Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aina Angelina
Abstrak :
Latar belakang: Rabdomiosarkoma (RMS) adalah sarkoma jaringan lunak derajat tinggi dengan asal diferensiasi otot seran lintang. Tipe embrional RMSE dan alveolar RMSA lebih banyak ditemukan dibanding tipe pleomorfik dan tipe spindel dan umumnya terjadi pada usia anak dan remaja. Faktor prognosis RMS meliputi tipe histologik, usia, lokasi favourable/unfavourable, ukuran tumor dan adanya metastasis. Terapi kombinasi dengan reseksi komplit, kemoterapi dan radioterapi meningkatkan kesintasan tumor namun masih terdapat efek tidak diinginkan. Wilms' tumor 1 WT1 dapat berperan sebagai gen supresor tumor dan sebagai onkogen. WT1 merupakan antigen tumor pada beberapa tumor solid anak dan diekspresikan tinggi pada RMS. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan ekspresi WT1 pada RMSE dan RMSA dan hubungannya dengan faktor prognosis. Metode: Desain penelitian adalah potong lintang dan konsekutif. Penegakan diagnosis RMSE dan RMSA secara histopatologik dan imunohistokimia dengan marker MyoD dan atau desmin yang positif. Didapatkan 30 sampel RMSE dan 16 sampel RMSA yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM selama tahun 2011-2017. Pulasan imunohistokimia WT1 pada RMSE dan RMSA dinilai secara semikuantitatif menggunakan H-score dan dibandingkan. Hubungan ekspresi WT1 dengan faktor prognosis dianalisis dengan menggunakan uji Pearson. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi WT1 pada RMSE dan RMSA (p=0,014). Rerata skor WT1 pada RMSE lebih tinggi dibandingkan RMSA (179,9 vs 149,5). Tidak terdapat hubungan antara ekspresi WT1 dengan faktor prognosis usia, ukuran tumor dan lokasi tumor (favourable dan unfavourable). Kesimpulan: Ekspresi WT1 pada RMSE lebih tinggi dibandingkan RMSA. Ekspresi WT1 tidak berhubungan secara bermakna dengan faktor prognosis.
Background: Rhabdomyosarcoma (RMS) is a high grade soft tissue sarcoma with differentiation toward skeletal muscle. The embryonal type (ERMS) and the alveolar type ARMS are more common than the pleomorphic type and spindle type (RMS). The pediatric population mostly affected. Prognostic factors in RMS including histologic type, age, favourable/unfavourable location, tumor size and metastasis. Complete resection, chemotherapy and radiation increase the survival rate, but undesired effects exist. Wilms' tumor 1 (WT1) can performs as tumor supresor gene or oncogene. WT1 is potential tumor antigen that highly expressed in RMS. The aim of this study is to demonstrate the expression of WT1 in ERMS and ARMS and analyze its correlation with prognostic factors. Method: This was retrospective, cross sectional study with the consecutive sampling method. All samples was diagnosed by histopathology and immunohistochemistry using the skeletal muscle marker MyoD1 and or desmin.30 cases of ERMS and 16 cases of RMSA are collected in Departement of Anatomical Pathology FKUI/RSCM from 2011 to 2017. The immunohistochemistry staining of WT1 in ERMS and ARMS was counted semiquantitatively using H-score. We use Pearson test to analyse the correlation of WT1expression and prognostic factors. Result: Our study show significant difference between WT1 expression in ERMS and ARMS (p=0.014). ERMS had higher mean score than ARMS (179,9 vs 149,5). There was no significant correlation between WT1 expression with prognostic factor : age, tumor size and location. Conclusion: The WT1 expression was higher in ERMS compared to ARMS. There was no significant correlation between expression of WT1 with prognostic factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziyah Hasani
Abstrak :
Terapi Antiretroviral (ARV) merupakan revolusi dalam pengobatan pasien HIV/AIDS. Beberapa faktor prognosis yang diketahui mempengaruhi kesintasan hidup pasien terapi ARV adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, stadium klinis, status fungsional, kadar CD4 awal, cara penularan HIV, infeksi oportunistik, jenis ARV yang digunakan, dan kepatuhan minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor prognosis yang mempengaruhi kesintasan hidup pasien terapi ARV di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta tahun 2007-2017. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien terapi ARV di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien terapi ARV berusia dewasa yang naïve ARV di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta pada tahun 2007-2017 sebanyak 812 pasien. Penelitian ini menemukan probabilitas kesintasan pasien terapi ARV selama 11 tahun pengamatan adalah sebesar 66,5%. Hasil analisis dengan Extended Cox menunjukkan bahwa faktor prognosis yang paling signifikan mempengaruhi kesintasan pasien terapi ARV adalah infeksi oportunistik, dimana pasien yang mempunyai infeksi oportunistik memiliki risiko kematian 9,5 kali dibandingkan yang tidak memiliki infeksi oportunistik.
Antiretroviral therapy (ARV) is a revolution in the treatment of HIV/AIDS patients. Some prognosis factors that are known to affect the survival of ARV patients are age, gender, education level, marital status, clinical stage, functional status, initial CD4 level, transmission of HIV, opportunistic infections, type of ARV used, and adherence. This study aims to determine prognosis factors that influence the survival of ARV therapy patients at the Central Army Hospital (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta in 2007-2017. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data on ARV therapy patients at Gatot Soebroto Hospital in Jakarta. The study sample was a naive ARV patient at the Gatot Soebroto Hospital in Jakarta in 2007-2017 as much as 812 patients. This study found the probability of survival of antiretroviral therapy patients during the 10 years of observation was 66.5%. The results of the analysis with Extended Cox show that the most significant prognosis factor affecting the survival of ARV therapy patients is opportunistic infections, where patients who have opportunistic infections have a risk of death 9.5 times compared to those who do not have opportunistic infections.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
Abstrak :
Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis. Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural. Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya. Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor. ......Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis. Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion. Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship. Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion. Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Indah Gayatri
Abstrak :
Latar belakang: Stratifikasi risiko dilakukan pada pasien dengan sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST (SKA-NEST) saat admisi di instalasi gawat darurat. Iskemia miokardium menginduksi dispersi repolarisasi ventrikel yang bisa dinilai dengan interval Tpe pada EKG permukaan. Pemanjangan interval Tpe telah diketahui sebagai prediktor luaran buruk pada berbagai populasi dan interval Tpe yang dikoreksi dengan laju nadi (cTpe) memiliki nilai prediksi yang lebih baik. Belum diketahui apakah interval cTpe berhubungan dengan Major Adverse Cardiac Events (MACE) dalam-rumah-sakit pada pasien SKA-NEST. Tujuan: Untuk mengetahui manfaat interval cTpe pada EKG saat admisi pada pasien SKA-NEST sebagai modalitas stratifikasi risiko yang ekonomis, sederhana dan tersedia luas. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien dengan SKA-NEST. Data demografi, parameter klinis dan hasil laboratorium diambil dari rekam medis. EKG saat admisi di instalasi gawat darurat (IGD) dikumpulkan dan dilakukan pengukuran inteval Tpe secara manual dengan metode tangent. Corrected Tpe (cTpe) dihitung menggunakan rumus Bazzet. Luaran yang diteliti adalah composite MACE selama perawatan di rumah sakit, termasuk kematian, syok kardiogenik, infark miokardium akut berulang, edema paru akut, henti jantung, dan takiaritmia ventrikel maligna. Dilakukan analisis ROC untuk menilai performa interval cTpe yang dapat memprediksi MACE. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai pemanjangan interval cTpe sebagai prediktor kejadian MACE dalam-rumah-sakit. Hasil: Total terdapat 403 pasien yang masuk analisis akhir. Median usia adalah 60 tahun, mayoritas laki-laki (77,9%) dan terjadi MACE pada 25 kasus (6,2%). Performa interval cTpe dalam memprediksi kejadian MACE lebih baik dibandingkan dengan interval Tpe (AUC 0,727 dan 0,648). Diperoleh titik cut off interval cTpe yang optimal adalah 90,77 ms dengan sensitivitas 76,0% dan spesifisitas 63,2%. Setelah disesuaikan dengan faktor determinan lain, pemanjangan interval cTpe berhubungan dengan kejadian MACE dalam-rumahsakit (HR 2,86, IK 95% 1,08-7,56, p = 0,034). Kesimpulan: Risiko MACE dalam-rumah-sakit lebih tinggi pada kelompok dengan pemanjangan interval cTpe dibandingkan dengan kelompok tanpa pemanjangan interval cTpe. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk validasi sehingga modalitas ini bisa dimanfaatkan dalam praktik klinis. ...... Background: Risk stratification is performed at the emergency department in patients with non-ST-segment-elevation acute coronary syndrome (NSTEACS). Myocardial ischaemia induced ventricular reloparization dispersion and can be assessed with Tpe interval. Tpe interval has been recognized as a predictor of adverse outcomes in various populations and correcting the Tpe with heart rate (cTpe) improved the predictive value. The association of cTpe interval with inhospital Major Adverse Cardiac Events (MACE) in NSTEACS patients was unknown. Objective: This study aims to evaluated the cTpe interval on ECG at admission of SKA-NEST patients as an economical, simple and widely available risk stratification modality. Methods: This was a retrospective cohort study in patients with SKA-NEST. Demographic data, clinical parameters and laboratory results were taken from medical records. The ECG at admission in emergency room (ER) was collected and manually measured by the tangent method. Corrected Tpe (cTpe) was calculated using the Bazzet formula. The composite MACE during hospitalization were the endpoint, including death, cardiogenic shock, recurrent myocardial infarction, acute pulmonary edema, cardiac arrest, and malignant ventricular tachyarrhythmias. ROC analysis was performed to evaluate performance of the Tpe and cTpe interval that could predict MACE optimally. Bivariate and multivariate analyzes were used to assess the prolongation of the Tpe interval as a predictor of in-hospital MACE. Results: A total of 403 patients were included in the final analysis. The median age was 60 years, the majority were male (77,9%) and MACE occurred in 25 cases (6.2%). The performance of cTpe in predicting MACE events was better than Tpe (AUC 0.727 and 0.648). The optimal cut off point for the cTpe interval was 90.77 ms with sensitivity of 76.0% and specificity of 63.2%. After adjusting for other determinant factors, the prolongation of cTpe interval was associated to in-hospital MACE (HR 2,86, 95% CI 1,08-7,56, p = 0,034). Conclusion: The risk of in-hospital MACE was higher in the group with prolonged cTpe interval compared with the group without prolonged cTpe interval. Prospective studies are needed to validate whether this modality can be used in clinical practice.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juferdy Kurniawan
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna merupakan hal penting untuk membantu membuat perencanaan optimal dalam melakukan pendekatan terapi yang tepat untuk masing-masing etiologi dan faktor terkait guna membantu meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien. Tujuan: Mendapatkan kesintasan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna di RSCM. Metode: Penelitian kohort retrospektif dan prospektif dilakukan dengan data sekunder pasien ikterus obstruktif yang dirawat di ruang perawatan RSCM antara Januari 2010 ? Desember 2013. Faktor-faktor yang dinilai meliputi umur, jenis kelamin, sepsis, hipoalbumin, tingkat bilirubin serum, tingkat CA 19-9 serum, drainase bilier, keganasan non ca ampula Vater, dan komorbid dengan hasil keluaran berupa mortalitas pasien. Kesintasan kumulatif terjadinya mortalitas dalam 3 bulan setelah diagnosis dinyatakan dengan kurva Kaplan Meier. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan Cox Proportional Hazards Regression Model untuk mendapatkan Hazard Ratio (HR) dari setiap faktor prognosis. Skor prognosis dari setiap faktor bermakna ditentukan berdasarkan model akhir regresi. Hasil: Sebanyak 181 dari 402 pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna memenuhi kriteria penelitian dengan proporsi laki-laki sebesar 58,6 % dengan pasien berumur ≥ 50 tahun sebesar 57,5 %. Sepsis (HR 2.462 ; IK 95% 1.552 ? 3.906), drainase bilier tidak berhasil/tidak ada (HR 1.604 ; IK 95% 0.988 ? 2.603), serta skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 (HR 2.476 ; IK 95% 1.562 ? 3.923) merupakan faktor prognosis yang bermakna terhadap mortalitas pasien. Median kesintasan pasien dengan faktor prognosis bermakna 14 hari; IK 95% 9.66 ? 18.34 sedangkan median kesintasan keseluruhan 26 hari; IK 95% 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Ambang skor prognostik terbaik didapatkan pada skor ≥ 2 dengan sensitifitas 68% dan spesifisitas 75%. AUC pada kurva ROC 0.769. Kesimpulan: Kesintasan pasien dengan faktor prognosis sepsis, drainase bilier tidak berhasil/tidak ada, dan skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 lebih pendek dibandingkan kesintasan keseluruhan pasien. Skor prognostik ≥ 2 termasuk dalam risiko tinggi kematian dan kemampuan prediksi mortalitas dari faktor prognosis bermakna sebesar 76.9%.
ABSTRACT Background: Understanding any related factors affecting mortality in patients with malignant obstructive jaundice will better guide to an approriate and optimal planning in making theurapetic approach for each etiological and relating factors thus improving survival and patients? quality of life. Aim: To obtain survival rate and mortality-related factors of malignant obsructive jaundice patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods: Retrospective-prospective cohort study was conducted with medical records of obstructive jaundice inpatient from January 2010 to December 2013 were reviewed. Suggested mortality-related factors include age, gender, sepsis, hypoalbumin, serum bilirubin level, serum CA 19-9 level, billiary drainage, non-ampulla Vateri carcinoma, and comorbid were analyzed. Three-month cumulative overall survival was calculated by Kaplan-Meier curve. Bivariat and multivariat analysis was done with Cox Proportional Hazards Regression Model to obtain Hazard Ration (HR) of each prognostic factor. Prognosis score from each mortality-related factor was calculated based on the last regression model. Results: 181 from 402 patients were enrolled in this study with male proportion was 58.6% and patients aged 50 years or above was 57.5%. Sepsis (HR 2.462 ; CI 95% 1.552 ? 3.906), unsuccessful / no prior billiary drainage (HR 1.604 ; CI 95% 0.988 ? 2.603), and Charlson comorbid score ≥ 4 (HR 2.476 ; CI 95% 1.562 ? 3.923) were mortality-related factors with significant difference. Patients with significant prognostic factors had median survival 14 days; 95% CI: 9.66 ? 18.34 compared with overall median survival 26 days; 95% CI: 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Score ≥ 2 identified as the highest prognostic score threshold with sensitivity 68%, specificity 75%, and AUC on ROC curve 0.769. Conclusion: Patients with significant prognostic factors which were sepsis, unsuccessful / no prior billiary drainage, and Charlson comorbid score ≥ 4 had shorter survival than overall survival. Prognostic threshold ≥ 2 quite good to classify malignant obstructive jaundice inpatient into high risk mortality population. Mortality of patients with those significant prognostic factors can be predicted in 76,9%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library