant effect on the incidence of intractable epilepsy in children. The results of multivariate analysis then showed that the evolution of epileptiform EEG waves good/bad had the strongest role in predicting the incidence of intractable epilepsy (p<0.001; OR 0.075; CI95% 0.022-0.253). The bad evolution of EEG epileptiform waves was the most influential predictor of intractable epilepsy among children under three years of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library